Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 25 September 2017

Wajib Berturut-Turut (Muwalat) Dalam Wudhu



15. Muwalat (Berturut-turut)

Muwalat artinya membasuh seluruh anggota wudhu secara berturut-turut dari satu bagian ke bagian yang lain, di mana orang yang berwudlu itu tidak menunda membasuh anggota wudhu berikutnya sampai air wudhu basuhan sebelumnya kering. Dia tidak memutuskan wudhunya dengan aktivitas yang asing yang menurut kebiasaan bisa dipandang sebagai tindakan meninggalkan wudhu.
Kontinuitas basuhan (muwalat) ini wajib dalam berwudhu. Di antara mereka yang mewajibkannya adalah Malik, as-Syafi'i dalam salah satu qaulnya, Ahmad, dan al-Auza'iy. Sedangkan yang tidak mewajibkan adalah Abu Hanifah dan as-Syafili dalam salah satu qaulnya.

Mari kita cermati beberapa nash berikut agar bisa melihat jelas kebenaran kewajibannya:

1. Dari Khalid bin Mi'dan, dari sebagian sahabat Nabi Saw.:

“Bahwasanya Nabi Saw. melihat seorang lelaki sedang shalat, dan di punggung kakinya nampak satu bagian sebesar uang dirham yang tidak terkena air, maka Nabi Saw. memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu Dawud)

Ahmad meriwayatkan hadits ini tanpa lafadz: “dan shalatnya.”

Ahmad berkata: sanad hadits ini cukup bagus.

2. Dari Umar bin Khaththab ra.:

“Bahwasanya dia melihat seorang lelaki berwudhu untuk shalat, ternyata dia meninggalkan satu bagian sebesar kuku di punggung kakinya. Lalu Nabi Saw. memperhatikan orang tersebut, seraya berkata: “Kembalilah dan baguskanlah wudhumu.” Lalu dia kembali dan berwudhu, setelah itu dia shalat.” (HR. Ahmad)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Lalu dia kembali (untuk berwudhu), kemudian dia shalat.”

3. Dari Anas bin Malik:

“Bahwasanya seorang lelaki menemui Nabi Saw. Dia telah berwudhu, tetapi membiarkan satu bagian sebesar kuku di atas punggung kakinya. Maka Rasulullah Saw. bersabda padanya: “Kembalilah dan baguskanlah wudhumu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, ad-Daruquthni, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)

Ahmad menganggap bagus sanad hadits ini.

4. Dari Ibnu Umar, dari Abu Bakar ra. dan Umar ra., keduanya berkata:

“Datanglah seorang lelaki yang telah berwudhu, tetapi di punggung kakinya ada satu bagian sebesar kuku jempolnya yang masih belum tersentuh air. Maka Nabi Saw. bersabda: “Kembalilah dan sempurnakanlah wudhumu.” Kemudian orang itu melakukannya. (HR. ad-Daruquthni)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh at-Thabrani dari Abu Bakar ra.
Ini hadits dhaif.

Hadits yang pertama dipandang bercacat oleh Ibnu Mundzir karena ada perawi yang bernama Baqiyyah bin al-Walid. Ibnul Mundzir menuduh orang ini suka menyembunyikan cacat (tadlis) ketika meriwayatkan hadits secara 'an'anah.
Tetapi Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan menjelaskan bahwa Baqiyyah benar-benar meriwayatkan hadits ini, sehingga nampak tidak ada alasan lagi bagi al-Mundziri untuk menganggapnya cacat.
Ibnu a-Qaththan dan al-Baihaqi menyatakan bahwa ini adalah hadits mursal. Al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan pernyataan keduanya itu dengan menyatakan: “hadits ini perlu diteliti.” Penelitian ini dilakukan ketika melihat Khalid bin Ma’dan mengatakan: “dari sebagian sahabat Nabi Saw.” Ucapan Khalid ini dipandang sebagai bukti bersambungnya sanad, tidak mengesankan dia memursalkan hadits tersebut. Lebih dari itu, tidak disebutkannya identitas sahabat sebenarnya tidak bermasalah.
Dengan demikian hadits ini tidak bercacat dan tidak dhaif, sehingga layak digunakan sebagai hujjah.

Hadits yang kedua layak digunakan sebagai hujjah. Muslim telah meriwayatkan hadits ini tanpa menyebutkan kata fa tawadhdha'a (kemudian dia berwudhu), sedangkan Ahmad meriwayatkan hadits ini melalui sanad yang bisa diterima dengan tambahan fa tawadhdha'a (kemudian dia berwudhu). Tambahan ini layak diterima sehingga hadits Ahmad ini bisa diamalkan.

Hadits ketiga serupa dengan hadits pertama, sanadnya dipandang bagus oleh Ahmad, sehingga hadits ini layak digunakan sebagai hujjah.

Sedangkan dalam hadits keempat ada nama al-Mughirah bin Siqlab dari al-Wazi’ bin Nafi’. Ad-Daruquthni berkata: al-Wazi’ bin Nafi ’ itu seorang perawi hadits dhaif.
Al-Uqa'iliy menyebutkan nama al-Wazi ini dalam kitabnya ad-Dhuafa (para perawi yang dhaif). Karenanya hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Yang tersisa kini tinggal hadits kedua, ketiga dan pertama. Hadits pertama menyebutkan:

“Maka Nabi Saw. memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan shalatnya.”

Hadits kedua menyebutkan:

“Kembalilah dan baguskanlah wudhumu.” Lalu dia kembali dan berwudhu, setelah itu dia shalat.”

Hadits ketiga menyebutkan:

“Kembalilah dan baguskanlah wudhumu.”

Kalimat tersebut notabene merupakan bagian dari hadits kedua, dalam arti, hadits kedua hampir sama dengan hadits ketiga, sehingga hanya ada dua hadits saja: hadits pertama dan hadits kedua.

Dalam hadits kedua terdapat perintah untuk membaguskan wudhu, sedangkan dalam hadits yang pertama terdapat perintah untuk mengulang wudhu. Perintah untuk mengulang wudhu ini merupakan manthuq (makna literal), mengandung dilalah yang kuat untuk melakukan muwalat (kontinyu dalam basuhan).
Sedangkan perintah untuk membaguskan wudhu yang ada dalam hadits kedua mengandung kemungkinan (ihtimal) untuk mengulang dan kemungkinan untuk menyempurnakan dan membaguskan, sehingga lafadz yang muhtamal ini harus dibawa pada lafadz yang sharih (jelas).
Pengulangan yang disebutkan dalam hadits ini dikuatkan oleh ucapan:

“Lalu dia kembali dan berwudhu.”

Seandainya sahabat tersebut mengetahui cara membaguskan dan menyempurnakan, tentunya dia tidak akan mengulang wudhunya dari awal.
Jika dikatakan: Mungkin sahabat itu ingin menambah pahala. Maka kami katakan: Kalau memang ucapan tersebut terbukti, niscaya kami berpendapat seperti itu.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits mengulang wudhu ini harus dijadikan pegangan dan diamalkan, sedangkan hadits-hadits yang memerintahkan membaguskan wudhu itu dibawa pada pengertian mengulang wudhu.
Ketika Rasulullah Saw. memerintahkan orang yang membiarkan sebagian kakinya tanpa terbasuh untuk mengulang wudhunya itu, maka ini menjadi dalil wajibnya muwalah (kontinuitas basuhan).
Berdasarkan paparan ini, pendapat mereka yang mewajibkan muwalah, bagi kami merupakan pendapat yang paling kuat dan paling tepat.

Tidak bisa dikatakan bahwa perintah Rasulullah Saw. untuk mengulang wudhu itu mengandung pengertian sunah saja, tidak bisa dikatakan seperti itu, karena dalam perintah untuk mengulang wudhu itu ada dilalah yang menunjukkan bahwa wudhu sebelumnya itu batil (tidak sah). Sebab, telah dimaklumi bahwa orang yang berwudhu dengan benar tidak akan dikatakan bahwa dia mengulang wudhunya, hanya akan dikatakan bahwa dia berwudhu kedua kalinya.
Karena itu dalam perintah untuk mengulang wudhu itu ada dilalah sempurna yang menunjukkan batalnya wudhu yang dilakukan sebelumnya. Dan ketika wudhu tersebut dipandang batil, maka ini menjadi bukti bahwa wudhu tersebut hukumnya wajib, bukan sunah.

Perlu kami garis-bawahi, dari Rasulullah Saw. tidak pernah diriwayatkan -walaupun hanya sekali- bahwa beliau Saw. tidak bermuwalah (tidak kontinu dalam melakukan basuhan).
Seandainya beliau ingin menjelaskan bolehnya tidak bermulawah, niscaya beliau Saw. akan melakukan hal itu walau hanya sekali. Hal ini karena menjelaskan sesuatu yang memang diperlukan itu hukumnya wajib. Faktanya, tidak ada penjelasan dari beliau Saw. tentang bolehnya tidak bermuwalah, sehingga kita harus menerima ketentuan untuk senantiasa bermuwalah (kontinu dalam basuhan) seperti yang dilakukan Rasulullah Saw. dalam wudhunya.

Menurut hemat kami, batas pemisah antara muwalah dan tidak muwalah itu adalah, seorang yang berwudhu tidak menangguhkan basuhan berikutnya hingga air basuhan sebelumnya mengering dalam kondisi biasa.
Seandainya dia membasuh wajahnya kemudian berhenti alias tidak langsung membasuh kedua tangannya hingga mengering air basuhan di wajahnya, maka batallah wudhunya. Dia harus memulai lagi wudhunya dari awal, kecuali jika dia sibuk membersihkan kotoran atau sibuk menggosoknya, maka tidak mengapa.

Ada satu hal lagi yang menghilangkan muwalah (kontinuitas basuhan) yakni seorang yang berwudhu memutus wudhunya dengan melakukan suatu aktivitas yang tidak berhubungan dengan wudhu, yang jelas-jelas menunjukkan bahwa orang tersebut menghentikan dan tidak menyelesaikan wudhunya.
Misalnya dia membasuh wajahnya, kemudian meninggalkan tempat wudhu menuju meja, lalu dia menulis sepucuk surat, maka perbuatan seperti ini dan yang semisalnya dipandang membatalkan wudhu, walaupun bisa jadi air di wajahnya tidak kering.
Adapun alasan bahwa dua hadits ini menunjukkan keharusan muwalah (kontinu dalam melakukan basuhan) adalah bahwa Rasulullah Saw. ketika melihat orang yang kakinya terlihat masih kering belum terbasuh air, beliau Saw. tidak memerintahkan orang tersebut untuk membasuh bagian itu saja, beliau Saw. tidak memerintahkan orang tersebut untuk menyempurnakan bagian yang kurang terbasuh itu, melainkan beliau Saw. memerintahkannya untuk mengulang wudhunya. Ini karena muwalah (kontinuitas basuhan) sudah ternegasikan, sehingga orang tersebut harus mengulang wudhunya dari awal.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam