Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 08 September 2017

Dalil Orang Kafir Masuk Islam Wajib Mandi



Kedua: Orang Kafir Masuk Islam

Pembahasan ini mencakup orang kafir yang baru pertama masuk Islam, dan orang yang masuk Islam setelah murtad, baik laki-laki ataupun perempuan. Para imam berbeda pendapat terkait mandinya orang kafir ketika masuk Islam. Mereka terbagi menjadi tiga pendapat besar:

1. Abu Hanifah dan as-Syafi’i dalam satu riwayat darinya berpendapat: orang kafir yang masuk Islam secara umum disunahkan untuk mandi. Dalam satu riwayat dari Abu Hanifah dikatakan mandi itu wajib bagi orang kafir yang sudah junub saja, tetapi belum mandi junub saat dia masih kafir, sehingga ketika dia sudah mandi junub (saat masih kafir) maka tidak wajib mandi (saat masuk Islam).

2. As-Syafi’i dalam riwayat keduanya berpedapat bahwa orang kafir itu wajib mandi ketika dia junub, baik dia sudah atau belum mandi sebelumnya.

3. Sedangkan Ahmad, Malik, Abu Tsur dan as-Syaukani berpendapat orang kafir itu mutlak harus mandi, baik yang sudah junub ataupun belum junub, sudah mandi dari junubnya ataupun belum mandi.

Dengan mencermati tiga pendapat ini, kita akan melihat bahwa tema pembicaraan berkisar pada persoalan janabah orang kafir.
Pendapat yang pertama telah menggeneralisir hukum sunah mandi bagi orang kafir. Ketika mandi itu sendiri merupakan hukum syara dan pembebanan hukum (taklif), dan ketika anak kecil itu tidak terkategorikan orang yang mukallaf, maka kita berketetapan bahwa anjuran mandi itu digeneralisir hanya untuk orang kafir yang baligh, tidak ragu lagi orang kafir yang baligh itu telah junub, sehingga pendapat yang pertama telah menggeneralisir orang kafir yang junub. Di dalam riwayat Abu Hanifah dari pendapat yang pertama, jelas nampak bahwa pembahasan mandi difokuskan pada masalah janabah (junub).

Pendapat kedua juga jelas, tema pembahasannya adalah janabah orang kafir.

Sedangkan pendapat ketiga difokuskan pada apakah dia sudah junub ataukah belum. Ketika positif alias sudah junub, maka jelas pendapat ketiga ini semisal dengan pendapat kedua, dan ketika negatif alias belum junub, maka pendapat ketiga ini mengeluarkan fokus pembahasan dari persoalan junub walaupun tetap berkaitan dengannya.
Penelitian ini menghantarkan kita pada kesimpulan bahwa mandi di sini adalah mandi junub yang harus dilakukan orang kafir ketika masuk Islam, seandainya tidak junub maka tidak perlu mandi. Pembahasan ini sudah semestinya dibatasi hanya pada orang kafir yang baligh saja, tidak mencakup anak-anak orang kafir, karena sebagaimana telah kami singgung sebelumnya bahwa mandi itu adalah taklif, dan orang kafir yang masih anak-anak itu tidak terkena taklif (ghair mukallaf).

Semua nash yang ada dalam persoalan ini harus diarahkan pada orang yang sudah baligh saja, tidak ada satu nash pun yang memerintahkan orang kafir yang masih anak-anak untuk mandi ketika mereka hendak masuk Islam.

Dengan menerima pendapat ini kita katakan, bahwa penganut pendapat ketiga keliru ketika mereka menyatakan, “atau yang belum junub” karena maksud ucapan seperti ini adalah anak kecil, padahal sudah menjadi prinsip agar tidak memasukkan anak kecil dalam pembahasan ini. Ketika mereka menetapkan mandi itu wajib, maka tidak dibenarkan mewajibkan sebuah taklif pada anak kecil (yang belum baligh).
Disebut keliru karena ada kategori negatif (belum junub) yang kami tunjukkan di atas.
Ketika kita mengeluarkan kategori negatif (ketidakjunuban) dari pembahasan ini, maka yang tersisa hanyalah pernyataan bahwa ketiga pendapat ini berporos pada janabah orang kafir. Ini yang pertama.

Yang kedua, riwayat dari Abu Hanifah dalam pendapat yang pertama juga mengandung kekeliruan yang nyata. Dikatakan keliru karena menganggap mandinya orang kafir itu sebagai mandi yang syar'i, padahal menjadi satu ma'lumat yang tidak boleh hilang dari benak seorang faqih, bahwa mandi itu adalah ibadah, dan ibadah itu tidak sah bila dilakukan orang kafir.
Pada prinsipnya, mandi orang kafir itu tidak dipandang sebagai mandi yang syar'i, terlebih lagi mandi itu memerlukan niat, di mana orang kafir hanya melakukan mandi dalam rangka menjaga kebersihan saja, bukan dalam rangka ibadah yang harus disertai dengan niat. Sekalipun ada orang yang mengatakan bahwa orang kafir ahli kitab itu mandi dengan niat dan mereka mandi dalam rangka ibadah (ta'abudi), maka kita katakan bahwa Islam tidak menganggap ibadah yang mereka lakukan sebagai ibadah yang syar’i.

Adalah benar bahwa Islam mengakui penganut agama lain dengan segala hak mereka untuk beribadah. Tetapi pengakuan ini hanya mengandung pengertian bahwa Islam mengizinkan mereka untuk beribadah, dan tidak menghalangi mereka dari beribadah.
Pengakuan ini tidak berarti Islam menganggap ibadah yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang sah menurut syara, yang bisa menghasilkan dampak seperti ibadah kita yang kita lakukan.
Seharusnya Abu Hanifah dan mereka yang sependapat dengan beliau tidak menetapkan adanya natijah (akibat) apapun di atas ibadah yang batil. Ketika mandinya orang kafir itu tidak bernilai apapun, maka kita menganggap mandi dan tidak mandinya mereka itu sama saja, tanpa perbedaan sama sekali.
Dengan menerima pendapat seperti ini kita bisa mengatakan bahwa yang tersisa dari riwayat Abu Hanifah adalah konsep yang mewajibkan mandi bagi orang yang sudah junub, dan pendapat ini mencakup pendapat ketiga.

Di hadapan kita saat ini tinggallah dua pendapat saja yang mesti diketahui dan didiskusikan: pendapat pertama menyatakan seorang kafir ketika masuk Islam itu disunahkan mandi, sedangkan pendapat kedua menyatakan seorang kafir ketika masuk Islam diwajibkan untuk mandi.
Agar kita bisa mengetahui pendapat mana yang shahih di antara keduanya itu, maka kita harus menelaah nash-nash yang berkaitan dengan persoalan ini. Nash-nash tersebut adalah:

1. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwasanya Tsumamah bin Utsal atau Utsalah masuk IsIam, lalu Rasulullah Saw. bersabda: “Bawalah orang ini menuju kebun bani fulan, lalu perintahkanlah dia untuk mandi.” (HR. Ahmad, Abdurrazaq, al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

2. Dari Khalifah bin Hushain bin Qais bin Ashim, dari ayahnya:

“Bahwasanya kakeknya masuk Islam pada masa Nabi Saw., lalu beliau Saw. memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun bidara.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)

3. Dalam Sirah Ibnu Hisyam yang diriwayatkan Muhammad bin Ishaq disebutkan kisah masuk Islamnya Usaid bin Hudhair. Usaid bertanya: Apa yang kalian lakukan ketika hendak masuk ke dalam agama ini? Mushab bin Umair dan As'ad bin Zurarah berkata: Engkau harus mandi, bersuci, membersihkan bajumu, kemudian bersaksilah terhadap kebenaran ini dengan sebenarnya, kemudian engkau shalat.

Kita cukup menggunakan tiga nash ini saja, seraya membuang dua hadits yang diriwayatkan at-Thabrani tentang masuk Islamnya Watsilah dan Qatadah ar-Rahawi, satu hadits yang diriwayatkan al-Hakim tentang masuk Islamnya Aqil bin Abi Thalib, karena tiga hadits ini memiliki sanad yang dhaif sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, sehingga ketiganya tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Dalam hadits yang pertama terdapat perintah untuk mandi dari Rasulullah Saw. kepada orang yang masuk Islam, yakni Tsumamah.
Ketika kita merujuk bagian awal hadits yang terdapat dalam kitab as-Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim-pen.) kita akan melihat bahwa Tsumamah ini sebelumnya sudah pergi dan sudah mandi, kemudian dia kembali lalu masuk Islam di hadapan Rasulullah Saw. Ini mengandung arti bahwa Tsumamah sudah mandi sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat. Dilalah hadits yang terdapat dalam kitab as-Shahihain ini tidak berbeda dengan dilalah yang ada dalam nash yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abdurrazaq, al-Baihaqi, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, karena tidak mungkin Tsumamah itu mandi tanpa perintah dari Rasulullah Saw. atau tanpa perintah dari sahabat beliau Saw. dan persetujuan beliau Saw., sehingga mandi yang dilakukannya didahului oleh perintah syar’i. Inilah yang bisa disimpulkan dari riwayat Ahmad dan selainnya.

Dalam hadits kedua terdapat perintah untuk mandi dari Rasulullah Saw. kepada orang yang masuk Islam, yakni Qais bin Ashim. Saya tidak sependapat dengan orang yang menyatakan bahwa perintah itu mengandung pengertian wajib kecuali jika ada qarinah yang merubahnya menjadi sunah atau mubah, karena jika sependapat seperti itu tentunya persoalan ini sudah selesai, dan nampak jelas bahwa mandi tersebut wajib hukumnya. Saya sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa perintah itu mengandung pengertian tuntutan yang mutlak, dan qarinahlah yang merubahnya menjadi wajib, sunah atau mubah.
Berdasarkan hal itu maka saya katakan: di dalam dua hadits ini terdapat perintah, dan di dalam perintah itu mengandung pengertian tuntutan, karena itu harus dicari qarinah yang akan menetapkan hukum yang dihasilkan.
Ternyata qarinah yang menetapkan perintah yang ada dalam dua hadits tersebut mengandung pengertian wajib adalah terdapat dalam hadits Sirah Ibnu Hisyam. Hadits ini walaupun mauquf sampai pada dua sahabat, tetapi berhukum marfu’, karena tidak mungkin dua orang sahabat melontarkan pernyataan seperti itu berdasarkan ijtihad dan bersumber dari pemikiran mereka sendiri. Hadits ini menyebutkan:

“Engkau harus mandi, bersuci, membersihkan dua bajumu, kemudian bersaksilah terhadap kebenaran ini dengan sebenarnya, kemudian engkau shalat.”

Dari hadits ini kita bisa mengambil beberapa pelajaran:

1. Pendapat ini sebagai bantahan pada mereka yang menggugurkan kewajiban mandi junub dari orang kafir ketika dia masuk Islam, di mana mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad dari jalur Amr bin al-Ash bahwasanya Rasulullah Saw. berkata padanya:

“Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya.”

Karena hadits Amr ini bersifat umum, sedang dua hadits yang kami pegang bersifat khusus. Tentunya sudah diketahui bahwa kita harus memprioritaskan dan mengamalkan yang khusus ketimbang yang umum.

2. Hadits ini menjadi dalil bahwa mandi tersebut adalah mandi dari janabah, karena hadits tersebut memerintahkan beberapa amalan (aktivitas) sebelum shalat dilakukan. Hadits tersebut memerintahkan mandi, bersuci, mencuci baju dan mengucap syahadat, harus dilakukan sebelum shalat, sehingga hadits ini menunjukkan orang kafir tidak boleh shalat kecuali setelah mandi, bersuci, mencuci baju dan masuk Islam.
Ketika perintah mandi dihubungkan dengan perintah shalat, maka ini menunjukkan bahwa mandi tersebut adalah mandi janabah, atau bila dihubungkan dengan kaum wanita itu sama dengan mandi dari haid.
Ketika kita mengetahui bahwa mandi junub dan mandi haid itu menjadi syarat sahnya shalat maka kita akan memahami bahwa mandi tersebut hukumnya wajib.

3. Tuntutan kepada orang kafir ketika masuk Islam untuk mencuci bajunya menunjukkan bahwa orang kafir tersebut dituntut untuk melaksanakan aktivitas bersuci secara lengkap sempurna sebelum melaksanakan shalat. Bersuci yang lengkap sempurna itu adalah mandi janabah, membersihkan baju dan badan dari najis, sedangkan berwudhu tentunya sudah termasuk ke dalam mandi, sebab kalau tidak termasuk ke dalamnya niscaya disebutkan hadits tersebut.
Ini mengandung arti bahwa orang kafir diwajibkan untuk melakukan berbagai prasyarat shalat sebelum melaksanakannya. Perintah pada orang kafir untuk mencuci bajunya menjadi argumentasi kuat untuk membantah mereka yang mengatakan bahwa orang kafir tidak diwajibkan melakukan apapun ketika keIslamannya. Mereka berargumentasi dengan hadits:

“Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya.”

Sebab jika hadits ini diamalkan atau digunakan dalam persoalan ini, niscaya orang kafir tersebut tidak akan diperintahkan untuk mandi, bersuci dan mencuci bajunya. Padahal kepada Rasulullah Saw. sendiri ketika turun risalah dan perintah berdakwah, beliau Saw. diperintahkan Allah Swt.:

“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (TQS. al-Muddatsir [74]: 4)

Berdasarkan tiga poin alasan ini kami katakan: sesungguhnya mandi tersebut adalah mandi junub, dan mandi tersebut tidak gugur dari orang kafir ketika dia masuk Islam. Ketika mandi tersebut adalah mandi junub, maka perintah yang terdapat di dalam dua hadits Rasulullah Saw. di atas harus dipahami sebagai sebuah kewajiban. Jika demikian halnya maka nampak jelas alasan dan kesimpulan yang benar dalam persoalan ini.

Adapun pernyataan mereka yang mensunahkan mandi: “Sesungguhnya dari sekian banyak orang kafir yang masuk Islam tidak diriwayatkan bahwa mereka telah mandi, lalu mereka diperintahkan kembali untuk mandi. Dan hal ini menjadi dalil bahwa mandi tersebut (mandi saat masuk Islam) itu tidak wajib, hukumnya hanya sunah saja,” padahal jelas di dalam hadits-hadits tersebut mengandung pengertian wajib. Dengan demikian, jelas dan tidak diragukan lagi bahwa mandi yang dilakukan orang kafir ketika masuk Islam itu adalah wajib hukumnya.

Tinggallah kini satu poin lagi, yakni pernyataan dari sebagian mereka bahwa mencukur rambut bagi orang kafir ketika masuk Islam itu disunahkan. Mereka berargumentasi dengan hadits Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya:

“Bahwasanya dia datang menemui Nabi Saw., lalu dia berkata: Aku hendak masuk Islam. Maka Nabi Saw. berkata kepadanya: “Buanglah rambut kekufuran darimu.” Dia berkata: Lalu aku bercukur. Dia berkata: Kemudian ada orang lain yang memberitahuku bahwasanya Nabi Saw. berkata pada yang lain: “Buanglah rambut kekufuran darimu dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud, at-Thabrani dan Ahmad)

Maka kami katakan: hadits ini adalah hadits dhaif, karena di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak diketahui identitasnya (majhul). Ibnu Juraij telah menyamarkan orang yang menyampaikan hadits ini kepadanya dari Utsaim, dan tidak ada satu hadits pun dari jalur yang shahih yang bisa dijadikan hujjah bahwa orang kafir itu harus mencukur rambutnya ketika masuk Islam.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam