II. Mengqadha Puasa Sunat
Abu Hanifah
berpendapat bahwa orang yang berpuasa sunat harus menyempurnakan puasanya, dan
tidak boleh memutuskannya kecuali karena satu udzur. Jika dia memutuskan
puasanya karena suatu udzur, maka wajib qadha atasnya dan tidak ada dosa
baginya, dan jika dia memutuskannya tanpa udzur maka tetap wajib qadha atasnya
dan ada dosa baginya.
Tirmidzi telah
menceritakan tentang beberapa sahabat Rasulullah Saw. bahwa mereka berpendapat
wajibnya mengqadha puasa sunat jika berbuka. Ini merupakan pendapat Malik bin
Anas. Dan diriwayatkan pula dari Malik -melalui satu riwayat yang lain-, tidak
ada qadha atasnya jika berbuka karena suatu udzur.
Sufyan ats-Tsauri,
as-Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahuwaih, dan jumhur ulama berpendapat bolehnya
berbuka, terlebih lagi jika dia diajak makan, dan mereka sangat menganjurkan
mengqadhanya (al-mustahab). Hal ini
telah diriwayatkan berasal dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Zaid ra.
Mereka yang mengatakan
wajibnya mengqadha puasa sunat berargumentasi dengan dalil-dalil berikut:
a. Dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Aku dan Hafshah
berpuasa, lalu disodorkan makanan kepada kami, sehingga kami pun
menginginkannya. Lalu kami memakannya. Kemudian Nabi Saw. datang, dan Hafshah
segera membawaku kepada beliau Saw. Dan dia adalah puteri dari ayahnya. Dia
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sedang berpuasa pada hari ini,
lalu kami disodori makanan, kami pun menginginkannya, dan kami memakannya.”
Maka Nabi Saw. berkata: “Tunaikanlah qadhanya
pada satu hari yang lain.” (HR. Ahmad [26797], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi,
Malik dan at-Thahawi)
Ini hadits dhaif.
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Suatu pagi, aku dan
Hafshah berpuasa sunat, lalu kami dihadiahi suatu makanan, dan kami pun
berbuka. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Berpuasalah kalian berdua satu hari
yang lain sebagai penggantinya.”
Ini hadits dhaif.
Dalam riwayat Ahmad
yang kedua [25607] menggunakan lafadz:
“Gantilah sehari oleh
kalian berdua.”
Ini hadits dhaif.
b. Dari
Abu Said ra., ia berkata:
“Aku membuat makanan
untuk Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. mendatangiku bersama para sahabatnya.
Ketika makanan itu diletakkan, seseorang dari mereka berkata: “Sesungguhnya aku
berpuasa.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Saudara kalian telah mengundang kalian
dan berpayah-payah untuk kalian.” Kemudian beliau Saw. berkata kepadanya:
“Berbukalah, dan berpuasalah satu hari sebagai penggantinya jika engkau mau.”
(HR. al-Baihaqi [4/279], Thabrani dalam kitab al-Mu’jam
al-Ausath, ad-Darimi, Daruquthni, Abu Dawud at-Thayalisi dengan sanad
yang dihasankan oleh Ibnu Hajar)
c. Allah Swt.
berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan janganlah kamu merusakkan
(pahala) amal-amalmu.” (TQS. Muhammad [47]: 33)
Adapun mereka yang
berpendapat sangat menganjurkan qadha dan tidak mewajibkannya, berargumentasi
dengan beberapa dalil berikut:
a. Dari Ummu Hani ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
minum sesuatu, lalu beliau Saw. mengambilkannya agar dia (Ummu Hani) ikut
minum. Maka dia berkata: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, tetapi aku tidak
suka kalau menolak sisa minumanmu.” Beliau Saw. bersabda yakni: “Jika puasamu
itu sebagai qadha bulan Ramadhan, maka qadhalah
di lain hari sebagai penggantinya, dan jika puasamu itu puasa sunat maka kalau
engkau mau silakan mengqadhanya, dan
kalau engkau mau silakan pula tidak mengqadhanya.”
(HR. Ahmad [27449], ad-Darimi, an-Nasai, Tirmidzi, al-Baihaqi, dan Daruquthni)
Tirmidzi berkata: dalam sanad Ummu Hani ini ada seseorang yang diperdebatkan.
Ini hadits dhaif.
Dalam riwayat Tirmidzi
yang kedua [728] disebutkan dengan redaksi:
“Maka Rasulullah Saw.
bersabda: “Seseorang yang berpuasa sunat itu adalah seorang yang menjamin
dirinya, jika suka maka silakan dia berpuasa, dan jika suka maka silakan pula
dia berbuka.”
Ini hadits dhaif.
b. Hadits Abu Said
yang disebutkan dalam poin (b) merupakan salah satu dalil dari mereka yang
mengatakan wajibnya mengqadha, dan di
dalamnya ada kalimat:
“Berbukalah, dan
berpuasalah satu hari sebagai penggantinya jika engkau mau.”
Dengan menelaah nash-nash di
atas maka kita mendapati hal-hal sebagai berikut: sesungguhnya hadits
Aisyah yang diriwayatkan Ahmad dan selainnya, dan di dalamnya ada kalimat:
“Tunaikanlah qadhanya pada satu hari yang lain.”
Ini telah didhaifkan oleh Bukhari, an-Nasai, dan Ahmad,
serta didhaifkan pula oleh al-Khallal,
dan ia berkata: para hafidz hadits satu persatu telah menetapkan kedhaifan hadits Aisyah ini. Tirmidzi berkata:
“...diriwayatkan dari Ibnu Juraij ia berkata: aku bertanya kepada az-Zuhri:
apakah Urwah pernah memberitahumu (hadits yang berasal) dari Aisyah? Dia
berkata: aku tidak mendengar dari Urwah sesuatupun, tetapi aku mendengar di
masa kekuasaan Sulaiman bin Abdul Malik dari orang-orang yang bercerita bahwa
sebagian dari mereka bertanya kepada Aisyah tentang hadits ini.” Dengan
demikian, hadits ini terputus sanadnya (al-munqathi')
sehingga tidak layak dijadikan hujjah dan harus ditinggalkan.
Adapun hadits Ummu
Hani yang diriwayatkan Ahmad dan selainnya, yang di dalamnya terdapat kalimat:
“Dan jika puasamu itu
puasa sunat maka kalau engkau mau silakan mengqadhanya,
dan kalau engkau suka silakan pula tidak mengqadhanya.”
Ini pun hadits dhaif,
sehingga tidak layak untuk dijadikan hujjah, karena di dalamnya ada Simak bin
Harb yang dipandang dhaif oleh para ahli hadits. Selain itu di dalam sanad
hadits ini pun terdapat seseorang yang tidak dikenal (al-majhul), yakni orang yang
meriwayatkan dari Ummu Hani, kadang dikatakan Harun bin Ibni Ummi Hani, dan
kadang dikatakan Harun binti Ummi Hani. Harun itu sendiri seseorang yang tidak
dikenal. Ibnu al-Qaththan berkata: orang ini tidak diketahui. Al-Hafidz Ibnu
Hajar dalam kitab at-Taqrib mengatakan:
orang ini tidak dikenal (majhul), sehingga hadits ini harus ditinggalkan.
Mengenai firman Allah
Swt.:
“Janganlah kamu
merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (TQS. Muhammad [47]: 33)
Ayat ini bersifat
umum, tidak menyebutkan sesuatu terkait objek pembahasan puasa, sehingga nash
yang bersifat umum ini tetap diamalkan selama tidak ada sesuatu yang mentakhsisnya dan menjadikan yang umum ini harus
dipahami menurut nash yang khusus.
Dalam topik kita ini,
terdapat izin bagi seseorang yang berpuasa sunat untuk berbuka, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Said, sehingga inilah yang diamalkan. Dan ayat
tersebut dipahami berdasarkan hadits yang mengkhususkannya.
Saya tidak perlu
menyebutkan hadits-hadits ini seluruhnya, cukup menyebutkan satu hadits shahih
saja, yakni hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra., ia
berkata:
“Suatu hari Rasulullah
Saw. mengunjungiku, lalu beliau Saw. bertanya: “Apakah engkau memiliki
sesuatu?” Kami menjawab: “Tidak.” Beliau Saw. berkata: “Kalau begitu sungguh
aku akan berpuasa.” Kemudian beliau Saw. mendatangi kami pada hari yang lain.
Kami berkata: “Wahai Rasulullah, kami dihadiahi al-hais (makanan yang berasal
dari campuran mentega, susu beku dan kurma kering),” maka beliau Saw. berkata:
“Perlihatkanlah makanan itu kepadaku, sungguh sejak pagi aku berpuasa.” Lalu
beliau Saw. memakannya.” (HR. Muslim [2715], Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, dan
Ibnu Majah)
Dengan demikian, kebolehan memutuskan puasa sunat
telah disebutkan dalam banyak hadits, dan disebutkan oleh hadits-hadits
tersebut dengan tanpa menyebutkan udzur apapun, sehingga siapapun yang telah
mengetahui hadits-hadits ini tidak boleh mengharamkan tindakan memutuskan puasa
sunat atau membatasinya dengan suatu udzur.
Karena itu, ucapan Abu
Hanifah: “seseorang yang berpuasa sunat harus menyelesaikan puasanya dan tidak
boleh memutuskannya kecuali karena suatu udzur” adalah pernyataan yang salah,
yang bertentangan dengan hadits-hadits shahih.
Adapun mengqadha puasa sunat yang diputus itu,
hukumnya tidak wajib. Tidak ada nash shahih atau hasan yang
memerintahkannya sebagai satu keharusan. Mengqadhanya,
seperti hukum berpuasa sunat semula -tanpa ada perbedaan di antara keduanya-,
padahal puasa sunat (shiyam at-tathawwu')
berhukum mandub, maka mengqadha puasa
sunat ini pun sama hukumnya, yakni mandub juga.
Ucapan Rasulullah Saw.
dalam hadits Abu Said:
“Berbukalah, dan
berpuasalah satu hari sebagai penggantinya jika engkau mau.”
Menunjukkan bolehnya
berbuka dan bolehnya mengqadha, yang
dikaitkan dengan keinginan orang tersebut. Keduanya tidak menunjukkan
kefardhuan dan keharusan.
Dengan demikian, maka
ucapan Malik dalam riwayat yang lain:
Bahwa tidak ada
kewajiban qadha atasnya jika dia berbuka karena suatu udzur.
Adalah pernyataan yang
tidak berdalil.
Kini tinggal pendapat
Sufyan ats-Tsauri, as-Syafi'i, dan Ahmad serta yang lainnya, yang mengatakan
bahwa memutuskan puasa sunat itu hukumnya boleh, dan sangat dianjurkan untuk
mengqadhanya. Inilah pendapat yang
shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash di atas.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar