Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 05 Oktober 2017

Keluar Darah Membatalkan Wudhu



2. Keluar Darah

Darah itu, baik yang keluar dari kemaluan seperti darah istihadhah, atau dari dubur karena menderita penyakit wasir dan sebagainya, atau dari mulut karena sakit TBC misalnya, atau dari hidung karena sakit mimisan, atau darah yang keluar dari bagian tubuh lainnya, maka semua darah yang keluar ini membatalkan wudhu. Dalil atas hal itu adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra., bahwasanya dia berkata:

“Fathimah binti Abi Hubaisy datang menemui Nabi Saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang perempuan yang sering mengeluarkan darah istihadhah, karenanya aku tidak suci. Apakah aku boleh meninggalkan shalat? Beliau Saw. menjawab: “Tidak. Itu hanyalah darah yang memancar dari salah satu pembuluh darah, bukan darah haid. Jika (darah itu keluar) saat haid datang, maka engkau harus meninggalkan shalat, tetapi jika (darah itu keluar) setelah berlalunya waktu haid, maka cucilah darah itu dan shalatlah.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan ada tambahan di dalamnya:

“Abu Muawiyah berkata dalam haditsnya, dan beliau Saw. bersabda: “Berwudhulah engkau untuk setiap shalat hingga tiba waktu tersebut.”

Ini semisal dengan perintah berwudhu untuk setiap shalat yang ada dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan ad-Darimi. Kewajiban wudhu bagi wanita yang mengeluarkan darah istihadhah telah kami jelaskan dalam pembahasan wanita mustahadhah dan hukum-hukumnya pada bab sembilan. Silakan dirujuk kembali.

Di sini kita akan membahas lebih jauh tentang darah yang keluar dari badan secara umum, baik dari kemaluan atau selainnya. Kami katakan: Yang berpendapat keluarnya darah dari badan bisa membatalkan wudhu adalah Abu Hanifah dan kedua muridnya yakni Abu Yusuf dan Muhammad, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq.
Sedangkan Malik, as-Syafi’i, Said bin Musayyab, Makhul dan Rabi’ah -dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah- bahwa keluarnya darah itu tidak membatalkan wudhu.

Pendapat yang lebih kuat menurut kami adalah: bahwa keluarnya darah dari bagian tubuh manapun, itu adalah membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Aisyah yang telah disebutkan di atas. Hadits tersebut dijadikan dalil yang memperkuat pendapat kami, tiada lain adanya kalimat dalam redaksi hadits tersebut:

“Itu hanyalah darah yang memancar dari salah satu pembuluh darah.”

Yaitu darah istihadhah, merupakan darah yang memancar dari pembuluh. Terhadap darah dengan karakter seperti ini kita diperintahkan dua hal oleh Rasulullah Saw.: (yaitu) mencucinya “maka cucilah darah itu”, dan berwudhu “berwudhulah engkau untuk setiap shalat.” Dengan demikian darah itu jika keluar dari pembuluh manapun, dengan dalil dinakirahkannya kata ’irqun, maka yang harus dilakukan adalah mencucinya dan berwudhu. Ketika kita diharuskan mencucinya, tiada lain karena najisnya darah tersebut, dan ketika kita diharuskan berwudhu, tiada lain karena keluarnya darah itu membatalkan wudhu.

Tidak bisa dikatakan bahwa masalah ini hanya dibatasi untuk persoalan istihadhah saja, atau dikatakan bahwa darah istihadhah itu keluar dari kemaluan sehingga masalah tersebut hanya dibatasi untuk darah yang keluar dari kemaluan saja, tidak bisa dikatakan seperti itu, karena yang dijadikan patokan adalah lafadz-lafadz haditsnya yang menunjukkan keumuman (general).
Lafadz-lafadz tersebut telah menjelaskan bahwa darah tersebut berasal dari pembuluh darah (‘irqun), di mana darah apapun yang keluar dari badan, itu semata-mata berasal dari pembuluh darah yang terputus atau pecah, sehingga darah seperti itu termasuk ke dalam karakter dan dihukumi dengan yang disebutkan hadits tersebut.
Ini bukan termasuk qiyas (analogi), melainkan termasuk persoalan menerapkan sesuatu yang umum ke dalam satuannya (afrad). Hadits tersebut mencakup darah istihadhah dan darah mimisan, sama saja, karena keduanya adalah darah yang keluar dari pembuluh darah, di mana darah yang keluar dari pembuluh darah harus dicuci dan membatalkan wudhu. Inilah aspek istidlal dan aspek hukumnya.

