Kapan Lailatul Qadar Itu?
Ibnu Hajar menyatakan
dalam kitab Fathul Baari sebagai
berikut: “Para ulama banyak yang berbeda pendapat tentang lailatul qadar, di mana kita dapati pendapat
mereka seputar masalah itu mencapai lebih dari empat puluh pendapat. Juga bisa
kita dapati hal seperti itu ketika mereka membahas waktu ijabah pada hari
Jumat. Kedua perkara tersebut sama-sama bersifat samar dan tersembunyi, agar
kaum Muslim bersungguh-sungguh mencari keduanya.” Kemudian beliau menyebutkan
empat puluh enam pendapat ulama terkait lailatul qadar.
Dalam kesempatan ini
saya hanya akan menyebutkan pendapat yang paling menonjol dan paling populer
saja, dan saya persilahkan kepada pembaca yang ingin mengetahui secara lebih
lengkap untuk mencarinya dalam kitab Fathul
Baari.
Pendapat keempat:
bahwa lailatul qadar itu berpeluang terjadi pada seluruh hari-hari sepanjang
tahun. Inilah pendapat yang terkenal dari kalangan Hanafiyah.
Pendapat kelima: bahwa
lailatul qadar itu khusus pada bulan Ramadhan saja, berpeluang terjadi pada
seluruh malamnya. Ini merupakan pendapat Ibnu Umar yang diriwayatkan Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad yang shahih darinya.… dan dalam kitab Syarh al-Hidayah yang bisa dipastikan sebagai
pendapat Abu Hanifah. Pendapat seperti ini pun dikemukakan oleh Ibnu
al-Mundzir, al-Mahamili dan sebagian ulama Syafi’iyah. Pendapat ini dikuatkan
oleh as-Subki dalam kitab Syarh al-Minhaj,
dan dituturkan pula oleh Ibnu al-Hajib menurut satu riwayat. As-Saruji berkata
dalam Syarh al-Hidayah: Abu Hanifah
berkata bahwa lailatul qadar itu berpindah-pindah di seluruh hari bulan
Ramadhan, dua sahabatnya menyatakan bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam
tertentu yang tidak samar lagi, demikian diungkapkan oleh an-Nasafi.
Pendapat kesepuluh:
bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ketujuh belas dari bulan Ramadhan.
Ibnu Abi Syaibah dan at-Thabrani meriwayatkan dari hadits Zaid bin Arqam, ia
berkata:
“Aku tidak ragu lagi
bahwa lailatul qadar itu adalah malam tujuh belas dari bulan Ramadhan, malam
diturunkannya al-Qur’an.” Riwayat ini pun ditakhrij
oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud.
Pendapat kesebelas:
bahwa lailatul qadar itu disamarkan pada sepuluh hari kedua (pertengahan).
Pendapat ini dituturkan oleh an-Nawawi, disandarkan oleh At-Thabrani pada
Utsman bin al-Ash dan al-Hasan al-Bashri, diungkapkan oleh ulama Syafi'iyah.
Pendapat ketiga belas:
lailatul qadar itu adalah malam sembilan belas. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq
dari Ali, disandarkan oleh at-Thabrani pada Zaid bin Tsabit dan Ibnu Mas’ud,
dan diriwayatkan pula oleh at-Thahawi dari Ibnu Mas'ud.
Pendapat keempat
belas: lailatul qadar itu adalah salah satu malam dari sepuluh hari terakhir.
As-Syafi’i cenderung berpendapat seperti ini, dikuatkan pula oleh sejumlah
ulama as-Syafi’iyah. Tetapi as-Subki berkata: namun menurut mereka, pendapat
ini tidak bisa dipastikan sebagai pendapat as-Syafi’i.
Pendapat kelima belas:
seperti pendapat sebelumnya, kecuali jika bulan Ramadhan tersebut genap tiga
puluh hari, maka lailatul qadarnya pada malam kedua puluh. Jika kurang alias
dua puluh sembilan hari, maka lailatul qadarnya pada malam dua puluh satu, dan
begitu pula pada seluruh bulan. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Pendapat ketujuh
belas: bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam dua puluh tiga. Muslim
meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Unais secara marfu': “Sesungguhnya
lailatul qadar telah diperlihatkan kepadaku, kemudian aku dilupakan
tentangnya.”
Selanjutnya disebutkan
yang serupa dengan hadits Abu Said, tetapi dia berkata di dalamnya: malam dua
puluh tiga, sebagai pengganti malam dua puluh satu... Ibnu Hajar telah
menyebutkan beberapa riwayat terkait pendapat ini yang berasal dari Muawiyah,
Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Said bin al-Musayyab, Aisyah dan Makhul.
Pendapat kedelapan
belas: lailatul qadar itu adalah malam dua puluh empat... Ibnu Hajar menunjuk
pada hadits Ibnu Abbas dalam bab ini, dan menyebutkan hadits Abu Said. Dan hal
ini pun diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, as-Sya’bi, Hasan dan Qatadah. Ibnu Hajar
menyebutkan satu riwayat Ahmad dari jalur Bilal:
Carilah lailatul qadar
itu pada malam dua puluh empat.
Pendapat keduapuluh
satu: lailatul qadar itu terjadi pada malam dua puluh tujuh. Pendapat seperti
ini merupakan pendapat yang paling populer dari madzhab Ahmad, dan satu riwayat
dari Abu Hanifah. Ubay bin Kaab memastikan hal ini dan bersumpah atasnya sebagaimana
tertera dalam hadits yang telah ditakhrij oleh Muslim. Muslim meriwayatkan
hadits serupa dari jalur Abu Hazim dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Kami ramai
membicarakan lailatul qadar maka Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa di antara
kalian yang ingat ketika bulan purnama muncul seperti setengah piring besar?”
Abul Hasan al-Farisi
berkata: yakni malam dua puluh tujuh, karena bulan pada malam itu muncul dengan
ciri seperti itu.
At-Thabrani
meriwayatkan salah satu hadits Ibnu Mas’ud: “Rasulullah Saw. ditanya tentang
lailatul qadar, maka beliau Saw. berkata: “Siapa di antara kalian yang ingat
malam as-shahbawat?” Aku berkata: “Aku.”
Dan itu adalah malam dua puluh tujuh.”
Hadits serupa
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Umar, Hudzaifah, dan sejumlah sahabat.
Serupa dengan hadits yang telah diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar:
Seorang laki-laki
bermimpi melihat lailatul qadar pada malam dua puluh tujuh.
Satu lagi hadits Ahmad
dari Ibnu Umar yang diriwayatkan secara marfu':
Lailatul qadar itu
adalah malam dua puluh tujuh.
Ada lagi hadits yang
diriwayatkan Ibnu al-Mundzir dari Ibnu Umar: “Barangsiapa yang ingin
mencarinya, maka carilah pada malam dua puluh tujuh.”
Juga senada dengan
hadits dari Jabir bin Samurrah yang ditakhrij at-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath. Senada dengan hadits dari
Muawiyah yang ditakhrij oleh Abu Dawud. Pendapat kedua puluh satu ini
disebutkan oleh pengarang kitab al-Hilyah
(salah seorang ulama as-Syafi'iyah) sebagai pendapat yang berasal dari
mayoritas ulama.
Pendapat kedua puluh
lima: lailatul qadar itu terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari
terakhir, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Aisyah dan selainnya dalam bab
ini. Inilah pendapat yang paling kuat dan dipegang oleh Abu Tsaur, al-Muzani,
Ibnu Khuzaimah, dan sejumlah ulama dari beberapa madzhab yang ada.
Pendapat kedua puluh
tujuh: lailatul qadar itu berpindah-pindah pada sepuluh hari terakhir
seluruhnya, sebagaimana dikatakan Abu Qulabah, ditetapkan pula oleh Malik,
ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq, bahkan al-Mawardi menduga pendapat inilah yang
disepakati, seakan-akan diambil dari hadits Ibnu Abbas bahwa sahabat bersepakat
lailatul qadar itu terjadi pada sepuluh hari terakhir. Kemudian mereka berbeda
pendapat dalam menentukan hari keberapa dari sepuluh hari terakhir tersebut,
sebagaimana dipaparkan sebelumnya: Ibnu Hajar menyebutkan hadits-hadits lain
yang menopang pendapat ini.
Pendapat kedua puluh
delapan: as-Syafi'i berkata: aku berharap itu adalah malam dua puluh satu.
Setelah Ibnu Hajar
menyebutkan seluruh pendapat yang berjumlah empat puluh enam buah, selanjutnya
beliau mengatakan: .”..yang paling rajih
dari semua pendapat itu adalah bahwa lailatul qadar itu terjadi pada
malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir, dan lailatul qadar itu
berpindah-pindah sebagaimana dipahami dari beberapa hadits yang terkait masalah
ini. Yang paling diharapkan adalah pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari
tersebut, dan yang paling diharapkan di antara malam ganjil dari sepuluh hari
tersebut di kalangan ulama as-Syafi'iyah adalah malam dua puluh satu,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Said, Abdullah bin Unais. Yang paling
diharapkan menurut jumhur ulama adalah malam dua puluh tujuh. Dalil-dalil atas
seluruh pendapat tersebut sudah aku kemukakan sebelumnya…”
Yang benar adalah
bahwa masalah ini termasuk perkara yang rumit, tidak lain karena ada perbedaan
dan pertentangan di antara beberapa nash terkait masalah itu, di mana setiap
kelompok mengambil satu nash atau lebih, mengambil kesimpulan sebagai
pendapatnya dalam masalah tersebut.
Dan setiap kelompok
tidak mampu mengkompromikan di antara nash-nash yang kontradiktif tersebut,
serta tidak ada penjelasan tentang letak kekeliruan dalam hal istidlalnya.
Di sini, saya ingin
menuliskan bahwa sebagian besar perbedaan pendapat yang ada di antara madzhab
dan para ulama tersebut, terutama berasal dari hadits-hadits dhaif, juga dari sikap berpegang teguh pada
satu nash atau dua nash, seraya mengabaikan nash-nash yang lain.
Seandainya para fukaha
itu meninggalkan hadits-hadits dhaif,
kemudian mempertimbangkan dan mengkaji seluruh nash-nash yang layak untuk
dijadikan sebagai dalil secara proporsional, lalu mereka tidak mengistimewakan
satu nash atau dua nash untuk dikaji dan digali, niscaya perbedaan di antara
mereka bisa dipersempit, bahkan perbedaan tersebut bisa ditekan hingga ke titik
nol.
Dengan kata lain, saya
ingin katakan sebagai berikut: pangkal sebagian besar perbedaan pendapat di
antara para imam dan fukaha itu adalah ketika mereka berpegang pada
hadits-hadits dhaif -dan hadits-hadits
ini saling berbeda dengan tingkat yang sangat besar hingga seringkali sampai
pada derajat saling bertentangan- dan bisa juga karena mereka tidak cukup
mengerahkan segenap kemampuan untuk mengkompromikan nash-nash shahih tersebut, malah mereka membatasi diri
pada satu atau dua nash yang dipandang cukup oleh seorang ahli fikih untuk
diambil kesimpulan hukumnya, seraya berpandangan bahwa sejumlah nash-nash shahih lainnya cukup disingkirkan ke samping
saja.
Seperti yang sudah
saya lakukan dalam kitab saya sebelumnya, yakni kitab al-Jami li Ahkam as-Shalat (sudah diterjemahkan dengan judul
Tuntunan Shalat Berdasarkan Quran dan Hadits -pent.),
dalam kitab ini pun saya bersandar pada patokan untuk meninggalkan
hadits-hadits dhaif. Yang saya maksud
sebagai hadits dhaif adalah hadits yang
disepakati kedhaifannya oleh para ahli
hadits (al-muhadditsun). Sedangkan hadits-hadits yang diperselisihkan oleh para
ahli hadits, terkadang saya ambil, tetapi kadangkala juga saya tinggalkan,
berdasarkan sesuai atau tidaknya dengan hadits-hadits yang layak digunakan sebagai
dalil (al-ahadits as-shalihah lil istidlal).
Saya juga tetap berpegang pada hadits-hadits shahih dan hasan, di mana saya
letakkan hadits-hadits tersebut sebagai landasan pembahasan.
Jika saya melihat ada
perbedaan atau pertentangan secara nyata di antara nash-nash tersebut, maka
saya akan mengerahkan segenap kemampuan untuk mengamalkan seluruhnya walaupun
harus melalui penakwilan. Hal ini lebih utama daripada harus mengabaikan sebagian
nash tersebut.
Sekarang saya kembali
pada pokok pembahasan kita. Saya nyatakan
khususnya terkait penetapan lailatul qadar dan perbedaan para imam dan fukaha
terkait masalah tersebut sebagai berikut:
Pertama:
banyak pendapat para ahli fikih yang dituturkan itu menurut saya tidak memiliki
sandaran nash, padahal nash-nash shahih yang menyelesaikan dan menjelaskan
perkara ini begitu banyak dan tidak samar lagi bagi mereka.
Di antara
pendapat-pendapat mereka bisa dilihat dalam pendapat keempat, yang sebelumnya
telah disebutkan: bahwa lailatul qadar itu mungkin terjadi di sepanjang tahun.
Orang yang menyampaikan pendapat seperti ini tidak memiliki satu nash syar'i
sama sekali yang bisa menopang pendapatnya. Mereka memilih pendapat Ibnu Mas’ud
ra.: “Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam sepanjang tahun, niscaya dia
akan mendapati lailatul qadar,” [atsar] yang diriwayatkan oleh Muslim dari
jalur Zirr bin Jaisy.
Mereka melupakan atau
meninggalkan sepuluh nash nabawi yang berstatus shahih dan hasan. Saya tidak
berasumsi kalau mereka tidak mengetahui bahwa perkataan-perkataan sahabat itu
bukanlah nash dan dalil syara, semata-mata sekedar menjadi hasil ijtihad mereka
saja, kecuali jika mereka bersepakat atas satu hukum, maka perkara tersebut
menjadi ijma sahabat, dan ijma sahabat itu menjadi dalil syara.
Di antaranya adalah
pendapat kesepuluh, di mana orang-orang yang melontarkan pendapat seperti itu
berargumentasi dengan perkataan (atsar) Zaid bin Arqam, yang diriwayatkan Ibnu
Abi Syaibah dan at-Thabrani, lalu mereka meninggalkan nash-nash shahih dan hasan.
Semoga Allah Swt. mengampuni mereka, terlebih lagi bahwa hadits Zaid bin Arqam
dari riwayat al-Huth al-Khuza'i telah dikomentari Bukhari: hadits ini adalah
hadits munkar. Al-Huth sendiri adalah seorang dhaif dalam pandangan para ahli
hadits.
Di antara pendapat
tersebut adalah pendapat kesebelas, di mana orang yang melontarkan pendapat
seperti ini berargumentasi dengan perkataan Utsman bin Abil Ash dan al-Hasan
al-Bashri, seakan-akan perkataan mereka berdua itu dipandang sebagai dalil.
Mereka berargumentasi dengan perkataan para sahabat dan tabi’in yang tidak
memiliki sandaran nash syara’. Sebenarnya persoalan ini mudah, tetapi semoga
Allah Swt. mengampuni mereka.
Alih-alih meniti jalur
yang benar, mudah dan datar -yakni nash-nash syara- mereka malah mengikuti
jalan yang sulit, terjal dan bercabang. Seandainya saya menyebutkan empat puluh
enam pendapat di atas seluruhnya, niscaya Anda akan melihat banyak keanehan dalam
pendapat dan istidlal mereka.
Kedua:
perkara lain yang menyebabkan banyaknya pertentangan di kalangan fukaha adalah
sikap mereka yang kadangkala mengabaikan dalil yang bersifat khusus (al-khash) terhadap dalil yang bersifat umum
(al-'am), dalil yang muqayyad di hadapan
dalil yang mutlak (al-muthlaq), sehingga Anda terkadang akan mendapati mereka
mengambil dan berpegang pada nash yang bersifat umum, padahal ada nash lain
yang mengkhususkannya.
Misalnya pendapat
kelima di atas: bahwa lailatul qadar itu dikhususkan pada bulan Ramadhan, yang
mungkin terjadi pada seluruh malamnya. Kelompok yang melontarkan pendapat
seperti ini telah bersandar pada ucapan Abdullah bin Umar yang diriwayatkan
Ibnu Abi Syaibah, dan ini merupakan perkataan yang bersifat umum -dengan asumsi
seandainya perkataan Ibnu Umar itu dipandang sebagai nash syara, padahal tidak
seperti itu- lalu mereka meninggalkan nash-nash yang begitu banyak yang telah
membatasi lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Misalnya lagi,
perkataan kedua puluh tujuh, bahwa lailatul qadar itu berpindah-pindah pada
sepuluh hari terakhir seluruhnya. Perhatikanlah kata seluruhnya, di mana pihak
yang melontarkan pendapat seperti ini bersandar pada hadits Ibnu Abbas, bahwa
para sahabat bersepakat lailatul qadar itu terjadi pada sepuluh hari terakhir.
Ini pun perkataan yang bersifat umum, sedangkan nash-nash yang ada justru telah
membatasi bahwa lailatul qadar itu terjadi pada hari-hari ganjil (al-awtar)
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sehingga, menyebutkan kata
seluruhnya, tidak memiliki makna sama sekali.
Ketiga:
perkara lain yang menyebabkan banyak perbedaan di antara ahli fikih ini adalah
terkadang ada kecenderungan pada mereka untuk menakwilkan lafadz-lafadz nash,
dan memahaminya dengan sesuatu yang tidak dikandungnya, padahal pada saat yang
sama mereka memiliki nash-nash yang tegas dan jelas, yang tidak mungkin
ditakwilkan lagi atau ditafsirkan terlalu jauh. Misalnya, perkataan kedua puluh
satu: lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh. Pihak yang melontarkan
pendapat tersebut berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Muslim [2779]
dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Kami ramai
membicarakan tentang lailatul qadar, maka Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa di
antara kalian yang ingat ketika bulan purnama muncul seperti setengah piring
besar?”
Kata syaqqu jafnah: yakni setengah ukuran piring
yang besar. Mereka kemudian cenderung berpihak pada Abul Hasan al-Farisi ketika
menjelaskan nash ini, di mana Abu Hasan al-Farisi berkata: ini adalah malam dua
puluh tujuh, karena pada malam tersebut bulan terbit dengan sifat tersebut.
Seolah-olah sifat ini tidak ada yang tahu kecuali Abu Hasan seorang. Saya tidak
tahu apa yang mereka katakan tentang hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad
[23517] dari Abu Ishaq, bahwa dia mendengar Abu Hudzaifah mengabarkan dari
salah seorang sahabat Rasulullah Saw., dari Nabi Saw., berkata:
“Aku melihat bulan
pada pagi hari lailatul qadar, aku melihatnya seperti setengah piring besar.”
Abu Ishaq berkata: Sesungguhnya bentuk bulan seperti itu pada malam dua puluh
tiga.”
Interpretasi mana yang
harus kita pegang? Apakah interpretasi Abul Hasan al-Farisi ataukah
interpretasi Abu Ishaq?
Keempat:
saya meminta maaf kepada para pembaca seandainya saya terlalu panjang lebar
dalam masalah ini. Perkara ini, yakni perbedaan pendapat yang demikian lebar di
antara ahli fikih, sebenarnya membutuhkan satu tempat tersendiri yang lebih
luas, bahkan satu kitab tersendiri. Bagi orang yang ingin mengurangi dan
menekan perbedaan di antara madzhab dan fukaha, maka saya perlu sampaikan:
Sedemikian luas dan
lebarnya perbedaan di antara madzhab dan ahli fikih, selain disebabkan oleh
beberapa perkara yang saya sebutkan di atas, disebabkan pula oleh tindakan
mereka yang menghimpun pendapat-pendapat yang nampak bagi mereka saling
bertentangan di satu tempat dan satu perlakuan, dengan diambil lalu digunakan
sebagai dalil tanpa berusaha melakukan tarjih sama sekali.
Misalnya adalah
pendapat dua puluh tujuh: berpindah-pindahnya lailatul qadar di sepuluh hari
terakhir seluruhnya. Artinya, lailatul qadar itu datang di satu tahun pada
malam dua puluh tiga, kemudian di tahun depan pada malam dua puluh lima, dan
pada tahun berikutnya pada malam dua puluh tujuh, begitu seterusnya.
Mereka menggali
pendapat ini dari beberapa nash: setiap nash menceritakan datangnya lailatul
qadar pada sepuluh malam terakhir, lalu mereka menghimpunnya di satu tempat
tanpa melakukan pentarjihan. Dan mereka mengatakan lailatul qadar itu
berpindah-pindah, walaupun nash-nash yang ada tidak menyebutkan kondisi
berpindah-pindah itu sama sekali.
Sebenarnya, nash-nash
tersebut hanya menyebutkan malam-malam yang berbeda, atas dasar setiap malam
darinya adalah lailatul qadar itu sendiri.
Kelima:
mereka melakukan tarjih antara satu nash atas nash yang lain, bahkan pada
nash-nash yang memiliki tingkat keshahihan
yang sama, dengan tanpa menyebutkan sebab-sebab pentarjihan ini, yang menyebabkan tetap terbukanya ruang perbedaan
dan pertentangan yang cukup luas di hadapan mereka.
Sebab, selama tarjih
yang dilakukan tidak disertai dengan penjelasan sebab-sebab pentarjihan maka setiap ahli fikih bisa berpegang
pada satu nash di antara nash-nash tersebut, lalu mereka akan mentarjihnya dan hanya menjadikan satu nash
tersebut sebagai dalilnya. Hal ini membuka pintu yang amat luas untuk mengambil
seluruh nash yang begitu banyak dan saling bertentangan, sehingga semakin
banyak pula pendapat ulama dan semakin beragam dan berbeda pula bilangannya.
Misalnya, pendapat
ketiga belas: lailatul qadar itu adalah malam sembilan belas. Yang ditarjih
oleh pihak yang melontarkannya tanpa menjelaskan sebabnya.
Contoh lain adalah
pendapat keempat belas dan pendapat kedua puluh delapan, di mana tarjih-taijih
dalam masalah itu dilakukan tanpa menjelaskan sebab-sebab pentarjihan, sehingga tidak mampu mencegah pihak
lain untuk menolaknya dan melakukan tarjih yang lain lagi.
Untuk
menjelaskan hal sebenarnya dalam masalah ini, maka kita harus meneliti
nash-nash terkait yang begitu banyak dan saling bertentangan:
Himpunan Hadits dari Abu Said
al-Khudri ra.:
1. Dari
Abu Said ra., ia berkata:
“Kami beri’tikaf
bersama Nabi Saw. pada sepuluh hari pertengahan dari bulan Ramadhan, kemudian
beliau Saw. keluar pada pagi hari kedua puluh, dan beliau Saw. berkhutbah.
Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku lailatul
qadar, kemudian aku dilupakan tentangnya, maka carilah oleh kalian pada
malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir. Dan sesungguhnya aku melihat diriku
sedang bersujud di atas air dan tanah, maka barangsiapa yang beri’tikaf
bersamaku maka kembalilah.” Lalu kami pun kembali, dan kami tidak melihat
sedikitpun awan bergerak di langit. Tiba-tiba datanglah awan dan turunlah hujan
hingga mengalir dari atap masjid yang terbuat dari daun kurma, kemudian iqamat
shalat dikumandangkan, dan aku melihat Rasulullah Saw. bersujud di atas air dan
tanah, hingga aku bisa melihat bekas tanah di dahinya.” (HR. Bukhari [2016,
2018, 2036] dan Muslim [2769, 2772])
2. Dari
Abu Said al-Khudri ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan. Pada suatu tahun
beliau Saw. beri’tikaf, hingga tiba malam dua puluh satu -yakni malam yang pada
pagi harinya beliau Saw. keluar dari i’tikaf- dan berkata: “Barangsiapa beri’tikaf
bersamaku maka beri’tikaflah sepuluh hari terakhir; sungguh malam ini telah
diperlihatkan kepadaku kemudian aku dilupakannya, dan sungguh aku bermimpi
melihat diriku bersujud di atas air dan tanah di pagi harinya, maka carilah
pada sepuluh hari terakhir; dan carilah pada malam-malam ganjil. Lalu langit
pun mencurahkan hujan pada malam itu, dan masjid berdiri di atas tiang-tiang
penopang sehingga masjid pun bocor. Aku melihat Rasulullah Saw. dengan mataku,
di dahinya ada bekas air dan tanah dari shalat subuh malam dua puluh satu.”
(HR. Bukhari (2027), Muslim, Malik, Abu Dawud, dan al-Baihaqi)
3. Dari
Abu Said ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan dari bulan Ramadhan untuk mencari
lailatul qadar sebelum ditampakkan kepadanya. Ketika selesai, beliau Saw.
memerintahkan kemahnya dibongkar. Lalu dibongkar. Kemudian malam tersebut
ditampakkan kepadanya bahwa itu akan terjadi pada sepuluh hari terakhir. Beliau
Saw. memerintahkan, dan kemah pun dibangun kembali. Lalu beliau Saw. keluar
menemui orang-orang, dan beliau Saw. bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya
telah ditampakkan lailatul qadar itu kepadaku, dan sesungguhnya aku keluar
untuk memberitahukannya kepada kalian. Setelah itu datang dua laki-laki yang
saling bertengkar, bersama keduanya ada setan, sehingga aku dilupakannya. Maka
carilah lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan,
carilah pada kesembilan, ketujuh, kelima , (hari yang tersisa)…” (HR. Muslim)
Abu Said telah
menafsirkan kesembilan itu sebagai malam 21, ketujuh sebagai malam 23, ke lima
sebagai malam 25.
4. Dari
Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. beri’tikaf pada sepuluh hari pertama dari bulan Ramadhan,
kemudian beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan lalu beliau Saw. bersabda:
“Sesungguhnya aku telah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mencari
malam ini, kemudian aku beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan, lalu aku
didatangi dan diberitahu: Sesungguhnya lailatul qadar itu pada sepuluh hari
terakhir. Barangsiapa yang suka di antara kalian untuk beri’tikaf maka
beri’tikaflah.” Lalu orang-orang beri’tikaf bersama beliau Saw. Dia berkata:
“Dan aku diperlihatkan lailatul qadar itu pada malam ganjil...” (HR. Muslim
[2771])
Himpunan Hadits dari Abdullah
bin Umar ra.
1. Dari
Ibnu Umar ra.:
“Bahwa beberapa
sahabat Nabi Saw. telah bermimpi melihat lailatul qadar dalam tidurnya pada
tujuh hari terakhir, maka Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku mengetahui mimpi
kalian itu bersesuaian, yakni pada tujuh hari terakhir, maka barangsiapa yang
ingin mencarinya maka carilah pada tujuh hari terakhir.” (HR. Bukhari [2015],
Muslim, Ahmad, ad-Darimi dan Ibnu Hibban)
2. Dari
Ibnu Umar ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Carilah lailatul
qadar itu pada tujuh hari terakhir.” (HR. Muslim [2762], Malik, Ahmad, Ibnu
Hibban, al-Baihaqi dan ad-Darimi)
3. Dari
Ibnu Umar ra., ia berkata:
“Seseorang bermimpi
bahwa lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh, maka Rasulullah Saw.
berkata: “Aku melihat mimpi kalian itu pada sepuluh hari terakhir, maka carilah
lailatul qadar itu pada malam-malam ganjil sepuluh darinya.” (HR. Muslim [2763])
4. Dari
Ibnu Umar ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda:
“Carilah lailatul
qadar itu pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian lemah,
maka janganlah dikalahkan pada tujuh hari yang tersisa.” (HR. Muslim [2765],
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)
Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal [1111] telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Ali ra. dengan redaksi:
“Carilah lailatul
qadar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Jika pada hari-hari
sebelumnya dikalahkan, maka janganlah kalian dikalahkan pada tujuh hari yang
tersisa.”
5. Dari
Abdullah bin Umar ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
ingin mencarinya maka carilah ia pada malam dua puluh tujuh,” dan beliau Saw.
bersabda: “Carilah ia pada malam dua puluh tujuh, yakni lailatul qadar.” (HR.
Ahmad [4808])
Himpunan Hadits dari Abdullah
bin Abbas ra.:
1. Dari
Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Carilah lailatul
qadar pada sepuluh hari terakhir, pada sembilan hari tersisa, pada tujuh hari
yang tersisa, pada lima hari yang tersisa.” (HR. Bukhari [2021], Abu Dawud,
Ahmad, dan al-Baihaqi)
Al-Bazzar [1029]
meriwayatkan hadits ini dari jalur Anas. Abu Dawud at-Thayalisi [881], Ahmad,
dan Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz berbeda-beda dari jalur Abu
Bakrah:
“Pada sembilan hari
tersisa, atau tujuh hari tersisa, atau lima hari tersisa, atau tiga hari
tersisa, atau malam terakhir.”
Abu Dawud at-Thayalisi
pun [2166] meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Said al-Khudri ra. dengan
redaksi:
“Carilah lailatul
qadar pada tujuh hari yang tersisa, lima hari yang tersisa, atau tiga hari yang
tersisa.”
2. Dari Ibnu Abbas
ra., ia berkata:
“Aku telah didatangi
ketika aku sedang tidur pada bulan Ramadhan, lalu aku diberitahu bahwa malam
itu adalah lailatul qadar. Ia berkata: kemudian aku berdiri dan dalam keadaan
mengantuk, lalu aku berpegangan dengan sebagian tali kemah Rasulullah Saw. Dia
berkata: ternyata beliau Saw. sedang shalat. Lalu aku mengingat-ngingat malam
itu, ternyata itu adalah malam dua puluh tiga.” (HR. Ahmad [2547], Ath-Thabrani
dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir, dan Ibnu
Abi Syaibah)
Dhaif.
3. Dari Ibnu Abbas
ra., ia berkata:
“Bahwa seorang
laki-laki telah mendatangi Rasulullah, lalu dia berkata: “Wahai Nabi Allah,
sesungguhnya aku seorang tua renta yang suka sakit-sakitan, dan sulit bagiku
melakukan shalat malam, maka perintahkanlah aku pada suatu malam, semoga Allah
Swt. memberikan taufiknya kepadaku di malam itu agar bisa memperoleh lailatul
qadar.” Dia berkata:
“Engkau harus menetapi
yang ketujuh.” (HR. Ahmad [2149] dan al-Baihaqi)
Dhaif.
Kumpulan Hadits dari
Zirr bin Hubaisy, dari Ubay bin Kaab ra.:
1. Zirr bin Hubaisy,
dia berkata:
“Aku bertanya kepada
Ubay bin Kaab, aku berkata: Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas'ud berkata:
Barangsiapa yang melakukan qiyam sepanjang tahun maka dia akan memperoleh
lailatul qadar. Maka Ubay berkata: Semoga Allah Swt. merahmatinya, agar dia
tidak bermaksud memberatkan manusia. Adapun dia (Ibnu Mas'ud) sesungguhnya
telah mengetahui bahwa lailatul qadar itu terdapat pada bulan Ramadhan.
Lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir dan lailatul qadar itu adalah
malam dua puluh tujuh. Kemudian dia (Ubay bin Kaab) bersumpah tanpa
mengecualikan bahwa lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh. Aku pun
bertanya: Dengan dasar apa engkau mengatakan hal itu wahai Abu al-Mundzir? Dia
berkata: Berdasarkan ciri-ciri, atau tanda-tanda yang telah diberitahukan
Rasulullah Saw. kepada kami: bahwasanya matahari terbit pada hari itu tidak
bercahaya.” (HR. Muslim [2777] dan Ahmad)
Dan lafadz riwayat
Muslim yang kedua [2778]:
“Ubay berkata tentang
lailatul qadar: Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling
mengetahui tentangnya. –Syu’bah berkata- dan yang paling aku ketahui tentang
malam yang diperintahkan Rasulullah Saw. untuk ber-qiyam adalah malam dua puluh
tujuh.”
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi dengan
redaksi kalimat yang sedikit berbeda.
2. Dari Zirr ia
berkata: aku mendengar Ubay bin Kaab ra. berkata:
“Malam dua puluh tujuh
adalah malam yang dikabarkan Rasulullah Saw. kepada kami, bahwa matahari terbit
bercahaya putih.” (HR. Ahmad [21510] dan Ibnu Abi Syaibah)
3. Dari Zirr dari Ubay
bin Kaab ra., ia berkata:
“Para sahabat
Rasulullah Saw. ramai membicarakan lailatul qadar, maka Ubay berkata: Demi
Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya, aku mengetahui pada malam apa lailatul
qadar itu, yakni malam yang telah dikabarkan Rasulullah Saw. kepada kami, malam
ketika dua puluh tujuh hari telah berlalu dari Ramadhan, dan tanda-tanda
lailatul qadar itu adalah bahwa matahari terbit pagi dari malam itu bercahaya
putih tanpa sinar. Salamah bin Kuhail menduga Zirr memberitahunya bahwa dia
telah mengintainya selama tiga tahun dari hari pertama masuk Ramadhan hingga
hari terakhir Ramadhan, lalu dia melihat matahari terbit di pagi hari kedua
puluh tujuh bercahaya putih tanpa sinar.” (HR. Ahmad [21509], Abu Dawud dan
al-Baihaiqi)
4. Dari Zirr, ia
berkata:
“Seandainya tidak ada
orang-orang bodoh di antara kalian, niscaya aku meletakkan tanganku di kedua
telingaku, lalu aku serukan: Sesungguhnya lailatul qadar itu terjadi pada malam
dua puluh tujuh, (ini) adalah berita orang yang tidak pernah berdusta padaku,
yang bersumber dari berita orang yang tidak pernah berdusta padanya, yakni Ubay
bin Kaab, dari Nabi Saw.” (HR. Ibnu Khuzaimah [2187])
Abdulah bin Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Hibban, dan Abu Dawud at-Thayalisi telah meriwayatkan hadits ini
secara maknawi.
Kumpulan Hadits dari Abu Dzar
ra.:
1. Dari
Abu Dzar ra., ia berkata:
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, beritahu aku tentang lailatul qadar, apakah (datang) pada bulan
Ramadhan ataukah selainnya? Beliau Saw. menjawab: “Lailatul qadar itu pada
bulan Ramadhan.” Dia berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah, lailatul qadar
itu ada bersama para Nabi selama mereka ada, jika para Nabi diwafatkan apakah
lailatul qadar juga diangkat ataukah tetap ada hingga hari kiamat? Beliau Saw.
berkata: “Ia ada hingga hari kiamat.” Dia berkata: aku bertanya: Wahai
Rasulullah, lailatul qadar itu datang pada bagian Ramadhan yang mana? Beliau
Saw. berkata: “Carilah pada sepuluh hari pertama dan sepuluh hari terakhir.”
Kemudian Rasulullah Saw. berbicara dan berbicara hingga aku bisa mempergunakan
kesempatan ketika beliau Saw. lupa, lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, pada
sepuluh hari yang mana (lailatul qadar itu turun)? Beliau Saw. berkata:
“Carilah pada sepuluh hari terkahir, dan janganlah engkau bertanya kepadaku
tentang apapun setelahnya.” Setelah itu Rasulullah Saw. berbicara dan
berbicara, hingga aku bisa mempergunakan kesempatan ketika beliau Saw. lupa,
lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, aku bersumpah engkau mau memberitahukan
aku atau engkau tidak memberitahukan aku pada bagian manakah dari sepuluh hari
itu (datangnya) lailatul qadar tersebut? Dia berkata: maka Rasulullah Saw.
sangat marah kepadaku, di mana tidak pernah beliau Saw. marah seperti itu
kepadaku sebelumnya, dan tidak juga setelahnya, kemudian beliau Saw. berkata:
“Sesungguhnya Allah Swt. seandainya menghendaki niscaya Dia akan menampakkan
lailatul qadar itu kepada kalian, carilah lailatul qadar itu pada tujuh hari
terakhir.” (HR. al-Hakim [I/437], dibenarkan dan diakui oleh ad-Dzahabi)
Ahmad, an-Nasai dan
al-Bazzar meriwayatkan hadits ini juga.
2. Dari
Abu Dzar ra., ia berkata:
“Kami berpuasa
Ramadhan bersama Rasulullah Saw., dan beliau Saw. tidak melaksanakan shalat
malam mengimami kami dari bulan itu hingga tersisa tujuh hari. Setelah itu
beliau Saw. shalat malam mengimami kami hingga lewat sekitar sepertiga malam,
kemudian beliau Saw. kembali tidak mengimami kami pada malam keempat. Lalu
beliau Saw. mengimami kami pada malam berikutnya, hingga lewat sekitar setengah
malam. Dia berkata: lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau mau
mengimami kami shalat nafilah pada sisa malam ini?” Maka beliau Saw. berkata:
“Sesungguhnya seorang laki-laki itu jika telah berdiri shalat bersama imam
hingga selesai, maka cukuplah baginya sisa malamnya itu.” Kemudian beliau Saw.
tidak (melaksanakan) shalat malam mengimami kami pada malam keenam (malam kedua
puluh enam), dan berdiri mengimami kami pada malam ketujuh (malam kedua puluh
tujuh). Dia berkata: dan beliau Saw. mengutus seseorang pada keluarganya dan
berkumpullah orang-orang. Lalu beliau Saw. melaksanakan qiyam Ramadhan
mengimami kami hingga kami khawatir al-fallah telah luput.” Dia berkata: aku
bertanya: Apakah al-fallah itu? Dia berkata: Sahur.” (HR. Ahmad [21778])
3. Dari Abu Dzar ra.,
ia berkata:
“Kami melaksanakan
shalat malam bersama Rasulullah Saw. malam dua puluh tiga pada bulan Ramadhan
hingga sepertiga malam yang pertama. Kemudian beliau Saw. berkata: “Aku tidak
bisa mengira apa yang kalian cari melainkan masih ada di belakang kalian.” Setelah
itu kami kembali melaksanakan shalat malam bersamanya pada malam dua puluh lima
hingga pertengahan malam. Lalu beliau Saw. berkata: “Aku tidak bisa mengira apa
yang kalian cari melainkan masih berada di belakang kalian.” Setelah itu kami
melaksanakan shalat malam bersamanya pada malam dua puluh tujuh hingga (hampir)
pagi, dan beliau Saw. diam.” (HR. Imam Ahmad [21899] dengan sanad berstatus
jayyid)
Dhaif.
Kumpulan Hadits dari Ubadah bin
Shamit ra.:
1. Dari
Ubadah bin Shamit ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Lailatul qadar itu
terdapat pada sepuluh hari tersisa, barangsiapa yang melaksanakan qiyam
Ramadhan pada malam-malam itu dalam rangka mencari pahalanya, maka sesungguhnya
Allah Swt. akan mengampuni segala dosa yang dilakukannya di masa lalu dan akan
datang, dan itu terjadi pada malam-malam ganjil: kesembilan, ketujuh, kelima,
ketiga, atau malam terakhir: Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya ciri-ciri
lailatul qadar itu adalah bahwa malam tersebut bersih berseri, seolah ada
purnama yang bersinar, tenang tenteram, tidak dingin dan juga tidak panas, dan
tidak boleh ada bintang dilemparkan di malam itu hingga pagi, dan juga beberapa
cirinya adalah bahwa matahari di pagi harinya keluar dan bertahta tanpa cahaya,
seperti rembulan di malam purnama, dan setan tidak boleh keluar bersamanya pada
hari itu.” (HR. Ahmad [23145])
Sebelumnya hadits ini
telah kami sebutkan pada poin ketiga pembahasan “Ciri-Ciri
Lailatul Qadar."
2. Dari
Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Carilah ia pada malam
kesembilan, ketujuh dan kelima, yakni lailatul qadar.” (HR. Ahmad [23043])
Dalam riwayat Ahmad
yang lain [23089/23090] dari jalur yang sama disebutkan dengan lafadz:
“Maka carilah ia pada
sepuluh hari terakhir, karena lailatul qadar itu ada pada malam-malam ganjil,
pada malam dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua
puluh tujuh, atau dua puluh sembilan, atau pada malam terakhir.”
3. Dari
Ubadah bin Shamit ra., ia berkata:
“Nabi Saw. keluar
untuk memberitahukan kami tentang lailatul qadar. Lalu dua orang dari kalangan
kaum Muslim saling mencaci. Maka dia berkata: “Aku keluar untuk memberitahukan
kepada kalian tentang lailatul qadar, lalu si fulan dan si fulan saling mencaci
hingga diangkatlah ia (lailatul qadar tersebut), semoga (diangkatnya hal itu)
menjadi sesuatu yang lebih baik untuk kalian, maka carilah pada malam
kesembilan, ketujuh dan kelima.” (HR. Bukhari [2023], Ahmad, al-Baihaqi,
ad-Darimi, dan Abu Dawud at-Thayalisi)
Dalam kitab Shahih Bukhari [49] pada riwayat Ismail bin
Jafar dari Humaid, dari Anas, dari Ubadah bin Shamit disebutkan dengan lafadz:
“Maka carilah pada
malam sembilan, tujuh dan lima.”
Kumpulan Hadits dari Beberapa
Sahabat Lainnya
1. Dari
Aisyah ra., isteri Nabi Saw.:
“Bahwa Nabi Saw. biasa
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hingga beliau Saw.
diwafatkan Allah Swt. Kemudian isteri-isterinya beri’tikaf setelahnya.” (HR.
Bukhari [2025], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)
2. Dari
Aisyah ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw. biasa
beri’tikaf (bermujawarah) pada sepuluh
hari terakhir dari bulan Ramadhan, dan beliau Saw. bersabda: “Carilah lailatul
qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari [2020] dan
Tirmidzi)
Muslim [2782]
meriwayatkan hadits ini secara terpisah:
“Rasulullah Saw. biasa
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.”
“Aisyah berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: “Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir
dari bulan Ramadhan.” [2776]
3. Dari
Ummu Salamah ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
beri’tikaf pada tahun pertama pada sepuluh hari pertama, kemudian beliau Saw.
beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan (alias kedua), lalu beliau Saw.
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir. Dan ia berkata: “Sesungguhnya aku
melihat lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir tersebut, lalu aku dilupakan
tentangnya.” Dan Rasulullah Saw. terus-menerus beri’tikaf pada sepuluh hari
terakhir hingga wafat.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir [23/9941) Al-Haitsami berkata: sanadnya
berstatus hasan.
4. Dari Muawiyah ra.,
dari Nabi Saw. ia berkata:
“Lailatul qadar itu
adalah malam dua puluh tujuh.” (HR. Ibnu Hibban [3680], Abu Dawud, al-Baihaqi,
at-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah)
Dhaif.
5. Dari Abu Hurairah
ra. bahwa Rasulullah Saw. berkata tentang lailatul qadar:
“Sesungguhnya lailatul
qadar itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan, dan
sesungguhnya malaikat pada malam itu yang berada di bumi lebih banyak dari
bilangan kerikil.” (HR. Abu Dawud at-Thayalisi [2545] dan Ibnu Khuzaimah)
Ahmad, at-Thabrani
dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath, dan
al-Bazzar meriwayatkan hadits ini juga. Al-Ha'itsami berkata: para perawinya
adalah orang-orang tsiqah.
Dhaif.
6. Dari
Umar bin Khattab, ia berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. berkata tentang lailatul qadar sebagaimana yang telah kalian
ketahui, maka carilah ia pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir, maka
pada malam ganjil manapun kalian akan melihatnya.” (HR. Ahmad [85], al-Bazzar
dan Abu Ya’la)
Al-Haitsami berkata:
para perawi Abu Ya'la adalah orang-orang tsiqah.
7. Dari
Busr bin Said, dari Abdullah bin Unais, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Lailatul qadar telah
diperlihatkan kepadaku, lalu aku dilupakan tentangnya, tetapi diperlihatkan
kepadaku bahwa pada subuh harinya aku bersujud di atas air dan tanah.” Dia
(Abdullah bin Unais) berkata: kemudian kami diguyur hujan pada malam dua puluh
tiga, lalu Rasulullah Saw. shalat mengimami kami. Setelah itu beliau Saw.
pergi, dan bekas air dan tanah terdapat pada dahi dan hidungnya. Dia berkata:
dan Abdullah bin Unais berkata: Dua puluh tiga.” (HR. Muslim [2775], Ahmad dan
al-Baihaqi)
Dalam riwayat Ahmad
yang lain [16142] dari jalur yang sama disebutkan dengan redaksi:
“Maka kami bertanya
kepada beliau Saw.: Wahai Rasulullah, kapan kami harus mencari malam yang penuh
berkah ini? Beliau Saw. berkata: “Carilah lailatul qadar itu pada malam ini.”
Dan dia berkata: dan saat itu adalah sore hari menjelang malam dua puluh tiga.”
Ini bisa ditemukan
juga dalam riwayat yang ditakhrij al-Baihaqi [4/309] dari jalur yang sama:
“Maka beliau Saw.
memerintahkan kami (mencarinya) pada malam dua puluh tiga.”
8. Dari Abu Hurairah
ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Berapa hari telah
berlalu dari bulan ini?” Mereka berkata: telah berlalu dua puluh dua hari, yang
tersisa tinggal delapan hari. Maka beliau Saw. berkata: “Yang benar adalah
berlalu dua puluh dua hari, dan yang tersisa adalah tujuh hari, maka carilah
lailatul qadar itu pada malam ini.” (HR. al-Baihaqi [4/310] dan Ahmad)
Dhaif.
9. Dari
Nu’man bin Basyir ra., ia berkata di atas mimbar kota Himsh:
“Kami melaksanakan
shalat malam (qiyam Ramadhan) pada malam dua puluh tiga bulan Ramadhan hingga
sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat malam bersamanya pada malam dua
puluh lima hingga pertengahan malam. Lalu beliau Saw. shalat malam mengimami kami
pada malam dua puluh tujuh, hingga kami menyangka kami tidak akan mendapati
al-falah. Dia berkata: waktu itu kami menyebut sahur dengan istilah al-falah,
adapun kami, maka kami mengatakan: malam ketujuh adalah malam kedua puluh
tujuh, adapun kalian mengatakan: malam dua puluh tiga sebagai malam ketujuh,
siapakah yang lebih benar: kami ataukah kalian.” (HR. Ahmad [18592], an-Nasai
dan Ibnu Khuzaimah)
10. Dari Abdullah bin
Mas'ud ra., ia berkata:
“Nabi Saw. ditanya
tentang lailatul qadar. Maka beliau Saw. berkata: “Aku telah diberitahu tentang
malam itu, kemudian lepas dariku, maka carilah lailatul qadar itu pada tujuh
yang tersisa atau tiga yang tersisa (perawi ragu).” (HR. al-Bazzar [1028])
Al-Haitsami berkata:
para perawinya adalah orang-orang tsiqah.
Dhaif.
11. Dari
Anas ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Carilah lailatul
qadar itu pada sepuluh hari terakhir, pada kesembilan, ketujuh, dan kelima.”
(HR. al-Bazzar [1029])
Al-Haitsami berkata:
para perawinya adalah orang-orang shahih.
12. Dari Jabir bin
Samurrah ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:
“Carilah lailatul
qadar itu pada malam dua puluh tujuh.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam as-Shaghir [285])
Dhaif.
Maka
saya sampaikan -dan semoga Allah Swt. menunjukkan kita pada kebenaran- berikut:
Pertama:
terdapat beberapa hadits shahih yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dan
ada beberapa hadits shahih yang ditakhrij menyendiri oleh Bukhari ataupun oleh
Muslim, atau selain keduanya.
Jika hadits-hadits
tersebut termasuk hadits-hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, maka
hadits-hadits itu berada di posisi puncak dari segi istidlal, dan lebih dahulu
digunakan ketika terjadi pertentangan dan perbedaan.
Ada pula hadits-hadits
shahih dan yang lainnya terkategorikan sebagai hadits hasan, jika hadits
tersebut bersesuaian, maka semuanya layak untuk dijadikan sebagai dalil, dan
jika bertentangan maka yang diambil adalah hadits yang shahih, dan yang
tertolak adalah hadits hasan.
Kedua:
dengan meneliti nash-nash yang disebutkan dengan jumlah sekitar tiga puluh
nash, maka kita mendapati bahwa nash yang disepakati (al-muttafaq 'alaih) yakni
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya aku telah
diperlihatkan kepadaku lailatul qadar, kemudian aku dilupakan tentangnya.”
Redaksi hadits ini berada di tingkat tertinggi dari sisi kelayakan dan keshahihannya, dan tidak ada nash lain yang bisa
melawan dan menandingi keshahihan dan
kelayakannya seandainya nash tersebut menyalahinya.
Nash-nash yang
menyalahinya (menyalahi nash al-muttafaq 'alaih ini) akan turun derajatnya dari
semula, terlebih lagi satu nash pun darinya yang menjelaskan bahwa pernyataan
atau peristiwa tersebut datang belakangan sehingga saat itu ada kemungkinan
terjadi nasakh. Seluruh nash ini terjadi dalam satu waktu, dilihat dari sisi
sejarah, sehingga tidak ada nasakh sama sekali dalam perkara ini.
Ketiga:
jika ditemukan perkataan kenabian (al-qaul
an-nabawi) dalam satu masalah, lalu ditemukan pula perkataan-perkataan
dari sahabat dalam masalah yang sama, maka perkataan-perkataan sahabat itu
mesti ditinggalkan dan tidak layak dipertimbangkan.
Dalam masalah yang
sedang kita bahas ini bisa kita temukan perkataan Nabi Saw., bahkan beberapa
perkataan Nabi, sehingga tidak perlu lagi kita menyebutkan perkataan-perkataan
para sahabat dalam masalah ini.
Dalam hal ini, saya
meninggalkan dan tidak mencantumkan perkataan sahabat tersebut. Bagi siapa yang
ingin lebih dalam menelaah perkataan yang berasal dari para sahabat itu, maka
dipersilahkan untuk mengkaji kitab Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah. Contohnya yang terdapat pada juz II halaman 488, 489,
dan 490.
Keempat:
jika Rasulullah Saw. telah memerintahkan kita untuk melaksanakan suatu perkara,
atau melarang kita dari satu perkara, maka kita wajib mentaatinya. Dan jika
Rasulullah Saw. telah memberitahukan sebuah kabar kepada kita, maka kita harus
membenarkannya dan tidak boleh sama sekali mendustakannya.
Di sini Rasulullah
Saw. telah memberitahu kita melalui satu nash yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim (al-muttafaq 'alaih) di mana beliau Saw. mengetahui lailatul qadar,
kemudian beliau lupa atau lebih tepatnya lagi dilupakan, yakni Allah Swt. telah
menjadikannya lupa tentang lailatul qadar tersebut. Tidak kita dapati satu nash
pun yang mengabarkan kepada kita bahwa Rasulullah Saw. bisa ingat kembali
tentang hal itu. Mengingat bahwa kabar ini adalah shahih dan berposisi
tertinggi di antara nash-nash yang ada, dan mengingat pula bahwa kabar ini
tidak mengalami penggantian dan tidak pula perubahan, maka setiap Muslim, baik
seorang ahli fikih ataupun bukan, harus menerima kabar ini dan tidak boleh
menyatakan sesuatu yang menyalahi dan menyelisihinya.
Sehingga tidak boleh
misalnya dia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. sepanjang hidupnya mengetahui
kedatangan lailatul qadar, tetapi beliau Saw. menyembunyikannya dari kaum
Muslim agar mereka bersungguh-sungguh beribadah pada hari-hari terakhir bulan
Ramadhan, tidak hanya bersungguh-sungguh pada satu malam saja.
Pernyataan-pernyataan seperti ini tidak boleh terlontar dari mulut seorang
Muslim, baik yang fakih ataupun bukan, karena pernyataan-pernyataan seperti ini
bertentangan dengan pernyataan Rasulullah Saw. bahwa Allah Swt. telah
memperlihatkan lailatul qadar kepadanya, kemudian Allah Swt. menjadikannya lupa
tentangnya, dan hal itu terus berlangsung hingga beliau Saw. wafat.
Lebih buruk dari itu
adalah bila terdapat seorang Muslim, setinggi apapun tingkat ilmu
pengetahuannya, lalu mengaku bahwa dia mengetahui kapan datangnya lailatul
qadar, seolah-olah dengan perkataannya ini dia mengaku mengetahui satu perkara
yang tidak diketahui oleh Rasulullah Saw., atau dia mengetahui sesuatu
melampaui pengetahuan Rasulullah Saw.
Kelima:
sejumlah sahabat, menurut riwayat yang dinukil dari mereka, dan sejumlah ahli
fikih, telah menetapkan waktu turunnya lailatul qadar, di mana mereka
berargumentasi dengan nash-nash yang telah saya sebutkan sebelumnya. Maka saya
katakan: jika mereka telah melakukan penetapan waktu (at-tahdid) berdasarkan
tanda yang dikabarkan oleh Rasulullah Saw., maka tahdid seperti ini tidak
sampai pada tingkatan ilmu yang bersifat yakin dan pasti, semata-mata hanya
sekedar bersifat dugaan (tahdid zhanni),
yang bisa benar dan bisa juga salah.
Berdasarkan hal ini
maka saya katakan bahwa seluruh tahdid yang disandarkan kepada sahabat, tabi'in
dan fukaha, semata-mata sampai pada taraf dugaan atau dugaan kuat saja. Sama
sekali tidak termasuk ilmu yang bersifat yakin dan pasti, yang tidak boleh diselisihi.
Contoh atas hal itu
adalah apa yang dituturkan melalui lisan sahabat yang mulia Ubay bin Kaab ra.
Pernyataannya yang disebutkan dalam hadits poin kesatu dari Majmu’ah (Kumpulan Hadits) Zirr bin Jaisy:
“Kemudian dia bersumpah tidak ada pengecualian bahwa lailatul qadar itu adalah
malam dua puluh tujuh,” di mana dia berpendapat mengetahui penetapan waktu
turunnya (tahdid) tersebut berdasarkan tanda yang didengarnya dari Rasulullah
Saw. saja. Dia tidak mengklaim mengetahui tahdid tersebut dari ucapan
Rasulullah Saw., di mana dia berkata: berdasarkan ciri-ciri, atau tanda-tanda
yang telah diberitahukan Rasulullah Saw. kepada kami: bahwa malam tersebut
matahari terbit dengan tanpa cahaya. Katakanlah hal serupa juga terkait dengan
beberapa hadits lain yang diriwayatkan darinya. Ubay bin Kaab ra. mendengar
tanda dan ciri-ciri tersebut dari Rasulullah Saw., kemudian dia berijtihad
menerapkan tanda tersebut kedalam satu fakta, sehingga lahir satu kesimpulan
bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam dua puluh tujuh. Dengan demikian,
tahdid seperti ini merupakan ijtihadnya, bukan satu kabar yang dinukilnya
kepada kita yang harus diterima dan diambil oleh kita.
Adapun kalimat dalam
hadits: “kemudian dia bersumpah tanpa pengecualian”, itu tidak menafikan
perkataan tersebut sebagai berasal dari ijtihadnya. Dan dengan adanya sumpah
seperti itu tidak menjadikan pendapatnya tersebut sebagai kabar yang bersifat
pasti, selama dia menyampaikan kesimpulan tersebut berasal dari pengamatannya
terhadap tanda-tanda yang disampaikan Rasulullah saw.
Ijtihad dalam memahami
tanda itu tidak menjadikan ijtihad tersebut sebagai penetapan waktu (tahdid)
yang bersifat yakin pasti, jika tidak, niscaya sahabat Rasulullah Saw. akan
bersepakat dengan tahdid yang dinyatakan oleh Ubay bin Kaab, bahkan seluruh kaum
Muslim akan bersepakat dengan tahdid tersebut karena mereka juga mengetahui
tanda tersebut.
Keenam:
sebagian ahli fikih menduga bahwa sabda Rasulullah Saw.: “carilah lailatul
qadaritu pada sembilan hari, tujuh hari, dan lima hari tersisa”, atau sabda
beliau Saw.: “carilah lailatul qadar pada malam ganjil sepuluh hari terakhir”,
menunjukkan bahwa beliau Saw. mengetahui penetapan waktu turun tersebut
(at-tahdid), dan dengan ucapannya ini beliau Saw. hanya menginginkan kaum
Muslim bersungguh-sungguh dalam beribadah. Pendapat seperti ini bisa jadi benar
seandainya tidak ada perkataan beliau Saw. bahwa beliau Saw. telah lupa atau
dilupakan terkait kapan datangnya lailatul qadar tersebut.
Perkataan beliau Saw.
ini menafikan pemahaman apapun dari sisi ini, sehingga sebaiknya kaum Muslim
tidak membahas dan membatasinya, dan hendaknya mereka bersikap tawadhu di
hadapan Rasulullah Saw. yang mengajarkan kepada mereka bahwa beliau Saw.
sendiri tidak mengetahui lailatul qadar tersebut secara pasti waktu turunnya.
Ketujuh:
sebagai dalil bahwa berbagai amarah
(tanda) tersebut keliru adalah apa yang kita peroleh dari dua sahabat yang
mulia ini: Abu Said al-Khudri dan Abdullah bin Unais ra. Abu Said telah
mendengar dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. melihat dirinya yang mulia
sedang bersujud pada pagi hari malam lailatul qadar di atas air dan tanah,
sesuai dengan yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Ketika Abu Said melihat
Rasulullah Saw. bersujud pada shalat subuh malam dua puluh satu di atas air dan
tanah, dia memahami menurut tanda tersebut bahwa lailatul qadar terjadi pada
malam dua puluh satu. Lalu beliau menyebarkan pandangannya ini dengan penuh
percaya diri, kemudian banyak para imam dan ahli fikih yang berpegang pada
pandangan ini.
Adapun Abdullah bin
Unais, sesungguhnya dia telah mendengar sabda Rasulullah Saw. sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits nomor 7 pada “Kumpulan Hadits Dari Beberapa Sahabat
Lainnya”:
“Tetapi diperlihatkan
kepadaku bahwa pada subuh harinya aku bersujud di atas air dan tanah.” Dia
(Abdullah bin Unais) berkata: kemudian kami diguyur hujan pada malam dua puluh
tiga, lalu Rasulullah Saw. shalat mengimami kami. Setelah itu beliau Saw. pergi,
dan bekas air dan tanah terdapat pada dahi dan hidungnya.”
Ketika Abdullah bin
Unais melihat Rasulullah Saw. bersujud pada pagi hari malam dua puluh tiga di
atas air dan tanah, dia memahami dari tanda ini bahwa lailatul qadar itu datang
pada malam dua puluh tiga, kemudian dia pun menyebarkan pendapatnya, dan sejumlah
ahli fikih kemudian mengadopsi pendapatnya ini. Tidak ragu lagi, hal ini
menunjukkan bahwa pemahaman-pemahaman ini akhirnya akan berbeda-beda walaupun
berargumentasi dengan tanda yang sama, dan berargumentasi dengan tanda tersebut
tidak akan menyampaikan pemahaman yang dihasilkannya pada tingkat keyakinan
(al-ilmu), hanya sampai pada tingkat dugaan (az-zhan)
atau dugaan kuat (ghalabat az-zhan).
Saya hanya ingin
mengingatkan saja bahwa mengaku-aku mengetahui perkara ini dengan yakin adalah
diharamkan, karena hal ini sama dengan kesombongan terhadap pengetahuan
Rasulullah Saw.
Kedelapan:
kita melihat dalam riwayat-riwayat Abu Said, yang berkaitan dengan ciri-ciri
yang dipegangnya: Bukhari telah mentakhrij empat riwayat yakni: hadits nomor
2016, 2018, 2036 dan 2040, yang menyebutkan tanda tersebut secara mutlak
seperti ini: “dan sesungguhnya aku melihat bahwa aku bersujud di atas air dan
tanah”, dan tidak mentaqyidnya dengan
kalimat pagi hari lailatul qadar (shabihah
lailatil qadar).
Imam Muslim telah
mentakhrij dua riwayat dengan redaksi yang sama yakni hadits nomor 2769 dan
2772, dan pada saat yang sama Bukhari pun telah mentakhrij satu riwayat saja,
yang di dalamnya terdapat kalimat sudah ditaqyid seperti ini: “dan sungguh aku
melihat diriku bersujud di atas air dan tanah dari pagi harinya.” Imam Muslim
telah menyebutkan dua riwayat, yang di dalamnya sudah ditaqyid dengan kata pagi
hari (as-shabihah), yakni hadits nomor
2772 dan 2775.
Dengan demikian, kita
mendapati enam riwayat yang ditakhrij oleh as-Syaikhan, yang di dalamnya tidak
disebutkan tanda yang ditaqyid dengan kalimat “pagi hari lailatul qadar” (shabihah lailatil qadr), dan tiga riwayat saja
yang ditakhrij keduanya di mana tanda lailatul qadar ditaqyid dengan kalimat:
pagi harinya (shabihah). Saya lebih
memilih enam riwayat tersebut daripada tiga riwayat tadi, dan menurut saya,
penyebutan “sejak pagi harinya” itu muncul karena adanya air dan tanah pada
pagi hari malam itu, lalu mereka menghubungkan taqyid tersebut pada Rasulullah
saw.
Ini adalah takwil yang
mungkin benar, sehingga kita bisa mengkompromikan antara riwayat-riwayat
tersebut, terlebih lagi bahwa riwayat-riwayat yang bersifat mutlak itu lebih
banyak jumlahnya daripada riwayat-riwayat yang ditaqyid (muqayyadah), sehingga dari segi istidlal,
riwayat yang mutlak itu lebih kuat daripada riwayat yang ditaqyid.
Kemudian kita
berlindung pada penakwilan ini hingga kita bisa mengkompromikan antara riwayat
yang muqayyadah ini dengan riwayat
Abdullah bin Unais pada poin tujuh “Kumpulan Hadits Dari Beberapa Sahabat
Lainnya” yang menyebutkan bahwa tanda itu terjadi pada pagi hari malam dua
puluh tiga. Tanpa penakwilan seperti ini, mau tidak mau kita harus menolak
riwayat Abu Said yang bersifat muqayyadah,
atau menolak riwayat Abdullah bin Unais, padahal mengamalkan semua dalil itu
lebih utama daripada mengabaikan sebagiannya.
Melalui pendapat kami
ini, bahwa Rasulullah Saw. tidak mentaqyid sujudnya di atas air dan tanah
dengan batasan apapun, beliau Saw. hanya memutlakkan ucapannya, kemudian secara
kebetulan hujan turun pada pagi hari malam dua puluh satu, dan turun kembali pada
pagi hari malam dua puluh tiga, sehingga Abu Said mengira bahwa malam dua puluh
satu itu cocok dengan tanda tersebut, dan Abdullah bin Unais mengira bahwa
malam dua puluh tigalah yang cocok dengan tanda tersebut, sehingga dua ucapan
ini bisa bertentangan disebabkan hal itu. Dengan pendapat yang kita ambil tadi,
maka kita telah mengamalkan riwayat-riwayat tersebut seluruhnya, dan tidak
perlu menolak salah satupun darinya.
Rasulullah Saw. telah
menyampaikan dua ucapan yang terpisah: melihat lailatul qadar dan beliau
dilupakan-Nya, dan beliau Saw. bermimpi melihat dirinya sedang bersujud di atas
air dan tanah, dan beliau Saw. tidak mengkaitkan antara dua perkataan tersebut.
Pengkaitan antara keduanya itu -sebagaimana nampak dari pemahaman para perawi-
disebabkan turunnya hujan pada pagi hari dari kedua malam tersebut, dengan
pemahaman dan penakwilan seperti ini, maka kita telah mengamalkan (menggunakan)
dalil-dalil tersebut seluruhnya.
Salah seorang dari
mereka datang dan berkata: sesungguhnya nash-nash ini walaupun shahih, dan di
dalamnya terdapat tambahan lafadz, tetapi tambahan ini bisa diterima, karena
tambahan dari orang tsiqah itu bisa diterima, maka mengapa kita tidak menerima
tambahan kalimat “sejak pagi harinya”, dan malah memahami riwayat ini dari
sudut pandang riwayat-riwayat yang lain?
Untuk menjawabnya
adalah, bahwa perbedaan antara hadits yang diriwayatkan Abu Said dengan hadits
yang diriwayatkan Abdullah bin Unais tidak menyebabkan kita menerima tambahan
ini, seandainya perbedaan itu tidak ada, niscaya kita akan menerimanya. Keberatan
yang ada pada kita disebabkan karena tidak bisa menerima tambahan tersebut.
Pendapat yang benar adalah pendapat yang telah kita pegang sebelumnya, yakni
bahwa Rasulullah Saw. setelah memberitahukan kepada kaum Muslim bahwa beliau
Saw. telah melihat lailatul qadar, lalu dilupakan-Nya. Beliau Saw. kemudian
menyampaikan pemberitahuan kembali yang menjadi penyambung dengan apa yang
sebelumnya, yaitu bahwa beliau melihat dirinya bersujud di atas air dan tanah,
kemudian ucapannya yang kedua itu terbukti dalam dua malam di mana pada kedua
malam tersebut turun hujan. Beliau Saw. tidak ingin menjadikan sujudnya di atas
air dan tanah itu sebagai tanda kedatangan lailatul qadar, sehingga yang
diriwayatkan Abu Said dan Abdullah bin Unais terkait penetapan waktu lailatul
qadar adalah keliru. Kekeliruan keduanya itu disebabkan karena menggabungkan
dua pemberitahuan, yang sebenarnya tidak berkaitan (saling terputus satu sama
lain).
Dengan takwil seperti
ini kita bisa sampai pada satu kesimpulan, bahwa dua hadits ini -dengan
riwayat-riwayatnya yang beragam- tidak mengandung pengertian penetapan kapan
datangnya lailatul qadar. Dan amat keliru bila dari keduanya disimpulkan
penetapan waktu, apapun. Cukup kiranya dengan pemberitahuan pertama dalam kedua
hadits tersebut, yakni: “kepadaku telah diperlihatkan lailatul qadar, kemudian
aku dilupakan tentangnya.”
Oleh karena itu,
kebenaran yang kokoh bisa kita dapatkan, bahwa Rasulullah Saw. tidak mengetahui
lagi kapan lailatul qadar itu datang, setelah beliau Saw. dilupakan Allah Swt.
terkait hal itu. Dan itu menjadi kehendak dan ketetapan Allah Swt. demi kebaikan
kaum Muslim, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ubadah bin Shamit point 3:
“lalu diangkatlah ia, dan semoga menjadi kebaikan bagi kalian semua.” Selama
kebaikan itu bisa diraih dengan cara mengangkat lailatul qadar dan tidak
menentukan kapan waktu turunnya, maka pertanyaannya: mengapa para ahli fikih
sendiri bersusah payah menentukannya? Dan mengapa pula mereka menolak kebaikan
bagi diri mereka dan kaum Muslim? Lalu, mengapa mereka tidak berpegang saja
pada sabda Rasulullah Saw. yang telah diriwayatkan Abu Dzar ra. pada poin
pertama kumpulan hadits yang diriwayatkan Abu Dzar: “Sesungguhnya Allah Swt.
seandainya menghendaki-Nya niscaya Dia akan memberitahukan kepada kalian kapan
turunnya malam tersebut?” Apakah setelah kehendak Allah Swt., masih berlaku
kehendak lain yang berasal dari seorang manusia?
Kesembilan:
sekarang kita menginjak hadits-hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdullah bin
Umar ra.: hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “...maka hendaknya mencari pada malam tujuh terakhir”,
dan yang diriwayatkan oleh Muslim: “aku melihat
mimpi kalian pada sepuluh hari terakhir, maka carilah lailatul qadar itu pada
malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir”, dan “carilah pada sepuluh hari terakhir ...maka janganlah kalian dikalahkan
pada tujuh hari sisanya.” Riwayat-riwayat ini saling bertentangan,
antara sepuluh hari terakhir dan tujuh hari terakhir, tanpa menetapkan satu
malam tertentu turunnya lailatul qadar.
Pendapat seperti
inilah yang tersebar hingga hampir mencapai derajat mutawatir, yaitu bahwa
lailatul qadar itu terjadi pada sepuluh hari terakhir, dan bahwa Rasulullah
Saw. tetap beri’tikaf sepanjang sepuluh hari terakhir mencari dan berusaha
mendapatkannya pada malam-malam tersebut hingga beliau Saw. diwafatkan Allah
Swt. Hadits Aisyah isteri Nabi Saw. sebagai hadits nomor satu yang dimuat dalam
“Himpunan Hadits dari Beberapa Sahabat Lainnya ”, jelas menunjukkan bahwa hukum
ini tetap berlaku dan tidak pernah dinasakh.
Bukhari telah
meriwayatkan satu hadits nomor 2015 dari jalur Ibnu Umar, dan Muslim (dari
jalur Ibnu Umar) telah meriwayatkan empat hadits yakni hadits 2762, 2765, 2766,
dan 2767. Di dalam hadits-hadits tersebut tidak ada penetapan waktu tertentu
turunnya lailatul qadr.
Kemudian kita dapati
bahwa Ahmad telah meriwayatkan dua hadits dari jalur Ibnu Umar, yakni hadits
4808 dan 6474, yang menentukan lailatul qadar itu terdapat pada malam dua puluh
tujuh. Dengan merujuk pada Musnad Imam Ahmad
kita mendapati bahwa beliau telah meriwayatkan dua hadits lain dari jalur Ibnu
Umar, yakni hadits 5430 dan 5932, di mana keduanya menuntut untuk mencari
lailatul qadar pada tujuh hari terakhir, tanpa menyebutkan ketentuan malam itu
sebagai malam dua puluh tujuh. Para perawi Ahmad telah meriwayatkan
hadits-haditsnya ini dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. Apakah perbenturan
(al-idhthirab) riwayat-riwayat ini bisa
dipahami oleh kita?
Saya telah mendapati
pernyataan al-Aqili, yang ditulis dalam kitab Tahdzib
at-Tahdzib karya Ibnu Hajar: dalam riwayat para syaikh darinya, yakni
dari Abdullah bin Dinar, terdapat perbenturan. Sehingga yang diambil dan
dipegang adalah hadits-hadits shahih yang diriwayatkan as-Syaikhani (Bukhari
dan Muslim) dan Ahmad, yang memerintahkan untuk mencari lailatul qadar pada
sepuluh hari terakhir atau tujuh hari terakhir.
Dan kita tinggalkan
dua riwayat yang ditakhrij Ahmad, yang mengungkapkan penentuan malam tersebut,
atau menyatakan bahwa lailatul qadar itu dicari pada malam dua puluh tujuh.
Terlebih lagi bahwa seluruh riwayat ini berasal dari jalur Abdullah bin Umar.
Dengan demikian,
antara riwayat-riwayat yang shahih dari jalur Abu Said dan Abdullah bin Umar
telah saling menguatkan untuk mencari lailatul qadar pada sepuluh hari
terakhir, atau pada tujuh hari terakhir. Inilah keterangan paling kuat yang
disebutkan dalam hadits-hadits shahih.
Adapun kumpulan hadits
yang berasal dari Ibnu Abbas, maka hadits yang pertama senada dengan kumpulan
hadits yang berasal dari Abu Said dan Ibnu Umar, sehingga hadits yang pertama
ini bisa dipadukan dengan keduanya.
Sedangkan hadits yang
kedua, yang menetapkan malam dua puluh tiga sebagai lailatul qadr, maka ini
adalah impian yang dilihat Ibnu Abbas, bukan kabar yang berasal dari Rasulullah
saw. Kita tidak beribadah kepada Allah Swt. menggunakan impian kita atau impian
orang lain, kecuali impian Rasulullah Saw., atau impian sahabat beliau Saw.
-jika beliau Saw. menyetujuinya-. Di dalam hadits ini disebutkan sebagai mimpi
Ibnu Abbas yang tidak diakui/disetujui Rasulullah saw. Karena itu, tidak ada
hujjah sedikitpun di dalamnya. Ini dari sisi matan.
Dari sisi sanad, maka
hadits ini telah diriwayatkan Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Simak adalah
seorang perawi yang dhaif, sehingga
hadits ini tertolak dari sisi sanad dan matannya.
Adapun hadits ketiga,
maka di dalam rangkaian perawinya terdapat Muadz bin Hisyam, yang didhaifkan
oleh al-Humaidi, Yahya bin Ma'in dan Abu Dawud, sehingga hadits ketiga ini pun
tertolak.
Mengenai kumpulan
hadits Zirr bin Jaisy, atau boleh dikatakan kumpulan hadits Ubay bin Kaab, maka
kami telah menjelaskan seluruh titik lemahnya. Hadits-hadits tersebut dibangun
di atas ijtihad dalam memahami berbagai amarah (tanda-tanda), dan berbagai amarah
itu tidak bisa dipahami dengan satu sudut pandang, khususnya jika terdapat
beberapa riwayat lain dengan pemahaman yang berbeda dengan amarah itu sendiri,
sebagaimana terjadi dalam hadits Abdullah bin Unais sebelumnya.
Tentang kumpulan
hadits dari Abu Dzar ra., maka hadits yang pertama bersesuaian dengan sebagian
besar hadits-hadits shahih yang menyebutkan sepuluh hari atau tujuh hari
terakhir.
Adapun hadits kedua,
maka di dalamnya tidak ada penyebutan malam lailatul qadar. Hadits ini tidak
lebih hanya menunjukkan keutamaan melaksanakan shalat malam (qiyam) pada malam
dua puluh tiga, dua puluh lima dan dua puluh tujuh, dan ini merupakan perintah
yang telah disepakati dan selaras dengan pernyataan atau anjuran untuk mencari
lailatul qadar pada malam ganjil tujuh hari terakhir.
Hadits ketiga, di
dalam rangkaian periwayatnya ada Zaid bin al-Hubab, yang dikomentari oleh Ahmad
bin Hanbal sebagai berikut: dia seorang yang jujur, dan menghafal banyak hadits
dari Muawiyah bin Shalih, tetapi seringkali keliru dalam meriwayatkan hadits.
Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat telah
menyebutkannya dan mengomentarinya: suka keliru meriwayatkan hadits yang
didapatkannya dari para perawi terkenal, namun, jika riwayatnya berasal dari
perawi yang tidak dikenal maka di dalamnya terdapat hadits-hadits munkar. Orang
ini tidak bisa digolongkan sebagai perawi yang shahih, terlebih lagi bila
hadits yang disampaikannya menyalahi para perawi yang shahih, atau tidak senada
dengan para perawi yang shahih.
Kumpulan hadits yang
berasal dari Ubadah bin Shamit, adalah selaras dengan riwayat-riwayat shahih
yang memerintahkan (kaum Muslim) untuk mencari lailatul qadar pada malam-malam
ganjil sepuluh hari terakhir atau tujuh hari terakhir. Adapun hadits-hadits yang
lain, seperti dua riwayat dari Aisyah ra., satu riwayat dari Ummu Salamah ra.,
satu riwayat dari Umar bin Khattab, satu riwayat Anas bin Malik ra., maka
semuanya menyebutkan sepuluh hari terakhir, tujuh hari terakhir, dan
malam-malam ganjil dari sepuluh hari atau tujuh hari terakhir.
Mengenai riwayat
Muawiyah yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban pada nomor 4 “lailatul qadar adalah
malam dua puluh tujuh”, maka dalam rangkaian perawinya terdapat Ubaidillah bin
Mu'adz. Yahya bin Ma‘in berkata: Ibnu Saminah, Syabbab dan Ubaidillah bin
Mu'adz bukanlah pakar hadits, mereka tidak memiliki arti apa-apa. Sehingga
hadits ini tertolak dari segi sanad, walaupun sejumlah ahli hadits mentsiqahkan Ubaidillah, tetapi sifat tsiqah
dalam diri seseorang itu adalah sesuatu, sedangkan kelayakannya untuk
menyampaikan hadits adalah sesuatu yang lain, sehingga seorang rawi bisa jadi tsiqah,
shalih dan benar, tetapi tidak dhabith
dan tidak menghafal hadits dengan baik, sehingga tidak dipandang layak untuk
meriwayatkan hadits. Dan Ubaidillah bin Mu'adz adalah salah satunya.
Adapun riwayat Abu
Hurairah nomor 5 maka sanadnya menurut Abu Dawud at-Thayalisi adalah sebagai
berikut: Yunus berkata: Abu Dawud telah berbicara kepada kami, dia berkata:
Imran telah berbicara kepada kami dari Qatadah dari Abu Maimunah dari Abu
Hurairah, kemudian disebutkanlah haditsnya. Sejumlah ahli hadits ada yang mentsiqahkan Abu Maimunah, dan mereka
mengkategorikannya sebagai al-Farisi (orang Persia). Di antara orang yang mentsiqahkan Abu Maimunah al-Farisi adalah
ad-Daruquthni, tetapi Abu Maimunah yang meriwayatkan hadits kita ini bukanlah
Abu Maimunah al-Farisi yang tsiqah, shalih dan jujur sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Ad-Daruquthni telah mengingatkan pembedaan ini, dia
berkata: Abu Maimunah dari Abu Hurairah yang diceritakan oleh Qatadah itu
adalah seorang majhul (tidak dikenal) sehingga harus ditinggalkan. Dengan
demikian, hadits ini adalah hadits dhaif yang harus ditolak.
Tentang hadits nomor 8
yang diriwayatkan al-Baihaqi, maka dalam rangkaian perawinya terdapat Ahmad bin
Abdul Jabbar, yang dikomentari Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib: “Ibnu Abi Hatim berkata: aku telah menulis
darinya tetapi aku tidak mau meriwayatkan hadits darinya karena orang-orang
banyak memperselisihkannya. Mathin: dia suka berdusta. Abu Ahmad al-Hakim:
menurut para ahli hadits dia bukan seorang yang kuat, dan ditinggalkan oleh
Ibnu Uqdah. Ibnu Adi berkata: aku melihat penduduk Irak bersepakat atas kedhaifannya. Ibnu Uqdah tidak menyampaikan
hadits yang berasal darinya. Dengan demikian, Ahmad bin Abdul Jabbar adalah
seorang yang dhaif menurut mayoritas para ahli hadits, sehingga haditsnya ini
tertolak.
Hadits Jabir bin
Samurrah nomor 12 yang diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir, di dalam rangkaian
perawinya terdapat Simak bin Harb, dan dia seorang dhaif sebagaimana
berkali-kali kami telah terangkan, sehingga hadits ini tertolak.
Sedangkan hadits
Nu’man bin Basyir nomor 9, maka kami perlu komentari hadits ini sebagaimana
kami mengomentari hadits nomor 2 dari “Kumpulan Hadits dari Abu Dzar”, bahwa
dalam hadits ini tidak ada penyebutan malam lailatul qadar.
Hadits Abdullah bin
Mas'ud, dalam rangkaian perawinya terdapat Abdullah bin al-Jahm, yang
dikomentari Abu Zur’ah sebagai berikut: aku pernah bertemu dengannya, tetapi
aku tidak menulis darinya walaupun dia seorang yang jujur. Abu Hatim berkata:
aku pernah bertemu dengannya, tetapi aku tidak menulis darinya, dan dia seorang
yang cenderung menganut paham Syi'ah. Dalam rangkaian perawinya juga terdapat
Amr bin Abu Qais ar-Razi. Al-Ajiri telah berkata dari Abu Dawud: dalam hadits
yang disampaikannya terdapat kekeliruan. Utsman bin Abu Syaibah berkata: tidak
apa-apa, suka sedikit ragu-ragu dalam haditsnya. Dengan demikian, dalam hadits
tersebut ada kelemahan, sehingga tidak memilki kekuatan sama sekali bila
dihadapkan pada hadits-hadits shahih. Selain itu, hadits ini tidak menentukan
lailatul qadar pada satu malam tertentu, ragu-ragu menyatakan antara malam dua
puluh tiga atau dua puluh tujuh.
Kami perlu meringkas
pemaparan kami di atas, bahwa Rasulullah Saw. mengetahui sejak awal, kapan
lailatul qadar itu datang, kemudian Allah Swt. yang Maha Mengetahui telah
menjadikannya lupa terkait kedatangan lailatul qadar tersebut. Kondisi itu
terus berlangsung hingga beliau Saw. wafat, dan selama Rasulullah Saw. tidak
lagi mengetahui waktunya, maka tidak seharusnya seorang sahabat dan juga
selainnya bisa menentukan waktunya. Dan seluruh kaum Muslim, baik ulama atau
bukan, mereka harus cukup dengan mencari dan berusaha meraihnya pada malam-malam ganjil
sepuluh hari terakhir atau pada tujuh hari terakhir dari bulan Ramadhan,
bisa pada malam dua puluh satu, malam dua puluh tiga, malam dua puluh lima,
malam dua puluh tujuh, atau malam dua puluh sembilan, sebagaimana telah
disebutkan dalam hadits Abu Dawud at-Thayalisi pada poin pertama “Kumpulan
Hadits Abdullah bin Abbas” dari jalur Abu Bakrah dengan redaksi:
“Untuk sembilan yang
tersisa, tujuh yang tersisa, lima yang tersisa, tiga yang tersisa atau pada
malam terakhir.”
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar