Oleh: K.H. Hafidz
Abdurrahman
Surat al-Hijr: 94
turun pada tahun ke-3 kenabian, sekaligus menandasl fase baru, yaitu Tafa'ul
ma'a al-Ummah. Pada fase baru ini, Nabi SAW dan para sahabat mulai melakukan
aktivitas interaksi secara terbuka dengan umat, dengan target menjadikan ajaran
Islam diterima kaum Quraisy dan lainnya. Hanya saja, organisasi dan
keanggotaannya belum didemonstrasikan kepada publik.
Setelah proses ini
berjalan dua tahun, tepat tahun ke-5 kenabian, Umar bin al-Khatthab masuk
Islam. Setelah itu, diikuti oleh Hamzah bin Abdul Muthallib. Sebagaimana doa
Nabi SAW, ”Allahummanshur al-Islam bi ‘Umarain.”
[Ya Allah, tolong Islam dengan dua 'Umar]. Umar yang pertama adalah Umar bin
al-Khatthab, dan Umar kedua adalah Amru bin Hisyam [Abu Jahal]. Ternyata Allah
memilih Umar bin al-Khatthab sebagai penolong Islam.
Setelah kedua tokoh
penting Quraisy ini masuk Islam, maka Islam semakin kuat. Mereka juga
benar-benar membuktikan keislaman mereka. Pada saat itu, Rasul pun menyiapkan
uslub baru, untuk memprokalamirkan kelompoknya, yang kemudian dikenal dengan Hizbur Rasul. Uslub yang belum pernah
dilakukan oleh siapapun, dan dilakukan di tempat yang memang menjadi pusat
perhatian, yaitu Ka'bah al-Musyarrafah.
Rasul SAW memimpin
barisan para sahabat, mereka berbaris dengan dua barisan. Barisan pertama
dipimpin oleh Umar bin al-Khatthab, dan barisan kedua dipimpin oleh Hamzah bin
Abdul Muthallib. Mereka kemudian melakukan thawaf,
mengelilingi Ka'bah aI-Musyarrafah. Tentu saja aktivitas ini memancing
perhatian kaum kafir Quraisy. Melalui aktivitas ini, kelompok dan anggota
Hizbur Rasul itu pun telah diperkenalkan secara terbuka kepada khalayak. Fase
i'lan [memproklamasikan eksistensi kelompok dan anggotanya] ini membawa
konsekuensi.
Pertama,
jika sebelum fase ini, banyak kaum kafir Quraisy yang sudah mengetahui bahwa di
Makkah telah ada seorang Nabi yang diutus oleh Allah membawa agama baru, tetapi
mereka belum tahu siapa saja pengikutnya, maka setelah fase ini semuanya
menjadi terang-benderang.
Kedua,
dengan adanya fase baru ini, kaum kafir Quraisy pun tahu siapa saja yang bisa
mereka jadikan rujukan tempat bertanya, dan melakukan klarifikasi terkait
dengan ajaran Islam, dan berbagai fitnah yang menyelimutinya.
Ketiga,
konsekuensi lainnya, para sahabat yang telah memeluk Islam tidak bisa lagi
menyembunyikan keislamannya, khususnya orang-orang yang sanggup menanggung
akibat dari keputusannya. Kecuali mereka yang memang lemah, atau ada
pertimbangan tertentu, sehingga tetap berusaha untuk menyembunyikan
keislamannya.
Setelah fase ini,
pertarungan antara Islam dengan kekufuran semakin terbuka. Kaum Muslim yang
mayoritas dhuafa’, dan tidak didukung dengan berbagai sarana dan prasarana yang
memadai, selain keimanannya yanq kuat, harus bertempur menghadapi kaum kafir
yang lebih kuat. Tetapi, Islam adalah agama yang dibangun dengan pondasi yang
kokoh, pemikiran dan keyakinan yang kuat, sehingga tak tergoyahkan. Selain itu,
argumentasi yang digunakannya pun rasional, sehingga memuaskan akal dan
menentramkan hati.
Pendek kata, dalam
pertarungan yang tidak seimbang ini, Islam menang. Namun alih-alih orang kafir
itu menyadari kelemahannya, justru mereka berusaha dengan berbagai cara untuk
mengalahkan Islam. Mula-mula mereka menghadapi Islam hanya dengan pemikiran, tetapi
kalah. Mereka pun menggunakan cara fisik, yaitu dengan melarang dan menyerang
orang-orang yang menjadi budak mereka. Bilal disiksa, dengan ditindih batu di
bawah terik matahari. Keluarga Ammar bin Yasir, termasuk ibunda Ammar, disiksa
hingga Ibunda Ammar gugur sebagai syahidah pertama.
Berbagai penyiksaan
yang mereka lakukan ternyata juga tidak mampu mengubah keyakinan para sahabat
yang telah memeluk Islam. Meski bertubi-tubi penyiksaan dilakukan terhadap
mereka. Menghadapi situasi yang buruk ini, Nabi SAW memerintahkan para sahabat
untuk hijrah meninggalkan Makkah ke Habasyah, Afrika, untuk melindungi
keyakinan mereka. Mereka pun mendapat perlindungan dari Raja Najasyi di
Habasyah. Namun, orang kafir pun tidak rela. Mereka dikejar, dan difitnah.
Ketika Amru bin Ash,
yang memang ahli diplomasi itudiutus oleh kaum kafir Quraisy untuk menemui Raja
Najasyi, tujuannya tak lain agar Raja Najasyi mengusir kaum Muslim dari
wilayahnya, dan mengembalikan mereka ke Makkah. Namun, Raja Najasyi berhasil
diyakinkan oleh Ja'far bin Abi Thalib, kakak Ali bin Abi Thalib. Setelah
dibacakan Q.S. Maryam, maka Raja Najasyi pun mengatakan, "Bahwa Islam dan
Kristen, yang dipeluknya, ini keluar dari sumber cahaya yang sama [Allah].”
Maka, Amru bin Ash pun gagal memulangkan mereka.
Sebagian kaum Muslim
yang hijrah ke Habasyah pun ada yang kembali ke Makkah, dengan konsekuensi
menghadapi berbagai ujian yang berat. Namun, sebagian yang lain bertahan di
sana. Di Makkah sendiri, akhirnya kaum Kafir Quraisy menerapkan kebijakan Muqatha'ah [isolasi dan boikot] selama tiga
tahun. Mereka tidak boleh mendapatkan suplai makanan, minuman dan lain-lain.
Kebijakan yang betul-betul berat, sehingga membuat mereka yang diembargo itu
tidak mendapatkan akses makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Karena
mereka diboikot di Lembah Abu Thalib.
Selama tiga tahun,
mereka benar-benar tersiksa. Bukan hanya orang Islam, tetapi Bani Hasyim dan
Bani Abdul Muthallib pun terkena imbasnya. Karena target mereka untuk
menjauhkan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib dari Nabi dan Islam, sehingga
benar-benar terkucil. Tetapi, ternyata Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib
tidak meninggalkan Nabi. Tak hanya itu, mereka pun tidak boleh menikahi atau
dinikahi oleh kabilah yang lain.
Tetapi, kondisi sulit
ini berhasil mereka lalui dengan sabar, dan akhimya pemboikotan ini dibatalkan,
setelah Piagam Pemboikotan yang mereka tempel di Ka'bah dimakan rayap. Pada
saat yang sama, kaum kafir Quraisy yang merasa iba dengan kondisi Nabi SAW dan
para sahabat, serta Bani Hasyim dan Abdul Muthallib, akhirnya merobek-robek
piagam yang tinggal tersisa sedikit itu. Dengan begitu, berakhirlah penderitaan
mereka. Wallahu a'lam.[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 207
Tidak ada komentar:
Posting Komentar