Jika dikatakan bahwa darah istihadhah itu keluar dari kemaluan sehingga tidak bisa dianalogikan pada selainnya, maka pernyataan seperti ini keliru, karena seandainya hadits ini tidak menyebutkan bahwa itu adalah ‘irqun (darah yang keluar dari pembuluh darah), dan mengatakan bahwa “darah istihadhah itu harus dicuci dan membatalkan wudhu,” atau mengatakan bahwa “darah kemaluan itu dicuci dan membatalkan wudhu,” niscaya pernyataan di atas benar adanya, dan cakupan hadits seperti itu akan ternafikan. Akan tetapi ketika hadits tersebut menyebutkan bahwa darah istihadhah sebagai ‘irqun (darah yang keluar dari pembuluh darah), dan darah seperti itu najis dan membatalkan wudhu, maka setiap darah yang memiliki karakter seperti itu akan dihukumi sama sebagai najis dan membatalkan wudhu.
Ketika semua darah yang keluar dari badan sebenarnya keluar dari pembuluh darah, dan ketika semua darah yang keluar dari badan dicakup oleh hadits tersebut dan membatalkan wudhu, maka kita tidak memerlukan lagi dalil khusus yang menyebutkan bahwa mimisan itu membatalkan wudhu. Sebab, dalil shahih ini memiliki dilalah dan pengertian yang cukup menunjukkan bahwa darah seperti itu membatalkan wudhu.
Adapun hadits yang diriwayatkan ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari jalur Ibnu Juraij dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang qalas, atau muntah, atau mimisan, maka hendaklah dia pergi dari shalatnya dan berwudhu, lalu menyempurnakan kembali shalatnya.”
Ini hadits dhaif.

Dan hadits yang diriwayatkan ad-Daruquthni dan Ibnu Majah serta al-Baihaqi dari jalur Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah, lalu dia menyebutkan bagian awal hadits di atas. Juga hadits yang diriwayatkan at-Thabrani dalam kitab al-Ausath dan Ibnu Adi dalam al-Kamil dari Salman ra., dia berkata:

“Aku mimisan di samping Nabi Saw., maka beliau Saw. berkata: “Berwudhulah.”
Maka semua hadits ini adalah hadits dhaif, yang tidak layak digunakan sebagai dalil.

Dua hadits yang pertama, yang ditakhrij ad-Daruquthni dan selainnya, telah diriwayatkan oleh Ismail bin Ayyas. Ketika dia meriwayatkan hadits dari orang-orang Hijaz, maka riwayatnya didhaifkan, dan dalam kedua hadits ini kita dapati Ismail meriwayatkan hadits tersebut dari orang-orang Hijaz.
As-Syafi’i mengomentari riwayat yang pertama: “Riwayat ini tidak memiliki bukti sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi Saw.,” dan al-Baihaqi telah menyebutkan pendapat Muhammad bin Yahya tentang riwayat ini: Riwayat Ibnu Juraij dari ayahnya itu adalah riwayat yang mursal dan tidak bersambung.
Yahya bin Ma'in telah mendhaifkan hadits ini dengan kedua jalurnya, sehingga hadits tersebut tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Pada hadits yang ketiga yang ditakhrij at-Thabrani dan Ibnu Adi, maka di dalam sanadnya terdapat Husain al-Asyqar, seorang perawi yang dipandang dhaif, dan Ja’far bin Zayyad al-Ahmar yang dituduh berafiliasi dengan faksi Syi’ah, sehingga ini menjadi sebab lain ketidaklayakan hadits tersebut menjadi hujjah.
Selain itu, Malik telah meriwayatkan dari Nafi:

“Bahwasanya Abdullah bin Umar -ketika mimisan- beliau mundur shalatnya lalu berwudhu, kemudian kembali, dan dia kembali melakukan shalat dan tidak berbicara.”

Perbuatan Abdullah bin Umar ini menguatkan pendapat yang telah kami kemukakan di atas.

Pendapat yang telah kami sampaikan terkait darah mimisan tersebut, sama dengan pendapat kami tentang darah yang keluar akibat luka, karena fakta keduanya itu sama, yakni keluarnya darah dari pembuluh yang ada di badan, sehingga hukumnya pun sama, yakni membatalkan wudhu.

Sedangkan dalil yang digunakan oleh mereka yang berpendapat lain dengan pendapat kami, bahwa Anas bin Malik telah meriwayatkan:

“Bahwasanya Nabi Saw. dibekam, kemudian beliau Saw. shalat tetapi tidak berwudhu, dan beliau Saw. hanya mencuci bagian tubuh yang dibekam.” (HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)
Ini hadits dhaif.

Dengan hadits tersebut mereka mengatakan bahwa keluarnya darah itu tidak membatalkan wudhu. Maka kami katakan bahwa hadits ini adalah hadits dhaif, yang tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Ibnu Hajar berkata: Dalam sanadnya terdapat nama Shalih bin Muqatil, dia perawi yang dhaif.
Ibnul Arabi mengklaim bahwa ad-Daruquthni telah menshahihkan hadits ini, padahal tidak begitu, bahkan setelah meriwayatkan hadits ini ad-Daruquthni menyatakan dalam kitab as-Sunan: Shalih bin Muqatil itu tidak kuat.
Hadits ini didhaifkan pula oleh an-Nawawi.

Mengenai dalil-dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pendapat mereka berupa perkataan dan perbuatan sahabat, misalnya seorang sahabat Anshar sedang shalat terkena anak panah, tetapi dia tetap meneruskan shalatnya. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi, dan contoh lain, misalnya perkataan Ibnu Abbas ra.:

“Cucilah tubuh kalian yang bekas dibekam, dan itu sudah cukup bagi kalian.” (Riwayat al-Baihaqi)

Maka semua ini bukan dalil, karena perkataan dan perbuatan sahabat itu bukan dalil.
Lagi pula di dalam hadits yang pertama terdapat Aqil bin Jabir, yang dikomentari oleh ad-Dzahabi sebagai: orang tersebut tidak dikenal.
Dalam hadits yang kedua terdapat perawi yang tidak dikenal.
Dengan demikian kedua hadits tersebut terkategorikan hadits dhaif.
Terkait perbuatan Ibnu Umar yang kami ceritakan di atas, di mana beliau suka berwudhu karena terkena mimisan, itu menyalahi apa yang mereka ceritakan. Kedua perkara ini merupakan perbuatan sahabat. Ketika sikap seorang sahabat berbeda dalam satu masalah, maka ini menjadi alasan terkuat untuk tidak beristidlal dengan pendapat mereka, terlebih lagi ada hadits Nabi Saw. yang shahih di hadapan kita.
Penjelasan lebih jauh dan rinci terkait najisnya darah, silakan dirujuk ulang “benda-benda najis” pada bab kedua.

Masalah

Terkait nanah, tidak ada satu nashpun yang menunjukkan bahwa al-qaih dan as-shadid itu najis dan membatalkan wudhu. Walaupun begitu, dengan meneliti faktanya kita akan sampai pada kesimpulan bahwa al-qaih (nanah) itu najis dan membatalkan wudhu, tetapi tidak dengan as-shadid (cairan lembut yang muncul dari luka). Hal ini karena fakta al-qaih itu merupakan darah yang rusak atau terbentuk dari darah, di mana asal al-qaih itu merupakan benda najis dan membatalkan wudhu. Kondisi cabang itu mengikuti pokok pangkal, begitu pula dengan hukumnya. Inilah pendapat Qatadah dan Mujahid. Hal ini disebutkan oleh Abdurrazaq. Berbeda halnya dengan as-shadid, ia tidak termasuk dalam perkara yang membatalkan wudhu, juga tidak terkategorikan benda najis. Hukumnya suci dan tidak membatalkan wudhu.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam