Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 11 Juni 2018

Dalil Sunnah Qadha Puasa Sunah



II. Mengqadha Puasa Sunat

Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berpuasa sunat harus menyempurnakan puasanya, dan tidak boleh memutuskannya kecuali karena satu udzur. Jika dia memutuskan puasanya karena suatu udzur, maka wajib qadha atasnya dan tidak ada dosa baginya, dan jika dia memutuskannya tanpa udzur maka tetap wajib qadha atasnya dan ada dosa baginya.
Tirmidzi telah menceritakan tentang beberapa sahabat Rasulullah Saw. bahwa mereka berpendapat wajibnya mengqadha puasa sunat jika berbuka. Ini merupakan pendapat Malik bin Anas. Dan diriwayatkan pula dari Malik -melalui satu riwayat yang lain-, tidak ada qadha atasnya jika berbuka karena suatu udzur.
Sufyan ats-Tsauri, as-Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, dan jumhur ulama berpendapat bolehnya berbuka, terlebih lagi jika dia diajak makan, dan mereka sangat menganjurkan mengqadhanya (al-mustahab). Hal ini telah diriwayatkan berasal dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Zaid ra.

Mereka yang mengatakan wajibnya mengqadha puasa sunat berargumentasi dengan dalil-dalil berikut:

a. Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Aku dan Hafshah berpuasa, lalu disodorkan makanan kepada kami, sehingga kami pun menginginkannya. Lalu kami memakannya. Kemudian Nabi Saw. datang, dan Hafshah segera membawaku kepada beliau Saw. Dan dia adalah puteri dari ayahnya. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sedang berpuasa pada hari ini, lalu kami disodori makanan, kami pun menginginkannya, dan kami memakannya.” Maka Nabi Saw. berkata: “Tunaikanlah qadhanya pada satu hari yang lain.” (HR. Ahmad [26797], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, Malik dan at-Thahawi)
Ini hadits dhaif.

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Suatu pagi, aku dan Hafshah berpuasa sunat, lalu kami dihadiahi suatu makanan, dan kami pun berbuka. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Berpuasalah kalian berdua satu hari yang lain sebagai penggantinya.”
Ini hadits dhaif.

Dalam riwayat Ahmad yang kedua [25607] menggunakan lafadz:

“Gantilah sehari oleh kalian berdua.”
Ini hadits dhaif.

b. Dari Abu Said ra., ia berkata:

“Aku membuat makanan untuk Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. mendatangiku bersama para sahabatnya. Ketika makanan itu diletakkan, seseorang dari mereka berkata: “Sesungguhnya aku berpuasa.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Saudara kalian telah mengundang kalian dan berpayah-payah untuk kalian.” Kemudian beliau Saw. berkata kepadanya: “Berbukalah, dan berpuasalah satu hari sebagai penggantinya jika engkau mau.” (HR. al-Baihaqi [4/279], Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath, ad-Darimi, Daruquthni, Abu Dawud at-Thayalisi dengan sanad yang dihasankan oleh Ibnu Hajar)

c. Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (TQS. Muhammad [47]: 33)

Adapun mereka yang berpendapat sangat menganjurkan qadha dan tidak mewajibkannya, berargumentasi dengan beberapa dalil berikut:

a. Dari Ummu Hani ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. minum sesuatu, lalu beliau Saw. mengambilkannya agar dia (Ummu Hani) ikut minum. Maka dia berkata: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, tetapi aku tidak suka kalau menolak sisa minumanmu.” Beliau Saw. bersabda yakni: “Jika puasamu itu sebagai qadha bulan Ramadhan, maka qadhalah di lain hari sebagai penggantinya, dan jika puasamu itu puasa sunat maka kalau engkau mau silakan mengqadhanya, dan kalau engkau mau silakan pula tidak mengqadhanya.” (HR. Ahmad [27449], ad-Darimi, an-Nasai, Tirmidzi, al-Baihaqi, dan Daruquthni) Tirmidzi berkata: dalam sanad Ummu Hani ini ada seseorang yang diperdebatkan.
Ini hadits dhaif.

Dalam riwayat Tirmidzi yang kedua [728] disebutkan dengan redaksi:

“Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Seseorang yang berpuasa sunat itu adalah seorang yang menjamin dirinya, jika suka maka silakan dia berpuasa, dan jika suka maka silakan pula dia berbuka.”
Ini hadits dhaif.

b. Hadits Abu Said yang disebutkan dalam poin (b) merupakan salah satu dalil dari mereka yang mengatakan wajibnya mengqadha, dan di dalamnya ada kalimat:

“Berbukalah, dan berpuasalah satu hari sebagai penggantinya jika engkau mau.”

Dengan menelaah nash-nash di atas maka kita mendapati hal-hal sebagai berikut: sesungguhnya hadits Aisyah yang diriwayatkan Ahmad dan selainnya, dan di dalamnya ada kalimat:

“Tunaikanlah qadhanya pada satu hari yang lain.”

Ini telah didhaifkan oleh Bukhari, an-Nasai, dan Ahmad, serta didhaifkan pula oleh al-Khallal, dan ia berkata: para hafidz hadits satu persatu telah menetapkan kedhaifan hadits Aisyah ini. Tirmidzi berkata: “...diriwayatkan dari Ibnu Juraij ia berkata: aku bertanya kepada az-Zuhri: apakah Urwah pernah memberitahumu (hadits yang berasal) dari Aisyah? Dia berkata: aku tidak mendengar dari Urwah sesuatupun, tetapi aku mendengar di masa kekuasaan Sulaiman bin Abdul Malik dari orang-orang yang bercerita bahwa sebagian dari mereka bertanya kepada Aisyah tentang hadits ini.” Dengan demikian, hadits ini terputus sanadnya (al-munqathi') sehingga tidak layak dijadikan hujjah dan harus ditinggalkan.

Adapun hadits Ummu Hani yang diriwayatkan Ahmad dan selainnya, yang di dalamnya terdapat kalimat:

“Dan jika puasamu itu puasa sunat maka kalau engkau mau silakan mengqadhanya, dan kalau engkau suka silakan pula tidak mengqadhanya.”

Ini pun hadits dhaif, sehingga tidak layak untuk dijadikan hujjah, karena di dalamnya ada Simak bin Harb yang dipandang dhaif oleh para ahli hadits. Selain itu di dalam sanad hadits ini pun terdapat seseorang yang tidak dikenal (al-majhul), yakni orang yang meriwayatkan dari Ummu Hani, kadang dikatakan Harun bin Ibni Ummi Hani, dan kadang dikatakan Harun binti Ummi Hani. Harun itu sendiri seseorang yang tidak dikenal. Ibnu al-Qaththan berkata: orang ini tidak diketahui. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab at-Taqrib mengatakan: orang ini tidak dikenal (majhul), sehingga hadits ini harus ditinggalkan.

Mengenai firman Allah Swt.:

“Janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (TQS. Muhammad [47]: 33)

Ayat ini bersifat umum, tidak menyebutkan sesuatu terkait objek pembahasan puasa, sehingga nash yang bersifat umum ini tetap diamalkan selama tidak ada sesuatu yang mentakhsisnya dan menjadikan yang umum ini harus dipahami menurut nash yang khusus.
Dalam topik kita ini, terdapat izin bagi seseorang yang berpuasa sunat untuk berbuka, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Said, sehingga inilah yang diamalkan. Dan ayat tersebut dipahami berdasarkan hadits yang mengkhususkannya.
Saya tidak perlu menyebutkan hadits-hadits ini seluruhnya, cukup menyebutkan satu hadits shahih saja, yakni hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra., ia berkata:

“Suatu hari Rasulullah Saw. mengunjungiku, lalu beliau Saw. bertanya: “Apakah engkau memiliki sesuatu?” Kami menjawab: “Tidak.” Beliau Saw. berkata: “Kalau begitu sungguh aku akan berpuasa.” Kemudian beliau Saw. mendatangi kami pada hari yang lain. Kami berkata: “Wahai Rasulullah, kami dihadiahi al-hais (makanan yang berasal dari campuran mentega, susu beku dan kurma kering),” maka beliau Saw. berkata: “Perlihatkanlah makanan itu kepadaku, sungguh sejak pagi aku berpuasa.” Lalu beliau Saw. memakannya.” (HR. Muslim [2715], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Dengan demikian, kebolehan memutuskan puasa sunat telah disebutkan dalam banyak hadits, dan disebutkan oleh hadits-hadits tersebut dengan tanpa menyebutkan udzur apapun, sehingga siapapun yang telah mengetahui hadits-hadits ini tidak boleh mengharamkan tindakan memutuskan puasa sunat atau membatasinya dengan suatu udzur.
Karena itu, ucapan Abu Hanifah: “seseorang yang berpuasa sunat harus menyelesaikan puasanya dan tidak boleh memutuskannya kecuali karena suatu udzur” adalah pernyataan yang salah, yang bertentangan dengan hadits-hadits shahih.

Adapun mengqadha puasa sunat yang diputus itu, hukumnya tidak wajib. Tidak ada nash shahih atau hasan yang memerintahkannya sebagai satu keharusan. Mengqadhanya, seperti hukum berpuasa sunat semula -tanpa ada perbedaan di antara keduanya-, padahal puasa sunat (shiyam at-tathawwu') berhukum mandub, maka mengqadha puasa sunat ini pun sama hukumnya, yakni mandub juga.

Ucapan Rasulullah Saw. dalam hadits Abu Said:

“Berbukalah, dan berpuasalah satu hari sebagai penggantinya jika engkau mau.”

Menunjukkan bolehnya berbuka dan bolehnya mengqadha, yang dikaitkan dengan keinginan orang tersebut. Keduanya tidak menunjukkan kefardhuan dan keharusan.

Dengan demikian, maka ucapan Malik dalam riwayat yang lain:

Bahwa tidak ada kewajiban qadha atasnya jika dia berbuka karena suatu udzur.

Adalah pernyataan yang tidak berdalil.

Kini tinggal pendapat Sufyan ats-Tsauri, as-Syafi'i, dan Ahmad serta yang lainnya, yang mengatakan bahwa memutuskan puasa sunat itu hukumnya boleh, dan sangat dianjurkan untuk mengqadhanya. Inilah pendapat yang shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash di atas.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam