BAB DELAPAN
MANDI
Al-Ghuslu, ketika didhammahkan menjadi isim
(kata benda) untuk al-ightisal (mandi)
dan sebutan untuk air yang digunakan untuk mandi. Dan ketika difathahkan menjadi bentuk mashdar (infinitive). Mandi itu menurut
faktanya adalah menyiramkan air ke seluruh tubuh tanpa perlu menggosok tubuh
tersebut.
Perintah untuk mandi
terdapat dalam al-Qur’an al-Karim. Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (TQS.
an-Nisa [4]: 43)
Selain itu, terdapat
beberapa hadits yang memerintahkan mandi, menjelaskan sifat dan tata caranya.
Sifat Mandi
Beberapa hadits
berikut menjelaskan sifat mandi.
1. Dari Aisyah ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
ketika mandi junub, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya, kemudian
menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, lalu beliau Saw.
mencuci kemaluannya, setelah itu berwudhu seperti wudhu yang dilakukannya untuk
menunaikan shalat, kemudian menciduk air dan mengurai-urai pangkal rambutnya
dengan jari-jemarinya, hingga ketika beliau Saw. merasa cukup maka beliau Saw.
menyiram kepalanya sebanyak tiga kali, lalu menyiramkan air ke seluruh
tubuhnya, kemudian beliau Saw. mencuci kedua kakinya.” (HR. Muslim dan Bukhari)
Dalam hadits yang
diriwayatkan Bukhari terdapat redaksi:
“Kemudian beliau Saw.
menyela-nyela rambutnya dengan tangannya, hingga ketika beliau Saw. merasa
bahwa beliau telah membasahi kulit (kepala) maka beliau Saw. mencurahkkan air
tiga kali ke atas kepalanya.”
2. Dari Maimunah ra., dia berkata:
“Aku pernah
menyediakan air untuk mandi Rasulullah Saw., kemudian beliau Saw. mengucurkan
air pada kedua tangannya, membasuhnya dua atau tiga kali, lalu beliau Saw.
menuangkan air dengan tangan kanannya ke atas tangan kirinya, kemudian mencuci
kemaluannya, setelah itu beliau Saw. menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian
beliau Saw. berkumur-kumur dan beristinsyaq
(membersihkan hidung dengan cara menghirup air), membasuh muka dan dua
tangannya, dan membasuh kepalanya tiga kali, kemudian beliau Saw. mengguyur
seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau Saw. bergeser dari tempatnya, lalu mencuci
kedua kakinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam satu hadits yang
diriwayatkan Bukhari dari Maimunah, dia berkata:
“Kemudian aku
menyodorkan kain handuk, namun beliau Saw. menolaknya, beliau Saw. malah
membersihkan (mengeringkan tubuh) dengan tangannya.”
Sedangkan dalam hadits
yang diriwayatkan Muslim disebutkan:
“Kemudian aku
menyodorkan kain handuk, tetapi beliau Saw. menolaknya.”
3. Dari Aisyah ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw. tidak
berwudhu setelah mandi.” (HR. an-Nasai, Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)
At-Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini juga dan berkata: status hadits ini hasan shahih.
4. Dari Ummu Salamah ra., dia berkata:
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang suka mengepang rambut dengan
kuat, apakah aku harus menguraikannya ketika mandi junub? Beliau Saw. berkata:
“Jangan, engkau cukup menciduk air (dan mengucurkannya ke) kepalamu tiga genggaman,
kemudian engkau curahkan air ke atas tubuhmu, maka engkau sudah suci.” (HR.
Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
5. Dari Tsauban bahwasanya mereka meminta fatwa
(bertanya) kepada Nabi Saw. tentang hal itu -yakni tentang mandi janabah- maka
Nabi Saw. bersabda:
“Hendaknya seorang
lelaki mengguyur kepalanya, dan membasuhnya hingga ke pangkal rambut, sedangkan
wanita tidak harus melepaskan ikatan rambut kepalanya, hendaknya dia menciduk
air untuk dituangkan ke atas kepalanya tiga kali cidukan dengan kedua belah telapak
tangannya.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang dikuatkan oleh as-Syaukani).
6. Dari Abu Salamah dari Aisyah ra., bahwasanya
Aisyah menjelaskan tatacara mandi janabah Rasulullah Saw., di dalamnya
disebutkan:
“Kemudian beliau Saw.
berkumur-kumur tiga kali, beristinsyaq
tiga kali, membasuh mukanya tiga kali, membasuh dua tangannya tiga kali, lalu
beliau mengguyurkan air ke atas kepala dan tubuhnya. Setelah selesai barulah
beliau Saw. membasuh kedua kakinya.” (HR. al-Baihaqi)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar.
7. Dari Abu Salamah, dia berkata:
“Aku dan saudara
lelaki Aisyah mengunjungi Aisyah, lalu saudaranya itu bertanya kepada Aisyah
tentang tatacara mandi yang dilakukan Nabi Saw. Kemudian Aisyah meminta satu
wadah air kira-kira sebanyak satu sha, lalu Aisyah mandi dan mengucurkan air ke
atas kepalanya. Di antara kami dengan Aisyah ada hijab.” (HR. Bukhari)
8. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata: Maimunah
berkata:
“Aku meletakkan air
mandi untuk Nabi Saw., kemudian beliau Saw. membasuh kedua tangannya dua atau
tiga kali, lalu menuangkan air ke tangan kirinya dan membasuh kemaluannya,
kemudian beliau mengusapkan tangannya dengan tanah, setelah itu beliau Saw.
berkumur-kumur, beristinsyaq
(membersihkan hidung dengan cara menghirup air), membasuh wajahnya dan kedua
tangannya, kemudian beliau Saw. mengguyurkan air ke tubuhnya. Setelah itu
beliau Saw. berpindah tempat dan membasuh kedua kakinya.” (HR. Bukhari)
Dan dalam riwayat
Bukhari lainnya disebutkan:
“Rasulullah Saw.
berwudhu seperti wudhu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya. Beliau Saw.
mencuci kemaluannya dan kotoran yang menempel pada kemaluannya, kemudian
menyiramkan air ke tubuhnya, lalu beliau Saw. menggeserkan kedua kakinya dan
kemudian mencuci keduanya.”
Dalam riwayat Bukhari
yang ketiga:
“Beliau Saw.
menuangkan air dengan tangan kanannya ke atas tangan kirinya, membasuh kedua
tangannya itu dan mencuci kemaluannya, kemudian beliau Saw. mengusapkan
tangannya ke tanah lalu membasuhnya, kemudian beliau Saw. berkumur-kumur dan
beristinsyaq. Setelah itu beliau Saw.
membasuh wajahnya dan mengucurkan air ke atas kepalanya, kemudian beliau Saw.
bergeser lalu membasuh kedua kakinya.”
Dalam riwayat Bukhari
yang keempat:
“Kemudian beliau Saw.
menuangkan air ke atas tangannya, mencucinya sekali atau dua kali, lalu beliau
Saw. menuangkan air dengan tangan kanannya ke atas tangan kirinya, mencuci
kemaluannya, kemudian menggosokkan tangannya ke tanah atau ke dinding. Setelah
itu beliau Saw. berkumur-kumur dan beristinsyaq
(membersihkan hidung dengan cara menghirup air), membasuh wajahnya dan kedua
tangannya, membasuh kepalanya, kemudian mengguyurkan air ke tubuhnya. Setelah
itu beliau Saw. bergeser, lalu mencuci kedua kakinya.”
9. Dari Aisyah ra., dia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. ketika hendak mandi junub, beliau meminta satu wadah seukuran tempat
memerah susu yang berisi air, lalu beliau Saw. menciduk air dengan telapak
tangannya, kemudian memulai bagian kanan kepalanya kemudian bagian kirinya.
Setelah itu beliau menciduk air dengan kedua telapak tangannya, lalu
mengucurkannya ke atas kepalanya.” (HR. Muslim dan Bukhari)
Dengan mencermati
sembilan hadits ini, nampak jelas bahwa mandi itu ada yang mujzi (cukup), dan adapula yang lebih
sempurna. Kedua jenis mandi tersebut legal adanya.
Mandi Mujzi
Mandi yang cukup (mujzi) adalah sebagai berikut: Orang yang
hendak mandi harus berniat menghilangkan hadats besar, kemudian mengucurkan air
ke atas kepalanya, lalu ke seluruh badannya. Dan ini cukup dilakukan satu kali
saja.
Mandi yang mujzi disimpulkan dari beberapa dalil berikut:
a. Hadits “sesungguhnya sahnya amal itu
bergantung pada niat.” Hadits ini telah kami bahas di bagian awal buku ini.
Hadits ini layak untuk menetapkan niat untuk segala macam ibadah, termasuk
wudhu dan mandi.
b. Hadits Maimunah dengan beragam riwayatnya:
1. Riwayat pertama:
“Kemudian beliau
menyiram tubuhnya.”
Tanpa menyebutkan
bilangan, tidak menyebutkan kepala; membasuh kepala termasuk ke dalam membasuh
badan, sehingga hukum dan sifat membasuh kepala disamakan dengan hukum dan
sifat membasuh badan.
2. Riwayat kedua:
“Kemudian beliau Saw.
menyiramkan air ke (tubuh)nya.”
Tanpa menyebutkan
tubuh dan tanpa menyebutkan bilangan, sehingga membasuh kepala dan bagian tubuh
lainnya diposisikan sama.
3. Riwayat ketiga:
“Dan beliau Saw.
menyiram kepalanya.”
Hadits tersebut
menyebutkan menyiram kepala, tidak menyebutkan menyiramkan air ke tubuh, dan
tidak menyebutkan bilangan. Ini menunjukkan bahwa hukum mengguyur kepala
disamakan dengan mengguyur tubuh.
4. Riwayat keempat:
“Dan beliau Saw.
membasuh kepalanya, kemudian menyiram tubuhnya.”
Hadits tersebut
menyebutkan membasuh kepala dan menyiram tubuhnya dengan air, tanpa menyebutkan
bilangan. Dengan demikian guyuran air dilakukan ke atas kepala dan ke bagian
tubuh yang lain tanpa batasan bilangan guyuran.
c. Hadits Ummu Salamah yang keempat:
“Kemudian hendaknya
engkau menyiramkan air ke (tubuh)-mu maka engkau akan suci.”
Hadits tersebut tidak
menyebutkan membasuh atau menggeser dua kaki, ini menunjukkan bahwa membasuh
kedua kaki itu dipandang termasuk ke dalam membasuh badan. Hadits Maimunah
dengan beragam riwayatnya ini menunjukkan bahwa membasuh kepala tiga kali yang
disebutkan dalam beberapa hadits lain itu tidak wajib hukumnya.
Karena mandi yang mujzi (cukup) itu adalah mandi dalam bentuk
minimal, artinya mandi yang meliputi perkara yang bersifat wajib saja dalam
mandi, tanpa tambahan perkara yang disunahkan, maka tiga hadits ini
menyampaikan mandi dalam bentuk minimal, sehingga darinya bisa dijelaskan bahwa
mandi yang mujzi (cukup) itu adalah:
niat, membasuh kepala satu kali, membasuh seluruh badan yang lainnya satu kali,
tanpa tambahan apapun. Jadi, siapa saja yang melakukan tiga perkara tersebut
maka dipandang telah menghilangkan janabah (junub), dan dengannya dia bisa melakukan
shalat, menyentuh mushaf dan thawaf, tanpa perlu berwudhu lagi. Hal ini
ditunjukkan oleh hadits Aisyah yang ketiga:
“Rasulullah Saw. tidak
berwudhu setelah mandi.”
Bisa jadi ada orang
yang berkata: “Sesungguhnya hadits-hadits ini secara umum menyebutkan membasuh
kepala tiga kali dan badan satu kali, maka mengapa tidak dikatakan membasuh
kepala yang tiga kali itulah yang cukup memadai, terlebih lagi hadits Ummu Salamah
menyebutkan:
“Engkau cukup
mengucurkan air ke atas kepalamu tiga kali, kemudian engkau menyiramkan air ke
atas (tubuh)-mu, maka engkau telah suci.”
sehingga memasukkan
membasuh kepala tiga kali ketika mandi sebagai kecukupan, dalam arti basuhan
kurang dari tiga kali dipandang tidak cukup?”
Untuk menjawab nya
kita katakan bahwa hadits Aisyah pada nomor sembilan menyebutkan:
“Lalu beliau Saw.
menciduk air dengan telapak tangannya, kemudian memulai bagian kanan kepalanya,
kemudian bagian kirinya. Setelah itu beliau menciduk air dengan kedua telapak
tangannya, lalu mengucurkannya ke atas kepalanya.”
Dengan tegas hadits
ini menjelaskan bahwa satu bagian dari kepala itu tidak dibasuh tiga kali,
karena air yang disiramkan ke bagian kanan kepala tidak mengenai bagian
kirinya, dan ini menafikan kewajiban membasuh kepala tiga kali, sehingga
darinya bisa didapatkan pemahaman bahwa bilangan tiga kali itu tidak wajib
hukumnya. Inilah mandi yang mujzi
(cukup).
Mandi yang Lebih Sempurna
Sifat dan tatacara
mandi yang lebih sempurna adalah sebagai berikut: Berniat menghilangkan hadats
besar, membasuh tangan tiga kali, membasuh kemaluan, berkumur tiga kali, beristinsyaq tiga kali, membasuh wajah tiga kali,
menyela-nyela janggut, membasuh dua tangan hingga dua siku tiga kali,
menyela-nyela rambut hingga membasahi akar rambut, mengucurkan air ke atas
kepala tiga kali, mengguyurkan air ke seluruh badan satu kali, kemudian
membasuh dua kaki. Dengan cara seperti ini hadats besar bisa dihilangkan
sekaligus dipandang telah mandi dengan cara yang paling utama dan paling
sempurna.
Mandi seperti ini
mencakup seluruh perkara wajib dan sunah mandi. Karena itu seorang Muslim
disunahkan untuk mandi seperti ini. Dan ketika seseorang memilih mandi seperti
ini tetapi melakukan basuhan satu kali-satu kali, maka dia dipandang telah
mandi dengan cara di bawah mandi paling sempurna, tetapi di atas mandi yang
cukup.
Cara mandi wanita
persis dengan lelaki, tetapi kaum lelaki disunahkan untuk menyela-nyela rambut
kepala, sedangkan kaum wanita tidak disunahkan. Hadits Ummu Salamah
menyebutkan:
“Apakah aku harus
menguraikan ikatan tersebut saat mandi junub? Beliau Saw. berkata: “Jangan.”
Kalimat dalam hadits
ini menunjukkan bahwa mengurai ikatan rambut bagi seorang wanita itu tidak
wajib dan tidak sunah.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar