Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 13 September 2017

Pengertian Nifas - Dalil Definisi Darah Nifas



Kelima: Nifas dan Melahirkan

a. Nifas adalah darah yang keluar dari farji karena sebab melahirkan, dan bayi yang dilahirkan disyaratkan harus nampak jelas bentuk fisik manusianya, baik terlahir dalam keadaan hidup ataupun mati. Definisi ini akan mengeliminasi sesuatu yang dikeluarkan oleh rahim seperti nuthfah (sperma), 'alaqah (segumpal darah), atau bentuk awal mudhghah (segumpul daging), sehingga keluarnya tiga hal tadi tidak bisa dikatakan sebagai melahirkan dan juga bukan nifas. Nuthfah, 'alaqah dan mudhghah itu tidak tercakup oleh istilah bayi yang dilahirkan. Dalil atas hal ini adalah al-Qur'an al-Karim dan Sunnah Nabawiyah.

Dalil al-Qur’an al-Karim adalah firman Allah Swt. dalam surat al-Hajj ayat 5:

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi.” (TQS. al-Hajj [22]: 5)

Ayat ini menetapkan terjadinya pembentukan yang sempurna (takhaluq) terdapat pada tahapan mudhghah (segumpal daging), sehingga menafikan terjadinya takhalluq pada nuthfah dan ‘alaqah.
Mudhghah merupakan awal pembentukan, yakni awal terbentuknya fisik manusia, dan fase sebelumnya (yakni nuthfah dan ‘alaqah) tidak termasuk pembentukan dan bukan awal terbentuknya fisik manusia.
Persalinan (al-wiladah) adalah mengeluarkan bayi yang sudah sempurna bentuknya, bukan sekedar mengeluarkan darah yang masih cair atau beku, karena nuthfah itu artinya mani, dan ‘alaqah artinya darah beku, sedangkan al-mudhghah adalah sepotong daging seukuran benda yang sedang dikunyah. Yang masih berupa darah tidak dipandang sebagai bayi yang dilahirkan, sedangkan yang sudah menjadi daging maka termasuk bayi yang dilahirkan (al-maulud). Lebih tepat kami katakan bahwa mudhghah (segumpal daging) itu merupakan awal pembentukan janin.

Sedangkan dalil yang berasal dari hadits, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ra. bahwasanya dia berkata:

“Rasulullah Saw. berbicara kepada kami, dan beliau Saw. adalah seorang yang shadiqul mashduq (benar dan dipercaya). Sesungguhnya salah seorang dari kalian mulai diciptakan dalam perut ibunya dalam waktu empat puluh hari, kemudian menjadi 'alaqah (segumpal darah) selama empat puluh hari berikutnya, dan menjadi mudhghah (segumpal daging) selama empat puluh hari berikutnya, kemudian diutuslah malaikat, lalu dia meniupkan ruh ke dalamnya, dan malaikat itu diperintahkan untuk menuliskan empat perkara, menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan sengsara atau bahagianya.” (HR. Muslim dan Bukhari)

Hadits ini menafsirkan ayat di atas, dan menjelaskan bahwa ditiupkannya ruh itu sesungguhnya terjadi setelah beralihnya fase ‘alaqah (segumpal darah) menjadi fase mudhghah, bahkan setelah sempurna bentuk mudhghah. Hadits tersebut menyebutkan:

“Dan kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama empat puluh hari berikutnya, kemudian diutuslah malaikat, lalu dia meniupkan ruh ke dalamnya.”

Hadits tersebut jelas menggunakan lafadz tsumma (kemudian) yang memberikan arti urutan kejadian (at-tartib), sehingga ditiupkannya ruh itu terjadi setelah terbentuknya mudhghah, yakni setelah terbentuknya mudhghah, bukan selama pembentukan mudhghah. Dan ruh tidaklah ditiupkan kecuali setelah mudhghah terbentuk sempurna. Takhalluq (pembentukan) itu terjadi ketika mudghah sudah terbentuk sempurna, dalam arti ketika ‘alaqah secara bertahap berubah menjadi mudhghah maka terjadi pembentukan secara bertahap.
Mudghah itu menyertai takhalluq, sehingga sesuatu tidak disebut mudhghah kecuali setelah sempurna bentuknya. Dan mudhghah tidak dikatakan sempurna kecuali setelah sempurna pembentukannya, dan ketika sempurna pembentukannya maka itulah saat ditiupkannya ruh.

Dengan pemahaman seperti ini, kita bisa sampai pada kesimpulan berikut: ketika seorang wanita mengeluarkan nuthfah (sperma) yakni setelah berlalu empat puluh hari sebagai masa maksimal awal kehamilan, maka saat itu dia tidak dipandang keguguran janin. Dan ketika dia mengeluarkan 'alaqah yakni setelah berlalu delapan puluh hari sebagai masa maksimal awal kehamilan, maka dia juga tidak dipandang telah keguguran janin. Ini merupakan persoalan yang sangat jelas. Adapun ketika dia mengeluarkan mudhghah yang bentuknya sudah sempurna setelah lebih dari seratus dua puluh hari -walaupun kelebihannya hanya satu hari saja-, maka dia dipandang telah keguguran janin yang sudah memiliki ruh, sehingga tentunya dipandang masa nifas.
Tinggallah kini masa antara delapan puluh hari hingga seratus dua puluh hari, yakni masa pembentukan mudhghah. Ini merupakan masa atau fase peralihan dari bentuk yang tidak diragukan lagi bukan sebagai bayi dan belum memiliki ruh, karena ia hanya segumpal darah yang padat seperti hati dan limpa, bukan sebagai daging, karena tubuh yang terbentuk dari daging itu sudah ditempati ruh.
Fase antara ini diperselisihkan oleh para fuqaha. Di antara mereka ada yang memandang bahwa keguguran mudhghah yang belum sempurna bentuknya itu sebagai keguguran bayi, sehingga mereka menyebutnya sebagai nifas. Tetapi ada di antara mereka yang memandangnya sama dengan keguguran nuthfah dan 'alaqah, yakni bukan keguguran bayi, sehingga itu bukan nifas.
Pendapat yang benar adalah: mudhghah yang belum sempurna bentuknya itu dihukumi sebagai sesuatu bukan mudhghah ('alaqah-pen.), karena ruh tidak akan dimasukkan sebelum sempurna bentuk mudhghah-nya.

Mengenai perkara yang berkaitan dengan nifas dari sisi hukum shalat, bersuci dan bersetubuh, maka kami katakan bahwa seorang wanita ketika keguguran setelah seratus hari, maka kita harus memeriksa janin yang gugur tersebut. Ketika janin sudah terbentuk dengan jelas, maka kita menganggap wanita tersebut dalam kondisi nifas. Tetapi jika tidak terbentuk maka kita tidak menganggapnya dalam kondisi nifas.
Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab al-Mughni: “Jika seorang wanita melihat darah setelah mengeluarkan sesuatu yang di dalamnya ada bentuk manusia, maka itu adalah darah nifas yang sudah ada ketetapannya menurut nash. Tetapi jika ia melihat darah setelah mengeluarkan nuthfah atau ‘alaqah, maka darah tersebut bukan darah nifas. Ketika pada sebagian benda yang keluar itu tidak nampak bentuk manusia, maka terdapat dua pendapat. Pertama itu adalah nifas, karena itu merupakan permulaan pembentukan manusia sehingga dipandang sebagai nifas seperti halnya ketika telah nampak dengan jelas bentuk manusianya. Sedangkan kedua, bukan nifas, sebab tidak nampak dengan jelas bentuk manusianya karena dipandang menyerupai nuthfah saja.”

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam