Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 05 September 2017

Dalil Haram Orang Junub Membaca al-Qur’an



8. Dalam masalah orang junub membaca al-Qur’an, dua hadits berikut menyinggungnya:

a. Dari Ali ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. membuang hajat, kemudian keluar, lalu membaca al-Qur’an dan makan daging bersama kami. Tidak ada sesuatupun yang menghalangi dirinya dari al-Quran selain junub.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Rasulullah Saw. membaca al-Qur’an dalam setiap kondisi selain junub.”

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar.

b. Dari Ali ra., dia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu lalu membaca sesuatu dari al-Qur'an, kemudian beliau Saw. bersabda: “Al-Qur'an ini boleh untuk siapa saja selain yang junub. Orang yang junub tidak boleh membaca al-Qur’an, bahkan satu ayat sekalipun.” (HR. Ahmad dan Abu Ya'la)

Al-Haitsami berkata: Para perawi hadits ini orang-orang tsiqah.

Para imam yang empat dan selainnya telah mengharamkan orang yang junub membaca al-Qur'an (qira'atul qur'an). Pendapat seperti ini diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Atha, dan Thawus.
As-Syafi’i menyatakan haramnya orang junub membaca ayat al-Qur'an, baik kurang dari satu ayat atau lebih dari satu ayat.
Abu Hanifah menyatakan haramnya membaca satu ayat dan yang lebih dari satu ayat. Sedangkan membaca kurang dari satu ayat, maka bukan al-Qur’an.
Tetapi sebagian sahabat Abu Hanifah membolehkan membaca al-Qur’an (qira’atul qur’an) bagi orang yang junub untuk selain tilawah.

Beberapa fuqaha lainnya berbeda lagi pendapatnya dengan mereka. Mereka membolehkan orang junub membaca al-Qur’an, di antara mereka ada Ibnu Abbas, as-Sya'biy, ad-Dhahak, al-Bukhari, at-Thabari, Ibnu al-Mundzir, Dawud dan as-Syaukani.
Dia (as-Syaukani) berkata: Tidak ada satupun hadits yang shahih dari Rasulullah Saw. yang layak digunakan sebagai hujjah mengharamkan orang junub membaca al-Qur'an. As-Syaukani kemudian mengutip hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Ibnu Abbas, bahwasanya Ibnu Abbas memandang tidak ada masalah orang junub membaca al-Qur’an. Juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa dia berkata:

“Nabi Saw. selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatan.” (HR. Muslim)

As-Syaukani menambahkan: Juga dengan alasan al-bara’ah al-ashliyah, hingga bisa dibuktikan validitas dalil yang mentakhsis lafadz umum ini, dan mengalihkannya dari al-bara'ah al-ashliyah.

Pendapat yang saya pegang adalah: orang junub haram membaca al-Qur’an, sedangkan as-Syaukani dan orang-orang yang sependapat dengannya dipandang telah melontarkan pendapat yang kurang tepat, alasannya:

1. Sesungguhnya pernyataan as-Syaukani bahwa tidak ada satu hadits pun yang shahih dari Rasulullah Saw. yang layak digunakan sebagai dalil mengharamkan al-Qur'an itu tertolak dengan hadits Ali yang pertama, yang diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Sakan dan al-Baghawi, juga dihasankan oleh Ibnu Hajar. Hadits ini layak digunakan sebagai hujah.

2. As-Syaukani mengutip hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwasanya Ibnu Abbas tidak melihat ada masalah bagi orang junub membaca al-Qur’an, maka ini merupakan kutipan yang tidak sah, karena ucapan sahabat itu bukan dalil, terlebih lagi ketika bertentangan dengan hadits marfu' yang shahih atau hasan seperti hadits Ali yang pertama dan kedua di atas.

3. As-Syaukani mengutip hadits yang diriwayatkan Aisyah ra., bahwasanya Rasulullah Saw. senantiasa berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatan. Ini pun merupakan kutipan yang telah ditakhsis oleh dua hadits Ali di atas, karena hadits Aisyah berbentuk umum, sedangkan dua hadits Ali tersebut telah ditakhsis. Dalil yang telah ditakhsis lebih diprioritaskan daripada dalil yang masih umum, dan tidak terdapat kontradiksi di antara hadits-hadits tersebut.
Rasulullah Saw. senantiasa berdzikir kepada Allah Swt. dalam setiap kesempatannya, di antaranya kondisi junub dengan beragam bentuk dzikir, kecuali membaca al-Qur'an.

4. Adapun ucapannya: juga dengan alasan al-bara'ah al-ashliyah hingga bisa dibuktikan validitas dalil yang mentakhsis lafadz umum ini, dan mengalihkannya dari al-bara'ah al-ashliyah, maka kami bantah ucapan tersebut dari dua sisi:

a. Hadits yang mentakhsis keumuman ini terbukti shahih, sehingga layak digunakan sebagaimana telah kami jelaskan.

b. Sesungguhnya alasan al-bara'ah al-ashliyah itu tidak benar, karena al-bara'ah al-ashliyah itu berkaitan dengan hukum benda, bukan hukum perbuatan. Ketika kita belum mengetahui hukum suatu benda: apakah sudah disampaikan oleh dalil ataukah belum, maka kita sertakan benda tersebut pada al-bara'ah al-ashliyah, yakni hukum mubah, sedangkan terkait perbuatan maka harus ada hukumnya berdasarkan nash-nash ataupun berdasarkan qiyas. Kaidah ushul menyatakan:

“Hukum asal benda itu adalah mubah, sedangkan hukum asal perbuatan itu harus terikat (dengan hukum syara).”

Kaidah ushul ini tidak ditentang kecuali oleh segelintir ulama saja.

Di sini saya tidak akan membuktikan kebenaran kaidah ini, karena memang pada prinsipnya perbuatan seorang Muslim harus terikat dengan hukum syara. Ketika kita telah mengetahui hukum suatu perbuatan, maka kita harus mematuhinya, dan ketika kita belum mengetahuinya maka kita jangan dulu melakukannya hingga kita menemukan satu nash atau menemukan qiyas.
Tidak mungkin ada perbuatan yang tidak ada nash atau tidak bisa diqiyas, karena syariat itu telah sempurna.
Aktivitas membaca yang dilakukan orang junub itu adalah perbuatan, sehingga pasti ada nash atau qiyas tentangnya.
Berdasarkan hal ini, jelaslah kelemahan pendapat as-Syaukani dan orang yang sependapat dengannya, sehingga pendapat jumhur (mayoritas ulama) itulah yang shahih.

Sekarang kita beralih pada persoalan yang diperselisihkan oleh as-Syafi’i dan Abu Hanifah tentang kadar bacaan al-Qur’an yang boleh dibaca orang junub.
As-Syafi’i melarang orang junub membaca satu ayat atau kurang dari satu ayat.
Sedangkan Abu Hanifah membolehkan membaca yang kurang dari satu ayat.
Pendapat yang benar yang harus kita pegang adalah orang junub itu dilarang membaca al-Qur’an, yakni membaca sesuatu yang layak disemati dengan istilah al-Qur’an, dan dia boleh membaca sesuatu yang tidak layak disemati dengan istilah al-Qur’an. Inilah pendapat yang harus dipegang, karena hadits mengatakan:

“Tidak ada sesuatupun yang menghalangi dirinya dari al-Qur’an selain junub.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Tinggallah kini harus kita ketahui ukuran yang layak disemati dengan istilah al-Qur’an, sehingga kemudian kita bisa mengetahui mana yang benar dan salah dari pendapat Abu Hanifah dan as-Syafi’i ini.

Panjang pendeknya ayat al-Qur’an itu bervariasi. Ayat tentang utang-piutang (ad-dain) dan ayat kursi yang terdapat dalam surat al-Baqarah terdiri dari beberapa baris. Tetapi ada ayat yang hanya terdiri dari satu atau setengah baris saja. Ketika kita membaca setengah atau seperempat ayat utang-piutang (al-Baqarah: 282) maka pendengarnya bisa memastikan bahwa kita sedang membaca al-Qur'an. Begitu pula ketika kita membaca setengah atau seperempat ayat kursi (al-Baqarah: 255). Contoh lain, ketika yang dibacanya itu hanya satu bagian dari suatu ayat
maka kita sama saja sudah membaca al-Qur’an, dan pendengarnya pun bisa memastikan bahwa kita membaca al-Qur’an.

Ketika perkara yang diharamkan bagi orang yang junub itu adalah membaca al-Qur’an, yakni membaca sesuatu yang layak disemati dengan istilah al-Qur’an, maka seorang yang junub haram membaca satu bagian dari ayat kursi di atas misalnya, atau ayat-ayat yang panjang lainnya.
Namun dia tidak haram membaca sesuatu yang tidak layak disemati dengan istilah al-Qur’an berupa bagian atau penggalan dari ayat-ayat yang pendek, seperti bagian atau penggalan dari ayat surat al-Kafirun, ayat surat an-Nashr dan ayat dari surat pendek lainnya.
Begitulah, yang dijadikan patokan adalah ukuran yang bisa disebut sebagai al-Qur’an, dan berlaku pula untuk seluruh bagian ayatnya.

Mengenai membaca satu ayat secara lengkap atau bahkan lebih dari satu ayat, maka hadits di atas memastikan ketidakbolehannya dengan menyatakan:

“(Orang yang junub tidak boleh membaca al-Qur’an), bahkan satu ayat sekalipun.”

Ayat manapun, tanpa melihat lagi panjang pendeknya, tidak halal dibaca secara lengkap oleh orang yang junub.

Dengan demikian, as-Syafi’i benar kalau yang dimaksudkannya adalah ayat-ayat yang panjang, yang ketika dibaca satu bagian darinya maka sisa ayatnya masih tetap sebagai al-Qur’an.
Dan Abu Hanifah benar juga kalau maksudnya adalah ayat-ayat yang pendek, yang ketika dibaca satu bagian darinya maka sisa ayatya sudah bukan al-Qur’an.
Selain daripada itu maka kedua pendapat tersebut tidak cermat dan tidak tepat. Bagi saya, inilah pendapat yang rajih dan pendapat yang ditunjukkan oleh dua hadits di atas.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam