Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 07 Juni 2018

Dalil Wajib Qadha Puasa Orang yang Berbuka Sebelum Terbenam Matahari



4. Qadha Puasa Bagi Orang yang Berbuka Sebelum Terbenamnya Matahari Karena Menyangka Bahwa Matahari Telah Terbenam

Mujahid bin Jabr, al-Hasan al-Bashri, Ishaq bin Rahuwaih, Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, dan Ibnu Khuzaimah, berpendapat bahwa tidak ada kewajiban qadla bagi orang yang berbuka sebelum terbenamnya matahari ketika dia menyangka bahwa matahari telah terbenam. Mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Zaid bin Wahab, ia berkata:

“Satu wadah besar dikeluarkan dari bilik Hafshah. (Ketika itu) langit berawan, dan mereka menyangka bahwa matahari telah terbenam, lalu mereka pun berbuka. Tidak lama setelah itu lenyaplah awan, ternyata matahari masih bersinar. Maka Umar berkata: “Kita tidak terjerumus dalam dosa.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/440-441], Abdurrazaq dan al-Baihaqi)

Dalam riwayat Abdurrazaq [7395] terdapat lafadz:

“Mereka bertanya: “Kita harus mengqadha (puasa) hari ini.” Maka Umar berkata: “Mengapa? Demi Allah, kita tidak terjerumus dalam dosa.”

Jumhur ulama telah berpendapat mewajibkan qadha, dan ini diperkuat oleh Ibnu Hajar dengan pernyataannya: seandainya hilal Ramadhan terhalang awan, lalu esok harinya mereka tidak berpuasa, kemudian nampak bahwa hari itu sudah masuk Ramadhan, maka sudah disepakati bahwa wajib atas mereka untuk mengqadhanya, begitu pula hal ini.

Untuk memperkuat pendapatnya itu mereka berargumentasi dengan nash-nash berikut:

a. Dari Fatimah, dari Asma binti Abu Bakar ra., ia berkata:

“Kami berbuka pada masa Nabi Saw. pada hari yang tertutup awan, kemudian muncullah matahari. Hal itu ditanyakan kepada Hisyam, apakah mereka diperintahkan untuk mengqadha. Dia berkata: Qadha itu diharuskan? Ma'mar berkata: Aku mendengar Hisyam berkata: Aku tidak tahu apakah mereka mengqadhanya ataukah tidak.” (HR. Bukhari [1959], Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)

Ibnu Majah [1674] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Maka hal itu diharuskan.”

b. Dari Bisyr bin Qais, dari Umar bin Khattab ra., ia berkata:

“Aku berada di sisinya pada suatu sore di bulan Ramadhan pada hari yang berawan, lalu dia menyangka bahwa matahari telah terbenam. Kemudian Umar minum dan memberiku minum. Setelah itu mereka melihat matahari masih berada di kaki bukit, maka Umar berkata: “Kita tidak peduli. Demi Allah, kita akan menggantinya satu hari.” (HR. al-Baihaqi [4/217])

Imam as-Syafi'i meriwayatkan hadits ini dalam kitab al-Umm [2/96] dari jalur Khalid bin Aslam dengan lafadz:

“Maka Umar berkata: Urusan ini mudah.”

Imam Malik [1/256] meriwayatkan hadits ini juga dan menambahkan:

“Sungguh kita telah berijtihad.”

Abdurrazaq [7392] meriwayatkan hadits ini dan menambahkan:

“Kita mengqadhanya satu hari (nanti).”

Dalam riwayat Abdurrazaq [7394] yang kedua dari jalur Bisyr bin Qais disebutkan dengan lafadz:

“Umar berkata: “Sempurnakanlah hari kalian ini, kemudian qadhalah satu hari.”

Yang benar adalah pendapat jumhur, karena atsar dalam poin (a) yang menyebutkan:

“Qadha itu diharuskan?”

“Maka hal itu diharuskan.”

Justru menjadi nash yang dilalahnya jelas bahwa mereka diperintahkan untuk mengqadha.
Sedangkan ucapan Ma'mar:

“Aku mendengar Hisyam berkata: Aku tidak tahu apakah mereka mengqadhanya ataukah tidak.”

Ini tidak membatalkan dan mengabaikan pernyataan pertama, karena yang pertama itu pembuktian/penetapan (al-itsbat), sedangkan yang kedua pernyataan keragu-raguan (as-syak). Itsbat lebih didahulukan daripada syak.
Selain itu, Hisyam sendiri meriwayatkan bahwa mereka diperintahkan untuk mengqadha, inilah hukum yang sebenarnya, dan inilah hukum yang sedang kita cari, walaupun setelah itu muncul pernyataan bahwa dia tidak mengetahui apakah mereka mengqadhanya ataukah tidak. Pernyataan seperti itu tidak membatalkan hukum ini, karena perbuatan manusia antara melaksanakan atau meninggalkan suatu hukum tidak dikedepankan atau diakhirkan dalam ketetapannya, karena ketetapan hukum itu sesuatu, sedangkan sikap manusia menetapi hukum tersebut adalah sesuatu yang lain.

Bagi siapa yang masih ragu, kami akan menyodorkan atsar pada poin (b) yang menjelaskan dan menerangkan sesuatu yang masih belum jelas dalam poin (a), di mana Umar berkata:

“Kita tidak peduli. Demi Allah, kita akan menggantinya satu hari.”

Dan berkata:

“Umar berkata: “Sempurnakanlah hari kalian ini, kemudian qadhalah satu hari.”

Ini adalah teks tersurat (al-manthuq) yang memiliki dilalah yang qath’i .
Dengan demikian, yang terbukti dari ucapan Umar adalah qadha, dan itu diucapkannya di hadapan sahabat, dan tidak diketahui ada seorangpun yang menyalahinya.

Adapun atsar Zaid bin Wahb yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, Abdurrazaq, dan al-Baihaqi, di mana pemahaman yang bisa diambil adalah tidak wajib mengqadha, maka al-Baihaqi yang meriwayatkan hadits itu sendiri telah menyatakan setelahnya: Ya’qub bin Sufyan al-Farisi memahami atsar Zaid bin Wahab dengan riwayat ini, yang menyalahi riwayat-riwayat sebelumnya dan dipandang sebagai sesuatu yang menyalahinya. Zaid itu seorang yang tsiqah tetapi kesalahan tersebut dalam hal ini tidak dijamin.

Sehingga riwayat ini tidak layak digunakan sebagai dalil karena bertentangan dengan atsar yang tetap dan menetapkan kewajiban qadha.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam