Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 05 Juni 2018

Dalil Hadits Ciri-Ciri Lailatul Qadar



Ciri-Ciri Lailatul Qadar

Di dalam hadits-hadits yang mulia, banyak dituturkan sejumlah ciri lailatul qadar.
Di antaranya, lailatul qadar itu adalah malam yang sejuk berseri, tidak panas dan juga tidak dingin, di antaranya pula adalah bahwa matahari terbit pada pagi harinya berwarna putih, bersinar tidak cemerlang, malam itu tidak berwarna kelabu, dan juga penuh ketenangan dan ketentraman.
Berikut ini sejumlah hadits yang menyebutkan ciri-ciri tersebut.

1. Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda tentang lailatul qadar:

“(Lailatul qadar) adalah malam yang sejuk, tidak panas dan tidak dingin, pada pagi harinya matahari berwarna merah lemah.” (HR. Abu Dawud at-Thayalisi [2680] dan al-Bazzar)

Ibnu Khuzaimah [2192] meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“(Lailatul qadar) adalah malam yang sejuk, tidak panas dan tidak dingin, pada pagi harinya matahari berwarna merah lemah.”

Kata shafiqah dalam riwayat pertama dijelaskan oleh riwayat kedua sebagai dhaifah.

2. Dari Zirr bin Jaisy, ia berkata: “aku mendengar Ubay bin Kaab ra. berkata:

“Lailatul qadar itu adalah malam dua puluh tujuh, yaitu malam yang telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw. bahwasanya matahari terbit bersinar dalam warna putih.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/489], Muslim, Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)

Menurut redaksi riwayat Muslim [2777]:

“Dia berkata: “dengan ciri-ciri, atau tanda-tanda yang telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw. bahwa matahari pada hari itu tidak bercahaya.”

3. Dari Ubadah bin Shamit ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Lailatul qadar itu terdapat pada sepuluh hari tersisa. Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan pada malam-malam itu dalam rangka mencari pahalanya maka sesungguhnya Allah Swt. akan mengampuni segala dosa yang dilakukannya di masa lalu dan akan datang, dan itu terjadi pada malam-malam ganjil: kesembilan, ketujuh, kelima, ketiga, atau malam terakhir.” Dan Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya ciri-ciri lailatul qadar itu adalah bahwa malam tersebut bersih berseri, seolah ada purnama yang bersinar, tenang tenteram, tidak dingin dan juga tidak panas, dan tidak boleh ada bintang dilemparkan di malam itu hingga pagi, dan juga beberapa cirinya adalah bahwa matahari di pagi harinya keluar dan bertahta tanpa cahaya, seperti rembulan di malam purnama dan setan tidak boleh keluar bersamanya pada hari itu.” (HR. Ahmad [23145])

Al-Haitsami berkata: para perawinya adalah orang-orang tsiqah.

4. Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya lailatul qadar telah diperlihatkan kepadaku kemudian aku dilupakannya, dan lailatul qadar itu datang pada malam-malam sepuluh hari terakhir; yakni malam yang sejuk berseri, tidak panas dan juga tidak dingin.” (HR. Ibnu Khuzaimah [2190])

5. Dari Jabir bin Samurrah ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda:

“Carilah lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, karena sesungguhnya aku telah melihatnya dan aku dilupakan tentangnya, dan malam itu adalah malam yang berhujan atau berangin, atau dia berkata: yang berhujan dan berangin.” (HR. al-Bazzar [1031] dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir [2/1962] dengan lafadz yang sama tetapi ada tambahan “ada halilintar”)
Hadits dhaif.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Al-Haitsami berkata: para perawinya adalah orang-orang shahih.
Hadits dhaif.

Inilah beberapa ciri lailatul qadar yang dituturkan oleh hadits-hadits yang layak dijadikan sebagai dalil, tanpa menyebutkan ciri-ciri lain sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa riwayat dan pendapat-pendapat yang lemah dan sakit, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim:

Setan tidak dilepaskan, dan penyakit tidak diadakan di malam itu.

Atau seperti yang diriwayatkan oleh at-Thabrani:

Sesungguhnya pohon-pohon di malam itu jatuh ke bumi, kemudian kembali ke tempat tumbuhnya, dan bahwa segala sesuatu bersujud di malam itu.

Ada juga yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi:

Sesungguhnya air asin menjadi tawar pada malam itu.

Dan beberapa ciri lain yang tidak benar, karena memang ciri-ciri tersebut bertentangan dengan fakta yang terindera.

Lailatul qadar itu memiliki tingkat temperatur sedang di musim panas ataupun di musim dingin, dalam arti, malam-malam sebelum dan sesudahnya tidak seperti malam itu dilihat dari sedangnya temperatur.
Malam itu begitu tenang dan damai, penuh berseri dan bercahaya, seolah-olah ada purnama di dalamnya, tidak ada angin, tidak ada badai, tidak ada letusan debu, dan juga tidak ada awan tipis/kabut, tidak terlihat warna kelabu dan meteor berjatuhan.
Inilah malam di mana jiwa-jiwa merasa tenang, dan kekhawatiran menghilang, sebagai kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya di malam yang penuh berkah ini.

Tidak ada ciri-ciri yang keluar semua ini kecuali ciri-ciri yang disebutkan dalam hadits kelima: “dan malam itu adalah malam yang berhujan atau berangin.” Walaupun al-Haitsami berkata bahwa para perawinya adalah orang-orang shahih, tetapi saya merasa tidak tenang karena hadits-hadits shahih itu biasanya tidak bertentangan satu sama lain. Dengan merujuk sanadnya, yakni: telah mengabarkan kepada kami Abdullah, telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abi Ghalib, telah mengabarkan kepada kami Abdurrahman bin Syarik, telah mengabarkan kepadaku ayahku, dari Simak, dari Jabir bin Samurrah, maka saya mendapati:

Pertama: Abdurrahman bin Syarik telah dikomentari oleh Abu Hatim: sebagai orang yang lemah haditsnya. Ibnu Hibban telah menyebut namanya dalam kitab ats-Tsiqat dan berkata: kadangkala dia keliru. Ibnu Hajar menyebutkan hal itu dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, dan dia tidak menyebutkan seorangpun yang mentsiqahkannya atau memujinya. Dengan demikian perawi ini, yakni Abdurrahman bin Syarik tergolong seorang dhaif.

Kedua: Dari Simak bin Harb, telah dikomentari oleh Imam Ahmad sebagai orang yang haditsnya kacau. Syu'bah telah mendhaifkannya. Ammar berkata: para ahli hadits mengatakan bahwa dia sering keliru, dan mereka memperselisihkan hadits yang disampaikannya. At-Tsauri mendhaifkannya. Ibnu Mubarak berkata: Simak adalah seorang yang dhaif dalam hadits. Ibnu Hibban berkata dalam kitab ats-Tsiqat: banyak melakukan kekeliruan. An-Nasai berkata: kadangkala harus diteliti, jika menyendiri dengan suatu pangkal maka tidak bisa dijadikan hujjah, karena ketika suatu hadits di-imla, berarti dia menerimanya secara lisan. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan hal itu dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, walaupun Ibnu Hajar menyebutkan dari segelintir orang yang memujinya, tetapi tidak ragu lagi bahwa perawi ini tidak shahih, dan saya memandangnya sebagai seorang dhaif. Cukuplah perkataan an-Nasai: jika dia menyendiri dengan suatu pangkal maka tidak bisa dijadikan hujjah. Dan di sini dia sudah menyendiri meriwayatkan hadits tentang sifat-sifat lailatul qadar, yang berbeda dengan riwayat-riwayat yang shahih dan shalih, sehingga hadits ini tergolong hadits dhaif yang harus ditolak. Karena tertolak, maka sifat yang disebutkan di dalamnya pun ikut tertolak.

Adapun ciri matahari di pagi hari setelah malam lailatul qadar, bahwa matahari itu terbit tanpa cahaya, dan matahari itu berwarna agak merah dan memancarkan cahaya putih, maka ini bukan sifat lailatul qadar yang sebenarnya, karena muncul setelah perginya lailatul qadar.

Sejenak saya akan bahas tanda-tanda ini. Saya perlu tegaskan: matahari saat itu terbit memancarkan cahaya agak merah seperti ketika hendak terbenam, mudah dilihat karena cahayanya lemah tidak menyakiti penglihatan mata. Lemahnya cahaya matahari saat itu mestinya berasal dari kondisi udara, karena banyaknya embun, atau tersebarnya awan yang lembut atau kabut tipis yang menghalangi sebagian besar cahayanya. Allah Swt. mengirimkan semua ini pada saat itu agar kondisi matahari saat itu menjadi tanda datangnya lailatul qadar. Jika tidak seperti itu, maka matahari pada hakikatnya dan menurut tabiatnya bersifat tetap tidak berubah. Dalam arti, matahari di pagi hari setelah datangnya lailatul qadar kondisinya seperti kondisi biasanya di pagi hari-hari yang lain, dari sisi karakter alaminya, terbitnya dan cahayanya, tetapi beberapa benda mempengaruhi kondisi cuaca di malam itu sehingga memunculkan matahari dengan sifat-sifat yang disebutkan tadi. Seandainya matahari keluar di pagi hari setelah datangnya lailatul qadar tidak menurut karakter alamiahnya, niscaya hal itu akan terasa oleh manusia, baik Muslim maupun kafir. Dan dalam hal itu ada pembatasan yang bersifat qath’i terhadap lailatul qadar, dan ini pertama menyalahi realita, dan kedua menyalahi hadits-hadits shahih yang jumlahnya banyak, yang menyamarkan penentuan malam tersebut. Hal ini akan kami jelaskan dalam pembahasan selanjutnya dengan pertolongan Allah.

Berbagai tulisan yang kita dapati dalam buku-buku sufi, penyataan sebagian fukaha yang menentukan dan memastikan waktu kedatangan lailatul qadar, terlihatnya pintu langit terbuka secara kasat mata, keluarnya cahaya terang dari langit di malam itu sehingga menyelimuti alam semesta, dan berbagai peristiwa atau perkara di luar kebiasaan lainnya, maka tidak ada satupun yang terbukti dan tercantum dalam hadits-hadits. Pernyataan-pernyataan tadi tidak lebih dari sekedar kisah dan dongengan yang dinukil oleh para ‘abid dan zahid dari kalangan sufi serta sejumlah fukaha tanpa dalil. Hendaknya mereka menunjukkan kepada kita satu hadits shahih atau hasan, yang menyebutkan terjadinya peristiwa dan kejadian itu. Ibadah dalam syariat harus memiliki nash, dan di sini tidak ada nash, sehingga pernyataan-pernyataan tadi merupakan perkara yang berada di luar syariat, sehingga seandainya berbagai peristiwa tersebut benar-benar terjadi, niscaya akan terjadi pula di hadapan para sahabat ra., dan orang-orang akan banyak menukilkannya dari mereka, ceritanya pun akan tersebar dan tersiar, dan para sahabat itu lebih utama dibandingkan generasi sesudahnya. Tetapi, satupun dari kejadian atau dongengan tadi tidak ada yang dinukil dari mereka.

Yang lebih tercela lagi, mereka kadangkala menyandarkan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut kepada mimpi yang dilihatnya dalam tidur. Misalnya, seseorang di antara mereka berkata: aku bermimpi melihat pintu langit terbuka, lalu muncul cahaya ketuhanan yang bersinar memenuhi alam semesta. Atau salah seorang dari mereka berkata: aku melihat Rasulullah Saw. di malam itu, dan memberitahukan aku bahwa malam itu adalah lailatul qadar. Orang-orang ini menganggap mimpi dan bunga tidur sebagai dalil syara atau seperti dalil syara, lalu mereka mengambil hukum darinya, sehingga salah seorang dari mereka misalnya berkata: sesungguhnya Rasulullah Saw. telah datang kepadaku malam itu, dan memerintahkan aku untuk melakukan begini dan begini, sehingga aku harus melaksanakan perintah Rasulullah Saw. ini. Mereka menyamakan antara ucapan beliau Saw. yang terdapat dalam hadits-hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih, dengan apa yang mereka dengar dari beliau Saw. dalam mimpi-mimpi mereka. Mereka menganggap kedua jenis perkataan ini sebagai bagian dari syariat, dan seolah-olah syariat terus menerus mengalir kepada kita dengan nash-nash yang tidak ada hentinya. Tidak ragu lagi, pemahaman seperti ini adalah salah satu perangkap setan.
Allah Swt. telah berfirman:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian.” (TQS. al-Maidah [5]: 3)

Tetapi mereka pura-pura tidak tahu, dan menganggap bahwa agama ini terus-menerus bertambah dengan hadits-hadits yang mereka dengar dalam tidur mereka, seolah-olah agama ini belum sempurna menurut mereka. Pemahaman seperti ini, tanpa ragu lagi termasuk kekufuran yang nyata.

Memang benar, bahwa melihat Rasulullah Saw. dalam tidur adalah satu kebenaran sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits, tetapi ucapan Rasulullah Saw. dalam mimpi itu bukanlah tambahan syariat, dan ucapannya dalam mimpi tidak termasuk dalil syara. Mimpi seperti itu tidak lebih dari sesuatu yang menenangkan dan menenteramkan jiwa, mimpi tersebut menjadi suatu penggembira dan tanda kebajikan, khususnya terkait orang yang melihatnya. Allah Swt. berfirman:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka, berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (TQS. Yunus [10]: 62-64)

Al-Busyra (berita gembira) di sini artinya mimpi yang benar, yang dilihat seorang mukmin, atau yang diperlihatkan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits Nabi Saw.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Bacaan: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam