Beberapa Rincian yang Berkaitan
Dengan Mandi
1. Para ulama berbeda
pendapat dalam persoalan wudhu, atau apa yang disebut dengan wudhu untuk shalat
yang disebutkan dalam hadits nomor satu dari Aisyah; apakah itu merupakan wudhu
yang terpisah dari mandi ataukah menjadi bagian dari mandi? Mereka terbagi
menjadi dua pendapat:
Abu Tsur dan Dawud
berpendapat bahwa wudhu tersebut merupakan sesuatu yang terpisah; mereka
mewajibkan kaum Muslim untuk berniat menghilangkan hadats kecil saat
melakukannya, kemudian ketika mengucurkan air ke atas kepala dan badannya
barulah berniat menghilangkan hadats besar, yakni mereka mewajibkan dua niat
untuk melakukan dua perbuatan yang saling terpisah satu sama lain.
Para ulama lainnya
berpendapat bahwa yang dilakukan dalam wudhu tidak terpisah dari aktivitas yang
dilakukan dalam mandi, sehingga mereka mewajibkan satu niat saja untuk
keduanya.
Ibnu Hajar merasa
bimbang dalam persoalan ini, sehingga dia menyatakan: Kemungkinan memulakan
wudhu sebelum mandi itu menjadi sunah yang terpisah, di mana diwajibkan
membasuh anggota wudhu dengan seluruh bagian tubuh. Dan kemungkinan pula dengan
membasuhnya dalam wudhu menjadikan kita tidak perlu mengulangnya lagi; karena
itu kita perlu berniat mandi junub ketika pertama kali basuhan anggota tubuh,
sedangkan mendahulukan membasuh anggota wudhu hanya untuk memuliakannya dan
demi tercapainya dua bentuk bersuci, yakni bersuci dari hadats kecil dan hadats
besar.
Pendapat yang paling
tepat menurut hemat saya adalah tidak diharuskan kecuali satu niat saja, di
mana niat tersebut dihadirkan ketika membasuh anggota tubuh yang pertama.
Perihal aktivitas yang
dinamakan wudhu oleh Aisyah dan juga disinggung oleh Maimunah, itu bukanlah
wudhu yang biasa kita kenal, karena di dalam wudhu yang biasa itu ada aktivitas
mengusap kepala, sedangkan dalam wudhu yang mereka sebutkan ini tidak ada aktivitas
mengusap kepala sebagaimana nampak terlihat dalam seluruh hadits. Pendapat
inilah yang dipegang oleh Malik.
Selain itu, riwayat
Maimunah menyebutkan membasuh dua kaki setelah menyiramkan air ke tubuh,
sehingga aktivitas atau amalan-amalan wudhu ini menjadi terpisah satu sama
lain. Hal seperti ini tidak disebutkan dalam wudhu, melainkan hanya dalam mandi
saja.
Berdasarkan beberapa
perbedaan ini saya katakan: sesungguhnya yang disebut wudhu oleh Aisyah itu
tiada lain hanyalah salah satu sunat mandi saja. Di dalam sunah mandi ini tidak
ada aktivitas mengusap kepala, tidak ada kesatuan rangkaian basuhan di antara
anggotanya, sehingga semua itu termasuk ke dalam mandi junub sebagai bagian
yang disunahkan saja. Bagaimanapun juga sunah mandi ini sebagian besar
menyerupai beberapa aktivitas di dalam wudhu.
Saya akan tambahkan
perbedaan yang lain, bahwa orang yang melakukan sunah ini ketika mengguyur
seluruh tubuhnya dia tidak wajib mengguyur anggota wudhu atau anggota sunah
yang sudah dibasuhnya. Dia cukup menyiramkan air ke bagian anggota badan
lainnya.
Mungkin akan lebih
tepat dan lebih jelas dikatakan: mandi itu dimulai dengan bagian-bagian wudhu
daripada dikatakan: mandi itu dimulai dengan wudhu. Ini ditunjukkan oleh hadits
yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan para penyusun as-Sunan dari Ummu Athiyah, dia berkata: Nabi Saw. bersabda:
“Mulailah dengan
anggota tubuh yang sebelah kanan dan anggota-anggota wudhunya.”
Ucapan Rasulullah Saw.
ini disampaikan pada mereka yang memandikan salah seorang puterinya yang wafat.
Sedangkan seluruh riwayat yang menyebutkan wudhu adalah ucapan sahabat, tentu
ucapan Rasulullah Saw. yang menjadi hujjah.
Bukhari telah membuat satu bab tersendiri yang diberi judul: Orang yang
berwudhu waktu junub lalu dia membasuh seluruh tubuhnya dan tidak membasuh
kembali anggota-anggota wudhu (mawadhi'
al-wudhu) tersebut.
2. Para ulama berbeda
pendapat dalam pengulangan membasuh badan. Sebagian mereka mensunahkannya
karena menganalogikannya dengan membasuh kepala tiga kali; sebagian lagi tidak
mensunahkannya. Inilah pendapat yang shahih,
hal ini karena tidak dinukil satu riwayat pun yang shahih atau hasan bahwa
Nabi Saw. menyiramkan air ke tubuhnya lebih dari satu kali.
Dan pada saat yang
sama beragam riwayat yang shahih
menyebutkan beliau Saw. menyiramkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali,
di mana hal ini menunjukkan adanya perbedaan di antara dua jenis siraman
tersebut. Sunahnya adalah membasuh kepala tiga kali dan kemudian membasuh
seluruh tubuhnya satu kali.
3. Pendapat para imam
tentang membasuh dua kaki terbagi menjadi dua. As-Syafi'i berkata bahwa
membasuh dua kaki sebelum menyiramkan air ke atas kepala itu lebih utama, agar
wudhu sempurna terlebih dahulu, dan basuhan anggota wudhu tersebut bersambung
satu sama lain. Beliau berargumentasi dengan hadits pertama dari Aisyah.
Sedangkan jumhur
menyatakan bahwa membasuh dua kaki di bagian akhir mandi itu lebih utama,
karena ucapan Maimunah jelas menyatakan hal itu, bahkan ucapan Aisyah dalam
hadits pertama di atas juga mengakhirkan membasuh dua kaki.
Sebagian ulama
Malikiyah mengakhirkan membasuh dua kaki jika bagian tersebut kotor. Pernyataan
seperti ini dilontarkan oleh Ibnu al-Hajib dan selainnya.
Ulama bermadzhab
Hanafi menyatakan jika mandinya dilakukan di tanah berlumpur maka basuhan dua
kaki harus diakhirkan, jika tidak, maka tidak perlu diakhirkan.
Sebagian ulama
Malikiyah sependapat dengan ulama Hanafiyah bahwa ‘illat diakhirkannya basuhan dua kaki adalah kebersihan.
Sebenarnya hadits yang
diriwayatkan Aisyah dan Maimunah, bahkan seluruh hadits yang membahas persoalan
mandi, tidak sedikitpun menyinggung masalah kebersihan atau tanah berlumpur.
Ini hanya tambahan yang berasal dari pendapat para ulama di atas. Hal ini karena
hadits-hadits tersebut telah mengakhirkan basuhan dua kaki secara tekstual. Ini
merupakan manthuq (makna literal), maka
mendahulukan basuhan kaki sebagai kesimpulan dari hadits-hadits yang tidak
menyebutkannya tiada lain hanya merupakan mafhum
yang bersifat muhtamal (mengandung
kemungkinan).
Tentu saja manthuq harus diprioritaskan daripada mafhum yang muhtamal.
Dan ketika ada nash dalam satu persoalan, maka (nash tersebut) wajib dijadikan
rujukan dan pegangan, tidak dibenarkan menyatakan sesuatu yang bertentangan
dengannya.
Bisa jadi dikatakan
bahwa hadits Aisyah menyebutkan wudhu di bagian awal mandi dan tidak
mengecualikan basuhan dua kaki, kemudian menyebutkan basuhan dua kaki di bagian
akhir mandi, sehingga yang diperintahkan adalah membasuh dua kaki sebanyak dua
kali: satu kali saat berwudhu dan satu kali lagi di bagian akhir mandi. Maka
kami katakan: tidak bisa, karena hadits Maimunah menyebutkan berkumur-kumur, istinsyaq, membasuh wajah, dan membasuh dua
tangan saja, tidak menyebutkan mengusap kepala dan membasuh dua kaki.
Hadits Maimunah pada
nomor delapan dalam salah satu riwayatnya lebih jelas pernyataannya daripada
haditsnya yang nomor dua, ketika menyebutkan:
“Rasulullah Saw.
berwudhu seperti wudhu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya.”
Bahkan Aisyah dalam
hadits keenam menyebutkan berkumur-kumur, istinsyaq,
membasuh wajah dan dua tangan, dan tidak menyebutkan mengusap kepala dan
membasuh dua kaki; persis sama dengan yang diceritakan Maimunah, sehingga
menunjukkan bahwa kita tidak diperintahkan untuk membasuh dua kaki sebanyak dua
kali.
Di dalam hadits-hadits
hanya disebutkan bahwa membasuh kedua kaki itu hanya dua kali saja, dan di
bagian akhir mandi pula. Dengan demikian, pengertian hadits yang pertama harus
dibawa pada hadits-hadits yang lain, sehingga yang harus dilakukan adalah membasuh
dua kaki saja di bagian akhir mandi.
4. Mungkin saja ada
yang mengatakan: seharusnya sifat mandi itu adalah sebagai berikut: terlebih
dahulu membasuh dua tangan, kemudian membasuh anggota wudhu, lalu membasuh
kemaluan, kemudian menyiramkan air ke atas kepala dan seluruh badannya, yakni
membasuh kemaluan dilakukan setelah wudhu atau aktivitas yang disebut wudhu.
Kesimpulan ini diambil dari hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Maimunah
isteri Nabi Saw., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
berwudhu seperti wudhu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya. Beliau Saw.
mencuci kemaluannya dan kotoran yang menempel pada kemaluannya, kemudian
menyiramkan air ke tubuhnya, lalu beliau Saw. menggeserkan kedua kakinya, dan
kemudian mencuci keduanya. Seperti inilah mandi junub yang dilakukannya.” (HR.
Bukhari)
Hadits ini menyebutkan
membasuh kemaluan setelah berwudhu. Maka kami bantah mereka, bahwa di dalam
hadits ini sebenarnya tidak ada masalah mengakhirkan dan mendahulukan, karena
huruf wawu di dalam hadits ini tidak
menunjukkan pengertian tartib (urutan
perbuatan). Ini karena hadits-hadits shahih
yang disebutkan sebelumnya menyebutkan membasuh kemaluan sebelum berwudhu,
begitu pula hadits berikut yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Maimunah ra., dia
berkata:
“Aku menutupi Nabi
Saw. yang sedang mandi junub. Beliau Saw. membasuh dua tangannya, kemudian
menuangkan air dengan tangan kanannya ke atas tangan kirinya, lalu membasuh
kemaluannya dan kotoran yang ada padanya. Setelah itu beliau Saw. mengusapkan
tangannya ke dinding atau tanah, kemudian berwudhu seperti wudhu untuk shalat
tanpa membasuh dua kakinya. Lalu beliau Saw. menyiramkan air ke tubuhnya,
kemudian beliau Saw. bergeser lalu membasuh dua kakinya.” (HR. Bukhari)
Dari jalur Maimunah
ini Bukhari telah meriwayatkan beberapa hadits, yang empat di antaranya bisa
Anda lihat pada poin delapan. Semua riwayat tersebut -kecuali riwayat yang ini
(“Rasulullah Saw. berwudhu seperti wudhu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya.
Beliau Saw. mencuci kemaluannya…”)- menyebutkan membasuh kemaluan sebelum
membasuh anggota wudhu, sehingga riwayat yang banyak jumlahnya itulah yang
harus diamalkan. Dan pengertian riwayat yang satu ini harus dibawa pada
pengertian riwayat yang banyak.
Bagaimanapun juga,
sebenarnya di sini kita sedang membincangkan perkara-perkara sunah dalam mandi,
karena berurutan (at-tartib) dalam mandi
itu sunah hukumnya, bukan wajib. Sehingga siapa saja yang berkehendak melakukan
perkara-perkara sunah tersebut, dia dipersilakan untuk mandi dengan urutan
sebagaimana yang disampaikan hadits-hadits tersebut.
5. Terkait membuka
ikatan rambut kepala: para ulama banyak berbeda pendapat. Al-Hasan, Thawus dan
Ahmad berkata: Ikatan rambut harus diuraikan ketika mandi haid, tetapi tidak
ketika mandi junub.
Sejumlah sahabat Ahmad
telah mentarjih bahwa membuka ikatan
rambut pada saat mandi haid itu dihukumi sunah saja, begitupula saat mandi
junub.
Ibnu Qudamah berkata:
Aku tidak mengetahui seorang yang mewajibkannya saat mandi junub dan mandi haid
kecuali hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, sehingga dia
menambahkan Ibnu Umar pada kelompok yang mewajibkannya.
An-Nawawi berkata:
Para sahabat kami menceritakan pendapat tersebut dari an-Nakha'iy, maksudnya
pendapat yang mewajibkannya, sehingga dia menambahkan an-Nakha'iy termasuk yang
berpendapat mewajibkannya.
Mereka melontarkan
pendapat dengan berdalilkan hadits Aisyah:
“Bahwasanya Nabi Saw.
berkata padanya, waktu itu dia haid, uraikanlah ikatan rambutmu dan mandilah.”
(HR. Ibnu Majah)
Sanad hadits ini
adalah sanad hadits shahih.
Sedangkan jumhur tidak mewajibkan membuka
ikatan rambut secara mutlak. Mereka berargumentasi dengan hadits keempat
dan kelima, inilah pendapat yang benar.
Karena hadits yang
keempat menyatakan:
“Apakah aku harus
membuka ikatannya ketika mandi junub? Beliau Saw. berkata: “Tidak.”
Kalimat seperti ini
merupakan manthuq (makna literal) hadits
tentang ketidakharusan membuka ikatan rambut saat mandi junub. Dalam sebagian
lafadz hadits Ummu Salamah disebutkan:
“Aku berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku seorang wanita yang mengikat rambut dengan kuat,
apakah aku harus menguraikan ikatan tersebut saat mandi haid dan junub? Beliau
Saw. berkata: “Jangan, engkau cukup mengucurkan air ke atas kepalamu tiga kali,
kemudian engkau mengguyurkan air ke atas (tubuh)-mu, maka engkau telah suci.”
(HR. Muslim)
Ini merupakan manthuq hadits tentang ketidakharusan membuka
ikatan rambut ketika mandi (bersuci) setelah haid juga. Tambahan ini harus
diterima dan dijalankan. Hadits tersebut jelas menyatakan penafian kewajiban
menguraikan rambut.
Senada dengan hadits
di atas adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra.:
“Bahwasanya Asma
bertanya kepada Nabi Saw. tentang cara mandi haid, maka Nabi Saw. menjawab:
“Salah seorang dari kalian mengambil air dan tanaman bidaranya, lalu dia
bersuci (berwudhu) dan membaguskan bersucinya, kemudian dia mengucurkan air ke
atas kepalanya, memijat-mijatnya dengan keras hingga mencapai pangkal
rambutnya. Kemudian dia mengucurkan air ke atasnya…” Dan aku bertanya kepada
beliau Saw. tentang mandi junub, maka beliau Saw. menjawab: “Dia (si wanita)
mengambil air, lalu bersuci dan membaguskan bersucinya, atau bersuci dengan
sebaik-baiknya bersuci, kemudian dia mengucurkan air ke atas kepalanya,
memijatnya dengan keras hingga mencapai pangkal rambutnya, kemudian dia
mengucurkan air ke atasnya.” (HR. Muslim)
Rasulullah Saw. tidak
meminta si wanita membuka ikatan rambutnya saat mandi haid atau mandi junub.
Seandainya membuka ikatan rambut tersebut wajib hukumnya, niscaya Rasulullah
Saw. akan memerintahkannya.
Hadits kelima
menyebutkan:
“Maka dia tidak harus
melepaskan ikatan rambut kepalanya.”
Ini juga jelas
merupakan manthuq (makna literal) hadits
tentang ketidakharusan membuka ikatan rambut. Semua ini jelas, merupakan
bantahan mematikan kepada mereka yang mewajibkan menguraikan/ membuka ikatan
rambut wanita ketika mandi junub dan mandi haid.
Adapun mereka yang
mewajibkan menguraikan ikatan rambut bersandarkan hadits Aisyah yang sudah kami
sebutkan di atas, di dalamnya disebutkan:
“Uraikanlah ikatan
rambutmu dan mandilah.”
Kami bantah pendapat
mereka: hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah
penopang pendapat mereka, karena hadits ini berkaitan dengan topik yang berbeda
dengan topik yang sedang mereka bicarakan. Topik hadits ini adalah mandi yang
dilakukan wanita yang sedang haid ketika hendak bertalbiyah waktu berhaji.
Ibnu Majah telah
meriwayatkan hadits ini secara terpotong. Riwayat lengkapnya adalah Aisyah berihram untuk umrah, kemudian dia mengeluarkan
darah haid sebelum memasuki kota Mekkah, lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya
untuk menguraikan rambutnya, menyisirnya dan mandi. Setelah itu bertalbiyah untuk haji, padahal dia masih haid.
Mandi yang dijelaskan dalam hadits ini bukan mandi dari haid yang sedang mereka
bicarakan itu, sehingga tidak layak diposisikan dengan hadits Ummu Salamah.
An-Nasai, Abu Dawud
dan Ahmad telah meriwayatkan dari Aisyah ra., dia berkata:
“Lalu aku tiba di
Makkah dalam keadaan haid, sehingga aku tidak melakukan thawaf mengelilingi Baitullah, juga tidak (melakukan sa'i) antara Shafa dan Marwah, maka aku
mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau Saw. lalu bersabda:
“Uraikanlah rambutmu dan menyisirlah, lalu bertalbiyahlah
untuk melakukan haji, dan tinggalkanlah umrah.”
Hadits ini menyebutkan
bahwa Aisyah harus mandi, padahal dia masih haid, sehingga mandi yang
dilakukannya tiada lain untuk melakukan talbiyah
haji.
Senada dengan hadits
tersebut atau katakanlah mirip dengannya adalah hadits yang diriwayatkan Abu
Dawud dari Aisyah, Aisyah ra. berkata:
“Asma binti Umais
mengeluarkan darah nifas karena melahirkan Muhammad bin Abu Bakar di
as-Syajarah, kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan Abu Bakar agar Asma mandi
dan bertalbiyah.”
Mandi dalam hadits
tersebut adalah mandi wanita yang sedang nifas untuk berhaji, bukan mandi dari
nifas.
Dua mandi ini harus
dibawa pada pengertian bahwa mandi tersebut dilakukan dalam rangka kebersihan,
dan hukumnya sunah, sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah penopang pendapat mereka yang
mewajibkan mengurai ikatan rambut saat mandi haid.
Al-Baihaqi berkata
setelah meriwayatkan hadits Aisyah yang pertama: “Aisyah diperintahkan mandi
untuk bertalbiyah haji, mandi yang
dilakukannya adalah mandi sunah. Aisyah diperintahkan untuk menguraikan dan
menyisir rambutnya, dia diperintahkan hal seperti itu sebagai perkara sunah
saja, sebagaimana mandi yang diperintahkan pada Asma binti Umais untuk untuk
bertalbiyah, padahal waktu itu dia
sedang nifas yang hukumnya sunah pula.”
Ada juga hadits yang
diriwayatkan at-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Kabir dan ad-Daruquthni dalam al-Ifrad
dari Anas, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Ketika seorang wanita
mandi dari haidnya maka hendaklah dia menguraikan rambutnya dan mencucinya
dengan khatmiy dan usynan, dan ketika mandi dari junub maka
hendaklah dia mengucurkan air ke atas kepalanya dan memerasnya.”
Khatmiy itu adalah tumbuhan yang daunnya
ditumbuk saat kering, lalu digunakan untuk membasuh kepala. Sedangkan usynan atau isyan
adalah bahan yang digunakan untuk membasuh tangan.
Tuntutan ini harus
dibawa pada pengertian sunah saja, karena qarinah
tuntutan menggunakan khatmiy dan usynan ini merupakan tuntutan yang mensunahkan
dalam rangka kebersihan, dan juga karena qarinah
hadits Ummu Salamah yang menyebutkan:
“Cukup bagimu.”
Hadits yang lain yang
menunjukkan ketidakwajiban mengurai rambut (membuka ikatan rambut) adalah
hadits yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad:
“Aisyah mendengar
kabar bahwa Abdullah bin Amr memerintahkan kaum wanita untuk mengurai rambut
mereka (membuka ikatan rambut mereka) ketika mandi, maka Aisyah berkata:
Mengherankan, Ibnu Amr malah memerintahkan kaum wanita menguraikan rambut
mereka jika hendak mandi, mengapa tidak sekalian saja dia menyuruh kaum wanita
untuk mencukur rambut mereka. Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw.
dari satu wadah, aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga kucuran.”
Hadits ini menyebutkan
bahwa Ibnu Amr memerintahkan wanita untuk melepaskan ikatan rambut tanpa
membedakan antara mandi haid dengan mandi junub. Walaupun jawaban Aisyah
tentang mandi junub, tetapi dia mengingkari seluruh pernyataan Ibnu Amr dengan
tanpa taqyid dan takhsis. Seandainya menguraikan ikatan rambut dalam mandi itu
wajib hukumnya, niscaya Aisyah akan menyinggungnya dan dia tidak akan
mengingkari pernyataan Ibnu Amr seluruhnya. Ini menunjukkan dengan jelas
ketidakwajiban melepaskan ikatan rambut saat mandi haid dan mandi junub.
Terdapat hadits lain
yang memiliki dilalah yang sama dengan
hadits di atas, yakni hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra.:
“Seorang wanita
bertanya kepada Nabi Saw. tentang tata cara mandi yang harus dilakukannya untuk
bersuci dari haid, maka Rasulullah Saw. memerintahkannya bagaimana cara dia
bersuci. Rasulullah Saw. berkata: “Ambillah kain dari kapas yang sudah diolesi
minyak kesturi (wewangian), kemudian bersucilah dengannya.” Dia bertanya:
Bagaimana cara bersucinya? Beliau Saw. berkata: “Bersucilah dengannya.” Dia
bertanya: Bagaimana? Beliau Saw. berkata: “Maha Suci Allah, bersucilah engkau.”
Maka aku kemudian menarik wanita itu ke arahku, lalu aku berkata: Usapkanlah
kain itu berulang kali pada bekas darahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan
an-Nasai)
Qirshah artinya sepotong benda, apapun itu.
Hadits ini menyebutkan
cara membersihkan yang lain ketika mandi haid, dan hukum sunahnya sama dengan
cara yang lain. Pendapat kami tentang menyela-nyela janggut adalah sama dengan
pendapat yang kami lontarkan terkait menguraikan ikatan rambut dan menyela-nyela
rambut kepala bagi lelaki. Hukumnya sunah berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Utsman ra.:
“Bahwasanya Nabi Saw.
suka menyela-nyela janggutnya.” (HR. at-Tirmidzi, dia berkata: hadits ini hasan shahih)
Hukum sunah ini
berlaku umum, baik dalam mandi ataupun dalam wudhu. Inilah pendapat Imam Malik.
Adapun pihak lain yang
membedakan antara wudhu dan mandi adalah Abu Hanifah, as-Syafi’i, at-Tsauri,
Ahmad, al-Auza'iy, al-Laits, Ishaq, Abu Tsur, Dawud dan at-Thabariy. Mereka
berkata bahwa menyela-nyela janggut itu wajib ketika mandi junub, tetapi tidak
wajib ketika berwudhu.
Mereka berpendapat
seperti itu dengan berdalil pada hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra., dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya di bawah
setiap rambut itu ada janabah, maka basuhlah rambut dan cucilah kulit.” (HR.
Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Baihaqi) Ini hadits munkar.
Mereka juga
berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan dari Ali ra. bahwasanya
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
membiarkan satu bagian rambutnya dari janabah tidak terkena air maka ia akan
ditimpa begini dan begitu dari neraka.” Ali ra. berkata: Oleh karena itu
kemudian aku memperhatikan betul (rambut) kepalaku. Ali suka memendekkan
rambutnya.” (HR. ad-Darimi, Ahmad dan Abu Dawud) Ini hadits dhaif.
Jawaban kami atas
hadits pertama adalah pernyataan dari perawi hadits tersebut, yakni Abu Dawud:
Hadits dari al-Harits bin Wajih dikategorikan hadits munkar, dia seorang perawi
yang dhaif.
Dan untuk menjawab
hadits kedua: sebenarnya hadits tersebut dipandang sebagai hadits mauquf yang sampai pada Ali. An-Nawawi mendhaifkan hadits tersebut dan menyebutkan tiga
perawi yang dhaif dalam sanadnya, selain
itu, hadits Ummu Salamah juga membantah mereka.
6. Para fuqaha berbeda
pendapat tentang menggosok badan dengan tangan ketika mandi.
Imam Malik mewajibkan
menggosok badan dengan tangan, hingga bagian tubuh yang bisa dicapainya. Yang
sependapat dengan beliau adalah Abu al-Aliyyah dan Atha. Dalil mereka adalah
firman Allah Swt.:
“Hingga kamu mandi.”
(TQS. an-Nisa [4]: 43)
Mereka berkata: Tidak
dikatakan mandi kecuali orang yang menggosok tubuhnya. Al-Hasan, an-Nakha'iy,
as-Sya’biy, Hammad, at-Tsauriy, al-Auza’iy, Ishaq, ash-habur ra'yi , as-Syafi’i, dan fuqaha bermadzhab Hanbali
menyatakan bahwa menggosokkan tangan ke tubuh ketika mandi dan wudhu itu tidak
wajib hukumya. Inilah pendapat yang benar, karena hadits-hadits yang ada hanya
menyebutkan menyiramkan air ke tubuh saja. Di dalam hadits Ummu Salamah:
“Kemudian engkau
menyiramkan air ke atas (tubuh)-mu, maka engkau telah suci.”
(Di dalam hadits
tersebut) tidak disebutkan menggosok tubuh.
Selain itu dari sisi
bahasa pun mencuci atau mandi (al-ghuslu)
itu tidak mencakup aktivitas menggosok, dikatakan:
“(Dia) mencuci wadah
ketika menyiramkan air ke atasnya walaupun tidak menggosokkan tangannya di
atasnya.”
Air mengalir itu
disebut ghaasul, dikatakan pula:
“Air hujan mencucinya
ketika jatuh ke atasnya.”
As-Syaukani berkata:
“Kita tidak menemukan dalam buku-buku bahasa, sesuatu yang mengesankan
“menggosok” itu termasuk dalam aktivitas mandi. Jawabannya adalah sesuatu yang
benar-benar disebut mandi dari sisi bahasa, kecuali jika ada hadits shahih yang mengatakan: “Basahilah rambut dan
bersihkanlah kulit.”
Yang mengesankan
wajibnya menggosok karena membersihkan tubuh itu tidak terjadi hanya dengan
menyiramkan air saja. Tidak bisa dikatakan, jika menggosok tubuh itu tidak
wajib maka tidak ada bedanya antara membasuh dengan mengusap, karena kami
mengatakan bahwa mengusap itu adalah melewatkan tangan di atas sesuatu di mana
ada yang terkena dan ada juga yang terlewatkan, sehingga dalam mengusap itu
tidak ada keharusan air terserap. Berbeda dengan basuhan, karena di dalamnya
air harus terserap.”
7. Sunahnya mandi
adalah menggunakan air yang sedikit. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan:
“Rasulullah Saw. mandi
dari junub dengan satu sha air, dan
berwudhu dengan satu mud.” (HR. Muslim)
Dan juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Anas, dia berkata:
“Nabi Saw. berwudhu
dengan satu mud air, dan mandi dengan
satu sha (empat mud) hingga lima mud
air.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., dia berkata:
“Aku pernah mandi
bersama Nabi Saw. dari satu wadah yang terbuat dari tembikar yang disebutkan al-faraq.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Lafadz al-faraq dengan mensukunkan atau memfathahkan
huruf ra, artinya satu wadah yang setara
dengan 16 rithl Iraq.
Mud: segenggam penuh dua telapak tangan lelaki
dewasa yang berukuran sedang.
Sha: empat mud, yakni 5 1/3 rithl Iraq.
Satu mud itu seperempat sha, yakni 1 1/3 rithl. Inilah pendapat ulama Hanabilah, Imam
Malik, as-Syafi’i, Ishaq, Abu Ubaid dan Abu Yusuf.
Sedangkan Abu Hanifah
berkata: satu sha itu sama dengan
delapan rithl.
Kami tidak ingin
memasuki rincian yang terlalu jauh dari materi pembahasan, karena persoalan ini
semuanya terkait perkiraan saja.
Ringkasnya kami
katakan: dengan mengkomparasikan beberapa ukuran/takaran ini dengan
ukuran/takaran modern, kita akan melihat bahwa satu mud itu kira-kira setara dengan seperempat liter, sedangkan satu
sha itu kira-kira setara dengan satu
liter.
Dengan perkiraan lain
kami katakan, bahwa satu mud itu
kira-kira setara dengan 1/6 botol air mineral.
Ukuran sebanyak ini
sudah cukup untuk berwudhu, sedangkan satu botol air mineral cukup untuk mandi.
Inilah pendapat Hanabilah, as-Syafi'iyah dan Malikiyah.
Tetapi Ummul Mukminin
Aisyah ra. telah meriwayatkan hadits:
“Aku pernah mandi
bersama Nabi Saw. dari satu wadah yang terbuat dari tembikar yang disebutkan al-faraq.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Ketika satu faraq itu sama dengan 16 (enam belas) rithl,
maka jatah setiap orangnya adalah 8 (delapan) rithl. Inilah ukuran yang
ditaksir Abu Hanifah.
Ketika dikomparasikan
dengan takaran modern, kita akan mendapati bahwa delapan rithl itu kira-kira
setara dengan 1 1/2 botol air mineral. Inilah takaran air yang digunakan oleh
Rasulullah Saw. ketika mandi junub berdasarkan hadits Aisyah.
Dengan demikian, untuk
mandi itu cukup menggunakan air antara 1 sampai 1 1/2 botol air mineral, dan
untuk berwudhu cukup 1/6 botol air saja.
Saya telah menyebutkan
ukuran dan takaran ini secara perkiraan, tiada lain karena hal-hal lebih dari
itu tidak diperlukan. Ukuran-ukuran tersebut tidak wajib dipatuhi, sehingga
tujuan penyebutannya hanya untuk mengetahui batasan atau ukuran air yang sedang
ketika digunakan untuk wudhu dan mandi. Menggunakan air secara sedang itu lebih
baik daripada menggunakannya terlalu berlebih atau terlalu kurang, terlebih
lagi ketika dua orang yang mandi itu bertubuh besar.
8. Tartib (berurutan) ketika mandi adalah
disunahkan, termasuk ketika membasuh anggota wudhu, sehingga tartib dalam membasuh anggota wudhu ini tidak
wajib hukumnya, karena semua anggota tersebut menjadi bagian dari mandi, bukan
bagian dari wudhu. Berbeda dengan wudhu itu sendiri yang memang diharuskan
berurutan. Tartib (berurutan) membasuh
anggota badan itu hukumnya sunah saja. Selain itu disunahkan mendahulukan
membasuh bagian kanan terlebih dahulu, baru membasuh bagian yang kiri. Ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah ra., dia berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. suka mendahulukan bagian yang kanan dalam bersucinya ketika
beliau Saw. bersuci, dan saat menyisir rambutnya ketika beliau menyisir rambut,
dan dalam mengenakan sandalnya ketika beliau Saw. mengenakan sandal.” (HR.
Muslim)
Dimulai dengan
membasuh kepalanya terlebih dahulu, baru kemudian membasuh bagian tubuh
lainnya.
Adapun hukum muwalat (kontinuitas basuhan) adalah wajib.
Batasannya adalah seseorang langsung membasuh bagian berikutnya sebelum kering
bagian tubuh yang dibasuh sebelumnya, artinya, dia langsung melakukan basuhan
berikutnya ketika bagian tubuh yang dibasuh sebelumnya masih dalam kondisi
basah.
Saya tidak heran
ketika ada orang yang mengatakan bahwa muwalat
itu tidak wajib, dengan alasan tartib di
dalam mandi juga tidak wajib, sehingga mereka memandang hukum muwalat itu mengikuti hukum tartib (urutan basuhan).
Pendapat yang benar: muwalat itu merupakan perkara yang terpisah
dengan tartib. Tartib di dalam mandi itu tidak wajib sebagaimana dikatakan oleh
jumhur ulama, dan ini benar, tetapi muwalat
itu tetap diharuskan dan hukumnya tetap wajib, tetapi tentu dengan cara yang
telah saya sebutkan di atas.
Jika muwalat tidak wajib, tentu seorang Muslim
boleh membasuh kepalanya, lalu dia keluar dari kamar mandi, kemudian setelah
satu jam dia kembali, lalu membasuh dadanya, kemudian keluar lagi, begitu
seterusnya, hingga dia selesai membasuh seluruh tubuhnya. Hal seperti ini tentu
saja tidak bisa dipandang sebagai mandi.
Seharusnya dia
membasuh bagian tubuh selanjutnya sebelum air mengering pada bagian tubuh yang
dibasuh sebelumnya, agar semua proses tersebut bisa dipandang sebagai aktivitas
yang satu yakni mandi, dan hal seperti ini tidak memerlukan nash, karena
termasuk persoalan verifikasi fakta sesuatu yang disebut dengan mandi.
9. Ada beberapa
perkara yang dipandang kecil (sederhana) yang ingin saya sebutkan untuk
melengkapi pembahasan ini, yakni:
a. Seorang Muslim boleh meminta bantuan orang
lain saat dia mandi. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Maimunah ra.,
isteri Nabi Saw.:
“Aku pernah membawakan
air untuk Rasulullah Saw. (ketika beliau Saw. mandi bersuci) dari junub.” (HR.
Muslim)
b. Suami dan isteri boleh mandi bersama-sama
dari satu wadah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muadzah dari Aisyah
ra., dia berkata:
“Aku pernah mandi
bersama Rasulullah Saw. dari satu wadah, lalu beliau segera mendekatiku hingga
aku berkata: Tinggalkan aku, tinggalkan aku. Dia berkata: Keduanya dalam
keadaan junub.” (HR. Muslim)
c. Seorang Muslim atau Muslimah tidak boleh
mandi di hadapan orang lain (terlihat oleh orang lain). Ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Abu Said al-Khudri bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Seorang laki-laki
tidak boleh melihat aurat laki-laki (yang lain), seorang wanita tidak boleh
melihat aurat wanita (yang lain), seorang laki-laki tidak boleh bersatu dengan
laki-laki lain dalam satu baju, dan seorang wanita tidak boleh bersatu dengan
wanita yang lain dalam satu baju.” (HR. Muslim)
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Ya'la:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. melihat seorang laki-laki mandi di tengah lapang tanpa memakai kain
sarung. Beliau Saw. kemudian naik mimbar, lalu beliau Saw. mengucapkan hamdalah dan memuji-Nya. Kemudian Rasulullah
Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Tertutup. Dia menyukai
sifat malu dan tertutup, jika salah seorang dari kalian mandi maka hendaknya
dia menutupi (tubuhnya).” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai)
Para perawi hadits ini
adalah para perawi hadits yang shahih.
Lafadz al-bazzar berarti al-fadha, artinya tempat terbuka yang luas tanpa pepohonan.
d. Ketika hendak memulai mandi, wajib berniat
menghilangkan hadats besar. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkatn Umar bin
Khaththab ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya sahnya
amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu
yang diniatkannya.” (HR. Muslim dan Bukhari)
e. Ketika seorang Muslim junub satu kali,
tetapi dia belum sempat mandi, kemudian junub untuk kedua dan ketiga kali, dan
ia belum mandi, maka ia cukup mandi satu kali saja. Dia tidak wajib mandi dua
atau tiga kali sesuai bilangan junubnya. Ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Anas:
“Bahwasanya Nabi Saw.
pernah menggilir isteri-isterinya dengan satu kali mandi.” (HR. Muslim, Ahmad
dan an-Nasai)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. pernah menggilir seluruh isterinya dalam satu malam, kemudian beliau Saw.
mandi satu kali.”
f. Jika memotong kuku, mencabut bulu ketiak,
mencukur bulu kemaluan, merapikan kumis, bersiwak, memakai wewangian pada saat
mandi, maka itu menjadi lebih baik dan lebih bersih, karena sama dengan
menggabungkan berbagai macam sunah ke dalam satu perkara yang wajib.
g. Wudhu dan mandi hanya bisa dilakukan dengan
air saja, tidak boleh dengan benda cair lain selain air. Ini berbeda dengan
menghilangkan benda najis, yang boleh menggunakan selain air, yang penting
layak/ bisa menghilangkan najis. Allah Swt. berfirman:
“Lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)
Allah Swt. tidak
mengijinkan kita memilih cairan apapun ketika kita tidak menemukan air. Dalam
kondisi tidak adanya air, Allah Swt. memerintahkan kita untuk bertayamum.
Abu Dzar ra.
meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya tanah
yang bersih itu merupakan sarana bersuci bagi seorang Muslim, walaupun dia
tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Ketika dia menemukan air, maka
hendaklah dia mengusapkan tanah itu ke kulitnya, karena itu lebih baik
baginya.” (HR. Tirmidzi)
Tirmidzi berkata:
hadits ini hasan shahih. Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini.
Hadits ini memberi
pengertian yang sama dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat al-Qur’an di atas.
Karena itu, wudhu dan mandi hanya boleh dilakukan dengan menggunakan air saja,
tidak boleh dengan cairan lainnya. Ketika tidak ada air,
maka kita beralih bertayamum dengan tanah. Pendapat seperti ini sepanjang
sepengetahuan saya tidak ada seorangpun yang menyelisihinya.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar