Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 25 September 2017

Wajib Tartib (Berurutan) Dalam Wudhu



13. Tartib (Berurutan)

Tartib merupakan fardhu wudhu yang keenam. Dalam persoalan ini para imam terbagi menjadi dua kelompok. As-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsur, Abu Ubaid, dan Ibnu Qudamah berpendapat bahwa tartib dalam wudhu itu wajib hukumnya.
Sedangkan an-Nakha’iy, Makhul, Abu Hanifah, Dawud, Malik, at-Tsauri, Ibnu al-Musayyab, az-Zuhri, Atha, dan al-Hasan berpendapat bahwa tartib itu tidak wajib hukumnya. Pendapat yang benar adalah tartib dalam wudhu itu wajib hukumnya. Kita akan mulai membahas dan mendiskusikannya untuk menjelaskan kebenaran pendapat tersebut.

Mereka yang berpendapat tartib (berurutan) dalam wudhu itu wajib telah berargumentasi dengan beberapa dalil berikut:

1. Firman Allah Swt.:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

2. Dari Humran pelayan Utsman ra.:

“Bahwasanya dia melihat Utsman meminta bejana berisi air untuk wudhu, lalu dia menuangkannya ke atas dua telapak tangannya tiga kali, lalu dia mencuci kedua telapak tangannya, memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah, lalu dia berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidung, lalu mengeluarkannya. Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali dan dua tangannya hingga ke siku sebanyak tiga kali, kemudian dia mengusap kepalanya, membasuh kakinya hingga mata kaki sebanyak tiga kali. Setelah itu dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia melaksanakan shalat dua rakaat, di mana dia tidak berbicara pada dirinya dalam melaksanakan keduanya, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR. Muslim, Bukhari dan Abu Dawud)

Hadits ini telah kami sebutkan sebelumnya.

3. Dari Amr bin 'Abasah, dia berkata:

“Wahai Nabiyullah, terangkanlah perkara wudhu kepadaku. Beliau Saw. bersabda: “Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, lalu ia berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air kedalam hidung), lalu mengeluarkannya kembali, melainkan dosa-dosa dari wajahnya, bibirnya dan hidungnya akan berguguran. Kemudian, tidaklah dia membasuh wajahnya sebagaimana yang diperintahkan Allah, melainkan dosa-dosa dari wajahnya akan berguguran bersama air yang menetes dari ujung-ujung janggutnya. Kemudian tidaklah dia membasuh dua tangannya hingga siku, melainkan dosa-dosa kedua tangannya akan gugur bersama air yang menetes dari ujung jemarinya. Dan tidaklah dia mengusap kepalanya melainkan dosa-dosa kepalanya akan gugur bersama air yang menetes dari ujung-ujung rambutnya. Kemudian tidaklah dia membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki kecuali dosa-dosa kedua kakinya akan gugur bersama air dari ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)

Ahmad meriwayatkan hadits ini, dan di dalamnya disebutkan:

“Kemudian tidaklah dia membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki sebagaimana yang diperintahkan Allah melainkan…”

Ayat al-Qur'an di atas menunjukkan bahwa tartib dalam berwudhu itu wajib hukumnya. Allah Swt. memasukkan bagian yang diusap di antara dua bagian yang dibasuh, dan orang Arab tidak akan memisahkan satu padanan dari padanannya kecuali untuk menunjukkan satu pengertian. Dan tidak ada pengertian yang lain di sini selain urutan perbuatan (at-tartib).
Jika dikatakan bahwa pemisahan ini mengandung pengertian anjuran untuk tartib (berurutan), bukan mewajibkan, maka kami katakan sesungguhnya ayat al-Qur’an ini datang untuk menjelaskan perkara yang diwajibkan dalam wudhu saja, tidak menyebutkan perkara-perkara yang disunahkan dalam wudhu.
Tartib itu bisa ditemukan dalam penjelasan wudhu yang mencukupi (mujzi), maka ini menjadi qarinah untuk melahirkan pengertian wajib, kemudian setiap orang yang menceritakan cara wudhu Rasulullah Saw. menceritakannya secara berurutan, dan inilah yang menjelaskan perkara yang disebutkan secara global oleh ayat al-Qur’an.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Utsman ra. di atas, nampak jelas adanya urutan basuhan (tartib). Begitu pula dalam hadits Amr bin Abasah, dan banyak lagi selain keduanya yang juga menyampaikan urutan dimaksud. Dalam hadits-hadits ini nampak jelas adanya keharusan untuk melakukan basuhan secara berurutan (tartib) dengan adanya kata depan tsumma (kemudian). Sebagaimana dimaklumi, kata depan ini memberi pengertian urutan. Di dalam hadits Utsman disebutkan:

“Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah, lalu dia berkumur-kumur, ...kemudian dia membasuh wajahnya… kemudian dia mengusap kepalanya, kemudian membasuh kedua kakinya…”

Begitu pula dalam hadits Amr bin Abasah:

“Kemudian ketika dia membasuh wajahnya… kemudian ketika dia membasuh dua tangannya… kemudian ketika dia mengusap kepalanya… kemudian ketika dia membasuh kedua kakinya…”

Begitu pula dengan hadits-hadits lain yang juga telah kami sebutkan. Hadits-hadits ini tidak cukup mengurutkan basuhan wudhu dengan kata tsumma, melainkan memberi tambahan keterangan dengan kalimat:

“Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini…”

Ini merupakan nash dari Rasulullah Saw. tentang tata cara berwudhu, karena kata nahwa (seperti) mengandung pengertian tata cara, di mana membasuh wajah, kedua tangan, kedua kaki itu merupakan tata cara, mengusap kepala termasuk tata cara, dan urutan basuhan (tartib) juga termasuk dalam tata cara, sehingga tidak bisa dikeluarkan dari pengertian seperti itu kecuali dengan dalil. Faktanya tidak ada dalil di sini.

Rasulullah Saw. membasuh wajahnya, dan setelah membasuh wajah, beliau Saw. membasuh kedua tangannya, setelah membasuh kedua tangannya, beliau Saw. mengusap kepalanya, dan setelah mengusap kepalanya, beliau Saw. membasuh kedua kakinya, lalu beliau Saw. bersabda: “Berwudhulah kalian seperti ini.” Artinya, berwudhulah kalian dengan tata cara seperti ini. Seandainya salah seorang dari kita “mengusap” wajahnya, maka ini telah menyalahi tata cara, seandainya “membasuh” kepalanya juga dipandang menyalahi tata cara, seandainya membasuh kedua kakinya sebelum wajahnyapun menyalahi tata cara sehingga wudhunya menjadi tidak sah. Kemudian hadits Amr bin Abasah menyebutkan kalimat:

“Sebagaimana diperintahkan oleh Allah.”

Di dua tempat, yakni:

“Kemudian tidaklah dia membasuh wajahnya sebagaimana yang diperintahkan Allah ...kemudian tidaklah dia membasuh kedua kakinya hingga mata kaki sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah azza wa jalla...”

Walaupun nash ini secara tegas menjelaskan tata cara perbuatan itu sendiri bukan sedang menjelaskan urutannya, tetapi nash ini pun sebenarnya mengandung pengertian urutan perbuatan yang harus dilakukan tersebut, karena basuhan dan usapan itu semata-mata berdasarkan perintah Allah. Dan Allah Swt. -yang memerintahkan perbuatan-perbuatan ini berikut tata caranya- telah mengurutkan perbuatan-perbuatan itu sendiri di dalam ayat al-Quran, di mana Allah Swt. memerintahkan dan mewajibkan empat perbuatan.
Rasulullah Saw. pun memerintahkan untuk melakukannya, dan tidak cukup sekedar melakukan, melainkan Allah Swt. memerintahkan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut dengan tata cara tertentu.
Maka datanglah perbuatan Rasulullah Saw. untuk merealisasikan perintah Allah Swt. tersebut. Beliau Saw. mengurutkannya seperti urutan yang disebutkan ayat al-Qur’an pada setiap wudhu yang beliau Saw. lakukan.
Tata cara ini tidak pernah tertinggal, sehingga menunjukkan bahwa beliau Saw. menetapi tata cara tersebut dan mewajibkannya.

Misalnya, Rasulullah Saw. berwudhu setiap kali hendak shalat, kemudian Buraidah meriwayatkan:

“Bahwasanya Nabi Saw. melakukan beberapa shalat pada hari penaklukan dengan satu kali wudhu dan mengusap dua khuffnya. Maka Umar berkata padanya: Hari ini engkau melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak engkau lakukan? Beliau Saw. menjawab: “Aku melakukannya secara sengaja wahai Umar.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa beliau Saw. tidak ingin membingungkan kaum Muslim seolah wudhu itu wajib untuk setiap kali shalat ketika beliau Saw. berwudhu untuk setiap kali shalat. Untuk menghilangkan keraguan ini dan menafikan kewajiban tersebut maka beliau Saw. melakukan wudhu di luar kebiasaannya itu -yakni biasanya berwudhu untuk setiap shalat menjadi hanya berwudhu sekali saja untuk beberapa shalat- pada saat penaklukan kota Makkah.
Persoalan urutan perbuatan pun seperti itu. Rasulullah Saw. senantiasa mengurutkan perbuatan dalam setiap wudhunya hingga beliau Saw. meninggal, maka ini menunjukkan bahwa urutan perbuatan (tartib) itu hukumnya wajib. Ketika dinyatakan ada riwayat bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara yang berbeda dengan urutan ini, seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:

1. Dari al-Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata:

“Rasulullah Saw. disodori air wudhu, lalu beliau Saw. berwudhu. Beliau Saw. membasuh dua telapak tangannya tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh lengannya tiga kali-tiga kali, lalu beliau berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkannya kembali) sebanyak tiga kali, dan mengusap kepalanya dan dua telinganya, bagian luar dan dalamnya, dan mencuci kedua kakinya tiga kali.” (HR. Ahmad)
Ini hadits dhaif.

2. Dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Rubayyi' binti Mu’awwidz bin Afraa, dia berkata:

“Rasulullah Saw. pernah mendatangi kami, lalu Rubayyi menceritakan kepada kami bahwa beliau Saw. bersabda: “Tuangkanlah air wudhu untukku.” Lalu Rubayyi menceritakan wudhu Rasulullah saw. Dia berkata: Beliau Saw. membasuh dua telapak tangannya tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, berkumur, beristinsyaq satu kali, membasuh dua tangannya tiga kali-tiga kali, mengusap kepalanya dua kali, dimulai dari bagian akhir kepalanya, kemudian bagian depannya, dan dua telinganya, bagian luar dan dalamnya, kemudian membasuh dua kakinya tiga kali-tiga kali.” (HR. Abu Dawud)

Ad-Daruquthni, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad meriwayatkan hadits yang hampir sama.
Ini hadits dhaif.

3. Dari Utsman ra., dia berkata:

“Kemarilah kalian, aku akan tunjukkan kepada kalian cara wudhu Rasulullah Saw. Kemudian dia membasuh wajahnya dan dua tangannya sampai ke dua sikunya, hingga dia menyentuh pangkal lengan atasnya. Kemudian dia mengusap kepalanya, lalu mengusapkan dua tangannya pada dua telinga dan janggutnya, kemudian dia membasuh dua kakinya.” (HR. ad-Daruquthni)
Ini hadits dhaif.

Mereka mengatakan bahwa hadits pertama menetapkan berkumur-kumur dan beristinsyaq itu dilakukan setelah membasuh wajah dan membasuh dua tangan. Hadits kedua menetapkan bahwa berkumur-kumur dan beristinsyaq itu dilakukan setelah membasuh wajah. Hadits ketiga menjadikan mengusapkan kedua telapak tangan pada janggut itu setelah mengusap kepala. Ini jelas bertentangan dengan ketentuan tartib (urutan basuhan). Tentu saja, ketika pernyataan seperti itu dilontarkan, maka kami bantah dengan pernyataan berikut:

Hadits yang pertama diriwayatkan oleh Hariz dari Abdurrahman bin Maisarah al-Hadhrami. Ibnu al-Madini mengomentari Abdurrahman ini: Dia seorang perawi yang tidak dikenal, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Hariz.
Karena itu hadits ini adalah hadits dhaif yang tidak layak digunakan sebagai hujjah, sehingga harus ditolak.

Hadits kedua diriwayatkan oleh lima penyusun kitab hadits (Abu Dawud, ad-Daruquthni, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad), tetapi semua riwayat yang ditakhrij oleh kelimanya itu berporos pada Abdullah bin Muhammad bin Aqil yang dikomentari oleh as-Syaukani: Nama perawi tersebut diperdebatkan.
Abbas bin Yazid berkata: “Wanita ini (Rubayyi') yang bercerita bahwa Nabi Saw. mengawali dengan wajah sebelum berkumur-kumur dan beristinsyaq. Sedangkan Ahlul Badar di antaranya adalah Utsman dan Ali menceritakan bahwa Nabi Saw. mengawali dengan berkumur-kumur dan beristinsyaq sebelum wajah, dan sahabat lainnya seperti itu. Besar kemungkinan (redaksi) ini berasal dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, bukan berasal dari wanita tersebut.”
Ibnu Hibban berkomentar tentang Abdullah bin Muhammad bin Aqil ini: Dia seorang yang buruk hafalan, suka menyampaikan hadits yang berbeda dengan Sunnah yang sebenarnya, sehingga kabar (hadits) yang berasal darinya harus dijauhi.
Abu Zur’ah menyatakan: Keberadaan namanya dalam suatu rangkaian sanad diperselisihkan.
Bukhari berkata: Dia seorang perawi yang bersahaja dalam haditsnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: Haditsnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Dengan demikian, hadits Ibnu Aqil ini bisa saja dijadikan hujjah, dengan syarat tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan para perawi yang tsiqah. Dan dalam hadits ini dia telah menyalahi para perawi yang tsiqah, sehingga hadits ini harus dibuang.

Mengenai hadits ketiga, di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, dia seorang yang dhaif jika meriwayatkan hadits secara 'an'anah (dari seseorang, dari seseorang). Dalam hadits ini dia meriwayatkannya secara ‘an'anah, sehingga hadits ini dipandang dhaif.
Selain itu juga bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan Utsman sendiri yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih, di mana dalam sanad yang shahih Utsman menyebutkan bahwa ini adalah wudhu Rasulullah Saw.
Dalam hadits yang ini juga Utsman menyebutkan bahwa ini adalah wudhu Rasulullah Saw. Ketika perawinya satu tetapi ada perbedaan di antara dua riwayatnya, maka yang harus dijadikan pegangan adalah riwayat yang shahih, sedangkan riwayat yang dhaif dan bertentangan dengan yang shahih harus dibuang.

Tiga hadits ini ada yang dhaif dan juga tidak shahih, semuanya bertentangan dengan hadits-hadits shahih sehingga tidak akan kuat melawan hadits-hadits shahih.

Saya tidak ingin melontarkan pernyataan yang disampaikan oleh sebagian orang, bahwa perbedaan urutan itu bisa terjadi dalam perkara wudhu yang memang disunahkan, karena tartib (urutan basuhan) itu merupakan fardhu wudhu. Saya tidak sependapat dengan pernyataan seperti itu, karena tartib (urutan basuhan) itu berlaku dalam perkara fardhu dan sunah wudhu. Wudhu itu adalah ibadah. Ibadah apapun, baik fardlu ataupun sunah, jika ingin dilakukan maka wajib dilakukan sesuai tata caranya dengan tidak membedakan antara yang wajib dengan yang sunah.
Shalat dhuhur itu empat rakaat, shalat istisqa itu dua rakaat, shalat dhuhur itu fardhu, shalat istisqa itu sunah, ketika ingin dilaksanakan maka shalat dhuhur wajib dilaksanakan empat rakaat dan shalat istisqa wajib dilaksanakan dua rakaat, dan tentunya harus dilaksanakan dengan tata cara yang sudah ditentukan. Seperti itu pula seluruh ibadah yang sudah ditetapkan tata caranya, harus dilaksanakan dengan cara mematuhi tata caranya.
Di dalam wudhu terdapat beberapa perkara yang fardhu, dan ada pula perkara yang sunah. Jika yang sunah itu ingin dilaksanakan maka harus dilakukan sesuai tata caranya, sehingga ketika dilakukan tidak sesuai tata caranya maka pelakunya justru akan berdosa. Pilihannya hanya dua, melaksanakan sunah-sunah wudhu itu sebagaimana yang disampaikan nash atau tidak melakukannya sama sekali.

Adapun dalil yang digunakan oleh mereka yang mengatakan tartib itu tidak wajib, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali ra., dia berkata:

“Aku tidak peduli ketika melaksanakan wudhu dengan anggota wudhu manakah aku memulai.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)

“Tidak mengapa engkau memulai dengan kedua kakimu sebelum kedua tanganmu dalam berwudhu.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)
Ini hadits dhaif.

Maka kami katakan: pertama, sesungguhnya hadits yang pertama adalah qaul shahabiy (perkataan sahabat), dan perkataan sahabat itu bukan dalil.
Kedua, di dalam hadits ini ada Abdullah bin Amr bin Hindin, yang dikomentari oleh ad-Daruquthni: dia perawi yang dhaif.
Setelah meriwayatkan hadits ini al-Baihaqi menyatakan: Demi Allah, aku tahu bahwa hadits ini munqathi'… Auf mengatakan bahwa dia tidak mendengar hadits dari Ali ra.
Dengan demikian, hadits tersebut dhaif sehingga tidak layak digunakan sebagai dalil.
Telah diriwayatkan dari Ali ra. bahwasanya dia berkata:

“Aku tidak peduli andai aku memulakan yang kiri sebelum yang kanan ketika aku berwudhu.” (HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)

Hadits ini juga dhaif walaupun maknanya bisa diterima, karena di dalam sanadnya terdapat nama Ziyad, pelayan Bani Makhzum, yang dikomentari oleh Yahya bin Ma’in: haditsnya tidak dipandang.
Hadits kedua ini pun qaul shahabiy, sebagaimana telah kami katakan bahwa perkataan sahabat itu bukan dalil, selain memang hadits ini adalah hadits dhaif.
Ad-Daruquthni mengomentari hadits ini: hadits ini mursal dan tidak bisa dibuktikan keshahihannya.
Al-Baihaqi menukil pernyataan ad-Daruquthni tersebut dan menambahkan: hal ini karena Mujahid tidak bertemu dengan Abdullah bin Mas'ud.
Dengan demikian hadits ini dhaif, karena terkategorikan hadits munqathi' sehingga tidak layak digunakan sebagai dalil.

Jadi, nampak jelas bahwa tartib (urutan basuhan) dalam wudhu itu wajib hukumnya, tidak ada perbedaan antara fardhu dan sunah wudhu, dan melakukan sesuatu yang menyalahi urutan tersebut dipandang berdosa dan tidak boleh hukumnya.
Penting dicatat bahwa menyalahi tartib dalam fardhu-fardhu wudhu itu berbeda dengan menyalahi tartib dalam sunah-sunahnya dari sisi cukup terlaksana atau tidaknya wudhu tersebut. Menyalahi tartib dalam fardhu-fardhu wudhu itu selain berdosa, juga membatalkan wudhu, karena ini sama dengan tidak melakukan fardhu wudhu sebagaimana mestinya, sehingga sama dengan tidak melakukan fardhu-fardhu wudhu.
Sedangkan menyalahi tartib dalam sunah-sunah wudhu hanya berdosa saja, ini sama artinya dengan melakukan sunah-sunah wudhu tidak sebagaimana mestinya. Karena melakukan sunah-sunah wudhu itu bukan satu kewajiban/keharusan dan bukan termasuk bagian dari wudhu yang mencukupi, maka menyalahi tartib dalam sunah-sunah wudhu itu tidak mempengaruhi wudhu dari sisi cukup terlaksana atau tidaknya wudhu tersebut.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam