Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 04 September 2017

Beberapa Rincian Hukum Dalam Hal Mandi



Lanjutan dari Tatacara Mandi Wajib

Beberapa Rincian yang Berkaitan Dengan Mandi

1. Para ulama berbeda pendapat dalam persoalan wudhu, atau apa yang disebut dengan wudhu untuk shalat yang disebutkan dalam hadits nomor satu dari Aisyah; apakah itu merupakan wudhu yang terpisah dari mandi ataukah menjadi bagian dari mandi? Mereka terbagi menjadi dua pendapat:
Abu Tsur dan Dawud berpendapat bahwa wudhu tersebut merupakan sesuatu yang terpisah; mereka mewajibkan kaum Muslim untuk berniat menghilangkan hadats kecil saat melakukannya, kemudian ketika mengucurkan air ke atas kepala dan badannya barulah berniat menghilangkan hadats besar, yakni mereka mewajibkan dua niat untuk melakukan dua perbuatan yang saling terpisah satu sama lain.

Para ulama lainnya berpendapat bahwa yang dilakukan dalam wudhu tidak terpisah dari aktivitas yang dilakukan dalam mandi, sehingga mereka mewajibkan satu niat saja untuk keduanya.
Ibnu Hajar merasa bimbang dalam persoalan ini, sehingga dia menyatakan: Kemungkinan memulakan wudhu sebelum mandi itu menjadi sunah yang terpisah, di mana diwajibkan membasuh anggota wudhu dengan seluruh bagian tubuh. Dan kemungkinan pula dengan membasuhnya dalam wudhu menjadikan kita tidak perlu mengulangnya lagi; karena itu kita perlu berniat mandi junub ketika pertama kali basuhan anggota tubuh, sedangkan mendahulukan membasuh anggota wudhu hanya untuk memuliakannya dan demi tercapainya dua bentuk bersuci, yakni bersuci dari hadats kecil dan hadats besar.

Pendapat yang paling tepat menurut hemat saya adalah tidak diharuskan kecuali satu niat saja, di mana niat tersebut dihadirkan ketika membasuh anggota tubuh yang pertama.
Perihal aktivitas yang dinamakan wudhu oleh Aisyah dan juga disinggung oleh Maimunah, itu bukanlah wudhu yang biasa kita kenal, karena di dalam wudhu yang biasa itu ada aktivitas mengusap kepala, sedangkan dalam wudhu yang mereka sebutkan ini tidak ada aktivitas mengusap kepala sebagaimana nampak terlihat dalam seluruh hadits. Pendapat inilah yang dipegang oleh Malik.
Selain itu, riwayat Maimunah menyebutkan membasuh dua kaki setelah menyiramkan air ke tubuh, sehingga aktivitas atau amalan-amalan wudhu ini menjadi terpisah satu sama lain. Hal seperti ini tidak disebutkan dalam wudhu, melainkan hanya dalam mandi saja.

Berdasarkan beberapa perbedaan ini saya katakan: sesungguhnya yang disebut wudhu oleh Aisyah itu tiada lain hanyalah salah satu sunat mandi saja. Di dalam sunah mandi ini tidak ada aktivitas mengusap kepala, tidak ada kesatuan rangkaian basuhan di antara anggotanya, sehingga semua itu termasuk ke dalam mandi junub sebagai bagian yang disunahkan saja. Bagaimanapun juga sunah mandi ini sebagian besar menyerupai beberapa aktivitas di dalam wudhu.

Saya akan tambahkan perbedaan yang lain, bahwa orang yang melakukan sunah ini ketika mengguyur seluruh tubuhnya dia tidak wajib mengguyur anggota wudhu atau anggota sunah yang sudah dibasuhnya. Dia cukup menyiramkan air ke bagian anggota badan lainnya.

Mungkin akan lebih tepat dan lebih jelas dikatakan: mandi itu dimulai dengan bagian-bagian wudhu daripada dikatakan: mandi itu dimulai dengan wudhu. Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan para penyusun as-Sunan dari Ummu Athiyah, dia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Mulailah dengan anggota tubuh yang sebelah kanan dan anggota-anggota wudhunya.”

Ucapan Rasulullah Saw. ini disampaikan pada mereka yang memandikan salah seorang puterinya yang wafat. Sedangkan seluruh riwayat yang menyebutkan wudhu adalah ucapan sahabat, tentu ucapan Rasulullah Saw. yang menjadi hujjah. Bukhari telah membuat satu bab tersendiri yang diberi judul: Orang yang berwudhu waktu junub lalu dia membasuh seluruh tubuhnya dan tidak membasuh kembali anggota-anggota wudhu (mawadhi' al-wudhu) tersebut.

2. Para ulama berbeda pendapat dalam pengulangan membasuh badan. Sebagian mereka mensunahkannya karena menganalogikannya dengan membasuh kepala tiga kali; sebagian lagi tidak mensunahkannya. Inilah pendapat yang shahih, hal ini karena tidak dinukil satu riwayat pun yang shahih atau hasan bahwa Nabi Saw. menyiramkan air ke tubuhnya lebih dari satu kali.
Dan pada saat yang sama beragam riwayat yang shahih menyebutkan beliau Saw. menyiramkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali, di mana hal ini menunjukkan adanya perbedaan di antara dua jenis siraman tersebut. Sunahnya adalah membasuh kepala tiga kali dan kemudian membasuh seluruh tubuhnya satu kali.

3. Pendapat para imam tentang membasuh dua kaki terbagi menjadi dua. As-Syafi'i berkata bahwa membasuh dua kaki sebelum menyiramkan air ke atas kepala itu lebih utama, agar wudhu sempurna terlebih dahulu, dan basuhan anggota wudhu tersebut bersambung satu sama lain. Beliau berargumentasi dengan hadits pertama dari Aisyah.
Sedangkan jumhur menyatakan bahwa membasuh dua kaki di bagian akhir mandi itu lebih utama, karena ucapan Maimunah jelas menyatakan hal itu, bahkan ucapan Aisyah dalam hadits pertama di atas juga mengakhirkan membasuh dua kaki.
Sebagian ulama Malikiyah mengakhirkan membasuh dua kaki jika bagian tersebut kotor. Pernyataan seperti ini dilontarkan oleh Ibnu al-Hajib dan selainnya.
Ulama bermadzhab Hanafi menyatakan jika mandinya dilakukan di tanah berlumpur maka basuhan dua kaki harus diakhirkan, jika tidak, maka tidak perlu diakhirkan.
Sebagian ulama Malikiyah sependapat dengan ulama Hanafiyah bahwa ‘illat diakhirkannya basuhan dua kaki adalah kebersihan.

Sebenarnya hadits yang diriwayatkan Aisyah dan Maimunah, bahkan seluruh hadits yang membahas persoalan mandi, tidak sedikitpun menyinggung masalah kebersihan atau tanah berlumpur. Ini hanya tambahan yang berasal dari pendapat para ulama di atas. Hal ini karena hadits-hadits tersebut telah mengakhirkan basuhan dua kaki secara tekstual. Ini merupakan manthuq (makna literal), maka mendahulukan basuhan kaki sebagai kesimpulan dari hadits-hadits yang tidak menyebutkannya tiada lain hanya merupakan mafhum yang bersifat muhtamal (mengandung kemungkinan).
Tentu saja manthuq harus diprioritaskan daripada mafhum yang muhtamal. Dan ketika ada nash dalam satu persoalan, maka (nash tersebut) wajib dijadikan rujukan dan pegangan, tidak dibenarkan menyatakan sesuatu yang bertentangan dengannya.

Bisa jadi dikatakan bahwa hadits Aisyah menyebutkan wudhu di bagian awal mandi dan tidak mengecualikan basuhan dua kaki, kemudian menyebutkan basuhan dua kaki di bagian akhir mandi, sehingga yang diperintahkan adalah membasuh dua kaki sebanyak dua kali: satu kali saat berwudhu dan satu kali lagi di bagian akhir mandi. Maka kami katakan: tidak bisa, karena hadits Maimunah menyebutkan berkumur-kumur, istinsyaq, membasuh wajah, dan membasuh dua tangan saja, tidak menyebutkan mengusap kepala dan membasuh dua kaki.
Hadits Maimunah pada nomor delapan dalam salah satu riwayatnya lebih jelas pernyataannya daripada haditsnya yang nomor dua, ketika menyebutkan:

“Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya.”

Bahkan Aisyah dalam hadits keenam menyebutkan berkumur-kumur, istinsyaq, membasuh wajah dan dua tangan, dan tidak menyebutkan mengusap kepala dan membasuh dua kaki; persis sama dengan yang diceritakan Maimunah, sehingga menunjukkan bahwa kita tidak diperintahkan untuk membasuh dua kaki sebanyak dua kali.
Di dalam hadits-hadits hanya disebutkan bahwa membasuh kedua kaki itu hanya dua kali saja, dan di bagian akhir mandi pula. Dengan demikian, pengertian hadits yang pertama harus dibawa pada hadits-hadits yang lain, sehingga yang harus dilakukan adalah membasuh dua kaki saja di bagian akhir mandi.

4. Mungkin saja ada yang mengatakan: seharusnya sifat mandi itu adalah sebagai berikut: terlebih dahulu membasuh dua tangan, kemudian membasuh anggota wudhu, lalu membasuh kemaluan, kemudian menyiramkan air ke atas kepala dan seluruh badannya, yakni membasuh kemaluan dilakukan setelah wudhu atau aktivitas yang disebut wudhu. Kesimpulan ini diambil dari hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Maimunah isteri Nabi Saw., dia berkata:

“Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya. Beliau Saw. mencuci kemaluannya dan kotoran yang menempel pada kemaluannya, kemudian menyiramkan air ke tubuhnya, lalu beliau Saw. menggeserkan kedua kakinya, dan kemudian mencuci keduanya. Seperti inilah mandi junub yang dilakukannya.” (HR. Bukhari)

Hadits ini menyebutkan membasuh kemaluan setelah berwudhu. Maka kami bantah mereka, bahwa di dalam hadits ini sebenarnya tidak ada masalah mengakhirkan dan mendahulukan, karena huruf wawu di dalam hadits ini tidak menunjukkan pengertian tartib (urutan perbuatan). Ini karena hadits-hadits shahih yang disebutkan sebelumnya menyebutkan membasuh kemaluan sebelum berwudhu, begitu pula hadits berikut yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Maimunah ra., dia berkata:

“Aku menutupi Nabi Saw. yang sedang mandi junub. Beliau Saw. membasuh dua tangannya, kemudian menuangkan air dengan tangan kanannya ke atas tangan kirinya, lalu membasuh kemaluannya dan kotoran yang ada padanya. Setelah itu beliau Saw. mengusapkan tangannya ke dinding atau tanah, kemudian berwudhu seperti wudhu untuk shalat tanpa membasuh dua kakinya. Lalu beliau Saw. menyiramkan air ke tubuhnya, kemudian beliau Saw. bergeser lalu membasuh dua kakinya.” (HR. Bukhari)

Dari jalur Maimunah ini Bukhari telah meriwayatkan beberapa hadits, yang empat di antaranya bisa Anda lihat pada poin delapan. Semua riwayat tersebut -kecuali riwayat yang ini (“Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya. Beliau Saw. mencuci kemaluannya…”)- menyebutkan membasuh kemaluan sebelum membasuh anggota wudhu, sehingga riwayat yang banyak jumlahnya itulah yang harus diamalkan. Dan pengertian riwayat yang satu ini harus dibawa pada pengertian riwayat yang banyak.
Bagaimanapun juga, sebenarnya di sini kita sedang membincangkan perkara-perkara sunah dalam mandi, karena berurutan (at-tartib) dalam mandi itu sunah hukumnya, bukan wajib. Sehingga siapa saja yang berkehendak melakukan perkara-perkara sunah tersebut, dia dipersilakan untuk mandi dengan urutan sebagaimana yang disampaikan hadits-hadits tersebut.

5. Terkait membuka ikatan rambut kepala: para ulama banyak berbeda pendapat. Al-Hasan, Thawus dan Ahmad berkata: Ikatan rambut harus diuraikan ketika mandi haid, tetapi tidak ketika mandi junub.
Sejumlah sahabat Ahmad telah mentarjih bahwa membuka ikatan rambut pada saat mandi haid itu dihukumi sunah saja, begitupula saat mandi junub.
Ibnu Qudamah berkata: Aku tidak mengetahui seorang yang mewajibkannya saat mandi junub dan mandi haid kecuali hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, sehingga dia menambahkan Ibnu Umar pada kelompok yang mewajibkannya.
An-Nawawi berkata: Para sahabat kami menceritakan pendapat tersebut dari an-Nakha'iy, maksudnya pendapat yang mewajibkannya, sehingga dia menambahkan an-Nakha'iy termasuk yang berpendapat mewajibkannya.

Mereka melontarkan pendapat dengan berdalilkan hadits Aisyah:

“Bahwasanya Nabi Saw. berkata padanya, waktu itu dia haid, uraikanlah ikatan rambutmu dan mandilah.” (HR. Ibnu Majah)

Sanad hadits ini adalah sanad hadits shahih.

Sedangkan jumhur tidak mewajibkan membuka ikatan rambut secara mutlak. Mereka berargumentasi dengan hadits keempat dan kelima, inilah pendapat yang benar.
Karena hadits yang keempat menyatakan:

“Apakah aku harus membuka ikatannya ketika mandi junub? Beliau Saw. berkata: “Tidak.”

Kalimat seperti ini merupakan manthuq (makna literal) hadits tentang ketidakharusan membuka ikatan rambut saat mandi junub. Dalam sebagian lafadz hadits Ummu Salamah disebutkan:

“Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang wanita yang mengikat rambut dengan kuat, apakah aku harus menguraikan ikatan tersebut saat mandi haid dan junub? Beliau Saw. berkata: “Jangan, engkau cukup mengucurkan air ke atas kepalamu tiga kali, kemudian engkau mengguyurkan air ke atas (tubuh)-mu, maka engkau telah suci.” (HR. Muslim)

Ini merupakan manthuq hadits tentang ketidakharusan membuka ikatan rambut ketika mandi (bersuci) setelah haid juga. Tambahan ini harus diterima dan dijalankan. Hadits tersebut jelas menyatakan penafian kewajiban menguraikan rambut.

Senada dengan hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra.:

“Bahwasanya Asma bertanya kepada Nabi Saw. tentang cara mandi haid, maka Nabi Saw. menjawab: “Salah seorang dari kalian mengambil air dan tanaman bidaranya, lalu dia bersuci (berwudhu) dan membaguskan bersucinya, kemudian dia mengucurkan air ke atas kepalanya, memijat-mijatnya dengan keras hingga mencapai pangkal rambutnya. Kemudian dia mengucurkan air ke atasnya…” Dan aku bertanya kepada beliau Saw. tentang mandi junub, maka beliau Saw. menjawab: “Dia (si wanita) mengambil air, lalu bersuci dan membaguskan bersucinya, atau bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, kemudian dia mengucurkan air ke atas kepalanya, memijatnya dengan keras hingga mencapai pangkal rambutnya, kemudian dia mengucurkan air ke atasnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah Saw. tidak meminta si wanita membuka ikatan rambutnya saat mandi haid atau mandi junub. Seandainya membuka ikatan rambut tersebut wajib hukumnya, niscaya Rasulullah Saw. akan memerintahkannya.

Hadits kelima menyebutkan:

“Maka dia tidak harus melepaskan ikatan rambut kepalanya.”

Ini juga jelas merupakan manthuq (makna literal) hadits tentang ketidakharusan membuka ikatan rambut. Semua ini jelas, merupakan bantahan mematikan kepada mereka yang mewajibkan menguraikan/ membuka ikatan rambut wanita ketika mandi junub dan mandi haid.

Adapun mereka yang mewajibkan menguraikan ikatan rambut bersandarkan hadits Aisyah yang sudah kami sebutkan di atas, di dalamnya disebutkan:

“Uraikanlah ikatan rambutmu dan mandilah.”

Kami bantah pendapat mereka: hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah penopang pendapat mereka, karena hadits ini berkaitan dengan topik yang berbeda dengan topik yang sedang mereka bicarakan. Topik hadits ini adalah mandi yang dilakukan wanita yang sedang haid ketika hendak bertalbiyah waktu berhaji.
Ibnu Majah telah meriwayatkan hadits ini secara terpotong. Riwayat lengkapnya adalah Aisyah berihram untuk umrah, kemudian dia mengeluarkan darah haid sebelum memasuki kota Mekkah, lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk menguraikan rambutnya, menyisirnya dan mandi. Setelah itu bertalbiyah untuk haji, padahal dia masih haid. Mandi yang dijelaskan dalam hadits ini bukan mandi dari haid yang sedang mereka bicarakan itu, sehingga tidak layak diposisikan dengan hadits Ummu Salamah.
An-Nasai, Abu Dawud dan Ahmad telah meriwayatkan dari Aisyah ra., dia berkata:

“Lalu aku tiba di Makkah dalam keadaan haid, sehingga aku tidak melakukan thawaf mengelilingi Baitullah, juga tidak (melakukan sa'i) antara Shafa dan Marwah, maka aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau Saw. lalu bersabda: “Uraikanlah rambutmu dan menyisirlah, lalu bertalbiyahlah untuk melakukan haji, dan tinggalkanlah umrah.”

Hadits ini menyebutkan bahwa Aisyah harus mandi, padahal dia masih haid, sehingga mandi yang dilakukannya tiada lain untuk melakukan talbiyah haji.
Senada dengan hadits tersebut atau katakanlah mirip dengannya adalah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Aisyah, Aisyah ra. berkata:

“Asma binti Umais mengeluarkan darah nifas karena melahirkan Muhammad bin Abu Bakar di as-Syajarah, kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan Abu Bakar agar Asma mandi dan bertalbiyah.”

Mandi dalam hadits tersebut adalah mandi wanita yang sedang nifas untuk berhaji, bukan mandi dari nifas.

Dua mandi ini harus dibawa pada pengertian bahwa mandi tersebut dilakukan dalam rangka kebersihan, dan hukumnya sunah, sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah penopang pendapat mereka yang mewajibkan mengurai ikatan rambut saat mandi haid.
Al-Baihaqi berkata setelah meriwayatkan hadits Aisyah yang pertama: “Aisyah diperintahkan mandi untuk bertalbiyah haji, mandi yang dilakukannya adalah mandi sunah. Aisyah diperintahkan untuk menguraikan dan menyisir rambutnya, dia diperintahkan hal seperti itu sebagai perkara sunah saja, sebagaimana mandi yang diperintahkan pada Asma binti Umais untuk untuk bertalbiyah, padahal waktu itu dia sedang nifas yang hukumnya sunah pula.”

Ada juga hadits yang diriwayatkan at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan ad-Daruquthni dalam al-Ifrad dari Anas, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Ketika seorang wanita mandi dari haidnya maka hendaklah dia menguraikan rambutnya dan mencucinya dengan khatmiy dan usynan, dan ketika mandi dari junub maka hendaklah dia mengucurkan air ke atas kepalanya dan memerasnya.”

Khatmiy itu adalah tumbuhan yang daunnya ditumbuk saat kering, lalu digunakan untuk membasuh kepala. Sedangkan usynan atau isyan adalah bahan yang digunakan untuk membasuh tangan.

Tuntutan ini harus dibawa pada pengertian sunah saja, karena qarinah tuntutan menggunakan khatmiy dan usynan ini merupakan tuntutan yang mensunahkan dalam rangka kebersihan, dan juga karena qarinah hadits Ummu Salamah yang menyebutkan:

“Cukup bagimu.”

Hadits yang lain yang menunjukkan ketidakwajiban mengurai rambut (membuka ikatan rambut) adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad:

“Aisyah mendengar kabar bahwa Abdullah bin Amr memerintahkan kaum wanita untuk mengurai rambut mereka (membuka ikatan rambut mereka) ketika mandi, maka Aisyah berkata: Mengherankan, Ibnu Amr malah memerintahkan kaum wanita menguraikan rambut mereka jika hendak mandi, mengapa tidak sekalian saja dia menyuruh kaum wanita untuk mencukur rambut mereka. Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw. dari satu wadah, aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga kucuran.”

Hadits ini menyebutkan bahwa Ibnu Amr memerintahkan wanita untuk melepaskan ikatan rambut tanpa membedakan antara mandi haid dengan mandi junub. Walaupun jawaban Aisyah tentang mandi junub, tetapi dia mengingkari seluruh pernyataan Ibnu Amr dengan tanpa taqyid dan takhsis. Seandainya menguraikan ikatan rambut dalam mandi itu wajib hukumnya, niscaya Aisyah akan menyinggungnya dan dia tidak akan mengingkari pernyataan Ibnu Amr seluruhnya. Ini menunjukkan dengan jelas ketidakwajiban melepaskan ikatan rambut saat mandi haid dan mandi junub.

Terdapat hadits lain yang memiliki dilalah yang sama dengan hadits di atas, yakni hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra.:

“Seorang wanita bertanya kepada Nabi Saw. tentang tata cara mandi yang harus dilakukannya untuk bersuci dari haid, maka Rasulullah Saw. memerintahkannya bagaimana cara dia bersuci. Rasulullah Saw. berkata: “Ambillah kain dari kapas yang sudah diolesi minyak kesturi (wewangian), kemudian bersucilah dengannya.” Dia bertanya: Bagaimana cara bersucinya? Beliau Saw. berkata: “Bersucilah dengannya.” Dia bertanya: Bagaimana? Beliau Saw. berkata: “Maha Suci Allah, bersucilah engkau.” Maka aku kemudian menarik wanita itu ke arahku, lalu aku berkata: Usapkanlah kain itu berulang kali pada bekas darahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Qirshah artinya sepotong benda, apapun itu.

Hadits ini menyebutkan cara membersihkan yang lain ketika mandi haid, dan hukum sunahnya sama dengan cara yang lain. Pendapat kami tentang menyela-nyela janggut adalah sama dengan pendapat yang kami lontarkan terkait menguraikan ikatan rambut dan menyela-nyela rambut kepala bagi lelaki. Hukumnya sunah berdasarkan hadits yang diriwayatkan Utsman ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. suka menyela-nyela janggutnya.” (HR. at-Tirmidzi, dia berkata: hadits ini hasan shahih)

Hukum sunah ini berlaku umum, baik dalam mandi ataupun dalam wudhu. Inilah pendapat Imam Malik.

Adapun pihak lain yang membedakan antara wudhu dan mandi adalah Abu Hanifah, as-Syafi’i, at-Tsauri, Ahmad, al-Auza'iy, al-Laits, Ishaq, Abu Tsur, Dawud dan at-Thabariy. Mereka berkata bahwa menyela-nyela janggut itu wajib ketika mandi junub, tetapi tidak wajib ketika berwudhu.

Mereka berpendapat seperti itu dengan berdalil pada hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya di bawah setiap rambut itu ada janabah, maka basuhlah rambut dan cucilah kulit.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Baihaqi) Ini hadits munkar.

Mereka juga berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan dari Ali ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang membiarkan satu bagian rambutnya dari janabah tidak terkena air maka ia akan ditimpa begini dan begitu dari neraka.” Ali ra. berkata: Oleh karena itu kemudian aku memperhatikan betul (rambut) kepalaku. Ali suka memendekkan rambutnya.” (HR. ad-Darimi, Ahmad dan Abu Dawud) Ini hadits dhaif.

Jawaban kami atas hadits pertama adalah pernyataan dari perawi hadits tersebut, yakni Abu Dawud: Hadits dari al-Harits bin Wajih dikategorikan hadits munkar, dia seorang perawi yang dhaif.
Dan untuk menjawab hadits kedua: sebenarnya hadits tersebut dipandang sebagai hadits mauquf yang sampai pada Ali. An-Nawawi mendhaifkan hadits tersebut dan menyebutkan tiga perawi yang dhaif dalam sanadnya, selain itu, hadits Ummu Salamah juga membantah mereka.

6. Para fuqaha berbeda pendapat tentang menggosok badan dengan tangan ketika mandi.
Imam Malik mewajibkan menggosok badan dengan tangan, hingga bagian tubuh yang bisa dicapainya. Yang sependapat dengan beliau adalah Abu al-Aliyyah dan Atha. Dalil mereka adalah firman Allah Swt.:

“Hingga kamu mandi.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)

Mereka berkata: Tidak dikatakan mandi kecuali orang yang menggosok tubuhnya. Al-Hasan, an-Nakha'iy, as-Sya’biy, Hammad, at-Tsauriy, al-Auza’iy, Ishaq, ash-habur ra'yi , as-Syafi’i, dan fuqaha bermadzhab Hanbali menyatakan bahwa menggosokkan tangan ke tubuh ketika mandi dan wudhu itu tidak wajib hukumya. Inilah pendapat yang benar, karena hadits-hadits yang ada hanya menyebutkan menyiramkan air ke tubuh saja. Di dalam hadits Ummu Salamah:

“Kemudian engkau menyiramkan air ke atas (tubuh)-mu, maka engkau telah suci.”

(Di dalam hadits tersebut) tidak disebutkan menggosok tubuh.

Selain itu dari sisi bahasa pun mencuci atau mandi (al-ghuslu) itu tidak mencakup aktivitas menggosok, dikatakan:
“(Dia) mencuci wadah ketika menyiramkan air ke atasnya walaupun tidak menggosokkan tangannya di atasnya.”

Air mengalir itu disebut ghaasul, dikatakan pula:
“Air hujan mencucinya ketika jatuh ke atasnya.”

As-Syaukani berkata: “Kita tidak menemukan dalam buku-buku bahasa, sesuatu yang mengesankan “menggosok” itu termasuk dalam aktivitas mandi. Jawabannya adalah sesuatu yang benar-benar disebut mandi dari sisi bahasa, kecuali jika ada hadits shahih yang mengatakan: “Basahilah rambut dan bersihkanlah kulit.”
Yang mengesankan wajibnya menggosok karena membersihkan tubuh itu tidak terjadi hanya dengan menyiramkan air saja. Tidak bisa dikatakan, jika menggosok tubuh itu tidak wajib maka tidak ada bedanya antara membasuh dengan mengusap, karena kami mengatakan bahwa mengusap itu adalah melewatkan tangan di atas sesuatu di mana ada yang terkena dan ada juga yang terlewatkan, sehingga dalam mengusap itu tidak ada keharusan air terserap. Berbeda dengan basuhan, karena di dalamnya air harus terserap.”

7. Sunahnya mandi adalah menggunakan air yang sedikit. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan:

“Rasulullah Saw. mandi dari junub dengan satu sha air, dan berwudhu dengan satu mud.” (HR. Muslim)

Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas, dia berkata:

“Nabi Saw. berwudhu dengan satu mud air, dan mandi dengan satu sha (empat mud) hingga lima mud air.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., dia berkata:

“Aku pernah mandi bersama Nabi Saw. dari satu wadah yang terbuat dari tembikar yang disebutkan al-faraq.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Lafadz al-faraq dengan mensukunkan atau memfathahkan huruf ra, artinya satu wadah yang setara dengan 16 rithl Iraq.
Mud: segenggam penuh dua telapak tangan lelaki dewasa yang berukuran sedang.
Sha: empat mud, yakni 5 1/3 rithl Iraq.
Satu mud itu seperempat sha, yakni 1 1/3 rithl. Inilah pendapat ulama Hanabilah, Imam Malik, as-Syafi’i, Ishaq, Abu Ubaid dan Abu Yusuf.
Sedangkan Abu Hanifah berkata: satu sha itu sama dengan delapan rithl.

Kami tidak ingin memasuki rincian yang terlalu jauh dari materi pembahasan, karena persoalan ini semuanya terkait perkiraan saja.

Ringkasnya kami katakan: dengan mengkomparasikan beberapa ukuran/takaran ini dengan ukuran/takaran modern, kita akan melihat bahwa satu mud itu kira-kira setara dengan seperempat liter, sedangkan satu sha itu kira-kira setara dengan satu liter.
Dengan perkiraan lain kami katakan, bahwa satu mud itu kira-kira setara dengan 1/6 botol air mineral.

Ukuran sebanyak ini sudah cukup untuk berwudhu, sedangkan satu botol air mineral cukup untuk mandi. Inilah pendapat Hanabilah, as-Syafi'iyah dan Malikiyah.

Tetapi Ummul Mukminin Aisyah ra. telah meriwayatkan hadits:

“Aku pernah mandi bersama Nabi Saw. dari satu wadah yang terbuat dari tembikar yang disebutkan al-faraq.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Ketika satu faraq itu sama dengan 16 (enam belas) rithl, maka jatah setiap orangnya adalah 8 (delapan) rithl. Inilah ukuran yang ditaksir Abu Hanifah.
Ketika dikomparasikan dengan takaran modern, kita akan mendapati bahwa delapan rithl itu kira-kira setara dengan 1 1/2 botol air mineral. Inilah takaran air yang digunakan oleh Rasulullah Saw. ketika mandi junub berdasarkan hadits Aisyah.
Dengan demikian, untuk mandi itu cukup menggunakan air antara 1 sampai 1 1/2 botol air mineral, dan untuk berwudhu cukup 1/6 botol air saja.

Saya telah menyebutkan ukuran dan takaran ini secara perkiraan, tiada lain karena hal-hal lebih dari itu tidak diperlukan. Ukuran-ukuran tersebut tidak wajib dipatuhi, sehingga tujuan penyebutannya hanya untuk mengetahui batasan atau ukuran air yang sedang ketika digunakan untuk wudhu dan mandi. Menggunakan air secara sedang itu lebih baik daripada menggunakannya terlalu berlebih atau terlalu kurang, terlebih lagi ketika dua orang yang mandi itu bertubuh besar.

8. Tartib (berurutan) ketika mandi adalah disunahkan, termasuk ketika membasuh anggota wudhu, sehingga tartib dalam membasuh anggota wudhu ini tidak wajib hukumnya, karena semua anggota tersebut menjadi bagian dari mandi, bukan bagian dari wudhu. Berbeda dengan wudhu itu sendiri yang memang diharuskan berurutan. Tartib (berurutan) membasuh anggota badan itu hukumnya sunah saja. Selain itu disunahkan mendahulukan membasuh bagian kanan terlebih dahulu, baru membasuh bagian yang kiri. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah ra., dia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. suka mendahulukan bagian yang kanan dalam bersucinya ketika beliau Saw. bersuci, dan saat menyisir rambutnya ketika beliau menyisir rambut, dan dalam mengenakan sandalnya ketika beliau Saw. mengenakan sandal.” (HR. Muslim)

Dimulai dengan membasuh kepalanya terlebih dahulu, baru kemudian membasuh bagian tubuh lainnya.

Adapun hukum muwalat (kontinuitas basuhan) adalah wajib. Batasannya adalah seseorang langsung membasuh bagian berikutnya sebelum kering bagian tubuh yang dibasuh sebelumnya, artinya, dia langsung melakukan basuhan berikutnya ketika bagian tubuh yang dibasuh sebelumnya masih dalam kondisi basah.
Saya tidak heran ketika ada orang yang mengatakan bahwa muwalat itu tidak wajib, dengan alasan tartib di dalam mandi juga tidak wajib, sehingga mereka memandang hukum muwalat itu mengikuti hukum tartib (urutan basuhan).
Pendapat yang benar: muwalat itu merupakan perkara yang terpisah dengan tartib. Tartib di dalam mandi itu tidak wajib sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama, dan ini benar, tetapi muwalat itu tetap diharuskan dan hukumnya tetap wajib, tetapi tentu dengan cara yang telah saya sebutkan di atas.
Jika muwalat tidak wajib, tentu seorang Muslim boleh membasuh kepalanya, lalu dia keluar dari kamar mandi, kemudian setelah satu jam dia kembali, lalu membasuh dadanya, kemudian keluar lagi, begitu seterusnya, hingga dia selesai membasuh seluruh tubuhnya. Hal seperti ini tentu saja tidak bisa dipandang sebagai mandi.
Seharusnya dia membasuh bagian tubuh selanjutnya sebelum air mengering pada bagian tubuh yang dibasuh sebelumnya, agar semua proses tersebut bisa dipandang sebagai aktivitas yang satu yakni mandi, dan hal seperti ini tidak memerlukan nash, karena termasuk persoalan verifikasi fakta sesuatu yang disebut dengan mandi.

9. Ada beberapa perkara yang dipandang kecil (sederhana) yang ingin saya sebutkan untuk melengkapi pembahasan ini, yakni:

a. Seorang Muslim boleh meminta bantuan orang lain saat dia mandi. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Maimunah ra., isteri Nabi Saw.:

“Aku pernah membawakan air untuk Rasulullah Saw. (ketika beliau Saw. mandi bersuci) dari junub.” (HR. Muslim)

b. Suami dan isteri boleh mandi bersama-sama dari satu wadah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muadzah dari Aisyah ra., dia berkata:

“Aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw. dari satu wadah, lalu beliau segera mendekatiku hingga aku berkata: Tinggalkan aku, tinggalkan aku. Dia berkata: Keduanya dalam keadaan junub.” (HR. Muslim)

c. Seorang Muslim atau Muslimah tidak boleh mandi di hadapan orang lain (terlihat oleh orang lain). Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Said al-Khudri bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki (yang lain), seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita (yang lain), seorang laki-laki tidak boleh bersatu dengan laki-laki lain dalam satu baju, dan seorang wanita tidak boleh bersatu dengan wanita yang lain dalam satu baju.” (HR. Muslim)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ya'la:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. melihat seorang laki-laki mandi di tengah lapang tanpa memakai kain sarung. Beliau Saw. kemudian naik mimbar, lalu beliau Saw. mengucapkan hamdalah dan memuji-Nya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Tertutup. Dia menyukai sifat malu dan tertutup, jika salah seorang dari kalian mandi maka hendaknya dia menutupi (tubuhnya).” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai)

Para perawi hadits ini adalah para perawi hadits yang shahih.
Lafadz al-bazzar berarti al-fadha, artinya tempat terbuka yang luas tanpa pepohonan.

d. Ketika hendak memulai mandi, wajib berniat menghilangkan hadats besar. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkatn Umar bin Khaththab ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya.” (HR. Muslim dan Bukhari)

e. Ketika seorang Muslim junub satu kali, tetapi dia belum sempat mandi, kemudian junub untuk kedua dan ketiga kali, dan ia belum mandi, maka ia cukup mandi satu kali saja. Dia tidak wajib mandi dua atau tiga kali sesuai bilangan junubnya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Anas:

“Bahwasanya Nabi Saw. pernah menggilir isteri-isterinya dengan satu kali mandi.” (HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. pernah menggilir seluruh isterinya dalam satu malam, kemudian beliau Saw. mandi satu kali.”

f. Jika memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, merapikan kumis, bersiwak, memakai wewangian pada saat mandi, maka itu menjadi lebih baik dan lebih bersih, karena sama dengan menggabungkan berbagai macam sunah ke dalam satu perkara yang wajib.

g. Wudhu dan mandi hanya bisa dilakukan dengan air saja, tidak boleh dengan benda cair lain selain air. Ini berbeda dengan menghilangkan benda najis, yang boleh menggunakan selain air, yang penting layak/ bisa menghilangkan najis. Allah Swt. berfirman:

“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)

Allah Swt. tidak mengijinkan kita memilih cairan apapun ketika kita tidak menemukan air. Dalam kondisi tidak adanya air, Allah Swt. memerintahkan kita untuk bertayamum.
Abu Dzar ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya tanah yang bersih itu merupakan sarana bersuci bagi seorang Muslim, walaupun dia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Ketika dia menemukan air, maka hendaklah dia mengusapkan tanah itu ke kulitnya, karena itu lebih baik baginya.” (HR. Tirmidzi)

Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih. Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini.

Hadits ini memberi pengertian yang sama dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat al-Qur’an di atas. Karena itu, wudhu dan mandi hanya boleh dilakukan dengan menggunakan air saja, tidak boleh dengan cairan lainnya. Ketika tidak ada air, maka kita beralih bertayamum dengan tanah. Pendapat seperti ini sepanjang sepengetahuan saya tidak ada seorangpun yang menyelisihinya.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam