Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 05 Juni 2018

Dalil Hadits Tarjih Pendapat Kapan Malam Lailatul Qadar yang Rajih



Kapan Lailatul Qadar Itu?

Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab Fathul Baari sebagai berikut: “Para ulama banyak yang berbeda pendapat tentang lailatul qadar, di mana kita dapati pendapat mereka seputar masalah itu mencapai lebih dari empat puluh pendapat. Juga bisa kita dapati hal seperti itu ketika mereka membahas waktu ijabah pada hari Jumat. Kedua perkara tersebut sama-sama bersifat samar dan tersembunyi, agar kaum Muslim bersungguh-sungguh mencari keduanya.” Kemudian beliau menyebutkan empat puluh enam pendapat ulama terkait lailatul qadar.

Dalam kesempatan ini saya hanya akan menyebutkan pendapat yang paling menonjol dan paling populer saja, dan saya persilahkan kepada pembaca yang ingin mengetahui secara lebih lengkap untuk mencarinya dalam kitab Fathul Baari.

Pendapat keempat: bahwa lailatul qadar itu berpeluang terjadi pada seluruh hari-hari sepanjang tahun. Inilah pendapat yang terkenal dari kalangan Hanafiyah.

Pendapat kelima: bahwa lailatul qadar itu khusus pada bulan Ramadhan saja, berpeluang terjadi pada seluruh malamnya. Ini merupakan pendapat Ibnu Umar yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih darinya.… dan dalam kitab Syarh al-Hidayah yang bisa dipastikan sebagai pendapat Abu Hanifah. Pendapat seperti ini pun dikemukakan oleh Ibnu al-Mundzir, al-Mahamili dan sebagian ulama Syafi’iyah. Pendapat ini dikuatkan oleh as-Subki dalam kitab Syarh al-Minhaj, dan dituturkan pula oleh Ibnu al-Hajib menurut satu riwayat. As-Saruji berkata dalam Syarh al-Hidayah: Abu Hanifah berkata bahwa lailatul qadar itu berpindah-pindah di seluruh hari bulan Ramadhan, dua sahabatnya menyatakan bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam tertentu yang tidak samar lagi, demikian diungkapkan oleh an-Nasafi.

Pendapat kesepuluh: bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ketujuh belas dari bulan Ramadhan. Ibnu Abi Syaibah dan at-Thabrani meriwayatkan dari hadits Zaid bin Arqam, ia berkata:

“Aku tidak ragu lagi bahwa lailatul qadar itu adalah malam tujuh belas dari bulan Ramadhan, malam diturunkannya al-Qur’an.” Riwayat ini pun ditakhrij oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud.

Pendapat kesebelas: bahwa lailatul qadar itu disamarkan pada sepuluh hari kedua (pertengahan). Pendapat ini dituturkan oleh an-Nawawi, disandarkan oleh At-Thabrani pada Utsman bin al-Ash dan al-Hasan al-Bashri, diungkapkan oleh ulama Syafi'iyah.

Pendapat ketiga belas: lailatul qadar itu adalah malam sembilan belas. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Ali, disandarkan oleh at-Thabrani pada Zaid bin Tsabit dan Ibnu Mas’ud, dan diriwayatkan pula oleh at-Thahawi dari Ibnu Mas'ud.

Pendapat keempat belas: lailatul qadar itu adalah salah satu malam dari sepuluh hari terakhir. As-Syafi’i cenderung berpendapat seperti ini, dikuatkan pula oleh sejumlah ulama as-Syafi’iyah. Tetapi as-Subki berkata: namun menurut mereka, pendapat ini tidak bisa dipastikan sebagai pendapat as-Syafi’i.

Pendapat kelima belas: seperti pendapat sebelumnya, kecuali jika bulan Ramadhan tersebut genap tiga puluh hari, maka lailatul qadarnya pada malam kedua puluh. Jika kurang alias dua puluh sembilan hari, maka lailatul qadarnya pada malam dua puluh satu, dan begitu pula pada seluruh bulan. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm.

Pendapat ketujuh belas: bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam dua puluh tiga. Muslim meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Unais secara marfu': “Sesungguhnya lailatul qadar telah diperlihatkan kepadaku, kemudian aku dilupakan tentangnya.”

Selanjutnya disebutkan yang serupa dengan hadits Abu Said, tetapi dia berkata di dalamnya: malam dua puluh tiga, sebagai pengganti malam dua puluh satu... Ibnu Hajar telah menyebutkan beberapa riwayat terkait pendapat ini yang berasal dari Muawiyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Said bin al-Musayyab, Aisyah dan Makhul.

Pendapat kedelapan belas: lailatul qadar itu adalah malam dua puluh empat... Ibnu Hajar menunjuk pada hadits Ibnu Abbas dalam bab ini, dan menyebutkan hadits Abu Said. Dan hal ini pun diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, as-Sya’bi, Hasan dan Qatadah. Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat Ahmad dari jalur Bilal:

Carilah lailatul qadar itu pada malam dua puluh empat.

Pendapat keduapuluh satu: lailatul qadar itu terjadi pada malam dua puluh tujuh. Pendapat seperti ini merupakan pendapat yang paling populer dari madzhab Ahmad, dan satu riwayat dari Abu Hanifah. Ubay bin Kaab memastikan hal ini dan bersumpah atasnya sebagaimana tertera dalam hadits yang telah ditakhrij oleh Muslim. Muslim meriwayatkan hadits serupa dari jalur Abu Hazim dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Kami ramai membicarakan lailatul qadar maka Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa di antara kalian yang ingat ketika bulan purnama muncul seperti setengah piring besar?”

Abul Hasan al-Farisi berkata: yakni malam dua puluh tujuh, karena bulan pada malam itu muncul dengan ciri seperti itu.
At-Thabrani meriwayatkan salah satu hadits Ibnu Mas’ud: “Rasulullah Saw. ditanya tentang lailatul qadar, maka beliau Saw. berkata: “Siapa di antara kalian yang ingat malam as-shahbawat?” Aku berkata: “Aku.” Dan itu adalah malam dua puluh tujuh.”

Hadits serupa diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Umar, Hudzaifah, dan sejumlah sahabat. Serupa dengan hadits yang telah diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar:

Seorang laki-laki bermimpi melihat lailatul qadar pada malam dua puluh tujuh.

Satu lagi hadits Ahmad dari Ibnu Umar yang diriwayatkan secara marfu':

Lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh.

Ada lagi hadits yang diriwayatkan Ibnu al-Mundzir dari Ibnu Umar: “Barangsiapa yang ingin mencarinya, maka carilah pada malam dua puluh tujuh.”

Juga senada dengan hadits dari Jabir bin Samurrah yang ditakhrij at-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath. Senada dengan hadits dari Muawiyah yang ditakhrij oleh Abu Dawud. Pendapat kedua puluh satu ini disebutkan oleh pengarang kitab al-Hilyah (salah seorang ulama as-Syafi'iyah) sebagai pendapat yang berasal dari mayoritas ulama.

Pendapat kedua puluh lima: lailatul qadar itu terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Aisyah dan selainnya dalam bab ini. Inilah pendapat yang paling kuat dan dipegang oleh Abu Tsaur, al-Muzani, Ibnu Khuzaimah, dan sejumlah ulama dari beberapa madzhab yang ada.

Pendapat kedua puluh tujuh: lailatul qadar itu berpindah-pindah pada sepuluh hari terakhir seluruhnya, sebagaimana dikatakan Abu Qulabah, ditetapkan pula oleh Malik, ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq, bahkan al-Mawardi menduga pendapat inilah yang disepakati, seakan-akan diambil dari hadits Ibnu Abbas bahwa sahabat bersepakat lailatul qadar itu terjadi pada sepuluh hari terakhir. Kemudian mereka berbeda pendapat dalam menentukan hari keberapa dari sepuluh hari terakhir tersebut, sebagaimana dipaparkan sebelumnya: Ibnu Hajar menyebutkan hadits-hadits lain yang menopang pendapat ini.

Pendapat kedua puluh delapan: as-Syafi'i berkata: aku berharap itu adalah malam dua puluh satu.

Setelah Ibnu Hajar menyebutkan seluruh pendapat yang berjumlah empat puluh enam buah, selanjutnya beliau mengatakan: .”..yang paling rajih dari semua pendapat itu adalah bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir, dan lailatul qadar itu berpindah-pindah sebagaimana dipahami dari beberapa hadits yang terkait masalah ini. Yang paling diharapkan adalah pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari tersebut, dan yang paling diharapkan di antara malam ganjil dari sepuluh hari tersebut di kalangan ulama as-Syafi'iyah adalah malam dua puluh satu, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Said, Abdullah bin Unais. Yang paling diharapkan menurut jumhur ulama adalah malam dua puluh tujuh. Dalil-dalil atas seluruh pendapat tersebut sudah aku kemukakan sebelumnya…”

Yang benar adalah bahwa masalah ini termasuk perkara yang rumit, tidak lain karena ada perbedaan dan pertentangan di antara beberapa nash terkait masalah itu, di mana setiap kelompok mengambil satu nash atau lebih, mengambil kesimpulan sebagai pendapatnya dalam masalah tersebut.
Dan setiap kelompok tidak mampu mengkompromikan di antara nash-nash yang kontradiktif tersebut, serta tidak ada penjelasan tentang letak kekeliruan dalam hal istidlalnya.

Di sini, saya ingin menuliskan bahwa sebagian besar perbedaan pendapat yang ada di antara madzhab dan para ulama tersebut, terutama berasal dari hadits-hadits dhaif, juga dari sikap berpegang teguh pada satu nash atau dua nash, seraya mengabaikan nash-nash yang lain.
Seandainya para fukaha itu meninggalkan hadits-hadits dhaif, kemudian mempertimbangkan dan mengkaji seluruh nash-nash yang layak untuk dijadikan sebagai dalil secara proporsional, lalu mereka tidak mengistimewakan satu nash atau dua nash untuk dikaji dan digali, niscaya perbedaan di antara mereka bisa dipersempit, bahkan perbedaan tersebut bisa ditekan hingga ke titik nol.

Dengan kata lain, saya ingin katakan sebagai berikut: pangkal sebagian besar perbedaan pendapat di antara para imam dan fukaha itu adalah ketika mereka berpegang pada hadits-hadits dhaif -dan hadits-hadits ini saling berbeda dengan tingkat yang sangat besar hingga seringkali sampai pada derajat saling bertentangan- dan bisa juga karena mereka tidak cukup mengerahkan segenap kemampuan untuk mengkompromikan nash-nash shahih tersebut, malah mereka membatasi diri pada satu atau dua nash yang dipandang cukup oleh seorang ahli fikih untuk diambil kesimpulan hukumnya, seraya berpandangan bahwa sejumlah nash-nash shahih lainnya cukup disingkirkan ke samping saja.

Seperti yang sudah saya lakukan dalam kitab saya sebelumnya, yakni kitab al-Jami li Ahkam as-Shalat (sudah diterjemahkan dengan judul Tuntunan Shalat Berdasarkan Quran dan Hadits -pent.), dalam kitab ini pun saya bersandar pada patokan untuk meninggalkan hadits-hadits dhaif. Yang saya maksud sebagai hadits dhaif adalah hadits yang disepakati kedhaifannya oleh para ahli hadits (al-muhadditsun). Sedangkan hadits-hadits yang diperselisihkan oleh para ahli hadits, terkadang saya ambil, tetapi kadangkala juga saya tinggalkan, berdasarkan sesuai atau tidaknya dengan hadits-hadits yang layak digunakan sebagai dalil (al-ahadits as-shalihah lil istidlal). Saya juga tetap berpegang pada hadits-hadits shahih dan hasan, di mana saya letakkan hadits-hadits tersebut sebagai landasan pembahasan.

Jika saya melihat ada perbedaan atau pertentangan secara nyata di antara nash-nash tersebut, maka saya akan mengerahkan segenap kemampuan untuk mengamalkan seluruhnya walaupun harus melalui penakwilan. Hal ini lebih utama daripada harus mengabaikan sebagian nash tersebut.

Sekarang saya kembali pada pokok pembahasan kita. Saya nyatakan khususnya terkait penetapan lailatul qadar dan perbedaan para imam dan fukaha terkait masalah tersebut sebagai berikut:

Pertama: banyak pendapat para ahli fikih yang dituturkan itu menurut saya tidak memiliki sandaran nash, padahal nash-nash shahih yang menyelesaikan dan menjelaskan perkara ini begitu banyak dan tidak samar lagi bagi mereka.
Di antara pendapat-pendapat mereka bisa dilihat dalam pendapat keempat, yang sebelumnya telah disebutkan: bahwa lailatul qadar itu mungkin terjadi di sepanjang tahun. Orang yang menyampaikan pendapat seperti ini tidak memiliki satu nash syar'i sama sekali yang bisa menopang pendapatnya. Mereka memilih pendapat Ibnu Mas’ud ra.: “Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam sepanjang tahun, niscaya dia akan mendapati lailatul qadar,” [atsar] yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Zirr bin Jaisy.
Mereka melupakan atau meninggalkan sepuluh nash nabawi yang berstatus shahih dan hasan. Saya tidak berasumsi kalau mereka tidak mengetahui bahwa perkataan-perkataan sahabat itu bukanlah nash dan dalil syara, semata-mata sekedar menjadi hasil ijtihad mereka saja, kecuali jika mereka bersepakat atas satu hukum, maka perkara tersebut menjadi ijma sahabat, dan ijma sahabat itu menjadi dalil syara.

Di antaranya adalah pendapat kesepuluh, di mana orang-orang yang melontarkan pendapat seperti itu berargumentasi dengan perkataan (atsar) Zaid bin Arqam, yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan at-Thabrani, lalu mereka meninggalkan nash-nash shahih dan hasan. Semoga Allah Swt. mengampuni mereka, terlebih lagi bahwa hadits Zaid bin Arqam dari riwayat al-Huth al-Khuza'i telah dikomentari Bukhari: hadits ini adalah hadits munkar. Al-Huth sendiri adalah seorang dhaif dalam pandangan para ahli hadits.

Di antara pendapat tersebut adalah pendapat kesebelas, di mana orang yang melontarkan pendapat seperti ini berargumentasi dengan perkataan Utsman bin Abil Ash dan al-Hasan al-Bashri, seakan-akan perkataan mereka berdua itu dipandang sebagai dalil. Mereka berargumentasi dengan perkataan para sahabat dan tabi’in yang tidak memiliki sandaran nash syara’. Sebenarnya persoalan ini mudah, tetapi semoga Allah Swt. mengampuni mereka.
Alih-alih meniti jalur yang benar, mudah dan datar -yakni nash-nash syara- mereka malah mengikuti jalan yang sulit, terjal dan bercabang. Seandainya saya menyebutkan empat puluh enam pendapat di atas seluruhnya, niscaya Anda akan melihat banyak keanehan dalam pendapat dan istidlal mereka.

Kedua: perkara lain yang menyebabkan banyaknya pertentangan di kalangan fukaha adalah sikap mereka yang kadangkala mengabaikan dalil yang bersifat khusus (al-khash) terhadap dalil yang bersifat umum (al-'am), dalil yang muqayyad di hadapan dalil yang mutlak (al-muthlaq), sehingga Anda terkadang akan mendapati mereka mengambil dan berpegang pada nash yang bersifat umum, padahal ada nash lain yang mengkhususkannya.
Misalnya pendapat kelima di atas: bahwa lailatul qadar itu dikhususkan pada bulan Ramadhan, yang mungkin terjadi pada seluruh malamnya. Kelompok yang melontarkan pendapat seperti ini telah bersandar pada ucapan Abdullah bin Umar yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dan ini merupakan perkataan yang bersifat umum -dengan asumsi seandainya perkataan Ibnu Umar itu dipandang sebagai nash syara, padahal tidak seperti itu- lalu mereka meninggalkan nash-nash yang begitu banyak yang telah membatasi lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

Misalnya lagi, perkataan kedua puluh tujuh, bahwa lailatul qadar itu berpindah-pindah pada sepuluh hari terakhir seluruhnya. Perhatikanlah kata seluruhnya, di mana pihak yang melontarkan pendapat seperti ini bersandar pada hadits Ibnu Abbas, bahwa para sahabat bersepakat lailatul qadar itu terjadi pada sepuluh hari terakhir. Ini pun perkataan yang bersifat umum, sedangkan nash-nash yang ada justru telah membatasi bahwa lailatul qadar itu terjadi pada hari-hari ganjil (al-awtar) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sehingga, menyebutkan kata seluruhnya, tidak memiliki makna sama sekali.

Ketiga: perkara lain yang menyebabkan banyak perbedaan di antara ahli fikih ini adalah terkadang ada kecenderungan pada mereka untuk menakwilkan lafadz-lafadz nash, dan memahaminya dengan sesuatu yang tidak dikandungnya, padahal pada saat yang sama mereka memiliki nash-nash yang tegas dan jelas, yang tidak mungkin ditakwilkan lagi atau ditafsirkan terlalu jauh. Misalnya, perkataan kedua puluh satu: lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh. Pihak yang melontarkan pendapat tersebut berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Muslim [2779] dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Kami ramai membicarakan tentang lailatul qadar, maka Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa di antara kalian yang ingat ketika bulan purnama muncul seperti setengah piring besar?”

Kata syaqqu jafnah: yakni setengah ukuran piring yang besar. Mereka kemudian cenderung berpihak pada Abul Hasan al-Farisi ketika menjelaskan nash ini, di mana Abu Hasan al-Farisi berkata: ini adalah malam dua puluh tujuh, karena pada malam tersebut bulan terbit dengan sifat tersebut. Seolah-olah sifat ini tidak ada yang tahu kecuali Abu Hasan seorang. Saya tidak tahu apa yang mereka katakan tentang hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad [23517] dari Abu Ishaq, bahwa dia mendengar Abu Hudzaifah mengabarkan dari salah seorang sahabat Rasulullah Saw., dari Nabi Saw., berkata:

“Aku melihat bulan pada pagi hari lailatul qadar, aku melihatnya seperti setengah piring besar.” Abu Ishaq berkata: Sesungguhnya bentuk bulan seperti itu pada malam dua puluh tiga.”

Interpretasi mana yang harus kita pegang? Apakah interpretasi Abul Hasan al-Farisi ataukah interpretasi Abu Ishaq?

Keempat: saya meminta maaf kepada para pembaca seandainya saya terlalu panjang lebar dalam masalah ini. Perkara ini, yakni perbedaan pendapat yang demikian lebar di antara ahli fikih, sebenarnya membutuhkan satu tempat tersendiri yang lebih luas, bahkan satu kitab tersendiri. Bagi orang yang ingin mengurangi dan menekan perbedaan di antara madzhab dan fukaha, maka saya perlu sampaikan:

Sedemikian luas dan lebarnya perbedaan di antara madzhab dan ahli fikih, selain disebabkan oleh beberapa perkara yang saya sebutkan di atas, disebabkan pula oleh tindakan mereka yang menghimpun pendapat-pendapat yang nampak bagi mereka saling bertentangan di satu tempat dan satu perlakuan, dengan diambil lalu digunakan sebagai dalil tanpa berusaha melakukan tarjih sama sekali.
Misalnya adalah pendapat dua puluh tujuh: berpindah-pindahnya lailatul qadar di sepuluh hari terakhir seluruhnya. Artinya, lailatul qadar itu datang di satu tahun pada malam dua puluh tiga, kemudian di tahun depan pada malam dua puluh lima, dan pada tahun berikutnya pada malam dua puluh tujuh, begitu seterusnya.
Mereka menggali pendapat ini dari beberapa nash: setiap nash menceritakan datangnya lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir, lalu mereka menghimpunnya di satu tempat tanpa melakukan pentarjihan. Dan mereka mengatakan lailatul qadar itu berpindah-pindah, walaupun nash-nash yang ada tidak menyebutkan kondisi berpindah-pindah itu sama sekali.
Sebenarnya, nash-nash tersebut hanya menyebutkan malam-malam yang berbeda, atas dasar setiap malam darinya adalah lailatul qadar itu sendiri.

Kelima: mereka melakukan tarjih antara satu nash atas nash yang lain, bahkan pada nash-nash yang memiliki tingkat keshahihan yang sama, dengan tanpa menyebutkan sebab-sebab pentarjihan ini, yang menyebabkan tetap terbukanya ruang perbedaan dan pertentangan yang cukup luas di hadapan mereka.
Sebab, selama tarjih yang dilakukan tidak disertai dengan penjelasan sebab-sebab pentarjihan maka setiap ahli fikih bisa berpegang pada satu nash di antara nash-nash tersebut, lalu mereka akan mentarjihnya dan hanya menjadikan satu nash tersebut sebagai dalilnya. Hal ini membuka pintu yang amat luas untuk mengambil seluruh nash yang begitu banyak dan saling bertentangan, sehingga semakin banyak pula pendapat ulama dan semakin beragam dan berbeda pula bilangannya.
Misalnya, pendapat ketiga belas: lailatul qadar itu adalah malam sembilan belas. Yang ditarjih oleh pihak yang melontarkannya tanpa menjelaskan sebabnya.
Contoh lain adalah pendapat keempat belas dan pendapat kedua puluh delapan, di mana tarjih-taijih dalam masalah itu dilakukan tanpa menjelaskan sebab-sebab pentarjihan, sehingga tidak mampu mencegah pihak lain untuk menolaknya dan melakukan tarjih yang lain lagi.

Untuk menjelaskan hal sebenarnya dalam masalah ini, maka kita harus meneliti nash-nash terkait yang begitu banyak dan saling bertentangan:

Himpunan Hadits dari Abu Said al-Khudri ra.:

1. Dari Abu Said ra., ia berkata:

“Kami beri’tikaf bersama Nabi Saw. pada sepuluh hari pertengahan dari bulan Ramadhan, kemudian beliau Saw. keluar pada pagi hari kedua puluh, dan beliau Saw. berkhutbah. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku lailatul qadar, kemudian aku dilupakan tentangnya, maka carilah oleh kalian pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir. Dan sesungguhnya aku melihat diriku sedang bersujud di atas air dan tanah, maka barangsiapa yang beri’tikaf bersamaku maka kembalilah.” Lalu kami pun kembali, dan kami tidak melihat sedikitpun awan bergerak di langit. Tiba-tiba datanglah awan dan turunlah hujan hingga mengalir dari atap masjid yang terbuat dari daun kurma, kemudian iqamat shalat dikumandangkan, dan aku melihat Rasulullah Saw. bersujud di atas air dan tanah, hingga aku bisa melihat bekas tanah di dahinya.” (HR. Bukhari [2016, 2018, 2036] dan Muslim [2769, 2772])

2. Dari Abu Said al-Khudri ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan. Pada suatu tahun beliau Saw. beri’tikaf, hingga tiba malam dua puluh satu -yakni malam yang pada pagi harinya beliau Saw. keluar dari i’tikaf- dan berkata: “Barangsiapa beri’tikaf bersamaku maka beri’tikaflah sepuluh hari terakhir; sungguh malam ini telah diperlihatkan kepadaku kemudian aku dilupakannya, dan sungguh aku bermimpi melihat diriku bersujud di atas air dan tanah di pagi harinya, maka carilah pada sepuluh hari terakhir; dan carilah pada malam-malam ganjil. Lalu langit pun mencurahkan hujan pada malam itu, dan masjid berdiri di atas tiang-tiang penopang sehingga masjid pun bocor. Aku melihat Rasulullah Saw. dengan mataku, di dahinya ada bekas air dan tanah dari shalat subuh malam dua puluh satu.” (HR. Bukhari (2027), Muslim, Malik, Abu Dawud, dan al-Baihaqi)

3. Dari Abu Said ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan dari bulan Ramadhan untuk mencari lailatul qadar sebelum ditampakkan kepadanya. Ketika selesai, beliau Saw. memerintahkan kemahnya dibongkar. Lalu dibongkar. Kemudian malam tersebut ditampakkan kepadanya bahwa itu akan terjadi pada sepuluh hari terakhir. Beliau Saw. memerintahkan, dan kemah pun dibangun kembali. Lalu beliau Saw. keluar menemui orang-orang, dan beliau Saw. bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya telah ditampakkan lailatul qadar itu kepadaku, dan sesungguhnya aku keluar untuk memberitahukannya kepada kalian. Setelah itu datang dua laki-laki yang saling bertengkar, bersama keduanya ada setan, sehingga aku dilupakannya. Maka carilah lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, carilah pada kesembilan, ketujuh, kelima , (hari yang tersisa)…” (HR. Muslim)

Abu Said telah menafsirkan kesembilan itu sebagai malam 21, ketujuh sebagai malam 23, ke lima sebagai malam 25.

4. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. beri’tikaf pada sepuluh hari pertama dari bulan Ramadhan, kemudian beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan lalu beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya aku telah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mencari malam ini, kemudian aku beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan, lalu aku didatangi dan diberitahu: Sesungguhnya lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir. Barangsiapa yang suka di antara kalian untuk beri’tikaf maka beri’tikaflah.” Lalu orang-orang beri’tikaf bersama beliau Saw. Dia berkata: “Dan aku diperlihatkan lailatul qadar itu pada malam ganjil...” (HR. Muslim [2771])

Himpunan Hadits dari Abdullah bin Umar ra.

1. Dari Ibnu Umar ra.:

“Bahwa beberapa sahabat Nabi Saw. telah bermimpi melihat lailatul qadar dalam tidurnya pada tujuh hari terakhir, maka Rasulullah Saw. bersabda:

“Aku mengetahui mimpi kalian itu bersesuaian, yakni pada tujuh hari terakhir, maka barangsiapa yang ingin mencarinya maka carilah pada tujuh hari terakhir.” (HR. Bukhari [2015], Muslim, Ahmad, ad-Darimi dan Ibnu Hibban)

2. Dari Ibnu Umar ra., dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Carilah lailatul qadar itu pada tujuh hari terakhir.” (HR. Muslim [2762], Malik, Ahmad, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ad-Darimi)

3. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata:

“Seseorang bermimpi bahwa lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh, maka Rasulullah Saw. berkata: “Aku melihat mimpi kalian itu pada sepuluh hari terakhir, maka carilah lailatul qadar itu pada malam-malam ganjil sepuluh darinya.” (HR. Muslim [2763])

4. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda:

“Carilah lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian lemah, maka janganlah dikalahkan pada tujuh hari yang tersisa.” (HR. Muslim [2765], Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal [1111] telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Ali ra. dengan redaksi:

“Carilah lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Jika pada hari-hari sebelumnya dikalahkan, maka janganlah kalian dikalahkan pada tujuh hari yang tersisa.”

5. Dari Abdullah bin Umar ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang ingin mencarinya maka carilah ia pada malam dua puluh tujuh,” dan beliau Saw. bersabda: “Carilah ia pada malam dua puluh tujuh, yakni lailatul qadar.” (HR. Ahmad [4808])

Himpunan Hadits dari Abdullah bin Abbas ra.:

1. Dari Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir, pada sembilan hari tersisa, pada tujuh hari yang tersisa, pada lima hari yang tersisa.” (HR. Bukhari [2021], Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi)

Al-Bazzar [1029] meriwayatkan hadits ini dari jalur Anas. Abu Dawud at-Thayalisi [881], Ahmad, dan Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz berbeda-beda dari jalur Abu Bakrah:

“Pada sembilan hari tersisa, atau tujuh hari tersisa, atau lima hari tersisa, atau tiga hari tersisa, atau malam terakhir.”

Abu Dawud at-Thayalisi pun [2166] meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Said al-Khudri ra. dengan redaksi:

“Carilah lailatul qadar pada tujuh hari yang tersisa, lima hari yang tersisa, atau tiga hari yang tersisa.”

2. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Aku telah didatangi ketika aku sedang tidur pada bulan Ramadhan, lalu aku diberitahu bahwa malam itu adalah lailatul qadar. Ia berkata: kemudian aku berdiri dan dalam keadaan mengantuk, lalu aku berpegangan dengan sebagian tali kemah Rasulullah Saw. Dia berkata: ternyata beliau Saw. sedang shalat. Lalu aku mengingat-ngingat malam itu, ternyata itu adalah malam dua puluh tiga.” (HR. Ahmad [2547], Ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir, dan Ibnu Abi Syaibah)
Dhaif.

3. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Bahwa seorang laki-laki telah mendatangi Rasulullah, lalu dia berkata: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku seorang tua renta yang suka sakit-sakitan, dan sulit bagiku melakukan shalat malam, maka perintahkanlah aku pada suatu malam, semoga Allah Swt. memberikan taufiknya kepadaku di malam itu agar bisa memperoleh lailatul qadar.” Dia berkata:

“Engkau harus menetapi yang ketujuh.” (HR. Ahmad [2149] dan al-Baihaqi)
Dhaif.

Kumpulan Hadits dari Zirr bin Hubaisy, dari Ubay bin Kaab ra.:

1. Zirr bin Hubaisy, dia berkata:

“Aku bertanya kepada Ubay bin Kaab, aku berkata: Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas'ud berkata: Barangsiapa yang melakukan qiyam sepanjang tahun maka dia akan memperoleh lailatul qadar. Maka Ubay berkata: Semoga Allah Swt. merahmatinya, agar dia tidak bermaksud memberatkan manusia. Adapun dia (Ibnu Mas'ud) sesungguhnya telah mengetahui bahwa lailatul qadar itu terdapat pada bulan Ramadhan. Lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir dan lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh. Kemudian dia (Ubay bin Kaab) bersumpah tanpa mengecualikan bahwa lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh. Aku pun bertanya: Dengan dasar apa engkau mengatakan hal itu wahai Abu al-Mundzir? Dia berkata: Berdasarkan ciri-ciri, atau tanda-tanda yang telah diberitahukan Rasulullah Saw. kepada kami: bahwasanya matahari terbit pada hari itu tidak bercahaya.” (HR. Muslim [2777] dan Ahmad)

Dan lafadz riwayat Muslim yang kedua [2778]:

“Ubay berkata tentang lailatul qadar: Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mengetahui tentangnya. –Syu’bah berkata- dan yang paling aku ketahui tentang malam yang diperintahkan Rasulullah Saw. untuk ber-qiyam adalah malam dua puluh tujuh.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi dengan redaksi kalimat yang sedikit berbeda.

2. Dari Zirr ia berkata: aku mendengar Ubay bin Kaab ra. berkata:

“Malam dua puluh tujuh adalah malam yang dikabarkan Rasulullah Saw. kepada kami, bahwa matahari terbit bercahaya putih.” (HR. Ahmad [21510] dan Ibnu Abi Syaibah)

3. Dari Zirr dari Ubay bin Kaab ra., ia berkata:

“Para sahabat Rasulullah Saw. ramai membicarakan lailatul qadar, maka Ubay berkata: Demi Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya, aku mengetahui pada malam apa lailatul qadar itu, yakni malam yang telah dikabarkan Rasulullah Saw. kepada kami, malam ketika dua puluh tujuh hari telah berlalu dari Ramadhan, dan tanda-tanda lailatul qadar itu adalah bahwa matahari terbit pagi dari malam itu bercahaya putih tanpa sinar. Salamah bin Kuhail menduga Zirr memberitahunya bahwa dia telah mengintainya selama tiga tahun dari hari pertama masuk Ramadhan hingga hari terakhir Ramadhan, lalu dia melihat matahari terbit di pagi hari kedua puluh tujuh bercahaya putih tanpa sinar.” (HR. Ahmad [21509], Abu Dawud dan al-Baihaiqi)

4. Dari Zirr, ia berkata:

“Seandainya tidak ada orang-orang bodoh di antara kalian, niscaya aku meletakkan tanganku di kedua telingaku, lalu aku serukan: Sesungguhnya lailatul qadar itu terjadi pada malam dua puluh tujuh, (ini) adalah berita orang yang tidak pernah berdusta padaku, yang bersumber dari berita orang yang tidak pernah berdusta padanya, yakni Ubay bin Kaab, dari Nabi Saw.” (HR. Ibnu Khuzaimah [2187])

Abdulah bin Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, dan Abu Dawud at-Thayalisi telah meriwayatkan hadits ini secara maknawi.

Kumpulan Hadits dari Abu Dzar ra.:

1. Dari Abu Dzar ra., ia berkata:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang lailatul qadar, apakah (datang) pada bulan Ramadhan ataukah selainnya? Beliau Saw. menjawab: “Lailatul qadar itu pada bulan Ramadhan.” Dia berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah, lailatul qadar itu ada bersama para Nabi selama mereka ada, jika para Nabi diwafatkan apakah lailatul qadar juga diangkat ataukah tetap ada hingga hari kiamat? Beliau Saw. berkata: “Ia ada hingga hari kiamat.” Dia berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah, lailatul qadar itu datang pada bagian Ramadhan yang mana? Beliau Saw. berkata: “Carilah pada sepuluh hari pertama dan sepuluh hari terakhir.” Kemudian Rasulullah Saw. berbicara dan berbicara hingga aku bisa mempergunakan kesempatan ketika beliau Saw. lupa, lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, pada sepuluh hari yang mana (lailatul qadar itu turun)? Beliau Saw. berkata: “Carilah pada sepuluh hari terkahir, dan janganlah engkau bertanya kepadaku tentang apapun setelahnya.” Setelah itu Rasulullah Saw. berbicara dan berbicara, hingga aku bisa mempergunakan kesempatan ketika beliau Saw. lupa, lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, aku bersumpah engkau mau memberitahukan aku atau engkau tidak memberitahukan aku pada bagian manakah dari sepuluh hari itu (datangnya) lailatul qadar tersebut? Dia berkata: maka Rasulullah Saw. sangat marah kepadaku, di mana tidak pernah beliau Saw. marah seperti itu kepadaku sebelumnya, dan tidak juga setelahnya, kemudian beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya Allah Swt. seandainya menghendaki niscaya Dia akan menampakkan lailatul qadar itu kepada kalian, carilah lailatul qadar itu pada tujuh hari terakhir.” (HR. al-Hakim [I/437], dibenarkan dan diakui oleh ad-Dzahabi)

Ahmad, an-Nasai dan al-Bazzar meriwayatkan hadits ini juga.

2. Dari Abu Dzar ra., ia berkata:

“Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah Saw., dan beliau Saw. tidak melaksanakan shalat malam mengimami kami dari bulan itu hingga tersisa tujuh hari. Setelah itu beliau Saw. shalat malam mengimami kami hingga lewat sekitar sepertiga malam, kemudian beliau Saw. kembali tidak mengimami kami pada malam keempat. Lalu beliau Saw. mengimami kami pada malam berikutnya, hingga lewat sekitar setengah malam. Dia berkata: lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau mau mengimami kami shalat nafilah pada sisa malam ini?” Maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki itu jika telah berdiri shalat bersama imam hingga selesai, maka cukuplah baginya sisa malamnya itu.” Kemudian beliau Saw. tidak (melaksanakan) shalat malam mengimami kami pada malam keenam (malam kedua puluh enam), dan berdiri mengimami kami pada malam ketujuh (malam kedua puluh tujuh). Dia berkata: dan beliau Saw. mengutus seseorang pada keluarganya dan berkumpullah orang-orang. Lalu beliau Saw. melaksanakan qiyam Ramadhan mengimami kami hingga kami khawatir al-fallah telah luput.” Dia berkata: aku bertanya: Apakah al-fallah itu? Dia berkata: Sahur.” (HR. Ahmad [21778])

3. Dari Abu Dzar ra., ia berkata:

“Kami melaksanakan shalat malam bersama Rasulullah Saw. malam dua puluh tiga pada bulan Ramadhan hingga sepertiga malam yang pertama. Kemudian beliau Saw. berkata: “Aku tidak bisa mengira apa yang kalian cari melainkan masih ada di belakang kalian.” Setelah itu kami kembali melaksanakan shalat malam bersamanya pada malam dua puluh lima hingga pertengahan malam. Lalu beliau Saw. berkata: “Aku tidak bisa mengira apa yang kalian cari melainkan masih berada di belakang kalian.” Setelah itu kami melaksanakan shalat malam bersamanya pada malam dua puluh tujuh hingga (hampir) pagi, dan beliau Saw. diam.” (HR. Imam Ahmad [21899] dengan sanad berstatus jayyid)
Dhaif.

Kumpulan Hadits dari Ubadah bin Shamit ra.:

1. Dari Ubadah bin Shamit ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Lailatul qadar itu terdapat pada sepuluh hari tersisa, barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan pada malam-malam itu dalam rangka mencari pahalanya, maka sesungguhnya Allah Swt. akan mengampuni segala dosa yang dilakukannya di masa lalu dan akan datang, dan itu terjadi pada malam-malam ganjil: kesembilan, ketujuh, kelima, ketiga, atau malam terakhir: Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya ciri-ciri lailatul qadar itu adalah bahwa malam tersebut bersih berseri, seolah ada purnama yang bersinar, tenang tenteram, tidak dingin dan juga tidak panas, dan tidak boleh ada bintang dilemparkan di malam itu hingga pagi, dan juga beberapa cirinya adalah bahwa matahari di pagi harinya keluar dan bertahta tanpa cahaya, seperti rembulan di malam purnama, dan setan tidak boleh keluar bersamanya pada hari itu.” (HR. Ahmad [23145])

Sebelumnya hadits ini telah kami sebutkan pada poin ketiga pembahasan “Ciri-Ciri Lailatul Qadar."

2. Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Carilah ia pada malam kesembilan, ketujuh dan kelima, yakni lailatul qadar.” (HR. Ahmad [23043])

Dalam riwayat Ahmad yang lain [23089/23090] dari jalur yang sama disebutkan dengan lafadz:

“Maka carilah ia pada sepuluh hari terakhir, karena lailatul qadar itu ada pada malam-malam ganjil, pada malam dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan, atau pada malam terakhir.”

3. Dari Ubadah bin Shamit ra., ia berkata:

“Nabi Saw. keluar untuk memberitahukan kami tentang lailatul qadar. Lalu dua orang dari kalangan kaum Muslim saling mencaci. Maka dia berkata: “Aku keluar untuk memberitahukan kepada kalian tentang lailatul qadar, lalu si fulan dan si fulan saling mencaci hingga diangkatlah ia (lailatul qadar tersebut), semoga (diangkatnya hal itu) menjadi sesuatu yang lebih baik untuk kalian, maka carilah pada malam kesembilan, ketujuh dan kelima.” (HR. Bukhari [2023], Ahmad, al-Baihaqi, ad-Darimi, dan Abu Dawud at-Thayalisi)

Dalam kitab Shahih Bukhari [49] pada riwayat Ismail bin Jafar dari Humaid, dari Anas, dari Ubadah bin Shamit disebutkan dengan lafadz:

“Maka carilah pada malam sembilan, tujuh dan lima.”

Kumpulan Hadits dari Beberapa Sahabat Lainnya

1. Dari Aisyah ra., isteri Nabi Saw.:

“Bahwa Nabi Saw. biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hingga beliau Saw. diwafatkan Allah Swt. Kemudian isteri-isterinya beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhari [2025], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)

2. Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. biasa beri’tikaf (bermujawarah) pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, dan beliau Saw. bersabda: “Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari [2020] dan Tirmidzi)

Muslim [2782] meriwayatkan hadits ini secara terpisah:

“Rasulullah Saw. biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.”

“Aisyah berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” [2776]

3. Dari Ummu Salamah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. beri’tikaf pada tahun pertama pada sepuluh hari pertama, kemudian beliau Saw. beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan (alias kedua), lalu beliau Saw. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir. Dan ia berkata: “Sesungguhnya aku melihat lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir tersebut, lalu aku dilupakan tentangnya.” Dan Rasulullah Saw. terus-menerus beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir hingga wafat.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir [23/9941) Al-Haitsami berkata: sanadnya berstatus hasan.

4. Dari Muawiyah ra., dari Nabi Saw. ia berkata:

“Lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh.” (HR. Ibnu Hibban [3680], Abu Dawud, al-Baihaqi, at-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah)
Dhaif.

5. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. berkata tentang lailatul qadar:

“Sesungguhnya lailatul qadar itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan, dan sesungguhnya malaikat pada malam itu yang berada di bumi lebih banyak dari bilangan kerikil.” (HR. Abu Dawud at-Thayalisi [2545] dan Ibnu Khuzaimah)

Ahmad, at-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Ausath, dan al-Bazzar meriwayatkan hadits ini juga. Al-Ha'itsami berkata: para perawinya adalah orang-orang tsiqah.
Dhaif.

6. Dari Umar bin Khattab, ia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. berkata tentang lailatul qadar sebagaimana yang telah kalian ketahui, maka carilah ia pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir, maka pada malam ganjil manapun kalian akan melihatnya.” (HR. Ahmad [85], al-Bazzar dan Abu Ya’la)

Al-Haitsami berkata: para perawi Abu Ya'la adalah orang-orang tsiqah.

7. Dari Busr bin Said, dari Abdullah bin Unais, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Lailatul qadar telah diperlihatkan kepadaku, lalu aku dilupakan tentangnya, tetapi diperlihatkan kepadaku bahwa pada subuh harinya aku bersujud di atas air dan tanah.” Dia (Abdullah bin Unais) berkata: kemudian kami diguyur hujan pada malam dua puluh tiga, lalu Rasulullah Saw. shalat mengimami kami. Setelah itu beliau Saw. pergi, dan bekas air dan tanah terdapat pada dahi dan hidungnya. Dia berkata: dan Abdullah bin Unais berkata: Dua puluh tiga.” (HR. Muslim [2775], Ahmad dan al-Baihaqi)

Dalam riwayat Ahmad yang lain [16142] dari jalur yang sama disebutkan dengan redaksi:

“Maka kami bertanya kepada beliau Saw.: Wahai Rasulullah, kapan kami harus mencari malam yang penuh berkah ini? Beliau Saw. berkata: “Carilah lailatul qadar itu pada malam ini.” Dan dia berkata: dan saat itu adalah sore hari menjelang malam dua puluh tiga.”

Ini bisa ditemukan juga dalam riwayat yang ditakhrij al-Baihaqi [4/309] dari jalur yang sama:

“Maka beliau Saw. memerintahkan kami (mencarinya) pada malam dua puluh tiga.”

8. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Berapa hari telah berlalu dari bulan ini?” Mereka berkata: telah berlalu dua puluh dua hari, yang tersisa tinggal delapan hari. Maka beliau Saw. berkata: “Yang benar adalah berlalu dua puluh dua hari, dan yang tersisa adalah tujuh hari, maka carilah lailatul qadar itu pada malam ini.” (HR. al-Baihaqi [4/310] dan Ahmad)
Dhaif.

9. Dari Nu’man bin Basyir ra., ia berkata di atas mimbar kota Himsh:

“Kami melaksanakan shalat malam (qiyam Ramadhan) pada malam dua puluh tiga bulan Ramadhan hingga sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat malam bersamanya pada malam dua puluh lima hingga pertengahan malam. Lalu beliau Saw. shalat malam mengimami kami pada malam dua puluh tujuh, hingga kami menyangka kami tidak akan mendapati al-falah. Dia berkata: waktu itu kami menyebut sahur dengan istilah al-falah, adapun kami, maka kami mengatakan: malam ketujuh adalah malam kedua puluh tujuh, adapun kalian mengatakan: malam dua puluh tiga sebagai malam ketujuh, siapakah yang lebih benar: kami ataukah kalian.” (HR. Ahmad [18592], an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

10. Dari Abdullah bin Mas'ud ra., ia berkata:

“Nabi Saw. ditanya tentang lailatul qadar. Maka beliau Saw. berkata: “Aku telah diberitahu tentang malam itu, kemudian lepas dariku, maka carilah lailatul qadar itu pada tujuh yang tersisa atau tiga yang tersisa (perawi ragu).” (HR. al-Bazzar [1028])
Al-Haitsami berkata: para perawinya adalah orang-orang tsiqah.
Dhaif.

11. Dari Anas ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Carilah lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir, pada kesembilan, ketujuh, dan kelima.” (HR. al-Bazzar [1029])

Al-Haitsami berkata: para perawinya adalah orang-orang shahih.

12. Dari Jabir bin Samurrah ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:

“Carilah lailatul qadar itu pada malam dua puluh tujuh.” (HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam as-Shaghir [285])
Dhaif.

Maka saya sampaikan -dan semoga Allah Swt. menunjukkan kita pada kebenaran- berikut:

Pertama: terdapat beberapa hadits shahih yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dan ada beberapa hadits shahih yang ditakhrij menyendiri oleh Bukhari ataupun oleh Muslim, atau selain keduanya.
Jika hadits-hadits tersebut termasuk hadits-hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, maka hadits-hadits itu berada di posisi puncak dari segi istidlal, dan lebih dahulu digunakan ketika terjadi pertentangan dan perbedaan.
Ada pula hadits-hadits shahih dan yang lainnya terkategorikan sebagai hadits hasan, jika hadits tersebut bersesuaian, maka semuanya layak untuk dijadikan sebagai dalil, dan jika bertentangan maka yang diambil adalah hadits yang shahih, dan yang tertolak adalah hadits hasan.

Kedua: dengan meneliti nash-nash yang disebutkan dengan jumlah sekitar tiga puluh nash, maka kita mendapati bahwa nash yang disepakati (al-muttafaq 'alaih) yakni hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya aku telah diperlihatkan kepadaku lailatul qadar, kemudian aku dilupakan tentangnya.” Redaksi hadits ini berada di tingkat tertinggi dari sisi kelayakan dan keshahihannya, dan tidak ada nash lain yang bisa melawan dan menandingi keshahihan dan kelayakannya seandainya nash tersebut menyalahinya.

Nash-nash yang menyalahinya (menyalahi nash al-muttafaq 'alaih ini) akan turun derajatnya dari semula, terlebih lagi satu nash pun darinya yang menjelaskan bahwa pernyataan atau peristiwa tersebut datang belakangan sehingga saat itu ada kemungkinan terjadi nasakh. Seluruh nash ini terjadi dalam satu waktu, dilihat dari sisi sejarah, sehingga tidak ada nasakh sama sekali dalam perkara ini.

Ketiga: jika ditemukan perkataan kenabian (al-qaul an-nabawi) dalam satu masalah, lalu ditemukan pula perkataan-perkataan dari sahabat dalam masalah yang sama, maka perkataan-perkataan sahabat itu mesti ditinggalkan dan tidak layak dipertimbangkan.
Dalam masalah yang sedang kita bahas ini bisa kita temukan perkataan Nabi Saw., bahkan beberapa perkataan Nabi, sehingga tidak perlu lagi kita menyebutkan perkataan-perkataan para sahabat dalam masalah ini.
Dalam hal ini, saya meninggalkan dan tidak mencantumkan perkataan sahabat tersebut. Bagi siapa yang ingin lebih dalam menelaah perkataan yang berasal dari para sahabat itu, maka dipersilahkan untuk mengkaji kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah. Contohnya yang terdapat pada juz II halaman 488, 489, dan 490.

Keempat: jika Rasulullah Saw. telah memerintahkan kita untuk melaksanakan suatu perkara, atau melarang kita dari satu perkara, maka kita wajib mentaatinya. Dan jika Rasulullah Saw. telah memberitahukan sebuah kabar kepada kita, maka kita harus membenarkannya dan tidak boleh sama sekali mendustakannya.
Di sini Rasulullah Saw. telah memberitahu kita melalui satu nash yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (al-muttafaq 'alaih) di mana beliau Saw. mengetahui lailatul qadar, kemudian beliau lupa atau lebih tepatnya lagi dilupakan, yakni Allah Swt. telah menjadikannya lupa tentang lailatul qadar tersebut. Tidak kita dapati satu nash pun yang mengabarkan kepada kita bahwa Rasulullah Saw. bisa ingat kembali tentang hal itu. Mengingat bahwa kabar ini adalah shahih dan berposisi tertinggi di antara nash-nash yang ada, dan mengingat pula bahwa kabar ini tidak mengalami penggantian dan tidak pula perubahan, maka setiap Muslim, baik seorang ahli fikih ataupun bukan, harus menerima kabar ini dan tidak boleh menyatakan sesuatu yang menyalahi dan menyelisihinya.
Sehingga tidak boleh misalnya dia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. sepanjang hidupnya mengetahui kedatangan lailatul qadar, tetapi beliau Saw. menyembunyikannya dari kaum Muslim agar mereka bersungguh-sungguh beribadah pada hari-hari terakhir bulan Ramadhan, tidak hanya bersungguh-sungguh pada satu malam saja. Pernyataan-pernyataan seperti ini tidak boleh terlontar dari mulut seorang Muslim, baik yang fakih ataupun bukan, karena pernyataan-pernyataan seperti ini bertentangan dengan pernyataan Rasulullah Saw. bahwa Allah Swt. telah memperlihatkan lailatul qadar kepadanya, kemudian Allah Swt. menjadikannya lupa tentangnya, dan hal itu terus berlangsung hingga beliau Saw. wafat.
Lebih buruk dari itu adalah bila terdapat seorang Muslim, setinggi apapun tingkat ilmu pengetahuannya, lalu mengaku bahwa dia mengetahui kapan datangnya lailatul qadar, seolah-olah dengan perkataannya ini dia mengaku mengetahui satu perkara yang tidak diketahui oleh Rasulullah Saw., atau dia mengetahui sesuatu melampaui pengetahuan Rasulullah Saw.

Kelima: sejumlah sahabat, menurut riwayat yang dinukil dari mereka, dan sejumlah ahli fikih, telah menetapkan waktu turunnya lailatul qadar, di mana mereka berargumentasi dengan nash-nash yang telah saya sebutkan sebelumnya. Maka saya katakan: jika mereka telah melakukan penetapan waktu (at-tahdid) berdasarkan tanda yang dikabarkan oleh Rasulullah Saw., maka tahdid seperti ini tidak sampai pada tingkatan ilmu yang bersifat yakin dan pasti, semata-mata hanya sekedar bersifat dugaan (tahdid zhanni), yang bisa benar dan bisa juga salah.
Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa seluruh tahdid yang disandarkan kepada sahabat, tabi'in dan fukaha, semata-mata sampai pada taraf dugaan atau dugaan kuat saja. Sama sekali tidak termasuk ilmu yang bersifat yakin dan pasti, yang tidak boleh diselisihi.
Contoh atas hal itu adalah apa yang dituturkan melalui lisan sahabat yang mulia Ubay bin Kaab ra. Pernyataannya yang disebutkan dalam hadits poin kesatu dari Majmu’ah (Kumpulan Hadits) Zirr bin Jaisy: “Kemudian dia bersumpah tidak ada pengecualian bahwa lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh,” di mana dia berpendapat mengetahui penetapan waktu turunnya (tahdid) tersebut berdasarkan tanda yang didengarnya dari Rasulullah Saw. saja. Dia tidak mengklaim mengetahui tahdid tersebut dari ucapan Rasulullah Saw., di mana dia berkata: berdasarkan ciri-ciri, atau tanda-tanda yang telah diberitahukan Rasulullah Saw. kepada kami: bahwa malam tersebut matahari terbit dengan tanpa cahaya. Katakanlah hal serupa juga terkait dengan beberapa hadits lain yang diriwayatkan darinya. Ubay bin Kaab ra. mendengar tanda dan ciri-ciri tersebut dari Rasulullah Saw., kemudian dia berijtihad menerapkan tanda tersebut kedalam satu fakta, sehingga lahir satu kesimpulan bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam dua puluh tujuh. Dengan demikian, tahdid seperti ini merupakan ijtihadnya, bukan satu kabar yang dinukilnya kepada kita yang harus diterima dan diambil oleh kita.

Adapun kalimat dalam hadits: “kemudian dia bersumpah tanpa pengecualian”, itu tidak menafikan perkataan tersebut sebagai berasal dari ijtihadnya. Dan dengan adanya sumpah seperti itu tidak menjadikan pendapatnya tersebut sebagai kabar yang bersifat pasti, selama dia menyampaikan kesimpulan tersebut berasal dari pengamatannya terhadap tanda-tanda yang disampaikan Rasulullah saw.
Ijtihad dalam memahami tanda itu tidak menjadikan ijtihad tersebut sebagai penetapan waktu (tahdid) yang bersifat yakin pasti, jika tidak, niscaya sahabat Rasulullah Saw. akan bersepakat dengan tahdid yang dinyatakan oleh Ubay bin Kaab, bahkan seluruh kaum Muslim akan bersepakat dengan tahdid tersebut karena mereka juga mengetahui tanda tersebut.

Keenam: sebagian ahli fikih menduga bahwa sabda Rasulullah Saw.: “carilah lailatul qadaritu pada sembilan hari, tujuh hari, dan lima hari tersisa”, atau sabda beliau Saw.: “carilah lailatul qadar pada malam ganjil sepuluh hari terakhir”, menunjukkan bahwa beliau Saw. mengetahui penetapan waktu turun tersebut (at-tahdid), dan dengan ucapannya ini beliau Saw. hanya menginginkan kaum Muslim bersungguh-sungguh dalam beribadah. Pendapat seperti ini bisa jadi benar seandainya tidak ada perkataan beliau Saw. bahwa beliau Saw. telah lupa atau dilupakan terkait kapan datangnya lailatul qadar tersebut.
Perkataan beliau Saw. ini menafikan pemahaman apapun dari sisi ini, sehingga sebaiknya kaum Muslim tidak membahas dan membatasinya, dan hendaknya mereka bersikap tawadhu di hadapan Rasulullah Saw. yang mengajarkan kepada mereka bahwa beliau Saw. sendiri tidak mengetahui lailatul qadar tersebut secara pasti waktu turunnya.

Ketujuh: sebagai dalil bahwa berbagai amarah (tanda) tersebut keliru adalah apa yang kita peroleh dari dua sahabat yang mulia ini: Abu Said al-Khudri dan Abdullah bin Unais ra. Abu Said telah mendengar dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. melihat dirinya yang mulia sedang bersujud pada pagi hari malam lailatul qadar di atas air dan tanah, sesuai dengan yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Ketika Abu Said melihat Rasulullah Saw. bersujud pada shalat subuh malam dua puluh satu di atas air dan tanah, dia memahami menurut tanda tersebut bahwa lailatul qadar terjadi pada malam dua puluh satu. Lalu beliau menyebarkan pandangannya ini dengan penuh percaya diri, kemudian banyak para imam dan ahli fikih yang berpegang pada pandangan ini.
Adapun Abdullah bin Unais, sesungguhnya dia telah mendengar sabda Rasulullah Saw. sebagaimana yang disebutkan dalam hadits nomor 7 pada “Kumpulan Hadits Dari Beberapa Sahabat Lainnya”:

“Tetapi diperlihatkan kepadaku bahwa pada subuh harinya aku bersujud di atas air dan tanah.” Dia (Abdullah bin Unais) berkata: kemudian kami diguyur hujan pada malam dua puluh tiga, lalu Rasulullah Saw. shalat mengimami kami. Setelah itu beliau Saw. pergi, dan bekas air dan tanah terdapat pada dahi dan hidungnya.”

Ketika Abdullah bin Unais melihat Rasulullah Saw. bersujud pada pagi hari malam dua puluh tiga di atas air dan tanah, dia memahami dari tanda ini bahwa lailatul qadar itu datang pada malam dua puluh tiga, kemudian dia pun menyebarkan pendapatnya, dan sejumlah ahli fikih kemudian mengadopsi pendapatnya ini. Tidak ragu lagi, hal ini menunjukkan bahwa pemahaman-pemahaman ini akhirnya akan berbeda-beda walaupun berargumentasi dengan tanda yang sama, dan berargumentasi dengan tanda tersebut tidak akan menyampaikan pemahaman yang dihasilkannya pada tingkat keyakinan (al-ilmu), hanya sampai pada tingkat dugaan (az-zhan) atau dugaan kuat (ghalabat az-zhan).
Saya hanya ingin mengingatkan saja bahwa mengaku-aku mengetahui perkara ini dengan yakin adalah diharamkan, karena hal ini sama dengan kesombongan terhadap pengetahuan Rasulullah Saw.

Kedelapan: kita melihat dalam riwayat-riwayat Abu Said, yang berkaitan dengan ciri-ciri yang dipegangnya: Bukhari telah mentakhrij empat riwayat yakni: hadits nomor 2016, 2018, 2036 dan 2040, yang menyebutkan tanda tersebut secara mutlak seperti ini: “dan sesungguhnya aku melihat bahwa aku bersujud di atas air dan tanah”, dan tidak mentaqyidnya dengan kalimat pagi hari lailatul qadar (shabihah lailatil qadar).
Imam Muslim telah mentakhrij dua riwayat dengan redaksi yang sama yakni hadits nomor 2769 dan 2772, dan pada saat yang sama Bukhari pun telah mentakhrij satu riwayat saja, yang di dalamnya terdapat kalimat sudah ditaqyid seperti ini: “dan sungguh aku melihat diriku bersujud di atas air dan tanah dari pagi harinya.” Imam Muslim telah menyebutkan dua riwayat, yang di dalamnya sudah ditaqyid dengan kata pagi hari (as-shabihah), yakni hadits nomor 2772 dan 2775.

Dengan demikian, kita mendapati enam riwayat yang ditakhrij oleh as-Syaikhan, yang di dalamnya tidak disebutkan tanda yang ditaqyid dengan kalimat “pagi hari lailatul qadar” (shabihah lailatil qadr), dan tiga riwayat saja yang ditakhrij keduanya di mana tanda lailatul qadar ditaqyid dengan kalimat: pagi harinya (shabihah). Saya lebih memilih enam riwayat tersebut daripada tiga riwayat tadi, dan menurut saya, penyebutan “sejak pagi harinya” itu muncul karena adanya air dan tanah pada pagi hari malam itu, lalu mereka menghubungkan taqyid tersebut pada Rasulullah saw.
Ini adalah takwil yang mungkin benar, sehingga kita bisa mengkompromikan antara riwayat-riwayat tersebut, terlebih lagi bahwa riwayat-riwayat yang bersifat mutlak itu lebih banyak jumlahnya daripada riwayat-riwayat yang ditaqyid (muqayyadah), sehingga dari segi istidlal, riwayat yang mutlak itu lebih kuat daripada riwayat yang ditaqyid.
Kemudian kita berlindung pada penakwilan ini hingga kita bisa mengkompromikan antara riwayat yang muqayyadah ini dengan riwayat Abdullah bin Unais pada poin tujuh “Kumpulan Hadits Dari Beberapa Sahabat Lainnya” yang menyebutkan bahwa tanda itu terjadi pada pagi hari malam dua puluh tiga. Tanpa penakwilan seperti ini, mau tidak mau kita harus menolak riwayat Abu Said yang bersifat muqayyadah, atau menolak riwayat Abdullah bin Unais, padahal mengamalkan semua dalil itu lebih utama daripada mengabaikan sebagiannya.

Melalui pendapat kami ini, bahwa Rasulullah Saw. tidak mentaqyid sujudnya di atas air dan tanah dengan batasan apapun, beliau Saw. hanya memutlakkan ucapannya, kemudian secara kebetulan hujan turun pada pagi hari malam dua puluh satu, dan turun kembali pada pagi hari malam dua puluh tiga, sehingga Abu Said mengira bahwa malam dua puluh satu itu cocok dengan tanda tersebut, dan Abdullah bin Unais mengira bahwa malam dua puluh tigalah yang cocok dengan tanda tersebut, sehingga dua ucapan ini bisa bertentangan disebabkan hal itu. Dengan pendapat yang kita ambil tadi, maka kita telah mengamalkan riwayat-riwayat tersebut seluruhnya, dan tidak perlu menolak salah satupun darinya.

Rasulullah Saw. telah menyampaikan dua ucapan yang terpisah: melihat lailatul qadar dan beliau dilupakan-Nya, dan beliau Saw. bermimpi melihat dirinya sedang bersujud di atas air dan tanah, dan beliau Saw. tidak mengkaitkan antara dua perkataan tersebut. Pengkaitan antara keduanya itu -sebagaimana nampak dari pemahaman para perawi- disebabkan turunnya hujan pada pagi hari dari kedua malam tersebut, dengan pemahaman dan penakwilan seperti ini, maka kita telah mengamalkan (menggunakan) dalil-dalil tersebut seluruhnya.

Salah seorang dari mereka datang dan berkata: sesungguhnya nash-nash ini walaupun shahih, dan di dalamnya terdapat tambahan lafadz, tetapi tambahan ini bisa diterima, karena tambahan dari orang tsiqah itu bisa diterima, maka mengapa kita tidak menerima tambahan kalimat “sejak pagi harinya”, dan malah memahami riwayat ini dari sudut pandang riwayat-riwayat yang lain?

Untuk menjawabnya adalah, bahwa perbedaan antara hadits yang diriwayatkan Abu Said dengan hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Unais tidak menyebabkan kita menerima tambahan ini, seandainya perbedaan itu tidak ada, niscaya kita akan menerimanya. Keberatan yang ada pada kita disebabkan karena tidak bisa menerima tambahan tersebut. Pendapat yang benar adalah pendapat yang telah kita pegang sebelumnya, yakni bahwa Rasulullah Saw. setelah memberitahukan kepada kaum Muslim bahwa beliau Saw. telah melihat lailatul qadar, lalu dilupakan-Nya. Beliau Saw. kemudian menyampaikan pemberitahuan kembali yang menjadi penyambung dengan apa yang sebelumnya, yaitu bahwa beliau melihat dirinya bersujud di atas air dan tanah, kemudian ucapannya yang kedua itu terbukti dalam dua malam di mana pada kedua malam tersebut turun hujan. Beliau Saw. tidak ingin menjadikan sujudnya di atas air dan tanah itu sebagai tanda kedatangan lailatul qadar, sehingga yang diriwayatkan Abu Said dan Abdullah bin Unais terkait penetapan waktu lailatul qadar adalah keliru. Kekeliruan keduanya itu disebabkan karena menggabungkan dua pemberitahuan, yang sebenarnya tidak berkaitan (saling terputus satu sama lain).

Dengan takwil seperti ini kita bisa sampai pada satu kesimpulan, bahwa dua hadits ini -dengan riwayat-riwayatnya yang beragam- tidak mengandung pengertian penetapan kapan datangnya lailatul qadar. Dan amat keliru bila dari keduanya disimpulkan penetapan waktu, apapun. Cukup kiranya dengan pemberitahuan pertama dalam kedua hadits tersebut, yakni: “kepadaku telah diperlihatkan lailatul qadar, kemudian aku dilupakan tentangnya.”

Oleh karena itu, kebenaran yang kokoh bisa kita dapatkan, bahwa Rasulullah Saw. tidak mengetahui lagi kapan lailatul qadar itu datang, setelah beliau Saw. dilupakan Allah Swt. terkait hal itu. Dan itu menjadi kehendak dan ketetapan Allah Swt. demi kebaikan kaum Muslim, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ubadah bin Shamit point 3: “lalu diangkatlah ia, dan semoga menjadi kebaikan bagi kalian semua.” Selama kebaikan itu bisa diraih dengan cara mengangkat lailatul qadar dan tidak menentukan kapan waktu turunnya, maka pertanyaannya: mengapa para ahli fikih sendiri bersusah payah menentukannya? Dan mengapa pula mereka menolak kebaikan bagi diri mereka dan kaum Muslim? Lalu, mengapa mereka tidak berpegang saja pada sabda Rasulullah Saw. yang telah diriwayatkan Abu Dzar ra. pada poin pertama kumpulan hadits yang diriwayatkan Abu Dzar: “Sesungguhnya Allah Swt. seandainya menghendaki-Nya niscaya Dia akan memberitahukan kepada kalian kapan turunnya malam tersebut?” Apakah setelah kehendak Allah Swt., masih berlaku kehendak lain yang berasal dari seorang manusia?

Kesembilan: sekarang kita menginjak hadits-hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Umar ra.: hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “...maka hendaknya mencari pada malam tujuh terakhir”, dan yang diriwayatkan oleh Muslim: “aku melihat mimpi kalian pada sepuluh hari terakhir, maka carilah lailatul qadar itu pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir”, dan “carilah pada sepuluh hari terakhir ...maka janganlah kalian dikalahkan pada tujuh hari sisanya.” Riwayat-riwayat ini saling bertentangan, antara sepuluh hari terakhir dan tujuh hari terakhir, tanpa menetapkan satu malam tertentu turunnya lailatul qadar.
Pendapat seperti inilah yang tersebar hingga hampir mencapai derajat mutawatir, yaitu bahwa lailatul qadar itu terjadi pada sepuluh hari terakhir, dan bahwa Rasulullah Saw. tetap beri’tikaf sepanjang sepuluh hari terakhir mencari dan berusaha mendapatkannya pada malam-malam tersebut hingga beliau Saw. diwafatkan Allah Swt. Hadits Aisyah isteri Nabi Saw. sebagai hadits nomor satu yang dimuat dalam “Himpunan Hadits dari Beberapa Sahabat Lainnya ”, jelas menunjukkan bahwa hukum ini tetap berlaku dan tidak pernah dinasakh.

Bukhari telah meriwayatkan satu hadits nomor 2015 dari jalur Ibnu Umar, dan Muslim (dari jalur Ibnu Umar) telah meriwayatkan empat hadits yakni hadits 2762, 2765, 2766, dan 2767. Di dalam hadits-hadits tersebut tidak ada penetapan waktu tertentu turunnya lailatul qadr.
Kemudian kita dapati bahwa Ahmad telah meriwayatkan dua hadits dari jalur Ibnu Umar, yakni hadits 4808 dan 6474, yang menentukan lailatul qadar itu terdapat pada malam dua puluh tujuh. Dengan merujuk pada Musnad Imam Ahmad kita mendapati bahwa beliau telah meriwayatkan dua hadits lain dari jalur Ibnu Umar, yakni hadits 5430 dan 5932, di mana keduanya menuntut untuk mencari lailatul qadar pada tujuh hari terakhir, tanpa menyebutkan ketentuan malam itu sebagai malam dua puluh tujuh. Para perawi Ahmad telah meriwayatkan hadits-haditsnya ini dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. Apakah perbenturan (al-idhthirab) riwayat-riwayat ini bisa dipahami oleh kita?
Saya telah mendapati pernyataan al-Aqili, yang ditulis dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar: dalam riwayat para syaikh darinya, yakni dari Abdullah bin Dinar, terdapat perbenturan. Sehingga yang diambil dan dipegang adalah hadits-hadits shahih yang diriwayatkan as-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) dan Ahmad, yang memerintahkan untuk mencari lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir atau tujuh hari terakhir.
Dan kita tinggalkan dua riwayat yang ditakhrij Ahmad, yang mengungkapkan penentuan malam tersebut, atau menyatakan bahwa lailatul qadar itu dicari pada malam dua puluh tujuh. Terlebih lagi bahwa seluruh riwayat ini berasal dari jalur Abdullah bin Umar.

Dengan demikian, antara riwayat-riwayat yang shahih dari jalur Abu Said dan Abdullah bin Umar telah saling menguatkan untuk mencari lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir, atau pada tujuh hari terakhir. Inilah keterangan paling kuat yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih.

Adapun kumpulan hadits yang berasal dari Ibnu Abbas, maka hadits yang pertama senada dengan kumpulan hadits yang berasal dari Abu Said dan Ibnu Umar, sehingga hadits yang pertama ini bisa dipadukan dengan keduanya.

Sedangkan hadits yang kedua, yang menetapkan malam dua puluh tiga sebagai lailatul qadr, maka ini adalah impian yang dilihat Ibnu Abbas, bukan kabar yang berasal dari Rasulullah saw. Kita tidak beribadah kepada Allah Swt. menggunakan impian kita atau impian orang lain, kecuali impian Rasulullah Saw., atau impian sahabat beliau Saw. -jika beliau Saw. menyetujuinya-. Di dalam hadits ini disebutkan sebagai mimpi Ibnu Abbas yang tidak diakui/disetujui Rasulullah saw. Karena itu, tidak ada hujjah sedikitpun di dalamnya. Ini dari sisi matan.
Dari sisi sanad, maka hadits ini telah diriwayatkan Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Simak adalah seorang perawi yang dhaif, sehingga hadits ini tertolak dari sisi sanad dan matannya.
Adapun hadits ketiga, maka di dalam rangkaian perawinya terdapat Muadz bin Hisyam, yang didhaifkan oleh al-Humaidi, Yahya bin Ma'in dan Abu Dawud, sehingga hadits ketiga ini pun tertolak.

Mengenai kumpulan hadits Zirr bin Jaisy, atau boleh dikatakan kumpulan hadits Ubay bin Kaab, maka kami telah menjelaskan seluruh titik lemahnya. Hadits-hadits tersebut dibangun di atas ijtihad dalam memahami berbagai amarah (tanda-tanda), dan berbagai amarah itu tidak bisa dipahami dengan satu sudut pandang, khususnya jika terdapat beberapa riwayat lain dengan pemahaman yang berbeda dengan amarah itu sendiri, sebagaimana terjadi dalam hadits Abdullah bin Unais sebelumnya.

Tentang kumpulan hadits dari Abu Dzar ra., maka hadits yang pertama bersesuaian dengan sebagian besar hadits-hadits shahih yang menyebutkan sepuluh hari atau tujuh hari terakhir.
Adapun hadits kedua, maka di dalamnya tidak ada penyebutan malam lailatul qadar. Hadits ini tidak lebih hanya menunjukkan keutamaan melaksanakan shalat malam (qiyam) pada malam dua puluh tiga, dua puluh lima dan dua puluh tujuh, dan ini merupakan perintah yang telah disepakati dan selaras dengan pernyataan atau anjuran untuk mencari lailatul qadar pada malam ganjil tujuh hari terakhir.
Hadits ketiga, di dalam rangkaian periwayatnya ada Zaid bin al-Hubab, yang dikomentari oleh Ahmad bin Hanbal sebagai berikut: dia seorang yang jujur, dan menghafal banyak hadits dari Muawiyah bin Shalih, tetapi seringkali keliru dalam meriwayatkan hadits. Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat telah menyebutkannya dan mengomentarinya: suka keliru meriwayatkan hadits yang didapatkannya dari para perawi terkenal, namun, jika riwayatnya berasal dari perawi yang tidak dikenal maka di dalamnya terdapat hadits-hadits munkar. Orang ini tidak bisa digolongkan sebagai perawi yang shahih, terlebih lagi bila hadits yang disampaikannya menyalahi para perawi yang shahih, atau tidak senada dengan para perawi yang shahih.
Kumpulan hadits yang berasal dari Ubadah bin Shamit, adalah selaras dengan riwayat-riwayat shahih yang memerintahkan (kaum Muslim) untuk mencari lailatul qadar pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir atau tujuh hari terakhir. Adapun hadits-hadits yang lain, seperti dua riwayat dari Aisyah ra., satu riwayat dari Ummu Salamah ra., satu riwayat dari Umar bin Khattab, satu riwayat Anas bin Malik ra., maka semuanya menyebutkan sepuluh hari terakhir, tujuh hari terakhir, dan malam-malam ganjil dari sepuluh hari atau tujuh hari terakhir.

Mengenai riwayat Muawiyah yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban pada nomor 4 “lailatul qadar adalah malam dua puluh tujuh”, maka dalam rangkaian perawinya terdapat Ubaidillah bin Mu'adz. Yahya bin Ma‘in berkata: Ibnu Saminah, Syabbab dan Ubaidillah bin Mu'adz bukanlah pakar hadits, mereka tidak memiliki arti apa-apa. Sehingga hadits ini tertolak dari segi sanad, walaupun sejumlah ahli hadits mentsiqahkan Ubaidillah, tetapi sifat tsiqah dalam diri seseorang itu adalah sesuatu, sedangkan kelayakannya untuk menyampaikan hadits adalah sesuatu yang lain, sehingga seorang rawi bisa jadi tsiqah, shalih dan benar, tetapi tidak dhabith dan tidak menghafal hadits dengan baik, sehingga tidak dipandang layak untuk meriwayatkan hadits. Dan Ubaidillah bin Mu'adz adalah salah satunya.

Adapun riwayat Abu Hurairah nomor 5 maka sanadnya menurut Abu Dawud at-Thayalisi adalah sebagai berikut: Yunus berkata: Abu Dawud telah berbicara kepada kami, dia berkata: Imran telah berbicara kepada kami dari Qatadah dari Abu Maimunah dari Abu Hurairah, kemudian disebutkanlah haditsnya. Sejumlah ahli hadits ada yang mentsiqahkan Abu Maimunah, dan mereka mengkategorikannya sebagai al-Farisi (orang Persia). Di antara orang yang mentsiqahkan Abu Maimunah al-Farisi adalah ad-Daruquthni, tetapi Abu Maimunah yang meriwayatkan hadits kita ini bukanlah Abu Maimunah al-Farisi yang tsiqah, shalih dan jujur sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Ad-Daruquthni telah mengingatkan pembedaan ini, dia berkata: Abu Maimunah dari Abu Hurairah yang diceritakan oleh Qatadah itu adalah seorang majhul (tidak dikenal) sehingga harus ditinggalkan. Dengan demikian, hadits ini adalah hadits dhaif yang harus ditolak.

Tentang hadits nomor 8 yang diriwayatkan al-Baihaqi, maka dalam rangkaian perawinya terdapat Ahmad bin Abdul Jabbar, yang dikomentari Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib: “Ibnu Abi Hatim berkata: aku telah menulis darinya tetapi aku tidak mau meriwayatkan hadits darinya karena orang-orang banyak memperselisihkannya. Mathin: dia suka berdusta. Abu Ahmad al-Hakim: menurut para ahli hadits dia bukan seorang yang kuat, dan ditinggalkan oleh Ibnu Uqdah. Ibnu Adi berkata: aku melihat penduduk Irak bersepakat atas kedhaifannya. Ibnu Uqdah tidak menyampaikan hadits yang berasal darinya. Dengan demikian, Ahmad bin Abdul Jabbar adalah seorang yang dhaif menurut mayoritas para ahli hadits, sehingga haditsnya ini tertolak.

Hadits Jabir bin Samurrah nomor 12 yang diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir, di dalam rangkaian perawinya terdapat Simak bin Harb, dan dia seorang dhaif sebagaimana berkali-kali kami telah terangkan, sehingga hadits ini tertolak.
Sedangkan hadits Nu’man bin Basyir nomor 9, maka kami perlu komentari hadits ini sebagaimana kami mengomentari hadits nomor 2 dari “Kumpulan Hadits dari Abu Dzar”, bahwa dalam hadits ini tidak ada penyebutan malam lailatul qadar.

Hadits Abdullah bin Mas'ud, dalam rangkaian perawinya terdapat Abdullah bin al-Jahm, yang dikomentari Abu Zur’ah sebagai berikut: aku pernah bertemu dengannya, tetapi aku tidak menulis darinya walaupun dia seorang yang jujur. Abu Hatim berkata: aku pernah bertemu dengannya, tetapi aku tidak menulis darinya, dan dia seorang yang cenderung menganut paham Syi'ah. Dalam rangkaian perawinya juga terdapat Amr bin Abu Qais ar-Razi. Al-Ajiri telah berkata dari Abu Dawud: dalam hadits yang disampaikannya terdapat kekeliruan. Utsman bin Abu Syaibah berkata: tidak apa-apa, suka sedikit ragu-ragu dalam haditsnya. Dengan demikian, dalam hadits tersebut ada kelemahan, sehingga tidak memilki kekuatan sama sekali bila dihadapkan pada hadits-hadits shahih. Selain itu, hadits ini tidak menentukan lailatul qadar pada satu malam tertentu, ragu-ragu menyatakan antara malam dua puluh tiga atau dua puluh tujuh.

Kami perlu meringkas pemaparan kami di atas, bahwa Rasulullah Saw. mengetahui sejak awal, kapan lailatul qadar itu datang, kemudian Allah Swt. yang Maha Mengetahui telah menjadikannya lupa terkait kedatangan lailatul qadar tersebut. Kondisi itu terus berlangsung hingga beliau Saw. wafat, dan selama Rasulullah Saw. tidak lagi mengetahui waktunya, maka tidak seharusnya seorang sahabat dan juga selainnya bisa menentukan waktunya. Dan seluruh kaum Muslim, baik ulama atau bukan, mereka harus cukup dengan mencari dan berusaha meraihnya pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir atau pada tujuh hari terakhir dari bulan Ramadhan, bisa pada malam dua puluh satu, malam dua puluh tiga, malam dua puluh lima, malam dua puluh tujuh, atau malam dua puluh sembilan, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Abu Dawud at-Thayalisi pada poin pertama “Kumpulan Hadits Abdullah bin Abbas” dari jalur Abu Bakrah dengan redaksi:

“Untuk sembilan yang tersisa, tujuh yang tersisa, lima yang tersisa, tiga yang tersisa atau pada malam terakhir.”

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam