Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 12 November 2017

Delegasi Thay’i Untuk Bergabung Dengan Negara Islam Dan Masuk Islam



6. Delegasi Thay'i

Datang kepada Rasulullah Saw. delegasai Thay’i. Di antara mereka adalah Zaid al-Khail yang menjadi pemimpin mereka. Setelah mereka sampai pada Rasulullah Saw., mereka berbicara kepada beliau. Rasulullah Saw. menawarkan Islam kepada mereka, lalu mereka pun masuk Islam. Mereka menjadi orang-orang Islam yang baik dan taat. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak seorangpun di antara bangsa Arab yang tidak meryebutkan kelebihannya sebelum ia datang kepadaku, namun ketika ia datang kepadaku, aku tidak melihat kelebihan seperti yang disebutkannya, kecuali Zaid al-Khail, ia datang kepadaku tanpa menyebutkan kelebihannya terlebih dahulu.” Kemudian, Rasulullah Saw. memberinya nama baru, yaitu Zaid al-Khair. Beliau juga memberi daerah Faid dan beberapa bidang tanah kepadanya, bahkan pemberiannya itu beliau lengkapi dengan surat perjanjian. Setelah itu Zaid pun pergi meninggalkan Rasulullah Saw. kembali kepada kaumnya.
Rasulullah Saw. bersabda, “Aka tidak yakin kalau Zaid bisa selamat dari demam Madinah -beliau menyebutnya dengan nama selain demam.” Setelah Zaid sampai di sebagian Wilayah Najd, yaitu di salah satu mata air Najd yang bernama Fardah, maka di tempat ini Zaid terserang demam, dan meninggal dunia. Setelah Zaid meninggal dunia, istrinya mencari surat perjanjian pemberian tanah yang dibuat Rasulullah Saw. untuk Zaid, lalu istrinya membakar surat tersebut.

Tentang Adi bin Hatim, maka Adi bin Hatim berkata, “Tidak ada seorangpun di antara bangsa Arab yang sangat benci kepada Rasulullah Saw. ketika mendengar namanya daripada aku. Sebabnya adalah aku orang terhormat, dan aku beragama Nashrani (Kristen). Aku berhak atas seperempat bagian dari tawanan yang dikuasai kaumku (Artinya ia mengambil seperempat dari harta hasil rampasan perang. Hal seperti itu biasa dilakukan oleh bangsa Arab untuk pemimpin mereka), dalam hal agama aku diposisikan sebagai orang penting, sehingga aku tidak ubahnya raja di tengah tengah kaumku, melihat perlakuan kaumku kepadaku. Oleh karena itu, ketika aku mendengar tentang Rasulullah Saw., maka aku sangat benci kepada beliau.
Aku berkata kepada budakku yang berkebangsaan Arab. Budak tersebut yang setiap harinya menggembalakan unta-untaku, “Semoga engkau tidak mempunyai ayah, siapkan aku unta-unta yang bagus, penurut dan gemuk di antara unta-untuku, kemudian unta-unta tersebut engkau tahan di tempat yang dekat denganku. Jika engkau mendengar bahwa pasukan Muhammad datang dan menginjakkan kakinya di negeri ini, maka segeralah beritahu aku. Budak itupun melakukan apa yang aku perintahkan kepadanya.
Kemudian pada suatu pagi, budakku datang kepadaku lalu berkata, “Wahai Adi, sebelumnya engkau telah merencanakan suatu tindakan ketika pasukan berkuda Muhammad datang kepadamu, sekarang laksanakan rencanamu itu, sebab aku telah melihat panji-panji perang mereka berkibar. ” Lalu, aka menanyakan kebenaran pasukan yang dimaksud oleh budakku. Orang-orang yang aku tanya berkata, “Betul, pasukan tersebut adalah pasukan Muhammad.”
Aku berkata kepada budakku, “Bawa kemari unta-untaku itu.” Budakku membawa unta-untuku itu kepadaku. Kemudian, aku membawa pergi istri dan anakku. Aku berkata, “Aku akan pergi kepada orang-orang Nashrani (Kristen) yang seagama denganku di Syam.”
Aku berjalan melewati al-Jusyiyah (Al-Jusyiyah adalah gunung milik kabilah Dhabab yang terletak di dekat Dhiryah bagian dari wilayah Najd), dan aku meninggalkan saudara perempuanku di daerah itu (Namanya Safanah, sebagaimana yang dikatakan as-Suhaili). Setelah sampai di Syam, aku pun menetap di sana. Pasukan berkuda Rasulullah Saw. menyerang daerah tersebut, akhirnya mereka menahan saudara perempuanku bersama para tawanan yang lain. Saudara perempuanku dibawa ke hadapan Rasulullah Saw. bersama para tawanan Thay’i. Rasulullah Saw. tahu kalau aku telah melarikan diri ke Syam. Saudara perempuanku ditempatkan di tempat dekat pintu masjid, di mana para tawanan biasa di tempatkan di tempat tersebut.
Pada suatu hari, Rasulullah Saw. berjalan melewati saudara perempuanku, lalu saudara perempuanku mendekat kepada beliau -ia wanita yang pintar dalam mengemukakan pendapat- dan berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku telah meninggal dunia, sedang orang yang melindungiku telah pergi. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepadaku, mudah-mudahan Allah juga berbuat baik kepadamu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa orang yang menjadi pelindungmu?” Saudara perempuanku menjawab, “Adi bin Hatim.” Rasulullah Saw. bersabda, “Oh, dia orang yang lari dari Allah dan Rasul-Nya itu.” Saudara perempuanku berkata, “Kemudian, Rasulullah Saw. meneruskan perjalanannya dan meninggalkanku. Keesokan harinya, beliau kembali berjalan melewatiku. Kemudian, aku berkata kepada beliau seperti yang aku katakan kepada beliau sebelumnya, sedang beliau juga bersabda kepadaku seperti yang beliau sabdakan kepadaku kemarin. Besoknya lagi, beliau berjalan melewatiku. Namun, aku sudah tidak punya harapan lagi terhadap beliau. Tiba-tiba seorang di belakang beliau memberi isyarat kepadaku dengan berkata, “Berdirilah dan berbicaralah kepada beliau.” Aku langsung mendekat kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku telah meninggal dunia, sedang orang yang melindungiku telah pergi. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepadaku, mudah-mudahan Allah juga berbuat baik kepadamu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Itu telah aku lakukan (dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Bebaskan dia, sebab ayahnya adalah orang yang menyukai akhlak mulia), namun engkau jangan buru-buru pergi sebelum engkau mendapatkan orang yang engkau percayai di antara kaummu yang bisa mengantarkanmu ke negerimu. Jika engkau telah mendapatkannya, maka segera beritahu aku.” Aku bertanya tentang orang yang tadi memberi isyarat kepadaku dengan berkata, “Berdirilah dan berbicaralah kepada beliau.” Aku diberitahu bahwa orang tersebut adalah Ali bin Abi Tbalib ra. Aku tetap berada di tempatku hingga datang rombongan musafir dari Biliya atau Qudha'ah. Aku ingin menyusul saudaraku di Syam. Oleh karena itu, aku pergi menemui Rasulullah Saw. dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sekelompok orang di antara kaumku telah datang, dan di antara mereka itu terdapat orang yang aku percayai.” Kemudian, Rasulullah Saw. memberiku pakaian, hewan kendaraan, serta perbekalan. Setelah itu, akupun berangkat bersama mereka hingga aku tiba di Syam.

Aku (Adi bin Hatim) berkata, “Ketika aku sedang duduk dengan keluargaku, tiba-tiba aku melibat seorang wanita yang ada di dalam sekedup berjalan ke arahku. Aku berkata, “Sepertinya ia saudara perempuanku.” Ternyata perkiraanku betul, bahwa wanita itu adalah saudara perempuanku. Ketika ia telah berdiri di dekatku, maka mulailah ia mengecamku dengan suara keras dan berkata, “Engkau pemutus kekerabatan, dan tidak adil. Engkau bawa pergi istrimu dan anakmu, sedang saudara perempuanmu engkau tinggalkan, padahal ia juga kehormatan yang harus engkau jaga.” Aku berkata, “Wahai saudara perempuanku, berkatalah yang baik kepadaku. Demi Allah, aku tidak mengelak bahwa aku memang telah melakukan apa yang engkau sebutkan itu.”
Kemudian, saudara perempuanku tinggal bersamaku. Pada suatu hari aku bertanya kepadanya -ia wanita yang bijak-, “Apa yang engkau lihat tentang kekuasaan dan pengaruh orang tersebut (Rasulullah Saw.)?” Ia menjawab, “Demi Allah, aku berpendapat hendaknya engkau segera pergi kepada beliau. Jika beliau seorang Nabi, maka orang yang segera pergi kepadanya berhak atas kelebihannya. Jika beliau seorang raja, maka engkau tidak akan menjadi hina di Yaman, sebab engkau tetap sebagai orang yang berkedudukan tinggi di mata mereka.” Aku berkata, “Demi Allah, sungguh ini masukan yang bagus.”
Aku segera berangkat menuju Rasulullah Saw. di Madinah. Ketika aku tiba di Madinah, aku langsung mendatangi beliau, yang ketika itu beliau sedang berada di masjid. Setelah aku mengucapkan salam kepada beliau, beliau bersabda, “Siapa engkau?” Aku menjawab, “Aku, Adi bin Hatim.” Rasulullah Saw. berdiri, lalu beliau mengajakku ke rumahnya.
Demi Allah, ketika beliau sedang berjalan bersamaku menuju rumahnya, tiba-tiba beliau berpapasan dengan seorang wanita yang telah berusia lanjut. Wanita tersebut meminta beliau berhenti. Kemudian, beliau berhenti lama sekali memperhatikan wanita tua yang sedang mengemukakan keperluannya. Dalam hatiku berkata, “Demi Allah, orang ini bukan raja.”
“Rasulullah Saw. meneruskan perjalanannya bersamaku. Setelah beliau membawaku masuk ke dalam rumahnya, beliau mengambil bantal dari kulit yang padat dan dijahit, lalu memberikannya kepadaku sambil bersabda, “Duduklah di atas bantal ini.” Aku berkata, “Tidak, engkau saja yang duduk di atas bantal ini.” Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak, engkau saja.” Aku pun duduk di atas bantal tersebut, sedang beliau sendiri duduk di atas tanah. Dalam hatiku berkata, “Demi Allah, perbuatan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh seorang raja manapun.”

“Setelah itu Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi bin Hatim, bukankah engkau penganut ar-Rukusiyah (ar-Rukusiyah adalah kelompok beragama antara agama Nashrani dan ash-Shabi’in)?” Aku menjawab, “Ya, betul.” Rasulullah Saw. bersabda, “Bukankah engkau mengambil seperempat dari rampasan perang yang diperoleh kaummu?” Aku menjawab, “Ya, betul.” Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya hal tersebut tidak diperbolehkan dalam agamamu.” Aku berkata, “Benar, demi Allah.” Dari situ aku tahu bahwa Rasulullah Saw. adalah Nabi yang diutus, yang diajari sesuatu yang tidak diketahui olehku.
Setelah itu, Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi bin Hatim, barangkali engkau tidak mau masuk ke dalam agama ini (Islam), sebab engkau melihat kaum muslimin itu miskin? Demi Allah, tidak lama lagi kaum muslimin akan memiliki harta yang melimpah hingga tidak ada seorangpun yang mau mengambilnya; barangkali engkau tidak mau masuk ke dalam agama ini, sebab engkau melihat agama ini mempunyai banyak musuh, sedang jumlah pemeluknya sedikit sekali? Demi Allah, tidak lama lagi engkau akan mendengar seorang wanita yang pergi dengan mengendarai untanya dari al-Qadhisiyah menuju Baitullah tanpa rasa takut dan khawatir sedikitpun; atau barangkali engkau tidak mau masuk ke dalam agama ini, sebab engkau melihat bahwa kerajaan dan kekuasaan itu tidak berada di tangan kaum muslimin? Demi Allah, tidak lama lagi engkau akan mendengar istana-istana putih di daerah Babil akan ditaklukkan untuk kaum muslimin.” Kemudian akupun masuk Islam.”

Adi bin Hatim berkata, “Dua hal yang dijanjikan Rasulullah Saw. dalam sabdanya tersebut betul-betul telah terjadi, sedang yang ketiga belum, namun, demi Allah, yang ketiga itu juga pasti akan terjadi. Sungguh aku telah menyaksikan istana-istana putih di daerah Babil ditaklukkan, dan aku juga menyaksikan seorang wanita yang pergi dengan mengendarai untanya dari al-Qadhisiyah menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji tanpa rasa takut dan khawatir sedikitpun. Demi Allah, aku yakin yang ketiga itu pasti akan terjadi. Yaitu, kaum muilimin memiliki harta yang melimpah hingga tidak ada seorangpun yang mau mengambilnya.”

Sungguh Allah benar-benar merealisasikan hal yang ketiga itu pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab dan sesudahnya. Ibnu Qudamah menceritakan dalam al-Mughni. Ketika Mu’adz bin Jabal mengirim harta zakat dari Yaman kepada Umar, Umar menolaknya, dan berkata, “Aku tidak mengutusmu ke Yaman sebagai penarik pajak dan pengumpul jizyah. Namun, aku mengutusmu agar mengambil harta zakat dari mereka yang kaya, kemudian diberikan kepada mereka yang miskin.” Mu'adz berkata, “Aku pun tidak akan mengirim sesuatu (harta zakat) ini kepadamu, kalau saja aku mendapatkan seseorang yang mau mengambilnya dariku.”
Tahun kedua, Mu’adz mengirim lagi kepada Umar separuh dari harta zakat, namun Umar mengembalikan lagi tanpa mengambil sedikitpun. Tahun ketiga, Mu’adz mengirim lagi kepada Umar seluruh dari harta zakat, namun lagi-lagi Umar mengembalikannya tanpa mengambil sedikitpun. Mu’adz berkata, “Aku tidak mendapatkan seorangpun yang mau mengambil harta zakat ini walau sedikit dariku.” (lihat kitabku “Mausu’ah Fiqh Umar bin Khaththab,” huruf Za’, materi “Zakat”)
Para ahli sejarah menceritakan bahwa ada seorang di masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang mengeluarkan zakat atas harta bendanya, namun dia tidak mendapatkan orang yang mau mengambil zakat itu darinya.

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam