Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 07 Juni 2018

Dalil Wajib Qadha Puasa Orang yang Muntah Sengaja



3. Qadha Puasa Bagi Orang yang Muntah Secara Sengaja

Ibnu al-Mundzir berkata: terdapat kesepakatan (al-ijma') tentang batalnya puasa dari seseorang yang muntah dengan disengaja. Namun, Ibnu Bathal telah menukil dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud: tidak batal secara mutlak. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari para sahabat Malik. Ibnu al-Mundzir juga menukil adanya kesepakatan (al-ijma') -maksudnya kesepakatan para ulama- bahwa orang yang terpaksa muntah dan tidak disengaja muntah tidak perlu mengqadha, kecuali salah satu dari dua riwayat dari al-Hasan al-Bashri. Ibnu al-Mundzir berkata: Ali, Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Alqamah, az-Zuhri, Malik, Ahmad, Ishaq dan ahlu ra'yi berkata: tidak diwajibkan kaffarat atasnya, yang diwajibkan atasnya hanya mengqadla saja, pendapat seperti ini diriwayatkan juga berasal dari Abu Hanifah dan as-Syafi'i. Diriwayatkan dari as-Syafi'i, dia berkata: “Barangsiapa yang berusaha muntah padahal dia sedang berpuasa maka wajib qadha atasnya, dan orang yang terpaksa muntah tidak ada kewajiban qadha atasnya, pendapat seperti ini dikabarkan oleh Malik berasal dari Nafi, dari Ibnu Umar.” Hal ini diceritakan oleh al-Baihaqi [4/219]. Kemudian dia menyebutkan hadits Ibnu Umar lengkap dengan sanadnya yang berbunyi:

“Barangsiapa yang terpaksa muntah maka tidak ada kewajiban qadha atasnya, dan barangsiapa yang muntah dengan keinginannya maka ada kewajiban qadha atasnya.”

Atha dan Abu Tsaur berkata: barangsiapa yang sengaja muntah maka wajib qadha dan kaffarat atasnya.

Yang benar adalah bahwa orang yang mual lalu terpaksa muntah maka puasanya tetap sah, sehingga tidak ada qadha atasnya. Tetapi barangsiapa yang berusaha muntah, lalu muntah dengan kehendaknya itu, maka puasanya batal, sehingga wajib qadha atasnya. Adapun perkataan yang dinukil dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud: bahwa orang yang muntah dengan kehendaknya ataupun terpaksa muntah tidak batal puasanya, maka ini perkataan yang keliru karena menyelisihi nash-nash berikut. Selain itu nash-nash berikut ini tidak menyebutkan kewajiban bagi seseorang yang muntah dengan sengaja kecuali qadha saja, sehingga perkataan yang dinukil berasal dari Atha dan Abu Tsaur yang mewajibkan kaffarat bersamaan dengan qadha merupakan pendapat yang keliru juga. Nash-nash tersebut adalah sebagai berikut:

a. Dari Ma'dan bin Thalhah:

“Abu Darda memberitahukan dirinya bahwa Rasulullah Saw. muntah, lalu beliau Saw. berbuka. Dia berkata, lalu aku bertemu Tsauban pelayan Rasulullah Saw. di masjid Damsyiq. Aku pun berkata: Sesungguhnya Abu Darda memberitahuku bahwa Rasulullah Saw. muntah, kemudian beliau Saw. berbuka. Dia berkata: Dia benar, dan akulah yang menuangkan air wudhu untuknya.” (HR. Abu Dawud [2381], Ahmad, an-Nasai, ad-Darimi, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)

Ibnu Manduh berkata: sanad hadits ini shahih dan bersambung. Tirmidzi dan Ahmad berkata: hadits ini merupakan nash paling shahih dalam masalah ini.

b. Dari Khalid bin Ma'dan, dari Abu Darda ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. muntah dengan sengaja, lalu beliau Saw. berbuka. Kemudian dibawakan air untuknya dan beliau pun berwudhu.” (HR. Abdurrazaq [7548], an-Nasai dan Ahmad)

Sanad hadits ini berstatus shahih.

c. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang terpaksa muntah padahal dia sedang berpuasa maka tidak ada kewajiban qadha atasnya, dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka dia harus mengqadhanya.” (HR. Abu Dawud [2380], ad-Darimi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, al-Baihaqi)

Al-Hakim meriwayatkan hadits ini dan menshahihkannya, dan hal ini diakui oleh ad-Dzahabi. Tirmidzi berkata: hadits ini hasan gharib. Tetapi Bukhari dan Ahmad mendhaifkannya. Tirmidzi berkata: “...yang diamalkan oleh ahli ilmu berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., bahwasanya seseorang yang berpuasa jika terpaksa muntah maka tidak ada kewajiban qadha atasnya, dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka dia harus mengqadhanya, dan pendapat seperti ini dilontarkan oleh as-Syafi'i, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.”

Hadits yang pertama:

“(Rasulullah Saw.) muntah lalu beliau Saw. berbuka.”

Dijelaskan oleh hadits kedua:

“Rasulullah Saw. muntah dengan keinginannya lalu beliau Saw. berbuka.”

Dan tidak ada yang lebih shahih dari mentafsirkan hadits dengan hadits. Sehingga makna muntah dalam hadits pertama adalah muntah dengan kehendaknya, sehingga dua hadits ini menyebutkan bahwa orang yang muntah karena keinginannya batal puasanya. Kedua hadits ini memberi pengertian bahwa orang tersebut terkena kewajiban mengqadha puasanya.
Lalu datanglah hadits ketiga, yang lebih menegaskan hukum ini:

“Dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka dia harus mengqadhanya.”

Sebelumnya ada hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan al-Baihaqi:

“Dan barangsiapa yang muntah dengan keinginannya maka ada kewajiban qadha atasnya.”

Keputusan Bukhari dan Ahmad yang mendhaifkan hadits Abu Hurairah ini tidak menghalangi kita menggunakannya sebagai dalil. Alasannya karena pertama, selain kedua orang ini, banyak yang menshahihkan dan menghasankan hadits tersebut.
Kedua, makna dan lafadznya tidak bertentangan dengan makna dan lafadz hadits yang lebih shahih.
Ketiga, hadits ini diperkuat oleh hadits lain, yakni hadits Ibnu Umar. Berdasarkan hal ini, maka menjadikan hadits ini sebagai hujjah adalah dibenarkan. Dengan demikian, orang yang muntah dengan sengaja wajib qadha atasnya, dan hanya qadha saja, tidak disertai dengan kewajiban kaffarat, karena nash-nash yang ada telah menetapkan bahwa orang yang muntah dengan sengaja terkena kewajiban mengqadha saja. Nash-nash tersebut tidak menyebutkan kaffarat untuknya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam