3. Qadha Puasa Bagi Orang yang
Muntah Secara Sengaja
Ibnu al-Mundzir
berkata: terdapat kesepakatan (al-ijma') tentang batalnya puasa dari seseorang
yang muntah dengan disengaja. Namun, Ibnu Bathal telah menukil dari Ibnu Abbas
dan Ibnu Mas’ud: tidak batal secara mutlak. Ini adalah salah satu dari dua
riwayat dari para sahabat Malik. Ibnu al-Mundzir juga menukil adanya
kesepakatan (al-ijma') -maksudnya kesepakatan para ulama- bahwa orang yang
terpaksa muntah dan tidak disengaja muntah tidak perlu mengqadha, kecuali salah
satu dari dua riwayat dari al-Hasan al-Bashri. Ibnu al-Mundzir berkata: Ali,
Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Alqamah, az-Zuhri, Malik, Ahmad, Ishaq dan ahlu ra'yi berkata: tidak diwajibkan kaffarat
atasnya, yang diwajibkan atasnya hanya mengqadla saja, pendapat seperti ini
diriwayatkan juga berasal dari Abu Hanifah dan as-Syafi'i. Diriwayatkan dari
as-Syafi'i, dia berkata: “Barangsiapa yang berusaha muntah padahal dia sedang
berpuasa maka wajib qadha atasnya, dan orang yang terpaksa muntah tidak ada
kewajiban qadha atasnya, pendapat seperti ini dikabarkan oleh Malik berasal
dari Nafi, dari Ibnu Umar.” Hal ini diceritakan oleh al-Baihaqi [4/219].
Kemudian dia menyebutkan hadits Ibnu Umar lengkap dengan sanadnya yang
berbunyi:
“Barangsiapa yang
terpaksa muntah maka tidak ada kewajiban qadha atasnya, dan barangsiapa yang
muntah dengan keinginannya maka ada kewajiban qadha atasnya.”
Atha dan Abu Tsaur
berkata: barangsiapa yang sengaja muntah maka wajib qadha dan kaffarat atasnya.
Yang benar adalah bahwa orang
yang mual lalu terpaksa muntah maka puasanya tetap sah, sehingga tidak ada
qadha atasnya. Tetapi barangsiapa yang berusaha muntah, lalu muntah dengan
kehendaknya itu, maka puasanya batal, sehingga wajib qadha atasnya.
Adapun perkataan yang dinukil dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud: bahwa orang yang
muntah dengan kehendaknya ataupun terpaksa muntah tidak batal puasanya, maka
ini perkataan yang keliru karena menyelisihi nash-nash berikut. Selain itu
nash-nash berikut ini tidak menyebutkan kewajiban bagi seseorang yang muntah
dengan sengaja kecuali qadha saja, sehingga perkataan yang dinukil berasal dari
Atha dan Abu Tsaur yang mewajibkan kaffarat
bersamaan dengan qadha merupakan pendapat yang keliru juga. Nash-nash tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Dari
Ma'dan bin Thalhah:
“Abu Darda
memberitahukan dirinya bahwa Rasulullah Saw. muntah, lalu beliau Saw. berbuka.
Dia berkata, lalu aku bertemu Tsauban pelayan Rasulullah Saw. di masjid
Damsyiq. Aku pun berkata: Sesungguhnya Abu Darda memberitahuku bahwa Rasulullah
Saw. muntah, kemudian beliau Saw. berbuka. Dia berkata: Dia benar, dan akulah
yang menuangkan air wudhu untuknya.” (HR. Abu Dawud [2381], Ahmad, an-Nasai,
ad-Darimi, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)
Ibnu Manduh berkata:
sanad hadits ini shahih dan bersambung. Tirmidzi dan Ahmad berkata: hadits ini
merupakan nash paling shahih dalam masalah ini.
b. Dari
Khalid bin Ma'dan, dari Abu Darda ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
muntah dengan sengaja, lalu beliau Saw. berbuka. Kemudian dibawakan air
untuknya dan beliau pun berwudhu.” (HR. Abdurrazaq [7548], an-Nasai dan Ahmad)
Sanad hadits ini
berstatus shahih.
c. Dari
Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
terpaksa muntah padahal dia sedang berpuasa maka tidak ada kewajiban qadha
atasnya, dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka dia harus
mengqadhanya.” (HR. Abu Dawud [2380], ad-Darimi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad,
al-Baihaqi)
Al-Hakim meriwayatkan
hadits ini dan menshahihkannya, dan hal
ini diakui oleh ad-Dzahabi. Tirmidzi berkata: hadits ini hasan gharib. Tetapi Bukhari dan Ahmad mendhaifkannya. Tirmidzi berkata: “...yang
diamalkan oleh ahli ilmu berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw.,
bahwasanya seseorang yang berpuasa jika terpaksa muntah maka tidak ada
kewajiban qadha atasnya, dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka dia
harus mengqadhanya, dan pendapat seperti ini dilontarkan oleh as-Syafi'i,
Sufyan ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.”
Hadits yang pertama:
“(Rasulullah Saw.)
muntah lalu beliau Saw. berbuka.”
Dijelaskan oleh hadits
kedua:
“Rasulullah Saw.
muntah dengan keinginannya lalu beliau Saw. berbuka.”
Dan tidak ada yang
lebih shahih dari mentafsirkan hadits dengan hadits. Sehingga makna muntah
dalam hadits pertama adalah muntah dengan kehendaknya, sehingga dua hadits ini
menyebutkan bahwa orang yang muntah karena keinginannya batal puasanya. Kedua
hadits ini memberi pengertian bahwa orang tersebut terkena kewajiban mengqadha
puasanya.
Lalu datanglah hadits
ketiga, yang lebih menegaskan hukum ini:
“Dan barangsiapa yang
muntah dengan sengaja maka dia harus mengqadhanya.”
Sebelumnya ada hadits
Ibnu Umar yang diriwayatkan al-Baihaqi:
“Dan barangsiapa yang
muntah dengan keinginannya maka ada kewajiban qadha atasnya.”
Keputusan Bukhari dan
Ahmad yang mendhaifkan hadits Abu
Hurairah ini tidak menghalangi kita menggunakannya sebagai dalil. Alasannya
karena pertama, selain kedua orang ini, banyak yang menshahihkan dan menghasankan hadits tersebut.
Kedua, makna dan
lafadznya tidak bertentangan dengan makna dan lafadz hadits yang lebih shahih.
Ketiga, hadits ini
diperkuat oleh hadits lain, yakni hadits Ibnu Umar. Berdasarkan hal ini, maka
menjadikan hadits ini sebagai hujjah adalah dibenarkan. Dengan demikian, orang
yang muntah dengan sengaja wajib qadha atasnya, dan hanya qadha saja, tidak disertai
dengan kewajiban kaffarat, karena nash-nash yang ada telah menetapkan bahwa
orang yang muntah dengan sengaja terkena kewajiban mengqadha saja. Nash-nash
tersebut tidak menyebutkan kaffarat
untuknya.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar