Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 20 Agustus 2017

Status Hukum Air yang Telah Digunakan Untuk Menghilangkan Kotoran



Kita telah sampai pada pendapat yang menyatakan bahwa air musta’mal (yang telah digunakan) untuk menghilangkan hadats itu (baik hadats besar maupun hadats kecil) itu tetap suci mensucikan. Sekarang kita akan beralih untuk membahas bagian kedua, yakni air yang digunakan dalam perkara selain menghilangkan hadats.
Air yang digunakan dalam perkara selain menghilangkan hadats itu terbagi dalam tiga kategori. Yang pertama digunakan untuk menghilangkan najis, kedua yang digunakan untuk menghilangkan kotoran, dan ketiga adalah selain yang digunakan pada dua kategori ini.

1. Terkait air musta’mal (yang telah digunakan) untuk menghilangkan najis, kami nyatakan: jika tempatnya (baju misalnya) dilekati najis dan ingin dibersihkan dengan air, lalu kita mengucurkan air ke atasnya maka dilihat dulu. Air yang mengucur dari tempat yang dilekati najis ketika najisnya masih ada itu adalah air najis, sama saja apakah air tersebut telah dirubah sama sekali oleh najis ataukah sedikit berubah, karena jika air yang bervolume kurang dari dua qullah lalu terkena najis walaupun sedikit maka air tersebut menjadi najis berdasarkan hadits dua qullah, dan air bekas mencuci tempat yang ada najisnya, itu otomatis mengenai najis, sehingga ia menjadi najis.
Adapun air yang mengucur dari tempat yang dilekati najis setelah wujud najisnya tidak ada, itu sama dengan air yang melewati tempat yang suci, sehingga dia tidak berubah oleh najis, tidak terkena najis, dan tidak hilang nama serta tidak berubah sifatnya, sehingga air tersebut tetap suci mensucikan menurut hukum asalnya.

Akan tetapi ketika najis tersebut berada di tanah, maka air yang ditumpahkan ke atasnya untuk menghilangkan bekas najis itu dimaafkan, dan menyebabkan tempat tersebut menjadi suci. Dalilnya adalah hadits orang Arab dusun yang kencing di masjid yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:

“Ketika kami berada di Masjid bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datang seorang Arab dusun yang kemudian berdiri dan kencing di dalam masjid. Maka para sahabat Rasulullah Saw. berkata: Cukup, cukup. Dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian menghentikan kencingnya, biarkanlah dia.” Lalu mereka membiarkannya hingga selesai kencingnya. Kemudian Rasulullah Saw. memanggilnya seraya berkata padanya: “Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak layak (menjadi tempat) membuang air kecil dan membuang kotoran. Masjid itu semata-mata tempat untuk mengingat Allah, shalat, dan membaca al-Qur'an,” atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah Saw. Anas berkata: Lalu beliau Saw. memerintahkan seorang lelaki dari para sahabat itu (untuk mengambil air), lalu dia membawa seember air dan mengguyurnya.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan Ibnu Hibban)

2. Air yang digunakan untuk membersihkan kotoran (yang bukan najis), maka dilihat dulu, jika air yang digunakan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada suatu tempat, baju misalnya, lalu air tersebut berlumuran kotoran, kemudian berubah banyak karena kotoran tersebut, di mana kotoran tersebut sampai mendominasi air dan merubah sifat air, maka air seperti itu tidak bisa lagi dikategorikan sebagai air.
Tapi jika air bekas mencuci tempat kotoran tersebut mengalami sedikit perubahan, atau bahkan tidak berubah sama sekali, maka air tersebut tetap dalam kondisi asalnya yang suci mensucikan, baik kotoran itu masih ada pada baju atau sudah hilang.

3. Air yang telah digunakan pada selain dua kondisi di atas. Jika air tersebut masih berupa air, yakni tidak berubah sifatnya dan tidak hilang namanya, maka air tersebut tetap suci mensucikan tanpa perlu rincian lagi.
Jika tidak seperti itu (yakni telah hilang namanya dan berubah sifatnya) maka tidak dianggap sebagai air lagi. Kita cukup menyampaikan satu contoh saja: ketika kita menempatkan biji kacang panjang dalam satu wadah, kemudian di dalam wadah itu ada air yang akan digunakan untuk mencuci biji kacang itu sebelum dimakan, lalu kita rendam biji kacang tadi di dalam wadah untuk beberapa waktu, kemudian kita lihat airnya. Jika kita mendapati airnya tidak berubah sifatnya dan masih menyandang nama air, serta tidak terlalu banyak bercampur dengan warna kuning, maka kita hukumi sebagai air suci mensucikan sesuai karakter asalnya.
Tetapi ketika kita mendapati airnya sudah berwarna kuning, atau kita mencium airnya sudah berbau biji kacang yang direndam, lalu kita cicipi airnya sudah memiliki rasa tertentu, maka kita hukumi sebagai air kacang, dan saat itulah air tersebut kita keluarkan dari kategori air. Seperti itulah untuk setiap air yang sudah digunakan. Dalil atas hal ini adalah hadits Rasulullah Saw.:

“Air itu suci mensucikan.”

Hadits tersebut sudah kami sebutkan dan sudah kami jelaskan ketika memverifikasi fakta (tahqiq manath) tentang air.

Inilah beberapa bentuk penggunaan air pada selain perkara ibadah. Dengan mencermatinya, maka nampak jelas kepada kita bahwa air dalam ketiga contoh di atas tidak mungkin keluar dari salah satu kondisi: bisa masih menjadi air yang suci mensucikan, bisa menjadi air najis, atau bisa juga keluar dari karakternya sebagai air (sudah tidak menjadi air lagi-pen.). Karena itu, nampak jelas, ketika air sudah digunakan maka air tersebut tidak akan keluar dari dua kondisi atau kategori: bisa masih berupa air suci mensucikan, atau bisa juga sudah menjadi air najis. Dengan demikian, selesailah sudah kita membatasi jenis air, di mana kita berhasil mengerucutkan keenam jenis air menjadi dua jenis saja, yakni air yang suci mensucikan, dan air najis.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam