2. Keluar Darah
Darah itu, baik yang
keluar dari kemaluan seperti darah istihadhah,
atau dari dubur karena menderita penyakit wasir dan sebagainya, atau dari mulut
karena sakit TBC misalnya, atau dari hidung karena sakit mimisan, atau darah
yang keluar dari bagian tubuh lainnya, maka semua darah yang keluar ini
membatalkan wudhu. Dalil atas hal itu adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah
ra., bahwasanya dia berkata:
“Fathimah binti Abi
Hubaisy datang menemui Nabi Saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya
aku seorang perempuan yang sering mengeluarkan darah istihadhah, karenanya aku tidak suci. Apakah aku boleh
meninggalkan shalat? Beliau Saw. menjawab: “Tidak. Itu hanyalah darah yang
memancar dari salah satu pembuluh darah, bukan darah haid. Jika (darah itu
keluar) saat haid datang, maka engkau harus meninggalkan shalat, tetapi jika
(darah itu keluar) setelah berlalunya waktu haid, maka cucilah darah itu dan
shalatlah.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dan ada tambahan di dalamnya:
“Abu Muawiyah berkata
dalam haditsnya, dan beliau Saw. bersabda: “Berwudhulah engkau untuk setiap
shalat hingga tiba waktu tersebut.”
Ini semisal dengan
perintah berwudhu untuk setiap shalat yang ada dalam hadits yang diriwayatkan
Ahmad dan ad-Darimi. Kewajiban wudhu bagi wanita yang mengeluarkan darah istihadhah telah kami jelaskan dalam
pembahasan wanita mustahadhah dan hukum-hukumnya pada bab
sembilan. Silakan dirujuk kembali.
Di sini kita akan
membahas lebih jauh tentang darah yang keluar dari badan secara umum, baik dari
kemaluan atau selainnya. Kami katakan: Yang berpendapat keluarnya darah dari
badan bisa membatalkan wudhu adalah Abu Hanifah dan kedua muridnya yakni Abu Yusuf
dan Muhammad, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq.
Sedangkan Malik,
as-Syafi’i, Said bin Musayyab, Makhul dan Rabi’ah -dan diriwayatkan dari Ibnu
Abbas dan Abu Hurairah- bahwa keluarnya darah itu tidak membatalkan wudhu.
Pendapat yang lebih
kuat menurut kami adalah: bahwa keluarnya darah dari bagian tubuh manapun, itu
adalah membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Aisyah yang telah disebutkan di
atas. Hadits tersebut dijadikan dalil yang memperkuat pendapat kami, tiada lain
adanya kalimat dalam redaksi hadits tersebut:
“Itu hanyalah darah
yang memancar dari salah satu pembuluh darah.”
Yaitu darah istihadhah, merupakan darah yang memancar dari
pembuluh. Terhadap darah dengan karakter seperti ini kita diperintahkan dua hal
oleh Rasulullah Saw.: (yaitu) mencucinya “maka cucilah darah itu”, dan berwudhu
“berwudhulah engkau untuk setiap shalat.” Dengan demikian darah itu jika keluar
dari pembuluh manapun, dengan dalil dinakirahkannya
kata ’irqun, maka yang harus dilakukan
adalah mencucinya dan berwudhu. Ketika kita diharuskan mencucinya, tiada lain
karena najisnya darah tersebut, dan ketika kita diharuskan berwudhu, tiada lain
karena keluarnya darah itu membatalkan wudhu.
Tidak bisa dikatakan
bahwa masalah ini hanya dibatasi untuk persoalan istihadhah
saja, atau dikatakan bahwa darah istihadhah
itu keluar dari kemaluan sehingga masalah tersebut hanya dibatasi untuk darah
yang keluar dari kemaluan saja, tidak bisa dikatakan seperti itu, karena yang
dijadikan patokan adalah lafadz-lafadz haditsnya yang menunjukkan keumuman (general).
Lafadz-lafadz tersebut
telah menjelaskan bahwa darah tersebut berasal dari pembuluh darah (‘irqun), di mana darah apapun yang keluar dari
badan, itu semata-mata berasal dari pembuluh darah yang terputus atau pecah,
sehingga darah seperti itu termasuk ke dalam karakter dan dihukumi dengan yang
disebutkan hadits tersebut.
Ini bukan termasuk
qiyas (analogi), melainkan termasuk persoalan menerapkan sesuatu yang umum ke
dalam satuannya (afrad). Hadits tersebut
mencakup darah istihadhah dan darah
mimisan, sama saja, karena keduanya adalah darah yang keluar dari pembuluh
darah, di mana darah yang keluar dari pembuluh darah harus dicuci dan
membatalkan wudhu. Inilah aspek istidlal dan aspek hukumnya.
Jika dikatakan bahwa
darah istihadhah itu keluar dari
kemaluan sehingga tidak bisa dianalogikan pada selainnya, maka pernyataan
seperti ini keliru, karena seandainya hadits ini tidak menyebutkan bahwa itu
adalah ‘irqun (darah yang keluar dari
pembuluh darah), dan mengatakan bahwa “darah istihadhah
itu harus dicuci dan membatalkan wudhu,” atau mengatakan bahwa “darah kemaluan
itu dicuci dan membatalkan wudhu,” niscaya pernyataan di atas benar adanya, dan
cakupan hadits seperti itu akan ternafikan. Akan tetapi ketika hadits tersebut
menyebutkan bahwa darah istihadhah
sebagai ‘irqun (darah yang keluar dari
pembuluh darah), dan darah seperti itu najis dan membatalkan wudhu, maka setiap
darah yang memiliki karakter seperti itu akan dihukumi sama sebagai najis dan
membatalkan wudhu.
Ketika semua darah
yang keluar dari badan sebenarnya keluar dari pembuluh darah, dan ketika semua
darah yang keluar dari badan dicakup oleh hadits tersebut dan membatalkan
wudhu, maka kita tidak memerlukan lagi dalil khusus yang menyebutkan bahwa
mimisan itu membatalkan wudhu. Sebab, dalil shahih
ini memiliki dilalah dan pengertian yang
cukup menunjukkan bahwa darah seperti itu membatalkan wudhu.
Adapun hadits yang
diriwayatkan ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari jalur Ibnu Juraij dari ayahnya,
dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang qalas, atau muntah, atau mimisan, maka
hendaklah dia pergi dari shalatnya dan berwudhu, lalu menyempurnakan kembali
shalatnya.”
Ini hadits dhaif.
Dan hadits yang
diriwayatkan ad-Daruquthni dan Ibnu Majah serta al-Baihaqi dari jalur Ibnu
Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah, lalu dia menyebutkan bagian awal
hadits di atas. Juga hadits yang diriwayatkan at-Thabrani dalam kitab al-Ausath dan Ibnu Adi dalam al-Kamil dari Salman ra., dia berkata:
“Aku mimisan di
samping Nabi Saw., maka beliau Saw. berkata: “Berwudhulah.”
Maka semua hadits ini
adalah hadits dhaif, yang tidak layak
digunakan sebagai dalil.
Dua hadits yang
pertama, yang ditakhrij ad-Daruquthni
dan selainnya, telah diriwayatkan oleh Ismail bin Ayyas. Ketika dia
meriwayatkan hadits dari orang-orang Hijaz, maka riwayatnya didhaifkan, dan dalam kedua hadits ini kita
dapati Ismail meriwayatkan hadits tersebut dari orang-orang Hijaz.
As-Syafi’i
mengomentari riwayat yang pertama: “Riwayat ini tidak memiliki bukti sebagai
sesuatu yang berasal dari Nabi Saw.,” dan al-Baihaqi telah menyebutkan pendapat
Muhammad bin Yahya tentang riwayat ini: Riwayat Ibnu Juraij dari ayahnya itu
adalah riwayat yang mursal dan tidak bersambung.
Yahya bin Ma'in telah
mendhaifkan hadits ini dengan kedua
jalurnya, sehingga hadits tersebut tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Pada hadits yang
ketiga yang ditakhrij at-Thabrani dan
Ibnu Adi, maka di dalam sanadnya
terdapat Husain al-Asyqar, seorang perawi yang dipandang dhaif, dan Ja’far bin Zayyad al-Ahmar yang
dituduh berafiliasi dengan faksi Syi’ah, sehingga ini menjadi sebab lain
ketidaklayakan hadits tersebut menjadi hujjah.
Selain itu, Malik
telah meriwayatkan dari Nafi:
“Bahwasanya Abdullah
bin Umar -ketika mimisan- beliau mundur shalatnya lalu berwudhu, kemudian
kembali, dan dia kembali melakukan shalat dan tidak berbicara.”
Perbuatan Abdullah bin
Umar ini menguatkan pendapat yang telah kami kemukakan di atas.
Pendapat yang telah
kami sampaikan terkait darah mimisan tersebut, sama dengan pendapat kami
tentang darah yang keluar akibat luka, karena fakta keduanya itu sama, yakni
keluarnya darah dari pembuluh yang ada di badan, sehingga hukumnya pun sama,
yakni membatalkan wudhu.
Sedangkan dalil yang
digunakan oleh mereka yang berpendapat lain dengan pendapat kami, bahwa Anas
bin Malik telah meriwayatkan:
“Bahwasanya Nabi Saw.
dibekam, kemudian beliau Saw. shalat tetapi tidak berwudhu, dan beliau Saw.
hanya mencuci bagian tubuh yang dibekam.” (HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)
Ini hadits dhaif.
Dengan hadits tersebut
mereka mengatakan bahwa keluarnya darah itu tidak membatalkan wudhu. Maka kami
katakan bahwa hadits ini adalah hadits dhaif,
yang tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Ibnu Hajar berkata:
Dalam sanadnya terdapat nama Shalih bin
Muqatil, dia perawi yang dhaif.
Ibnul Arabi mengklaim
bahwa ad-Daruquthni telah menshahihkan
hadits ini, padahal tidak begitu, bahkan setelah meriwayatkan hadits ini
ad-Daruquthni menyatakan dalam kitab as-Sunan:
Shalih bin Muqatil itu tidak kuat.
Hadits ini didhaifkan pula oleh an-Nawawi.
Mengenai dalil-dalil
yang mereka gunakan untuk memperkuat pendapat mereka berupa perkataan dan
perbuatan sahabat, misalnya seorang sahabat Anshar sedang shalat terkena anak
panah, tetapi dia tetap meneruskan shalatnya. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi, dan contoh lain, misalnya perkataan Ibnu
Abbas ra.:
“Cucilah tubuh kalian
yang bekas dibekam, dan itu sudah cukup bagi kalian.” (Riwayat al-Baihaqi)
Maka semua ini bukan
dalil, karena perkataan dan perbuatan sahabat itu bukan dalil.
Lagi pula di dalam
hadits yang pertama terdapat Aqil bin Jabir, yang dikomentari oleh ad-Dzahabi
sebagai: orang tersebut tidak dikenal.
Dalam hadits yang
kedua terdapat perawi yang tidak dikenal.
Dengan demikian kedua
hadits tersebut terkategorikan hadits dhaif.
Terkait perbuatan Ibnu
Umar yang kami ceritakan di atas, di mana beliau suka berwudhu karena terkena
mimisan, itu menyalahi apa yang mereka ceritakan. Kedua perkara ini merupakan
perbuatan sahabat. Ketika sikap seorang sahabat berbeda dalam satu masalah,
maka ini menjadi alasan terkuat untuk tidak beristidlal dengan pendapat mereka,
terlebih lagi ada hadits Nabi Saw. yang shahih
di hadapan kita.
Penjelasan lebih jauh
dan rinci terkait najisnya darah, silakan dirujuk ulang “benda-benda najis”
pada bab kedua.
Masalah
Terkait nanah, tidak
ada satu nashpun yang menunjukkan bahwa al-qaih
dan as-shadid itu najis dan membatalkan
wudhu. Walaupun begitu, dengan meneliti faktanya kita akan sampai pada
kesimpulan bahwa al-qaih (nanah) itu
najis dan membatalkan wudhu, tetapi tidak dengan as-shadid
(cairan lembut yang muncul dari luka). Hal ini karena fakta al-qaih itu merupakan darah yang rusak atau
terbentuk dari darah, di mana asal al-qaih itu merupakan benda najis dan
membatalkan wudhu. Kondisi cabang itu mengikuti pokok pangkal, begitu pula
dengan hukumnya. Inilah pendapat Qatadah dan Mujahid. Hal ini disebutkan oleh
Abdurrazaq. Berbeda halnya dengan as-shadid,
ia tidak termasuk dalam perkara yang membatalkan wudhu, juga tidak
terkategorikan benda najis. Hukumnya suci dan tidak membatalkan wudhu.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar