Kita telah sampai pada
pendapat yang menyatakan bahwa air musta’mal
(yang telah digunakan) untuk menghilangkan hadats itu (baik hadats besar maupun
hadats kecil) itu tetap suci mensucikan. Sekarang kita akan beralih untuk
membahas bagian kedua, yakni air yang digunakan dalam perkara selain
menghilangkan hadats.
Air yang digunakan
dalam perkara selain menghilangkan hadats itu terbagi dalam tiga kategori. Yang
pertama digunakan untuk menghilangkan najis, kedua yang digunakan untuk
menghilangkan kotoran, dan ketiga adalah selain yang digunakan pada dua
kategori ini.
1. Terkait air musta’mal (yang telah digunakan) untuk
menghilangkan najis, kami nyatakan: jika tempatnya (baju misalnya) dilekati
najis dan ingin dibersihkan dengan air, lalu kita mengucurkan air ke atasnya
maka dilihat dulu. Air yang mengucur dari tempat yang dilekati najis ketika
najisnya masih ada itu adalah air najis, sama saja apakah air tersebut telah
dirubah sama sekali oleh najis ataukah sedikit berubah, karena jika air yang
bervolume kurang dari dua qullah lalu
terkena najis walaupun sedikit maka air tersebut menjadi najis berdasarkan
hadits dua qullah, dan air bekas mencuci
tempat yang ada najisnya, itu otomatis mengenai najis, sehingga ia menjadi
najis.
Adapun air yang
mengucur dari tempat yang dilekati najis setelah wujud najisnya tidak ada, itu
sama dengan air yang melewati tempat yang suci, sehingga dia tidak berubah oleh
najis, tidak terkena najis, dan tidak hilang nama serta tidak berubah sifatnya,
sehingga air tersebut tetap suci mensucikan menurut hukum asalnya.
Akan tetapi ketika
najis tersebut berada di tanah, maka air yang ditumpahkan ke atasnya untuk
menghilangkan bekas najis itu dimaafkan, dan menyebabkan tempat tersebut
menjadi suci. Dalilnya adalah hadits orang Arab dusun yang kencing di masjid
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
“Ketika kami berada di
Masjid bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datang seorang Arab dusun yang
kemudian berdiri dan kencing di dalam masjid. Maka para sahabat Rasulullah Saw.
berkata: Cukup, cukup. Dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian
menghentikan kencingnya, biarkanlah dia.” Lalu mereka membiarkannya hingga
selesai kencingnya. Kemudian Rasulullah Saw. memanggilnya seraya berkata
padanya: “Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak layak (menjadi tempat) membuang
air kecil dan membuang kotoran. Masjid itu semata-mata tempat untuk mengingat
Allah, shalat, dan membaca al-Qur'an,” atau sebagaimana yang dikatakan
Rasulullah Saw. Anas berkata: Lalu beliau Saw. memerintahkan seorang lelaki
dari para sahabat itu (untuk mengambil air), lalu dia membawa seember air dan
mengguyurnya.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan Ibnu Hibban)
2. Air yang digunakan
untuk membersihkan kotoran (yang bukan najis), maka dilihat dulu, jika air yang
digunakan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada suatu tempat, baju
misalnya, lalu air tersebut berlumuran kotoran, kemudian berubah banyak karena
kotoran tersebut, di mana kotoran tersebut sampai mendominasi air dan merubah
sifat air, maka air seperti itu tidak bisa lagi dikategorikan sebagai air.
Tapi jika air bekas
mencuci tempat kotoran tersebut mengalami sedikit perubahan, atau bahkan tidak
berubah sama sekali, maka air tersebut tetap dalam kondisi asalnya yang suci
mensucikan, baik kotoran itu masih ada pada baju atau sudah hilang.
3. Air yang telah
digunakan pada selain dua kondisi di atas. Jika air tersebut masih berupa air,
yakni tidak berubah sifatnya dan tidak hilang namanya, maka air tersebut tetap
suci mensucikan tanpa perlu rincian lagi.
Jika tidak seperti itu
(yakni telah hilang namanya dan berubah sifatnya) maka tidak dianggap sebagai
air lagi. Kita cukup menyampaikan satu contoh saja: ketika kita menempatkan
biji kacang panjang dalam satu wadah, kemudian di dalam wadah itu ada air yang
akan digunakan untuk mencuci biji kacang itu sebelum dimakan, lalu kita rendam
biji kacang tadi di dalam wadah untuk beberapa waktu, kemudian kita lihat
airnya. Jika kita mendapati airnya tidak berubah sifatnya dan masih menyandang
nama air, serta tidak terlalu banyak bercampur dengan warna kuning, maka kita
hukumi sebagai air suci mensucikan sesuai karakter asalnya.
Tetapi ketika kita
mendapati airnya sudah berwarna kuning, atau kita mencium airnya sudah berbau
biji kacang yang direndam, lalu kita cicipi airnya sudah memiliki rasa
tertentu, maka kita hukumi sebagai air kacang, dan saat itulah air tersebut
kita keluarkan dari kategori air. Seperti itulah untuk setiap air yang sudah
digunakan. Dalil atas hal ini adalah hadits Rasulullah Saw.:
“Air itu suci
mensucikan.”
Hadits tersebut sudah
kami sebutkan dan sudah kami jelaskan ketika memverifikasi fakta (tahqiq manath) tentang air.
Inilah beberapa bentuk
penggunaan air pada selain perkara ibadah. Dengan mencermatinya, maka nampak
jelas kepada kita bahwa air dalam ketiga contoh di atas tidak mungkin keluar
dari salah satu kondisi: bisa masih menjadi air yang suci mensucikan, bisa menjadi
air najis, atau bisa juga keluar dari karakternya sebagai air (sudah tidak
menjadi air lagi-pen.). Karena itu,
nampak jelas, ketika air sudah digunakan maka air tersebut tidak akan keluar
dari dua kondisi atau kategori: bisa masih berupa air suci mensucikan, atau
bisa juga sudah menjadi air najis. Dengan demikian, selesailah sudah kita
membatasi jenis air, di mana kita berhasil mengerucutkan keenam jenis air
menjadi dua jenis saja, yakni air yang suci
mensucikan, dan air najis.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar