4. Qadha Puasa Bagi Orang yang
Berbuka Sebelum Terbenamnya Matahari Karena Menyangka Bahwa Matahari Telah
Terbenam
Mujahid bin Jabr,
al-Hasan al-Bashri, Ishaq bin Rahuwaih, Ahmad bin Hanbal dalam salah satu
riwayat, dan Ibnu Khuzaimah, berpendapat bahwa tidak ada kewajiban qadla bagi
orang yang berbuka sebelum terbenamnya matahari ketika dia menyangka bahwa
matahari telah terbenam. Mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan
Zaid bin Wahab, ia berkata:
“Satu wadah besar
dikeluarkan dari bilik Hafshah. (Ketika itu) langit berawan, dan mereka
menyangka bahwa matahari telah terbenam, lalu mereka pun berbuka. Tidak lama
setelah itu lenyaplah awan, ternyata matahari masih bersinar. Maka Umar
berkata: “Kita tidak terjerumus dalam dosa.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/440-441],
Abdurrazaq dan al-Baihaqi)
Dalam riwayat
Abdurrazaq [7395] terdapat lafadz:
“Mereka bertanya:
“Kita harus mengqadha (puasa) hari ini.” Maka Umar berkata: “Mengapa? Demi
Allah, kita tidak terjerumus dalam dosa.”
Jumhur ulama telah berpendapat
mewajibkan qadha, dan ini diperkuat oleh Ibnu Hajar dengan
pernyataannya: seandainya hilal Ramadhan terhalang awan, lalu esok harinya
mereka tidak berpuasa, kemudian nampak bahwa hari itu sudah masuk Ramadhan,
maka sudah disepakati bahwa wajib atas mereka untuk mengqadhanya, begitu pula
hal ini.
Untuk memperkuat
pendapatnya itu mereka berargumentasi dengan nash-nash berikut:
a. Dari
Fatimah, dari Asma binti Abu Bakar ra., ia berkata:
“Kami berbuka pada
masa Nabi Saw. pada hari yang tertutup awan, kemudian muncullah matahari. Hal
itu ditanyakan kepada Hisyam, apakah mereka diperintahkan untuk mengqadha. Dia
berkata: Qadha itu diharuskan? Ma'mar berkata: Aku mendengar Hisyam berkata: Aku
tidak tahu apakah mereka mengqadhanya ataukah tidak.” (HR. Bukhari [1959], Abu
Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)
Ibnu Majah [1674]
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Maka hal itu
diharuskan.”
b. Dari
Bisyr bin Qais, dari Umar bin Khattab ra., ia berkata:
“Aku berada di sisinya
pada suatu sore di bulan Ramadhan pada hari yang berawan, lalu dia menyangka
bahwa matahari telah terbenam. Kemudian Umar minum dan memberiku minum. Setelah
itu mereka melihat matahari masih berada di kaki bukit, maka Umar berkata:
“Kita tidak peduli. Demi Allah, kita akan menggantinya satu hari.” (HR.
al-Baihaqi [4/217])
Imam as-Syafi'i
meriwayatkan hadits ini dalam kitab al-Umm
[2/96] dari jalur Khalid bin Aslam dengan lafadz:
“Maka Umar berkata:
Urusan ini mudah.”
Imam Malik [1/256]
meriwayatkan hadits ini juga dan menambahkan:
“Sungguh kita telah
berijtihad.”
Abdurrazaq [7392]
meriwayatkan hadits ini dan menambahkan:
“Kita mengqadhanya
satu hari (nanti).”
Dalam riwayat
Abdurrazaq [7394] yang kedua dari jalur Bisyr bin Qais disebutkan dengan
lafadz:
“Umar berkata:
“Sempurnakanlah hari kalian ini, kemudian qadhalah satu hari.”
Yang benar adalah pendapat
jumhur, karena atsar dalam poin (a) yang menyebutkan:
“Qadha itu
diharuskan?”
“Maka hal itu
diharuskan.”
Justru menjadi nash
yang dilalahnya jelas bahwa mereka
diperintahkan untuk mengqadha.
Sedangkan ucapan
Ma'mar:
“Aku mendengar Hisyam
berkata: Aku tidak tahu apakah mereka mengqadhanya ataukah tidak.”
Ini tidak membatalkan
dan mengabaikan pernyataan pertama, karena yang pertama itu
pembuktian/penetapan (al-itsbat), sedangkan yang kedua pernyataan keragu-raguan
(as-syak). Itsbat lebih didahulukan daripada syak.
Selain itu, Hisyam
sendiri meriwayatkan bahwa mereka diperintahkan untuk mengqadha, inilah hukum
yang sebenarnya, dan inilah hukum yang sedang kita cari, walaupun setelah itu
muncul pernyataan bahwa dia tidak mengetahui apakah mereka mengqadhanya ataukah
tidak. Pernyataan seperti itu tidak membatalkan hukum ini, karena perbuatan
manusia antara melaksanakan atau meninggalkan suatu hukum tidak dikedepankan
atau diakhirkan dalam ketetapannya, karena ketetapan hukum itu sesuatu,
sedangkan sikap manusia menetapi hukum tersebut adalah sesuatu yang lain.
Bagi siapa yang masih
ragu, kami akan menyodorkan atsar pada poin (b) yang menjelaskan dan
menerangkan sesuatu yang masih belum jelas dalam poin (a), di mana Umar
berkata:
“Kita tidak peduli.
Demi Allah, kita akan menggantinya satu hari.”
Dan berkata:
“Umar berkata:
“Sempurnakanlah hari kalian ini, kemudian qadhalah satu hari.”
Ini adalah teks
tersurat (al-manthuq) yang memiliki dilalah yang qath’i
.
Dengan demikian, yang
terbukti dari ucapan Umar adalah qadha, dan itu diucapkannya di hadapan
sahabat, dan tidak diketahui ada seorangpun yang menyalahinya.
Adapun atsar Zaid bin
Wahb yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, Abdurrazaq, dan al-Baihaqi, di mana
pemahaman yang bisa diambil adalah tidak wajib mengqadha, maka al-Baihaqi yang
meriwayatkan hadits itu sendiri telah menyatakan setelahnya: Ya’qub bin Sufyan
al-Farisi memahami atsar Zaid bin Wahab dengan riwayat ini, yang menyalahi
riwayat-riwayat sebelumnya dan dipandang sebagai sesuatu yang menyalahinya.
Zaid itu seorang yang tsiqah tetapi kesalahan tersebut dalam hal ini tidak
dijamin.
Sehingga riwayat ini
tidak layak digunakan sebagai dalil karena bertentangan dengan atsar yang tetap
dan menetapkan kewajiban qadha.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar