Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 05 September 2017

Dalil Larangan Orang Junub Menyentuh Mushaf al-Qur’an



7. Seorang yang junub tidak boleh menyentuh mushaf. Hadits berikut menjelaskan persoalan tersebut: Dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Saw.:

“Bahwasanya Nabi Saw. menuliskan surat ketetapan untuk Penduduk Yaman, yang di dalamnya terdapat beberapa perkara yang wajib, sunah dan diyat. Ketetapan tersebut dibawa serta oleh Amr bin Hazm, lalu dia menyebutkan hadits tersebut. Di dalamnya disebutkan: Al-Qur'an tidak disentuh kecuali oleh orang yang suci. (HR. Baihaqi, ad-Daruquthni, al-Hakim dan at-Thabrani)

Hadits tersebut dihasankan oleh al-Hazimi. Hadits ini dikritik dan dilemahkan oleh sejumlah perawi hadits, tetapi di sisi lain juga dishahihkan dan diterima oleh banyak perawi.
Ibnu Hajar mengomentari hadits tersebut: Surat ketetapan yang dibawa Amr bin Hazm itu diterima oleh banyak orang.
Ibnu Abdil Barr berkata: Surat ketetapan tersebut hampir mirip hadits mutawatir, karena diterima oleh banyak orang.
Ya’qub bin Sufyan berkata: Aku tidak mengetahui kitab (surat ketetapan) yang lebih shahih dari surat ketetapan ini, karena para sahabat Nabi dan tabi’in merujuk padanya, seraya meninggalkan pendapat mereka.
Al-Hakim berkata: Umar bin Abdul Aziz dan az-Zuhri telah bersaksi bahwa kitab atau ketetapan tersebut shahih adanya.
Cukuplah kiranya Umar bin Abdul Aziz dan az-Zuhri sebagai saksi keabsahan hadits ini, sehingga hadits tersebut layak dijadikan sebagai hujjah.

Tinggallah kini sudut pandang dilalah-nya. As-Syaukani mengomentari kata thahir (suci) ini dengan mengatakan: “Sebenarnya lafadz musytarak ini bersifat global, sehingga tidak bisa ditentukan maknanya hingga ada lafadz lain yang menjelaskannya. Dan di sini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa maksudnya tidaklah seperti itu, berdasarkan hadits “orang mukmin itu tidak najis”. Ketika diterima asumsi tidak ada dalil yang menghalangi maksud hadits tersebut, niscaya penentuan dengan salah satu makna kontroversial ini sama dengan sebagai tarjih tanpa dalil yang mentarjih. Dan penentuan lafadz ”thahir” tersebut untuk seluruh maknanya sama saja dengan menggunakan lafadz musytarak pada seluruh maknanya, dan justru di sinilah persoalannya. Ketika diterima pendapat yang membolehkan menggunakan lafadz musytarak dengan seluruh maknanya sebagai pendapat yang tepat, tentunya keliru juga, karena adanya penghalang yakni hadits 'orang mukmin itu tidak najis'.”

As-Syaukani memandang lafadz thahir sebagai lafadz musytarak, sehingga harus ada dalil yang menentukan maksudnya, karena lafadz tersebut mencakup orang mukmin, orang yang bersuci dari junub, orang yang berwudhu, dan orang yang membersihkan najis dari tubuhnya. Semua pengertian ini dicakup oleh lafadz thahir (suci). Karena itu harus diketahui makna yang mana yang dimaksud oleh hadits ini. Inilah ringkasan pernyataan as-Syaukani ketika dia menolak hadits ini sebagai hujjah atas persoalan yang sedang kami bahas ini. Dia serupa dengan mereka yang menolak hadits ini dijadikan sebagai hujjah. Maka kami bantah pendapatnya itu dengan mengatakan:

Adalah benar bahwa kata thahir (suci) mencakup beberapa makna yang seluruhnya sudah disebutkan, tetapi mestinya ada qarinah yang bisa menentukan makna mana yang dimaksud, atau mengalihkan lafadz tersebut dari satu atau beberapa makna tertentu. Tidak mungkin di dalam hadits ini atau dalam hadits-hadits lainnya tidak ada qarinah. Ketika hadits ini hampir mencapai derajat mutawatir karena sedemikian populernya dan diterima banyak orang, baik dari kalangan sahabat atau non-sahabat, maka tidak mungkin di dalamnya atau dalam hadits-hadits lainnya tidak ada qarinah yang menentukan makna yang dimaksud.
Sebab terdapat fakta bahwa mereka menerima hadits tersebut, ini menunjukkan bahwa mereka mengambilnya sekaligus mengamalkannya, bukan sekedar menunjukkan dan mendengarnya saja tetapi bingung memahaminya. Tidak mungkin hadits ini bisa populer dan diterima seperti itu seandainya memiliki makna muhtamal dan dilalah yang global lagi samar, asumsi seperti itu tertolak. Kaum Muslim telah bersepakat atau hampir bersepakat, bahwa pengertiannya adalah al-Qur'an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci dari dua hadats, yakni hadats besar dan hadats kecil. Bahkan para imam yang membolehkan orang yang tidak punya wudhu menyentuh mushaf sekalipun tidak memungkiri penafsiran ini. Mereka hanya menolak dan mendhaifkan hadits ini, sehingga mereka tidak berhujjah dengannya.

Salah satu makna lafadz at-thaahir adalah al-mukmin (orang yang beriman), ketika disandarkan pada hadits:

“Orang mukmin itu tidak najis.”

Sebagaimana dinyatakan oleh as-Syaukani, adalah benar adanya. Akan tetapi qarinah telah mengalihkannya dari makna ini. Hadits Amr bin Hazm ini berisi pernyataan Rasulullah Saw. yang dikirimkan untuk penduduk negeri Yaman, dan mereka adalah Muslim; maksudnya penduduknya itu suci. Hadits ini merupakan seruan pada mereka, sehingga ketika lafadz at-thahir ini ditafsirkan dengan kata mukmin, maka pengertian hadits tersebut akan seperti ini:

‘Wahai orang-orang yang suci, tidak ada seorangpun di antara kalian yang boleh menyentuh mushaf kecuali jika suci.’

Bentuk mufradnya adalah:

‘Janganlah engkau menyentuh mushaf wahai orang suci, kecuali jika engkau suci.’

Ini merupakan penakwilan yang rusak sehingga harus ditolak. Karena andai saja makna ini yang dimaksudkan Rasulullah Saw., yakni seandainya maksud beliau Saw. adalah al-Qur’an itu tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang beriman, niscaya beliau Saw. akan mengatakan:

‘Al-Qur'an tidak boleh disentuh oleh orang musyrik, atau mushaf tidak boleh disentuh oleh orang kafir.’

Ketika beliau Saw. tidak menggunakan ungkapan seperti itu, maka menunjukkan bahwa hadits tersebut memiliki makna yang lain.

Bahwa salah satu makna lafadz at-thahir adalah orang yang membersihkan najis, sebagaimana yang dikatakan as-Syaukani, maka ini pun benar. Tetapi masalah membersihkan najis itu ada dua macam, bukan satu macam. Orang yang membersihkan najis dari badannya disebut mutathahhir dan thaahir, dan orang yang membersihkan najis dari pakaiannya juga disebut thaahir dan mutathahhir. Apakah pengertian yang dimaksud hadits ini adalah orang yang membersihkan najis yang pertama ataukah yang kedua? Tidak ada sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa dalam menyentuh mushaf itu perlu mensucikan badan dan baju, atau mensucikan salah satunya dengan alasan hadits ini. Kaum Muslim, baik salaf maupun khalaf, telah sepakat tidak menggunakan makna atau pengertian tersebut terhadap hadits ini, sehingga ketika as-Syaukani menyampaikan beberapa kemungkinan pengertian ini semata-mata bersifat teoritis belaka.

Selain itu, di hadapan kita ada sejumlah nash yang memerintahkan mensucikan (membersihkan) badan dan pakaian dari najis. Nash-nash tersebut menyebutkan dengan jelas salah satu kondisi yang dimaksudnya dari dua kategori membersihkan najis tersebut. Ayat al-Qur'an menyatakan:

“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (TQS. al-Muddatsir [74]: 4)

Ayat tersebut jelas menyebutkan pakaian. Hadits Nabi Saw. menyatakan:

“Bagaimana dengan madzi yang mengenai bajuku? Maka beliau Saw. berkata: Engkau cukup menciduk air setelapak tangan, lalu mengucurkannya ke atas bajumu itu.” (HR. at-Thabrani)

Hadits tersebut menyebutkan baju atau pakaian sebanyak dua kali. Hadits yang lain menyatakan:

“Kemudian cucilah madzi itu (supaya hilang) dari kemaluan dan dua testismu.” (HR. Abu Dawud)

Hadits tersebut menyebutkan bagian badan yang dimaksudnya. Ada hadits yang menyatakan:

“Wanita itu bertanya: Baju salah seorang dari kami terkena darah haid.” (HR. Muslim)

Hadits tersebut tidak mengatakan:

Salah seorang dari kami terkena darah haid.

Hadits lain mengatakan:

“Wanita tersebut bertanya kepada Aisyah tentang darah haid yang mengenai bajunya.”

Hadits lain mengatakan:

“Maka cucilah bagian baju yang terkena darah tersebut.”

Demikianlah, hadits tersebut menyebutkan tempat yang terkena najis dan menyatakannya dengan lafadz yang jelas. Siapa saja yang menelaah dan mengetahui nash-nash ini, niscaya akan memahami bahwa thaharah (bersuci) itu tidak bermakna mencuci atau membersihkan najis, kecuali jika disertai qarinah yang mengarahkannya pada pengertian menghilangkan najis. Dengan persepsi seperti inilah kita harus memahami hadits yang sedang kita bahas.
Lafadz at-thaahir dalam hadits tersebut tidak mungkin ditafsirkan dengan al-mu'min (orang yang beriman) dan al-mutathahhir min an-najasah (orang yang membersihkan najis), sehingga lafadz at-thaahir tersebut hanya ditafsirkan dengan orang yang menghilangkan hadats besar dan kecil saja, sehingga hadits tersebut memerintahkan (membersihkan diri dari) salah satu hadats tersebut atau keduanya sekaligus, tidak ada kemungkinan yang ketiga.

Ketika kita berhasil memahami poin ini, maka kita akan melihat bahwa sebenarnya masalah ini mudah dan berdekatan, karena kedua makna tersebut saling berkaitan dan tidak terlalu jauh. Di antara keduanya juga ada pemisah yang tidak terlalu lebar, tidak seperti antara hadats dengan mu'min, atau antara mu'min dengan mutathahhir min an-najasah (orang yang membersihkan najis).
Hadats besar dan hadats kecil merupakan satu kategori atau satu jenis. Karena itulah keduanya disebut hadats besar dan hadats kecil, karena keduanya sama-sama hadats, dan seseorang otomatis berhadats kecil saat mengalami hadats besar. Ketika hendak memerintahkan keduanya, syara mengatakan: Bersucilah kalian atau hilangkanlah hadats, misalnya. Adapun ketika hendak memerintahkan salah satunya, maka syara menyebutkannya secara spesifik: Berwudhulah kalian untuk menghilangkan hadats kecil, dan hilangkanlah karena merupakan hadats besar, begitu seterusnya. Ketika hadits tersebut menyatakan:

“Wahai orang yang beriman, janganlah kamu menyentuh mushaf kecuali telah bersuci, atau kecuali kamu dalam keadaan suci.”

Lafadz suci tersebut harus diarahkan pada dua hadats tersebut, tidak boleh diarahkan pada salah satu hadats saja, kecuali jika ada qarinah, dan di sini tidak ada qarinah yang mengarahkannya untuk satu hadats saja.

Di sini tidak ada qarinah yang mengarahkan lafadz thaharah itu pada thaharah yang tidak utuh sempurna. Berdasarkan paparan di atas, kita mendapatkan pendapat yang rajih, bahwa menyentuh mushaf tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang bersih dari dua hadats, hadats besar dan hadats kecil. Inilah pendapat jumhur imam dan fuqaha.

Saya ingin menunjukkan bahwa sejumlah fuqaha ternyata tidak hanya berargumentasi dengan hadits Amr bin Hazm di atas. Mereka juga berargumentasi dengan ayat al-Qur’an. Mereka menyatakan bahwa ayat 77-80 surat al-Waqiah:

“Sesungguhnya al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.”

(Mereka mengatakan) ayat “tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan” menunjukkan bahwa seorang Muslim harus bersuci ketika hendak menyentuh al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut diawali dengan lafadz: al-Qur'an itu bacaan yang mulia, kemudian setelahnya disebutkan tiga karakter al-Qur’an yakni: "terdapat pada kitab yang mulia”, “tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan”, dan “diturunkan dari Rabbul alamin.” Mereka (menyatakan seperti itu karena) menjadikan dhamir (kata ganti) dalam frase yamassuhu kembali pada kata al-Qur’an, sehingga mereka menganggap ayat-ayat ini menjadi dalil atau argumentasi pendapat mereka.

Menurut hemat saya, ayat-ayat ini tidak menunjukkan pendapat mereka, sehingga sebaiknya mereka cukup berargumentasi dengan hadits Amr bin Hazm saja. Dalam mengambil kesimpulan dari ayat ini, Ibnu Taimiyah telah melontarkan pendapat yang cukup aneh, dia menyatakan: Sesungguhnya dilalah isyarah dari ayat ini menunjukkan hukum “tidak boleh menyentuh al-Qur'an”. Ketika Allah Swt. mengabarkan bahwa shuhuf yang disucikan yang berada di langit itu tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan, maka shuhuf yang ada di tangan kita ini pun tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci.
Ibnu Taimiyah mengakui bahwa ayat-ayat ini tidak menunjukkan pendapat yang dilontarkannya, kecuali dengan dilalah isyarah, karena sebenarnya nampak nyata bahwa ayat-ayat ini menunjukkan yang menyentuh mushaf itu adalah malaikat yang disucikan, bukan manusia yang suci.
Ibnu Taimiyah telah keliru ketika tidak berpijak pada madlul (maksud dan pengertian) ayat-ayat ini. Dia malah melakukan analogi (qiyas) yang tidak shahih, ketika dia menganalogikan kesucian manusia dengan malaikat.
Telah dimaklumi bahwa isyarah itu memiliki satu bab di dalam ushul fiqih yang mereka sebut dengan mafhum isyarah. Dan di sini mafhum tersebut tidak bisa diamalkan, karena tidak ada seorang ahli ushul pun yang menganalogikan manusia dengan malaikat, sehingga pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut jelas merupakan pendapat yang asing dan lemah.

Dengan mengkaji ayat surat al-Waqi’ah tersebut kita melihat bahwa ayat:

“Tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan.”

Ini berbicara tentang al-kitab al-maknun (kitab yang terpelihara) yang ada di langit, yang disentuh oleh malaikat yang disucikan. Ayat ini tidak berbicara tentang al-Qur’an yang disentuh oleh kaum Muslim yang suci. Alasannya adalah sebagai berikut:

Telah dimaklumi dalam Bahasa Arab, bahwa dhamir (kata ganti) itu kembali pada kata benda yang paling dekat (isim aqrab) yang layak dirujuknya. Dhamir itu bisa kembali pada kata benda yang lebih jauh (isim ab'ad) jika isim aqrab-nya tidak layak menjadi tempat kembalinya, atau terdapat qarinah yang menetapkan bahwa isim ab’ad itulah yang menjadi tempat kembalinya dhamir tersebut.
Selain dalam dua kondisi ini, prinsip dhamir harus seperti yang telah kami sebutkan. Dalam ayat-ayat di atas, dhamir yamassuhu (dhamir mudzakkar ghaib/kata ganti ketiga tunggal laki-laki) ini didahului oleh dua isim, yakni lafadz “al-Qur’an” dan lafadz “Kitab”. Lafadz “al-Qur’an” adalah kata benda yang jauh (isim ab'ad), sedangkan lafadz “Kitab” adalah kata benda yang dekat (isim aqrab). Dan dhamir mudzakkar ghaib tersebut layak dikembalikan pada lafadz “al-kitab”, dan al-kitab ini merupakan lafadz isim yang lebih dekat (aqrab).
Pada prinsipnya memang dhamir yamassuhu harus dikembalikan pada kata “al-kitab” beradasarkan dua sebab ini, karena memang tidak ada qarinah yang mengarahkan tempat kembalinya dhamir tersebut pada lafadz al-Qur’an. Bahkan qarinah yang ada justru menegaskan bahwa tempat kembalinya dhamir tersebut adalah lafadz “Kitab”, sehingga ayat-ayat tersebut memiliki pengertian: Sesungguhnya ini merupakan bacaan al-Qur’an yang terdapat dalam kitab, dan kitab ini tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan. Sedangkan ayat terakhir:

“Diturunkan dari Rabbil 'alamiin.”

Ayat ini menjadi sifat bagi lafadz “al-Qur'an”, bukan sifat bagi lafadz “al-kitab”, dengan qarinah adanya lafadz tanziil (diturunkan). Pengertian lafadz ini tidak layak digunakan sebagai sifat bagi al-kitab yang disimpan dan dipelihara, karena al-kitab al-maknun itu tidak diturunkan, yang diturunkan itu adalah al-Qur’an, sehingga ayat “diturunkan dari Rabbul alamin” menjadi sifat bagi lafadz “al-Qur’an”, bukan menjadi sifat bagi lafadz “al-kitab al-maknun”.
Sebelumnya kami telah mengatakan: bahkan qarinah yang ada justru menegaskan bahwa tempat kembalinya dhamir tersebut adalah lafadz “al-Kitab”, maka di sini kami katakan bahwa qarinah tersebut adalah lafadz: al-muthahharun. Lafadz ini merupakan sebutan untuk malaikat, bukan sebutan untuk manusia. Agar kita bisa memahami dalil yang menunjukkan hal tersebut, sebaiknya kita mencermati beberapa ayat al-Qur'an berikut:

1. Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 25:

“Dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.”

2. Firman Allah Swt. dalam surat Ali Imran ayat 15:

“Mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah.”

3. Firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa ayat 57:

“Mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.”

4. Firman Allah Swt. dalam surat Abasa ayat 12, 13 dan 14:

“Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya; di dalam kitab-kitab yang dimuliakan; yang ditinggikan lagi disucikan; di tangan para penulis (malaikat) yang mulia lagi berbakti.

5. Firman Allah Swt. dalam surat al-Bayyinah ayat 2:

“(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Qur’an).

6. Firman Allah Swt. dalam surat al-Waqi’ah ayat 79:

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”

Kita akan melihat bahwa ayat yang pertama menyebut wanita penghuni Surga sebagai muthahharah (wanita yang suci), begitu pula ayat kedua dan ketiga.
Sedangkan ayat yang keempat menyebutkan shuhuf sebagai sesuatu yang disucikan (muthahharahi), begitu pula dengan ayat kelima.
Sedangkan ayat keenam menyebut mereka yang menyentuhnya itu adalah muthahharun (yang disucikan).
Ketika diteliti, kita akan menemukan adanya titik persamaan (qasim musytarak) di antara lafadz-lafadz ini, yakni bahwa pensucian ini hanya dilakukan oleh Allah Swt. tanpa campur tangan pihak lain. Isteri-isteri di Surga disucikan Allah Swt., sehingga mereka suci selamanya; shuhuf disucikan Allah Swt; para malaikat disucikan Allah Swt; di mana para isteri, shuhuf dan malaikat itu tidak ikut campur mensucikan atau membersihkan dirinya, sehingga sifat atau karakter yang ada disebutkan dengan lafadz seperti itu.

Kemudian mari kita lihat dua ayat al-Qur'an berikut:

1. Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 222:

“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

2. Firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah ayat 108:

“Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.”

Kita melihat ayat yang pertama menyebutkan kaum wanita di dunia dengan lafadz: tathahharna, dan isim fa’il dari lafadz tathahhara adalah mutathahhir. \Ayat tersebut menyebutkan kaum Muslim dengan lafadz al-mutathahhirun.
Sedangkan ayat kedua menyebutkan kaum lelaki yang membersihkan diri sebagai al-muththahhirin, dengan mentasydid huruf tha yang diberi harakat fathah, dan juga mentasydid huruf ha yang diberi harakat kasrah.

Dengan mencermati lafadz-lafadz ini, kita akan melihat ada titik persamaan di antara lafadz-lafadz tersebut, yakni bersuci yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, dan ini diungkapkan dengan lafadz-lafadz al-muththahhirin, al-mutathahhirin, dan tathahharna, dan isim fa'il-nya adalah mutathahhiratun, yakni orang yang membersihkan dirinya disebut mutathahhir atau muththahhir, tidak disebut muthahhar; dan mereka yang disucikan Allah Swt. tidak seorangpun yang disebut mutathahhir atau muththahhir, melainkan disebut muthahhar atau muthahharun.
Begitulah, perbedaan tersebut sangat jelas sekali, sehingga setiap yang disucikan atau dibersihkan Allah Swt. tanpa bantuan pihak lain itu adalah muthahhar, dan setiap yang mensucikan atau membersihkan dirinya itu adalah mutathahhir atau muththahhir. Inilah beberapa lafadz yang digunakan al-Qur’an, dan dengan menerapkannya terhadap ayat surat al-Waqi’ah kita akan melihat bahwa firman Allah Swt.:

“…muththahharuun”

Maksudnya adalah mereka yang disucikan Allah Swt., sehingga jelaslah maksud lafadz ini adalah malaikat, bukan manusia.

Berdasarkan semua paparan di atas, jelaslah yang dimaksud ayat surat al-Waqi'ah adalah para malaikat, bukan manusia. Makna inilah yang cenderung dipilih Imam Malik, yang disebut-sebut oleh al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya: Pendapat inilah yang dipilih oleh Malik, di mana dia berkata: Pendapat terbaik yang pernah aku dengar tentang firman Allah Swt.: laa yamassuhuu illal muththahharuun adalah sama dengan ayat yang ada dalam surat Abasa wa tawalla:

“Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya; di dalam kitab-kitab yang dimuliakan; yang ditinggikan lagi disucikan; di tangan para penulis (malaikat); yang mulia lagi berbakti.” (TQS. Abasa [80]: 12-16)

Maksudnya adalah kata muthahharin tersebut artinya adalah malaikat yang disifati dengan “makhluk yang disucikan” yang disebutkan dalam surat Abasa.

Di antara mereka yang menafsirkan laa yamassuhuu illal muththahharuun adalah para malaikat, dan al-kitab al-maknun adalah kitab yang berada di langit, di mana nama-namanya dicantumkan at-Thabari dalam kitab tafsirnya adalah Ibnu Abbas, Mujahid, ad-Dhahhak, Jabir bin Zaid, Ibnu Nahik, Said bin Jubair, Ikrimah dan Abul Aliyah.
Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa Ibnu Taimiyah melontarkan pendapat yang sama, walaupun berbeda dengan mereka dalam kesimpulan yang diambilnya. Dengan demikian, jelas bahwa di dalam ayat al-Qur’an tidak terdapat dilalah yang menunjukkan bahwa menyentuh mushaf itu perlu berwudhu, sehingga (untuk menetapkan menyentuh mushaf mesti berwudhu) cukup dengan hadits Amr bin Hazm saja.

Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang berhadats besar tidak boleh menyentuh mushaf, dan tidak ada yang berbeda pendapat dalam masalah tersebut selain Dawud.
Adapun mereka yang mensyaratkan dalam menyentuh mushaf itu harus suci dari dua hadats sekaligus adalah: Ali, Ibnu Mas’ud, Saad, Said, Ibnu Umar, Hasan, Atha, Thawus, al-Qasim bin Muhammad, Malik, az-Zuhri, al-Hakam, Hammad, as-Syafi’i, ashhabur ra'yi dan Ahmad.
Ibnu Qudamah berkata: “Kami tidak mengetahui orang yang berbeda pendapat dengan mereka ini, kecuali hanya Dawud saja, di mana dia membolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudhu. Dia berhujjah bahwasanya Nabi Saw. menuliskan ayat di dalam surat yang dikirimkannya kepada Kaisar. Al-Hakam dan Hammad membolehkan menyentuh mushaf dengan punggung telapak tangan, karena alat untuk menyentuh itu adalah bagian dalam telapak tangan, sehingga larangan dipahami seperti itu.”

Al-lakam dan Hammad termasuk orang yang menyatakan ketidakbolehan menyentuh mushaf (tanpa berwudhu), tetapi keduanya membatasi larangan menyentuh itu dengan bagian dalam telapak tangan saja, bukan dengan punggung telapak tangan.
Adapun dalil Dawud itu lemah sekali, karena kita sedang membahas menyentuh mushaf, bukan sedang membahas menyentuh kertas yang di dalamnya ada ayat al-Qur’an atau sebagian ayat al-Qur’an. Mushaf itu adalah satu kata yang memiliki arti tertentu (dilalah ma'lumah). Ketika sesuatu itu dipandang sebagai mushaf, maka sesuatu itu haram disentuh tanpa berwudhu, dan ketika dipandang bukan mushaf maka sah-sah saja untuk disentuh.
Karena itu kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab fiqih boleh disentuh, walaupun di dalamnya banyak ayat al-Qurlan, karena kitab-kitab tersebut bukan mushaf.
Begitu pula surat Rasulullah Saw. kepada Heraklius, itu bukan mushaf sehingga boleh disentuh. Seluruh perbincangan kita ini adalah terkait menyentuh mushaf, bukan yang lain.
Karena itu pula jika aktivitasnya tidak dianggap sebagai menyentuh maka boleh dilakukan secara mutlak, seperti melihat mushaf, membawanya dengan gantungan, menyentuhnya dengan kayu/tongkat, maka semua itu boleh. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Qudamah, dan pendapat seperti ini diriwayatkan dari al-Hasan, Atha, Thawus, as-Sya’biy, al-Qasim, al-Hakam, Abu Wail dan Hammad.
Tetapi tindakan seperti itu dilarang oleh al-Auza’iy, Malik dan as-Syafi’i, karena ketiganya menganalogikan membawa dengan menyentuh, dan beralasan sebagai pengagungan terhadap al-Qur’an. Tetapi analogi (qiyas) mereka ini tidak bisa dibenarkan, karena membawa al-Qur’an dengan gantungan dan menyentuhnya menggunakan kayu tidak memiliki kesamaan ‘illat dengan menyentuh.
Lagi pula keduanya merupakan perbuatan yang tidak menafikan pengagungan terhadap al-Qur'an.
Sedangkan dalam kasus pelajar sekolah yang menyentuh mushaf (tanpa kondisi suci), terdapat dua pendapat, tetapi menurut saya pendapat yang paling rajih adalah tetap dilarang, kecuali jika mereka belum baligh maka tidak apa-apa, karena mereka belum terkena taklif (ghair mukallaf).

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam