Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 05 September 2017

Dalil Orang Junub Dilarang Berdiam Di Masjid



1. Orang junub tidak boleh berdiam di masjid. Dia hanya diberi rukhshah (keringanan) untuk lewat saja, dengan berpegang pada salah satu ayat al-Qur'an:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air; maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (TQS. an-Nisa [4]: 43)

Ayat ini menyebutkan: (Jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi, yakni jika kalian junub maka cukup lewat di masjid saja hingga kalian mandi. Ketika sudah mandi, kalian bisa berdiam diri di masjid dan melakukan shalat. Penafsiran seperti inilah yang rajih; sedangkan menafsirkan aabirii sabiilin dengan musafirin itu keliru.

Saya terkagum-kagum dengan penafsiran Ibnu Jarir at-Thabari terhadap ayat ini. Berikut saya kutip penafsiran beliau dari kitabnya Jami'ul Bayan: [Penafsiran yang lebih baik dari dua penafsiran ayat tersebut adalah: sedang kamu dalam keadaan junub, illaa ‘aabirii sabiilin, yakni hanya sekedar berlalu saja di dalamnya. Hal ini karena Allah Swt. telah menjelaskan hukum musafir ketika tidak menemukan air; padahal dia dalam keadaan junub. Allah berfirman:

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”]

Hal ini bisa dimaklumi, tiada lain seandainya kalimat:



Itu memiliki makna: orang-orang musafir, niscaya pengulangan kata musafir dalam kalimat:

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir.”

Itu tidak bermakna apa-apa, karena hukumnya telah disebutkan dalam kalimat sebelumnya. Jika pengertiannya seperti yang aku sebutkan di awal, penafsiran ayat di atas sebaiknya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati masjid yang diperuntukkan untuk shalat lalu kalian shalat di dalamnya, padahal kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengetahui bacaan yang kalian sebutkan, dan jangan pula kalian mendekati masjid dalam keadaan junub hingga kalian mandi, kecuali hanya ‘abiiri sabiilin. Maksud al-‘abiru as-sabiil adalah orang yang berlalu saja.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib: Bahwasanya pintu rumah orang-orang Anshar itu berada di masjid, sehingga ketika mereka junub sedangkan mereka tidak memiliki air, maka mereka keluar untuk mencari air, padahal mereka tidak memiliki pintu keluar kecuali di dalam masjid. Maka Allah Swt. turunkan:

“Sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja.”

Riwayat ini menjelaskan dan memperkuat pendapat yang kami katakan di atas.

Di antara riwayat yang memperkuat pernyataan yang kami nyatakan di atas adalah hadits yang diriwayatkan Jabir:

“Orang yang junub suka lewat di masjid (sekedar lewat saja).” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mundzir dengan redaksi:

“Salah seorang dari kami suka lewat di dalam masjid, padahal dia dalam keadaan junub.”

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. datang, sedangkan di hadapan rumah-rumah para sahabat adalah jalan di dalam masjid. Maka beliau Saw. berkata: “Pindahkanlah pintu rumah-rumah ini agar tidak menghadap masjid.” Kemudian Rasulullah Saw. masuk, tetapi orang-orang itu tidak melakukan sesuatupun dengan harapan turun rukhshah (keringanan) terkait mereka. Lalu Rasulullah Saw. keluar lagi menemui mereka dan berkata: “Pindahkanlah pintu rumah-rumah ini agar tidak menghadap masjid. Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haid dan junub.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Dan Hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. memasuki halaman masjid ini, dan beliau berseru dengan sangat keras: “Sesungguhnya masjid itu tidak halal bagi orang junub dan haid.” (HR. Ibnu Majah dan at-Thabrani)

Maka saya katakan: Hadits Ibnu Majah ini dhaif (lemah).
Dalam kitab az-Zawaid dinyatakan: Sanad hadits ini dhaif, Mahduj itu tidak dipandang tsiqah, Abul Khaththab juga seorang yang tidak dikenal (majhul).
Karenanya hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Tinggallah kini hadits yang pertama yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Hadits Abu Dawud ini harus dipahami sebagai larangan berdiam diri (al-muktsu), bukan larangan untuk lewat (al-murur), karena hadits ini bersifat umum ('am), sedangkan hadits-hadits tentang al-murur itu telah ditakhsis, dan yang diamalkan adalah hadits yang khusus. Orang yang berpendapat bahwa orang junub boleh lewat di dalam masjid itu adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, as-Syafi’i dan at-Thabari.

Sedangkan orang yang berpendapat bahwa orang junub itu tidak boleh lewat di dalam masjid adalah Malik dan Abu Hanifah. Ahmad dan Ishaq menyatakan bolehnya orang junub lewat di dalam masjid jika dia berwudhu. Keduanya berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Atha bin Yasar:

“Aku melihat orang-orang dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. sedang duduk-duduk di dalam masjid, padahal mereka dalam keadaan junub, karena mereka telah berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.”

As-Syaukani menganggap hadits ini berasal dari Said bin Manshur. Kami bantah pendapat keduanya (Ahmad dan Ishak): bahwa di dalam hadits tersebut terdapat Hisyam bin Saad. Abu Hatim berkata: Hadits Hisyam tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Hisyam pun didhaifkan oleh Yahya bin Ma’in, an-Nasai dan Ahmad. Karena itu hadits tersebut dhaif, sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Dengan demikian nyatalah bahwa orang yang junub itu diperbolehkan untuk berlalu di dalam masjid, dengan tanpa berdiam diri, dan dengan demikian pula nyatalah kekeliruan dua pendapat lainnya.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam