Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 15 September 2017

Dalil Lamanya Masa Nifas



b. Masa nifas: Para imam dan fuqaha berbeda pendapat terkait batas maksimal masa nifas.
Malik dan as-Syafi'i berpendapat bahwa batas maksimal masa nifas adalah 60 (enam puluh) hari. Telah diriwayatkan dari al-Auza’iy bahwasanya dia berkata: Di antara kami ada seorang wanita yang mengalami masa nifas selama dua bulan. Pendapat seperti ini telah diriwayatkan pula dari Atha. As-Syafi’i berkata: Umumnya nifas itu 40 (empat puluh) hari.
Ali, Umar, Ibnu Abbas, Utsman bin Abil Ash, Anas, Ummu Salamah, as-Sya’biy, at-Tsauriy, Ishaq, ashhabur ra'yi, Ahmad, as-Syaukani, al-Muzanni, dan Abu Ubaid berpendapat bahwa batas maksimal masa nifas itu 40 (empat puluh) hari.
Pendapat terakhir inilah yang shahih, dalilnya adalah sebagai berikut:

1) Tirmidzi berkata:

“Ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Saw., tabi'in dan orang-orang setelah mereka bersepakat, bahwa wanita nifas itu meninggalkan shalat selama empat puluh hari, kecuali jika dia sudah suci bersih sebelum genap empat puluh hari, maka pada saat itu dia harus mandi dan shalat.”
Sehingga pendapat seperti ini menjadi Ijma Sahabat, dan Ijma Sahabat merupakan dalil syar’i.

2) Dari Ali bin Abdil A’la, dari Abu Sahl, dari Mussah al-Azdiyyah, dari Ummu Salamah ra., dia berkata:

“Para wanita nifas berdiam diri di masa Rasulullah Saw. selama 40 (empat puluh hari). Kami memoles wajah kami dengan waras yang berwarna hitam kemerahan.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Al-Mubarakfuri pensyarah kitab Sunan Tirmidzi berkata: status hadits ini hasan dan baik. Al-Khattabiy berkata: Bukhari memuji hadits ini. Hadits ini dishahihkan pula oleh al-Hakim.

3) Dari Ummu Salamah ra., dia berkata:

“Wanita dari kalangan isteri Nabi Saw. menunggu di masa nifas selama 40 (empat puluh) malam. Nabi Saw. tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalat (yang ditinggalkannya karena) nifas.” (HR. Abu Dawud)

Matan hadits ini tertolak.

Mengenai Ijma Sahabat, ini cukup menjadi dalil bahwa batas maksimal masa nifas itu 4O (empat puluh) hari. Satu dalil ini saja sudah cukup untuk membantah pendapat kelompok pertama.
Begitu pula hadits Ummu Salamah yang pertama, memiliki dilalah yang jelas bahwa masa nifas itu 40 (empat puluh) hari. Perkataan Ummu Salamah itu dihukumi marfu’ karena dia berkata: Para wanita yang nifas menunggu di masa Rasulullah Saw., di mana dia telah menyandarkan perbuatan itu kepada masa Rasulullah Saw. Penyandaran inilah yang menjadikan hadits tersebut bisa dihukumi marfu’ sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ahli hadits dan ahli ushul.

Adapun pihak yang melontarkan pendapat yang pertama, mereka menyatakan alasan seperti itu dengan dalih investigasi fakta (istiqra), dan dengan membantah hadits Ummu Salamah yang kedua, di mana mereka menyatakan bahwa matan hadits tersebut munkar. Hal ini karena menurut mereka para isteri Nabi Saw. itu tidak ada seorangpun di antara mereka yang melahirkan dan mengalami masa nifas ketika mereka hidup bersama dan menjadi isteri Nabi, selain Khadijah, padahal Khadijah itu isteri beliau Saw. sebelum hijrah. Karena itu ucapan Ummu Salamah ini -menurut mereka- tidak memiliki arti apapun.

Perihal alasan istiqra, maka ini tidak memberikan faidah apapun bagi mereka, karena bidang yang mereka bahas berbeda dengan yang seharusnya dibahas. Hal ini karena mereka mengkaitkan hukum-hukum nifas dengan hasil kajian mereka terhadap nifas yang dijalani kaum wanita dari sisi darah nifas yang paling banyak keluar pada kaum wanita dengan tanpa pertimbangan yang lain. ini jelas suatu kekeliruan, sehingga menyebabkan mereka salah pula menetapkan hukumnya. Sebab syariat itu sendiri telah menetapkan persoalan ini dengan jelas dan pasti.
Syariat menyatakan bahwa hukum nifas itu paling lama empat puluh hari sebagaimana ditetapkan oleh Ijma Sahabat -Ijma Sahabat itu merupakan dalil syar'i- juga sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Ketika syariat menetapkan hal itu, seharusnya mereka tidak terus-menerus membahas waktu keluarnya darah nifas yang lebih dari empat puluh hari jika mereka ingin mengkaitkannya dengan hukum nifas, karena syariat sudah menetapkannya. Jika mereka hanya ingin mengetahui masa nifas yang lebih dari empat puluh hari dari sisi fakta saja dengan tanpa mengkaitkannya dengan hukum nifas, maka tidak menjadi masalah. Sayangnya mereka malah membahas batas maksimal nifas, lalu mereka melihat ada sejumlah wanita yang masa nifasnya lebih dari lima puluh hari, bahkan ada yang enam puluh dan tujuh puluh hari, kemudian mereka menyatakan bahwa seorang wanita tidak boleh shalat, puasa dan bersetubuh selama waktu yang panjang tersebut. Pernyataan mereka ini keliru, karena jelas-jelas bertentangan dengan syara, di mana syara telah mengkaitkan ketetapan empat puluh hari sebagai batas maksimal masa nifas. Ketika syara mengkaitkan batas maksimal nifas dengan empat puluh hari, maka mengkaitkannya dengan lima puluh, enam puluh dan tujuh puluh hari, itu sama dengan tindakan menasakh (menghapus) syara, padahal mereka tidak punya hak untuk menasakh syara.

Adapun ketika mereka menolak hadits kedua dari Ummu Salamah yang di dalamnya disebutkan:

“Wanita dari kalangan isteri Nabi Saw.”

Mereka menyebut matan hadits ini munkar, dan walaupun as-Syaukani berusaha menakwilkan hadits ini dengan mengatakan: Kaum wanita Nabi itu lebih umum dari isteri-isteri Nabi, karena bisa mencakup anak-anak perempuan Nabi dan kerabat wanita lainnya. Maka saya lebih setuju untuk menolak hadits ini. Saya tidak tertarik dengan penakwilan as-Syaukani, sehingga hadits ini harus ditolak dan tidak layak digunakan sebagai hujjah. Tetapi penolakan terhadap hadits ini tetap tidak bisa membantu mereka, karena matan hadits yang pertama tidak mungkin dibantah lagi.
Alasannya karena wanita-wanita nifas di dalam hadits tersebut tidak ditaqyid dengan qayid isteri Rasulullah Saw. (seperti yang tercantum dalam hadits nomor tiga). Dan ketika hadits tersebut shahih dan sharih (jelas) maka kita tidak boleh meninggalkan hadits tersebut, dan tidak boleh pula menggunakan akal dalam suatu perkara yang dijelaskan oleh nash. Artinya kita tidak boleh berijtihad dalam perkara yang sudah diterangkan oleh nash.

Meski begitu masih tersisa beberapa pertanyaan yang harus dijawab, yakni: apakah syara menetapkan batasan 40 (empat puluh) hari dengan pandangan bahwa darah tidak akan keluar lebih dari 40 (empat puluh) hari? Ataukah syara telah menetapkan batasan 40 (empat puluh) hari tetapi sekaligus syara mengetahui bahwa pada sebagian wanita ada yang sampai mengeluarkan darah lebih dari 40 (empat puluh) hari sehingga syara memaafkan tambahan atau kelebihan ini? Apakah tambahan dari 40 (empat puluh) hari ini merupakan nifas yang dimaafkan, ataukah dia sesuatu yang lain?

Pendapat yang rajih menurut saya adalah: bahwa darah nifas secara riil tidak lebih dari 40 (empat puluh) hari. Jika darah tersebut terus-menerus keluar lebih dari itu, maka darah tersebut bisa berupa darah penyakit, alias darah istihadhah, -terputusnya pembuluh darah akibat sesuatu yang dialami pada saat bersalin, berupa kejang otot dan syaraf- dan bisa juga karena berbarengan dengan datangnya waktu haid, di mana saat itu darah tersebut keluar berwarna hitam seperti umumnya darah haid. Dalam kondisi seperti ini darah tersebut dikatakan sebagai haid, dan dia dihukumi sebagai wanita yang sedang haid. Tidak perlu dikatakan lagi bahwa dia dalam kondisi nifas, karena dia sebenarnya berada dalam kondisi haid, sehingga wanita tersebut tidak perlu shalat setelah selesainya masa nifas 40 (empat puluh) hari. Wanita tersebut tetap tidak dalam keadaan suci dan tidak perlu shalat hingga berakhirnya masa haid.
Ini tidak bertentangan dengan penetapan batas waktu nifas selama 40 (empat puluh) hari yang sudah kami jelaskan, karena darah yang keluar lebih dari 40 hari tersebut bukan darah nifas.
Imam Ahmad berkata: “Ketika darah tersebut terus keluar (setelah 40 hari), jika muncul di hari-hari atau masa haidnya seperti biasa, maka wanita tersebut tidak boleh shalat dan tidak boleh disetubuhi suaminya. Tetapi jika darah tersebut keluar bukan di masa haidnya, maka dipandang sebagai darah istihadhah, sehingga dia boleh disetubuhi suaminya. Dia harus berwudhu untuk setiap kali hendak shalat, dan tetap harus berpuasa jika memasuki bulan Ramadhan dan tidak mengqadha.”
Pernyataan Ahmad ini merupakan ringkasan pendapat yang sangat baik, dan Ahmad sendiri sebagaimana telah kami jelaskan adalah salah seorang yang menyatakan 40 (empat puluh) hari sebagai batas maksimal masa nifas.

Inilah batas maksimal masa nifas. Sedangkan batas minimal masa nifas, maka Muhammad bin Hasan dari kalangan ulama Hanafiyah dan Abu Tsur berkata: Batas minimalnya adalah satu jam. Abu Ubaid berkata: Batas minimalnya adalah dua puluh lima hari.
Sedangkan para imam yang empat, at-Tsauri dan al-Auza'iy berkata: Jika wanita tersebut tidak melihat darah maka hendaknya dia mandi dan shalat. Artinya mereka tidak menetapkan batas minimal masa nifas. Inilah pendapat yang benar. Hal ini karena syara tidak menetapkan batas minimal tertentu yang harus dijadikan rujukan.
Seandainya seorang wanita melahirkan, lalu darah berhenti keluar setelah tiga hari, maka saat itu si wanita harus mandi dan shalat. Bahkan seandainya dia melahirkan lalu darah serta-merta berhenti keluar, maka dia harus bangkit, mandi dan shalat.
Diriwayatkan bahwa seorang wanita telah melahirkan pada masa Rasulullah Saw., tetapi wanita tersebut tidak melihat darah sehingga dipanggil dzatul jufuf. Dan ini termasuk kondisi yang jarang terjadi tentunya.
Namun jika darah keluar selama sepuluh hari misalnya, lalu berhenti selama sepuluh hari, maka wanita tersebut harus mandi dan shalat saat itu. Tetapi jika setelah berhenti sepuluh hari itu darah kembali keluar, maka itu merupakan darah nifas, si wanita harus berhenti shalat selama darah tersebut keluar, dan jika berhenti keluar maka si wanita harus mandi dan kembali shalat.

Saya merasa heran ketika melihat para imam membahas dan memperselisihkan persoalan ini. Malik berkata: Jika seorang wanita melihat darah setelah dua atau tiga hari, maka itu adalah nifas. Ketika jarak antara keduanya terlalu lama, maka darah tersebut adalah darah haid. Para sahabat as-Syafi’i berkata: Jika seorang wanita melihat darah satu hari satu malam setelah suci lima belas hari, maka di dalamnya ada dua pendapat: pertama adalah darah haid, kedua adalah darah nifas. Dari Ahmad dinukil dua riwayat: pertama adalah haid, dan kedua adalah darah nifas. Saya tidak mengetahui apa hikmah dari perbedaan pendapat seperti ini.
Apa arti dari memandang suatu darah itu termasuk haid atau nifas? Karena jika haid itu memiliki hukum yang berbeda dengan hukum nifas, tentu persoalan seperti ini harus diperhatikan. Namun ketika (sebenarnya) tidak ada perbedaan antara darah haid dan nifas, maka untuk apa hal seperti itu dibahas dan diperdebatkan?

Tinggallah kini poin terakhir yang diperselisihkan oleh para fuqaha, yakni: ketika seorang wanita melahirkan anak kembar, maka bagaimana masa nifasnya mesti diperhitungkan? Apakah awal dan akhir nifasnya itu disandarkan pada anak yang pertama, ataukah masa awal nifas disandarkan pada anak yang pertama sedangkan masa akhir nifas disandarkan pada anak yang terakhir? Ataukah awal dan akhir masa nifas itu disandarkan pada anaknya yang terakhir?
Malik, Abu Hanifah dan Ahmad (dalam satu riwayat darinya) berpendapat bahwa awal dan akhir nifas disandarkan pada anak yang pertama. Mereka beralasan: ketika jangka waktu nifas itu berakhir sejak melahirkan anak yang pertama, maka yang sesudahnya itu bukanlah nifas, karena darah yang keluar setelah kelahiran pertama merupakan darah pasca melahirkan sehingga dipandang sebagai nifasnya seorang diri, dan kelahiran yang lain disandarkan padanya, sebab awal nifas disandarkan pada kelahiran yang pertama maka begitu pula dengan akhir nifasnya. Abul Khaththab dan as-Syarif Abu Ja’far dari kalangan Hanabilah berkata: Awal nifas itu disandarkan pada kelahiran yang pertama, sedangkan akhir nifas disandarkan pada anak yang kedua. Keduanya berkata: Ketika anak yang kedua lahir maka masa nifas belum selesai sebelum nifas dari anak kedua itu selesai, karena itulah masa nifas menjadi lebih dari empat puluh hari bagi orang yang melahirkan anak kembar. Al-Qadhi Abul Hasan dari kalangan Hanabilah dan Zufar dari kalangan Hanafiyah berkata: Masa nifas itu disandarkan pada anak kedua saja, karena masa nifas itu ada masa yang berkaitan dengan kelahiran, sehingga awal dan akhir nifas disandarkan pada anak kedua sebagai masa 'iddah. Sedangkan para sahabat imam as-Syafi'i terbagi menjadi tiga pendapat seperti di atas.
Pendapat yang tepat menurut saya adalah yang menyatakan bahwa nifasnya itu dimulai dengan kelahiran anak yang pertama. Ini nampak jelas sekali. Pada prinsipnya nifas anak yang pertama inilah yang menjadi patokan awal dan akhir masa nifas. Tidak ada sesuatupun yang membatalkan atau merubah awal nifasnya ini sehingga terus berlangsung. Tetapi kemudian akhir masa nifas ini tertimpa nifas yang lain karena lahirnya bayi yang lain, karena yang kedua ini pun sama-sama bayi, sehingga sama-sama memiliki awal dan akhir masa nifas. Awal nifas anak kedua ini menyatu dengan nifas saudaranya (anak pertama), sedangkan akhir masa nifasnya tidak dirubah oleh sesuatupun. Adapun akhir nifas anak yang pertama itu bergabung dengan nifas anak yang kedua. Dengan demikian, nifas wanita yang melahirkan anak kembar dimulai dari permulaan nifas anak pertama, dan selesai pada akhir nifas anak kedua.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam