Air Musta’mal
Banyak perbedaan
pendapat di kalangan para ulama terkait air musta’mal.
Mereka melontarkan pendapat yang cukup beragam dalam persoalan tersebut. Untuk
memudahkan kita membahas pendapat-pendapat mereka, saya sengaja kumpulkan
pendapat-pendapat ini dalam tiga pokok pembahasan saja, tidak membahas rincian
dan penderivasian yang saya pandang terlalu jauh, kecuali dalam beberapa
persoalan yang menurut saya memang harus disebutkan.
Saya nyatakan: air musta’mal itu terbagi dua bagian: satu bagian
adalah air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadats besar dan hadats
kecil, dan satu bagian lagi adalah air yang sudah digunakan untuk selain
keduanya.
Kita akan membahas
kategori pertama, kemudian baru beralih untuk membahas kategori kedua.
1. Dalam bagian
pertama ini terdapat tiga pendapat di kalangan para imam. Al-Laits, al-Auza’iy,
Malik dalam satu riwayat, Abu Hanifah dalam pendapat yang paling masyhur
darinya, as-Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa air musta’mal yang digunakan untuk menghilangkan hadats itu tetap
suci tetapi tidak mensucikan, sehingga tidak bisa digunakan lagi untuk
menghilangkan hadats dan membersihkan najis. Mereka menjadikan beberapa hadits
berikut sebagai dalil sandaran pendapat mereka:
a. Dari al-Hakam bin
Amr -yakni al-Aqra’-:
“Bahwasanya Nabi Saw.
melarang seorang lelaki berwudhu dengan sisa air bersuci (wudhu) wanita.” (HR.
Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)
Dalam riwayat Ahmad
dan Ibnu Majah dari al-Hakam, redaksinya berbunyi:
“Air wudhu wanita.”
Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban.
b. Dari seorang lelaki
yang menemani Nabi Saw., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarang seorang wanita mandi menggunakan sisa (air) lelaki, atau seorang
lelaki mandi menggunakan sisa air wanita, dan hendaknya keduanya (laki-laki dan
wanita) itu menciduk air bersama-sama.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar.
c. Dari Abu Hurairah
ra. dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah salah
seorang dari kalian mandi dalam air yang tergenang sedangkan dia dalam keadaan
junub,” maka dia (Abu Sya’ib) bertanya: Apa yang harus dilakukannya wahai Abu
Hurairah? Abu Hurairah menjawab: Hendaknya dia menciduknya.” (HR. Muslim dan
Ibnu Majah)
d. Dari Abu Hurairah
ra. bahwasanya Nabi Saw. bersabda:
“Janganlah salah
seorang dari kalian kencing dalam air yang tergenang yang tidak mengalir,
kemudian dia mandi di dalamnya.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban
dan an-Nasai)
e. Dari Abdullah bin
Zaid bin Ashim al-Maziniy:
“Bahwasanya dia
melihat Rasulullah Saw. berwudhu, beliau Saw. berkumur-kumur, kemudian beristintsar (memasukkan air ke dalam hidung lalu
mengeluarkannya). Kemudian beliau Saw. membasuh wajahnya tiga kali, dan
(membasuh) tangannya yang kanan tiga kali, dan (membasuh) tangan kirinya tiga
kali, beliau Saw. mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa membasuh
tangannya, dan beliau Saw. membasuh kedua kakinya hingga membersihkan keduanya.
(HR. Muslim dan Ibnu Hibban)
f. Dari Abdullah bin
Zaid:
“Bahwasanya Nabi Saw.
menciduk air yang baru untuk (mengusap) kepalanya.” (HR. Tirmidzi)
g. Dari Namran bin
Jariyah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Ciduklah air yang
baru untuk (mengusap) kepala.” (HR. Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir)
Terkait hadits yang
pertama dan kedua, mereka mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. melarang
berwudhu menggunakan air sisa wudhu wanita, dan ketika Rasulullah Saw. melarang
mandi menggunakan sisa air laki-laki dan sisa air wanita, tiada lain sebabnya atau
‘illatnya adalah karena telah digunakan
(musta’mal), -larangan itu meniscayakan
rusaknya sesuatu yang dilarang- seandainya wudhu dan mandi tersebut tidak
dipandang rusak, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan melarangnya.
Mereka mengatakan
-terkait hadits yang ketiga dan keempat-: bahwasanya Rasulullah Saw. melarang
mandi dalam air yang tergenang, yakni berendam di dalamnya. Larangan ini
menunjukkan penggunaan air (ketika telah digunakan-pen.) bisa berdampak pada air itu sendiri sehingga terlarang
digunakan untuk berwudhu. Larangan mandi yang dirangkai dengan larangan kencing
ini meniscayakan kesamaan pada pangkal hukum, tetapi tidak pada rincian
hukumnya. Pengertiannya adalah bahwa kesamaan ini semata-mata dalam larangan
berwudhu menggunakan air yang sudah dikencingi dan air yang digunakan untuk
berendam mandi, inilah pangkal hukumnya.
Perangkaian ini tidak
mengharuskan kesamaan dalam rincian hukumnya, maksudnya adalah bahwa seandainya
kesamaan itu terdapat dalam detil dan rincian hukumnya niscaya harus dinyatakan
pula najisnya air yang digunakan berendam mandi sama dengan najisnya air yang
dikencingi, dan mereka tidak berpendapat seperti itu. Mereka menyatakan,
seandainya larangan ini tidak mengandung arti cegahan niscaya beliau Saw. tidak
akan melarangnya, dan karena air tersebut telah digunakan untuk menghilangkan
penghalang shalat maka air tersebut tidak boleh digunakan lagi untuk aktivitas
bersuci yang lain, seperti air yang sudah digunakan untuk menghilangkan najis.
Berdasarkan hadits
kelima, keenam dan ketujuh, mereka berpendapat bahwa perbuatan Rasulullah Saw.
menciduk air yang baru untuk membasuh kepalanya dalam berwudhu dan
memerintahkan kaum Muslim menciduk air yang baru untuk membasuh kepala dalam
berwudhu, tiada lain karena ‘illat isti’mal
(air yang sudah digunakan). Mereka mengatakan: ini menunjukkan bahwa air yang
tidak baru itu tidak sah digunakan membasuh kepala. Air yang tidak baru ini
maksudnya adalah air musta’mal (air yang
sudah digunakan).
2. Abu Yusuf al-Qadhi
dan Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya berpendapat, bahwa air musta’mal (yang telah digunakan untuk)
berwudhu dan mandi wajib itu adalah najis. Mereka berargumentasi dengan
beberapa alasan berikut:
a. Hadits yang keempat
dari hadits-hadits yang digunakan kelompok pertama di atas.
b. Mereka mengatakan
bahwa air yang sudah digunakan untuk menghilangkan janabah (junub) atau digunakan untuk berwudhu adalah air yang
digunakan untuk menghilangkan penghalang shalat, sehingga larangan tersebut
beralih pada air tersebut sebagai pencuci benda najis yang telah berubah.
c. Mandi atau wudhu
itu disebut thaharah (bersuci), thaharah tidak dilakukan kecuali untuk
mensucikan diri dari najis, karena membersihkan/mensucikan sesuatu yang suci
itu sulit dipahami. Terkait hadits pertama, mereka mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. dalam hadits ini telah menghubungkan larangan kencing di dalam air yang
tergenang dengan mandi berendam di dalamnya, di mana larangan kencing itu
semata-mata disebabkan ‘illat menyebabkan air tersebut menjadi najis, maka
begitu pula larangan mandi tiada lain semata-mata disebabkan illat menyebabkan air tersebut menjadi najis
dengan alasan dilalah iqtiran.
3. Kelompok yang lain
berpendapat, bahwa air musta’mal yang
digunakan untuk menghilangkan hadats besar dan hadats kecil itu tetap suci.
Mereka yang berpendapat seperti ini adalah al-Hasan al-Bashri, Atha, Sufyan
ats-Tsauri, Ibrahim an-Nakha’iy, az-Zuhri, Makhul, Malik dan ulama Dhahiriyah,
juga Imam Abu Hanifah, as-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat dari mereka
masing-masing.
Mereka berpendapat
seperti ini karena berargumentasi dengan keumuman hadits-hadits sucinya air dan
sejumlah hadits yang jelas menerangkan sucinya air. Mereka membantah
argumentasi dua kelompok sebelumnya. Saat ini saya tidak akan membahas
bagaimana mereka membantahnya, karena Anda sekalian akan mendapatinya ketika
dua pendapat sebelumnya kita bahas dan kita diskusikan.
4. Sekarang kita bahas
pendapat yang pertama. Saya katakan: Dalam hadits yang pertama terdapat
larangan kepada lelaki berwudhu dengan sisa air wudhu wanita saja, dan dalam
hadits kedua terdapat larangan kepada lelaki mandi dengan sisa air yang
digunakan wanita dan larangan kepada wanita mandi dengan sisa air yang
digunakan lelaki.
Di dalam hadits
tersebut tidak ditemukan pengertian adanya larangan kepada lelaki berwudhu atau
mandi dengan sisa air lelaki, atau larangan kepada wanita berwudhu atau mandi
dengan sisa air wanita. Inilah qarinah
(indikasi) yang mengenyampingkan illat isti'mal
(telah digunakannya air tersebut), karena kalau illatnya
itu adalah isti'mal (telah digunakannya
air tersebut), niscaya pengkhususan larangan kepada lelaki menggunakan sisa air
wanita, atau kepada wanita menggunakan sisa air lelaki, akan tidak bermakna
apa-apa.
Seandainya hukum
tersebut berupa larangan yang bersifat umum, niscaya bunyi hadits tersebut
misalnya adalah: Rasulullah Saw. melarang berwudhu atau mandi dengan air sisa,
atau: aku melarang kalian berwudhu dengan sisa wudhu kalian.
Ketika kedua hadits
ini tidak disampaikan dalam ungkapan yang umum, maka hal itu menunjukkan makna
khusus dan maksud tertentu, yakni terkait aktivitas domestik (di dalam rumah).
Dan ketika di dalam
hadits tersebut terdapat seruan pada lelaki untuk tidak menggunakan sisa air
wanita, dan terdapat seruan pada wanita untuk tidak menggunakan sisa air
lelaki, maka ini menjadi qarinah yang
mengenyampingkan keumuman berwudhu dengan sisa air wudhu, dan keumuman mandi
dengan sisa air bekas mandi.
Ketika hal itu
dikaitkan dengan ucapan Rasulullah Saw. yang ada di penghujung hadits kedua:
hendaklah keduanya menciduk bersama-sama, maka pengertiannya menjadi lebih
jelas lagi, yakni dua hadits ini ditujukan untuk aktivitas domestik (dalam
rumah) yang terkait dengan pasangan suami isteri. Kedua hadits ini khusus
terkait dengan perkara ini saja. Hal ini tiada lain ketika lelaki disebutkan di
samping wanita dalam aktivitas domestik (di dalam rumah-pen.) maka ini menjadi qarinah
yang menunjukkan hubungan (interaksi) suami isteri.
Jika suatu aktivitas
dilakukan tanpa berpakaian sama sekali (telanjang bulat) pada saat mandi, dan
tidak mungkin lelaki dan wanita sama-sama telanjang bulat kecuali hanya
dilakukan sepasang suami-isteri saja, dan ini menjadi indikasi pasti bahwa dua
hadits ini membahas persoalan yang khusus terkait dengan pasangan suami isteri
saja.
Hal ini karena seorang
wanita tidak mungkin berwudhu bersama seorang lelaki dari satu bejana dan dalam
waktu bersamaan, padahal ketika dia berwudhu tersingkaplah rambut, tangan dan
dua kakinya, kecuali jika lelaki itu adalah mahramnya
dan suaminya saja.
Hadits ini
memerintahkan lelaki dan wanita untuk bersama-sama mandi dalam satu bejana
dalam waktu yang bersamaan, dengan redaksi: Hendaknya keduanya menciduk air
tersebut bersama-sama, padahal tentu saja keduanya dalam keadaan tidak
berpakaian. Pengertian ini secara pasti menunjukkan bahwa dua hadits ini
berhubungan dengan suami dan isteri saja. Tentu saja ini secara pasti menafikan
keumuman hukum mandi, dan selanjutnya menafikan illat
isti'mal (telah digunakannya air tersebut).
Dua hadits ini tidak
layak menjadi dalil bahwa air musta’mal (yang
telah digunakan) itu tidak layak digunakan untuk berwudhu atau mandi, sehingga
kaum Muslim tetap boleh berwudhu dan mandi dengan sisa air wudhu dan mandi
mereka. Kini terbantahlah penggunaan dua hadits tersebut sebagai argumentasi
mereka dilihat dari sisi ini.
Untuk membantahnya
dari sisi kedua adalah sebagai berikut:
a. Dari Ibnu Abbas :
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. mandi dengan air sisa Maimunah.” (HR. Muslim)
b. Dari Ibnu Abbas
ra.: Dari Maimunah ra.:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. berwudhu dengan air sisa mandi junub Maimunah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dua hadits ini
bertentangan dengan dua hadits di atas. Predikat kedua hadits ini pun sama atau
bahkan lebih kuat dari keduanya. Walaupun sebagian dari mereka menghujat hadits
yang pertama, tetapi penting dicatat bahwa Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan
dari Abdullah bin Abbas:
“Bahwasanya Nabi Saw.
dan Maimunah mandi dari satu bejana.”
Hadits yang kedua dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan selainnya
sebagaimana yang dituturkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar.
Dengan demikian kedua
hadits tersebut layak digunakan sebagai hujjah,
dan jelas pula bahwa kedua hadits ini bertentangan dengan hadits yang pertama
dan kedua yang melarang berwudhu dan mandi menggunakan air sisa wudhu atau
mandi.
Tidak bisa dikatakan
bahwa dua hadits pertama adalah qaul
(perkataan) Nabi Saw., dan dua hadits yang terakhir adalah perbuatan Nabi Saw.,
sehingga perkataan Nabi harus lebih diprioritaskan daripada perbuatannya.
Ketika dua hadits tersebut bertentangan maka perbuatan Nabi Saw. ini harus
dipahami sebagai kekhususan bagi Rasulullah Saw., dan yang harus diamalkan oleh
kita adalah perkataan (qaul) Rasulullah
Saw., tidak bisa dikatakan seperti itu dalam persoalan ini, karena kita
memiliki hadits ketiga yang bisa mengesampingkan perbuatan Rasulullah Saw. dan
kekhususan beliau Saw., tiada lain adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas
ra., dia berkata:
“Sebagian isteri Nabi
Saw. mandi dalam satu bejana besar, kemudian datanglah Nabi Saw. berwudhu -atau
mandi- dengan menggunakan air (sisa mandi isterinya) lalu sang isteri berkata
kepada beliau Saw.: Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi aku dalam keadaan junub.
Maka Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya air itu tidak bisa menjadi junub.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dan ia berkata: Hadits ini hasan shahih.
Hadits ini menafikan
perbuatan tersebut sebagai kekhususan Nabi Saw., di mana Rasulullah Saw.
menetapkan illat kebolehan dengan
mengatakan bahwa air itu tidak bisa menjadi junub. Penjelasan illat seperti ini menunjukkan bahwa hal itu
(penggunaan air musta’mal, pen.) tidak
dikhususkan untuk Rasulullah Saw., karena perkataan Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya air itu tidak bisa menjadi junub,” bersifat umum untuk setiap
sisa air wudhu atau mandi, dan ini jelas merupakan perkataan (qaul), bukan perbuatan (fi'il) Rasulullah Saw.
Dari sisi ketiga,
mereka mengatakan bahwa larangan wudhu atau mandi dengan menggunakan sisa air
wudhu atau mandi, semata-mata karena illat
isti’mal (telah digunakannya air tersebut). Mereka mengatakan bahwa sisa
air wudhu atau mandi adalah air yang masih ada (tersisa) dalam bejana setelah
air wudhu diambil darinya. Pengertian yang bisa dipahami darinya adalah bahwa
seorang Muslim akan menciduk air dengan tangannya lalu ia berwudhu dengannya,
sedangkan di dalam wadah masih ada sisa air yang sebelumnya sudah diciduk, sisa
inilah yang disebut dengan sisa air wudhu. Mereka mengatakan bahwa air yang
tersisa ini menjadi musta’mal karena
diciduk, dan ketika Rasulullah Saw. melarang berwudhu dengan air sisa, maka ini
menunjukkan ketidaklayakan air sisa untuk digunakan berwudhu atau mandi. Tidak
ada illat pada larangan ini selain
karena ia dipandang sebagai air musta’mal
karena sebelumnya telah diciduk.
Kami katakan pada
mereka: Seandainya kami menerima apa yang kalian nyatakan, niscaya ucapan
Rasulullah Saw. dalam hadits yang kedua:
“Dan hendaknya
keduanya (laki-laki dan wanita) itu menciduk air bersama-sama,” menjadi keliru,
dan ini jelas tidak mungkin. Ucapan beliau Saw. ini bertentangan dengan
pernyataan dan pemahaman kalian. Hal ini karena menciduk air bersama-sama dari
satu wadah menjadikan air yang masih ada saat wudhu dan mandi yang sedang
dilakukan keduanya itu sebagai air musta’mal
juga jika kita konsisten dengan patokan di atas, yakni salah seorang dari
keduanya akan membenamkan tangannya ke dalam wadah satu atau dua kali di
sepanjang wudhu atau mandinya, hingga menjadikan air tersebut sebagai air musta’mal, sehingga ketika ada orang lain
menciduk air dari wadah tersebut untuk wudhu atau mandinya maka air yang
diciduknya saat itu merupakan air musta’mal.
Bahkan jika seseorang
secara sendirian menciduk air wudhunya dari wadah tersebut maka air tersebut
bisa menjadi air musta’mal sejak dia
menciduk pertama kali dari wadah tersebut, sehingga batallah wudhunya. Hal
seperti ini jelas menyerang balik pernyataan Anda sendiri.
Tetapi sebagian dari
mereka mengatakan, bahwa air tidak dipandang sebagai air musta’mal kecuali setelah seseorang tidak lagi
menciduknya saat menyudahi seluruh rangkaian aktivitas wudhu dan mandinya. Air
tersebut tidak dipandang sebagai air musta’mal
sebelum wudhu dan mandinya disudahi. Hal ini karena wudhu dan mandi tersebut
tidak dipandang sebagai penghilang hadats, kecuali setelah sempurnanya
aktivitas tersebut, bukan sebelumnya. Yang dilarang itu adalah air yang masih
tersisa di dalam wadah setelah menghilangkan hadats dengannya, bukan sebelum
atau saat menghilangkan hadats dengannya. Untuk membantah pernyataan seperti
ini kami katakan kepada mereka: Bagaimana Anda sekalian menafsirkan ucapan
Rasulullah Saw. :
“Dan hendaknya
keduanya (laki-laki dan wanita) itu menciduk air bersama-sama.”
Bisa diketahui bahwa
menciduk air bersama-sama meniscayakan salah seorang dari dua orang yang sedang
wudhu atau mandi itu lebih dahulu menyudahi wudhu atau mandinya. Ketika orang
yang pertama telah menyudahi wudhu atau mandinya, dan telah hilang hadatsnya,
maka air yang tersisa dalam wadah saat itu merupakan air sisa dan air musta’mal yang tidak boleh digunakan untuk
berwudhu atau mandi. Maka bagaimanakah orang yang kedua itu bisa menyempurnakan
wudhu atau mandi itu dengan air tersebut? Ini jelas kontradiktif.
Berdasarkan hal ini,
gugurlah hujjah mereka sehingga gugur
pula dua hadits yang mereka gunakan sebagai hujjah
dari ketiga aspek ini.
Tinggallah kini poin
terakhir, yakni bagaimana mengamalkan atau mengompromikan hadits-hadits
tersebut? Maka kami katakan bahwa hadits-hadits larangan diarahkan pada sikap
menjauhi sesuatu yang dipandang kotor, karena wudhu atau mandi terkadang bisa
mengotori air, sehingga lebih baik seorang Muslim menggunakan air bersih
terlebih lagi dalam masalah ibadahnya.
Larangan tersebut
semata-mata untuk tujuan itu saja, atau karena ketika seorang isteri selesai
menggunakan air, atau suami selesai menggunakan air di rumahnya (bisa jadi)
kurang memperhatikan kebersihan air tersebut, dan bisa jadi mengakibatkan
keduanya tidak memperhatikan apakah air tersebut terkena najis atau kotoran.
Larangan tersebut untuk tujuan itu, yakni untuk menjaga kemungkinan terkena
kotoran atau najis, bukan karena illat is'timal
(telah digunakannya) air tersebut, sehingga keduanya dilarang mandi
sendiri-sendiri, lalu keduanya diperintahkan mandi bersama-sama sehingga
kemungkinan terkena najis atau kotoran akibat kelalaian bisa teratasi, terlebih
lagi ucapan Rasulullah Saw. terkait air sisa mandi:
“Sesungguhnya air itu
tidak bisa menjadi junub.”
Jelas menunjukkan
kelayakan air tersebut untuk mandi dan wudhu. Dengan demikian illat isti'mal (air yang telah digunakan) bisa
dinafikan.
Kita akan kembali
mencantumkan hadits: “Sesungguhnya air itu tidak bisa menjadi junub,” tersebut
untuk dikaji dalam pembahasan yang lain dengan izin Allah.
5. Hadits yang ketiga
dan keempat, keduanya diriwayatkan dengan enam redaksi kalimat dengan sedikit
perbedaan. Tidak salah jika kami sebutkan seluruhnya. Hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari:
“Janganlah salah
seorang dari kalian kencing dalam air yang tergenang yang tidak mengalir,
kemudian dia mandi di dalamnya.”
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini juga tetapi menggunakan lafadz minhu,
bukan lafadz fiihi.
Hadits yang
diriwayatkan Ahmad, Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi berbunyi:
“Janganlah salah
seorang dari kalian kencing di dalam air yang tergenang, kemudian dia berwudhu
darinya.”
Hadits yang
diriwayatkan Abu Dawud berbunyi:
“Janganlah salah
seorang dari kalian kencing di dalam air yang tergenang, dan janganlah dia
mandi junub di dalamnya.”
Sedangkan hadits yang
diriwayatkan Muslim berbunyi:
“Janganlah salah
seorang dari kalian kencing di dalam air yang tergenang, kemudian dia mandi di
dalamnya.”
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Abu Dawud. Riwayat kedua dari Muslim dan Ahmad berbunyi:
“Janganlah kamu
kencing di dalam air yang tergenang yang tidak mengalir, kemudian kamu mandi
darinya.”
Riwayat ketiga dari
Muslim:
“Janganlah salah
seorang dari kalian mandi di dalam air yang tergenang dan dia dalam keadaan
junub, maka dia berkata: Apa yang harus dilakukannya wahai Abu Hurairah? Abu
Hurairah berkata: Hendaknya dia menciduknya.”
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah.
Semua ini merupakan
hadits yang satu, yang diriwayatkan dengan redaksi kalimat yang berbeda-beda,
tidak mungkin beliau Saw. melafalkan semua lafadz riwayat ini, terlebih lagi
bahwa semua hadits tersebut diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah seorang.
Dengan demikian, di
dalam hadits tersebut terdapat perbedaan dalam matan
(isi teks hadits), sehingga pastinya ada salah satu matan yang paling kuat di antara yang lain, sehingga matan yang paling kuat itulah yang harus
diamalkan dan diunggulkan. Telah diketahui bahwa Bukhari adalah orang yang
paling ketat dalam meriwayatkan seluruh hadits dibandingkan yang lain, sehingga
riwayat Bukhari inilah yang diunggulkan dibandingkan riwayat yang lain. Ini
yang pertama.
Kedua, sesungguhnya
lima riwayat yang pertama merangkaikan larangan kencing di dalam air yang
tergenang dengan mandi atau berwudhu di dalamnya, tetapi riwayat yang keenam
hanya melarang mandi saja di dalam air yang tergenang tanpa menyebutkan
larangan kencing di dalamnya. Dengan demikian riwayat tersebut hanya bagian
dari hadits di atas, bukan merupakan satu hadits yang terpisah, terlebih lagi
bahwasanya Abu Hurairah yang meriwayatkan hadits ini juga merupakan perawi yang
sama yang meriwayatkan hadits yang merangkaikan dua larangan ini. Besar
kemungkinan riwayat keenam ini berasal dari lafadz Abu Hurairah secara mauquf padanya, di mana beliau mengatakannya
untuk mengomentari peristiwa yang terjadi di hadapannya. Kemungkinan ini
semakin kuat ketika di akhir riwayat terdapat pertanyaan dan ada jawaban dari
Abu Hurairah yakni :
“Hendaknya dia
menciduknya.”
Riwayat keenam ini
menyebutkan:
“Janganlah salah
seorang dari kalian mandi di dalam air yang tergenang padahal dia dalam keadaan
junub, maka dia berkata: Apa yang harus dilakukannya wahai Abu Hurairah? Abu
Hurairah berkata: Hendaknya dia melakukannya dengan menciduk air tersebut.”
Bunyi kalimat seperti
ini menyebabkan orang yang mencermatinya cenderung untuk memauqufkan hadits ini pada Abu Hurairah, karena
riwayat yang satu ini berlainan dibandingkan riwayat-riwayat yang lain,
sehingga riwayat yang mengandung dua larangan inilah yang diamalkan, sedangkan
riwayat yang berisi satu larangan ditinggalkan. Seperti itulah biasanya yang
dilakukan ketika terdapat beberapa perbedaan dalam beberapa hadits, dan saat
itu harus dilakukan tarjih, terlebih lagi bahwa makna riwayat keenam ini
terdapat pada lima riwayat lainnya, tidak ada makna baru yang menjadi tambahan
dalam riwayat keenam ini ketika dibandingkan riwayat yang lain. Karena itu saya
cukup mendiskusikan riwayat yang berisi dua larangan ini saja, tidak akan
membahas lebih jauh riwayat yang mengandung satu larangan.
Hadits ini melarang
buang air kecil dalam air yang tergenang, dan setelah itu memerintahkan untuk
tidak mandi di dalamnya, di dalam empat dari lima riwayat ini disebutkan:
“Janganlah (salah
seorang dari kalian) kencing …kemudian…
“Janganlah kamu
kencing …kemudian…“
Disebutkan dalam
hadits yang ketiga:
“Janganlah (salah
seorang dari kalian) kencing …dan janganlah…”
Dengan tidak
menggunakan kata tsumma, sehingga
riwayat wa laa dibawa pada dan
ditafsirkan dengan riwayat yang empat yang menggunakan kata tsumma, hal ini karena hadits-hadits itu
biasanya saling menafsirkan satu sama lain, dan empat hadits ini cukup untuk
menafsirkan satu hadits tersebut.
Kedua, karena huruf wawu dalam bahasa Arab menurut al-Farra,
Tsa'lab, Abu Ubaid, dan as-Syafi’i dalam salah satu riwayat darinya mengandung
arti urutan (at-tartib), sedangkan
menurut para ahli bahasa dan para imam yang lain tidak memberikan arti urutan.
Tetapi bahasa menjadikan wawu itu
mengandung arti urutan (at-tartib)
ketika memang ada qarinah, dan di sini
kita menemukan qarinahnya, yakni empat
riwayat yang di dalamnya menggunakan kata tsumma
(kemudian).
Empat riwayat ini
menjadi qarinah bahwa wa laa di sini mengandung arti at-tartib (urutan). Dengan demikian makna
hadits ini: Janganlah kalian buang air kecil di dalam air yang tergenang, dan
setelah buang air kecil di dalamnya janganlah kalian berwudhu darinya dan mandi
di dalamnya. Larangan berwudhu atau mandi di sini semata-mata karena adanya air
kencing di dalam air tersebut, bukan karena sebab yang lain.
Air yang tergenang itu
ada yang kurang dari dua qullah sehingga
bisa menjadi najis karena terkena air kencing, dan bisa juga lebih dari dua qullah sehingga menjadi kotor karenanya, tidak
ada kemungkinan yang lain.
Dengan demikian hadits
ini melarang mandi dengan menggunakan air najis atau air kotor, sehingga illat larangan tersebut adalah najisnya air
yang kurang dari dua qullah dan kotornya
air yang lebih dari dua qullah, tidak
ada illat apapun yang lainnya dalam
hadits tersebut.
Adapun yang mereka
klaim bahwa illat larangan mandi atau
wudhu tersebut adalah isti'mal (air yang
sudah digunakan) merupakan klaim yang tidak tepat dan tidak rajih. Dirangkaikannya dua larangan tersebut
tentu bukan tanpa tujuan, seandainya isti’mal
menjadi illat larangan, tentu larangan
kencing tidak akan dirangkai dengan larangan mandi. Adanya larangan kencing
dalam hadits tersebut dirangkaikan dengan larangan wudhu atau mandi menjadi qarinah yang merubah illat isti'mal menjadi illat
yang lain, yakni kotor (al-qadzarah) dan
terkontaminasi najis.
Saya tambahkan dengan
argumentasi yang lain: Abu Dawud, Ahmad, dan at-Tirmidzi telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:
“Sebagian isteri Nabi
Saw. mandi di dalam jafnah (wadah
seperti ember berukuran besar), lalu datanglah Nabi Saw. untuk berwudhu atau
mandi dengannya. Maka dia berkata kepada beliau Saw.: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya tadi itu aku junub. Lalu Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya
air itu tidak menjadi junub.”
Dengan mencermati nash
hadits ini, jelas nampak pada kita bahwa isteri Nabi Saw. telah mandi di dalam jafnah, dia meninggalkan sisa air mandi.
Ketika Rasulullah Saw. datang untuk mandi dengan sisa air bekas mandi yang
masih ada dalam jafnah, sang isteri
memberitahu beliau Saw. bahwasanya dirinya telah mandi dengan air tersebut, dan
air yang masih ada di dalam jafnah
adalah sisa air bekas mandi dirinya. Rasulullah Saw. tidak melihat apa yang
telah dilakukan isterinya itu sebagai penghalang dirinya untuk mandi dengan
sisa air tersebut. Beliau Saw. justru berkata:
“Sesungguhnya air itu
tidak menjadi junub.”
Yakni bahwa air yang
telah digunakan untuk mandi itu tidak bisa menjadi junub. Tidak ragu lagi bahwa
isteri beliau Saw. telah mencelupkan kedua tangannya ke dalam air tersebut
ketika dia menciduknya, dan tentu saja cipratan air mandi akan mengenai air yang
masih ada di dalam jafnah, seandainya
tidak seperti itu, tentu isteri beliau Saw. tidak akan memberitahu beliau Saw.
bahwa dia telah mandi di dalam jafnah.
Dengan demikian hadits ini menafikan illat
isti’mal. Ucapan Rasulullah Saw. ketika menyebutkan air musta’mal seperti itu:
“Sesungguhnya air itu
tidak menjadi junub.”
Ini merupakan ucapan
yang membatalkan illat isti’mal juga,
sekaligus menggugurkan klaim orang yang mengatakan bahwa hadits ini merupakan
kekhususan beliau Saw.
Saya tambahkan dari
sisi yang ketiga, mereka mengatakan bahwa dirangkainya larangan kencing dengan
larangan mandi di dalam air ini menuntut kesamaan dalam pangkal hukumnya, bukan
dalam detil dan rincian hukumnya. Mereka menetapkan larangan berwudhu dengan
air yang sudah dikencingi, sama dengan larangan berwudhu dengan air yang
digunakan berendam mandi. Yaitu mereka menyatakan bahwa berwudhu dengan air
yang telah digunakan untuk mandi itu tidak boleh karena air seperti itu tidak
dapat menghilangkan hadats, persis air yang sudah bercampur air kencing sebagai
tidak bisa menghilangkan hadats, tetapi mereka menafikan penyamaan dalam detail
dan rinciannya.
Untuk membantah
pernyataan seperti itu kami katakan, kami telah membuktikan bahwa mandi di
dalam air tersebut tidak bisa menghalangi mandi dengannya untuk kedua kalinya,
sebagaimana telah disebutkan dalam hadits al-jafnah,
dan ini menunjukkan bahwa di dalam hadits ini tidak ada penyamaan di antara dua
perkara tersebut.
Mandi di dalam air
tidak bisa menghalangi digunakannya air tersebut untuk menghilangkan hadats,
sebaliknya kencing di dalam air menjadi faktor yang menghalangi digunakannya
air tersebut untuk menghilangkan hadats. Dari aspek ini saja kesamaan itu tidak
ada. Kita perlu membuktikan adanya kesamaan ini dengan sesuatu yang lain,
sehingga kami katakan bahwa perkara yang lain itu adalah istiqdzar (sesuatu dipandang kotor)
sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Kami akan paparkan persoalan ini
lebih jauh.
Telah kami katakan
bahwa air itu ada yang kurang dari dua qullah
dan ada juga yang dua qullah atau lebih,
tidak ada kemungkinan yang ketiga. Jika air tersebut kurang dari dua qullah, maka larangan kencing di dalamnya
semata-mata sebagai peringatan bahwa air tersebut tidak bisa digunakan untuk
menghilangkan hadats, karena air najis itu memang tidak bisa digunakan untuk
menghilangkan hadats.
Dalam kondisi ini
larangan mandi di dalam air semata-mata untuk menjelaskan bahwa air tersebut
tidak layak digunakan untuk mandi karena air tersebut sudah najis. Karena itu,
larangan mandi dengan air tersebut semata-mata karena air tersebut sudah
terkena najis terlebih dahulu sebelum dipakai mandi. Mandi tidak mengakibatkan
apapun terhadap air tersebut. Sesuatu yang sudah najis tidak mungkin ternajisi,
dan sesuatu tidak bisa menjadi najis kecuali jika sesuatu pada awalnya dalam
kondisi suci.
Karena itu,
lafadz-lafadz hadits tersebut diungkapkan dengan kata minhu (darinya) atau fiihi
(di dalamnya), artinya tidak halal berwudhu dengan air yang sudah tercampur
dengan najis, di mana volume air tersebut kurang dari dua qullah. Hal ini ditunjukkan bahwa mandi dari
air tersebut walaupun dengan cara menciduknya tetap dilarang, dan penjelasan illat seperti ini menggugurkan illat isti'mal (telah digunakannya air
tersebut).
Jika volume air
tersebut dua qullah atau lebih, maka
kencing di dalamnya tidak menyebabkan air tersebut menjadi najis, sehingga
boleh berwudhu dengan air tersebut.
Ketika kita dilarang
berwudhu atau mandi dengannya, padahal kita dibolehkan berwudhu atau mandi
dengan air musta’mal sebagaimana
disebutkan dalam hadits al-jafnah, maka
kita bisa memahami bahwa hal itu dilarang karena semata-mata mengakibatkan air
tersebut menjadi kotor saja, tidak sampai menjadi najis. Larangan tersebut
karena mengganggap air tersebut sudah kotor, bukan sudah menjadi najis.
Karena itu hukum
larangan mandi di dalam air yang kurang dari dua qullah
itu adalah lit-tahrim (untuk
mengharamkan), sedangkan larangan mandi di dalam air yang bervolume dua qullah atau lebih adalah lit-tanzih (untuk dijauhi) saja.
Ketika air itu tidak
bercampur dengan air kencing maka larangan di atas menjadi tidak berlaku,
dengan dalil hadits al-jafnah, karena
air dalam jafnah (wadah seperti ember
berukuran besar) tersebut ketika tidak bercampur dengan air kencing maka
Rasulullah Saw. tidak berpantang untuk mandi dengannya, malah beliau Saw.
berkata.
“Sesungguhnya air itu
tidak bisa menjadi junub.”
Atau beliau Saw.
bersabda:
“Sesungguhnya air itu
tidak bisa menjadi junub.”
Sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad.
Ini memberikan arti,
bahwa air yang menetes
dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi itu tetap dalam kondisi
asalnya, yakni suci mensucikan (at-thahur).
Jika kelompok ini
tetap berpegang pada hadits larangan mandi di dalam air (yang tidak dirangkai
dengan larangan kencing), maka kami jawab mereka dengan mengarahkan hadits
tersebut pada aspek kebersihan saja dan cegahan menggunakan air yang dipandang
kotor, karena pada umumnya tubuh orang yang mandi itu tidak bersih dari kotoran
yang bisa jadi akan melekat atau bercampur dengan air tersebut. Rasulullah Saw.
lebih memilih air wudhu dan air untuk mandi yang bersih dari kotoran, walaupun
bisa jadi dengan kuantitas yang sedikit, dengan qarinah
yang disebutkan dalam hadits:
“Hendaknya dia
menciduknya.”
Dengan demikian
gugurlah hadits ini -dengan berbagai riwayatnya- sebagai hujjah pendapat mereka, bahwa air yang telah
digunakan (musta’mal) untuk
menghilangkan hadats itu tidak bisa digunakan lagi untuk menghilangkan hadats.
Hadits ini melarang mandi di dalam air yang sudah bercampur dengan air kencing,
dan melarang kencing di dalam air yang digunakan untuk mandi. Inilah makna
sebenarnya dari hadits tersebut, dan inilah pemahaman yang sebenarnya terhadap
hadits tersebut.
6. Bahan pembicaraan
yang tersisa kini tinggal beberapa hadits: hadits yang kelima (e), keenam (f)
dan ketujuh (g).
Tema atau pokok
pembahasan dari hadits kelima dan keenam itu sama, yakni mengusap kepala dengan
air yang bukan musta’mal. Rasulullah
Saw. mengambil air yang baru ketika hendak mengusap kepalanya dalam wudhu,
bukan air yang masih tersisa di tangannya. Yakni setelah membasuh tangan
kirinya pada saat berwudhu beliau Saw. mengambil air yang baru untuk mengusap
kepalanya, beliau Saw. tidak mengusap kepalanya dengan sisa air pada kedua
tangannya.
Mereka lantas
menyatakan bahwa air musta’mal (yang
telah digunakan) untuk membasuh tangan itu tidak bisa menghilangkan hadats,
seandainya air musta’mal bisa digunakan
dalam wudhu niscaya Rasulullah Saw. akan mengusap kepalanya tanpa perlu
menciduk air yang baru untuk itu. Begitulah mereka menjelaskan pendapat mereka
dengan dua hadits ini, dan mereka mengatakan bahwa kedua hadits ini shahih sehingga layak digunakan sebagai hujjah.
Jawaban kami atas
pernyataan seperti itu adalah, bahwa Rasulullah Saw. selain melakukan hal
seperti itu (mengusap kepala dengan air yang baru-pen.),
juga melakukan hal sebaliknya, dan ini disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih juga. Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwasanya beliau
berwudhu, ia mencuci wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan tangan dan
menggunakannya untuk berkumur dan beristinsyaq,
lalu ia kembali mengambil air satu cidukan tangan dan menjadikannya seperti ini
-dia menuangkan pada tangannya yang lain- lalu dengan kedua tangannya ia
membasuh wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan dan membasuh tangan
kanannya, lalu kembali mengambil air satu cidukan dan membasuh tangannya yang
sebelah kiri, kemudian dia mengusap kepala, lalu mengambil air satu cidukan dan
menyela-nyela kaki kanannya hingga membasuhnya, lalu mengambil air satu cidukan
lagi dan membasuh kaki kirinya. Setelah itu ia berkata: Seperti inilah aku
melihat Rasulullah Saw. berwudhu.” (HR. Bukhari)
Di dalam hadits ini
Ibnu Abbas menggambarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. ketika
berwudhu. Di dalamnya disebutkan bahwa beliau Saw. menciduk air untuk setiap
aktivitas wudhu, satu kali menciduk untuk berkumur dan beristinsyaq, satu kali menciduk untuk membasuh
wajah, satu kali menciduk untuk membasuh dua tangan, satu kali menciduk untuk
membasuh dua kaki, dan hadits ini tidak menyebutkan beliau Saw. menciduk air
untuk mengusap kepala, yang mana hal ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw.
mengusap kepalanya dengan air yang masih tersisa di kedua tangannya, beliau
Saw. tidak mengusap kepalanya dengan air yang baru.
Adalah benar
kadangkala dikatakan bahwa pernyataan seperti ini sama dengan membantah manthuq dengan menggunakan mafhum, sehingga menjadi lemah. Maka kami
katakan: pernyataan ini lemah seandainya mafhum
tersebut bertentangan dengan manthuq dan
tidak ada kemungkinan mengkompromikan di antara keduanya, padahal di sini tidak
ada kontradiksi atau pertentangan apapun. Rasulullah Saw. telah mengusap
kepalanya dengan air yang baru, kemudian ada lagi berita dari beliau Saw.,
bahwa beliau Saw. mengusap kepalanya dengan air musta’mal
(yang telah digunakan). Dua hal ini tidak bisa dikatakan ta'arudh (kontradiktif) , justru bisa
dikatakan bahwa dua perbuatan ini boleh, karena keduanya telah sama-sama
dilakukan oleh beliau Saw., sehingga bantahan mereka terhadap pendapat ini
tidak bisa diterima.
Bagaimanapun, agar
kami bisa membantah hujjah mereka, maka
kami sampaikan pada mereka hadits Rubayyi' binti Mu’awwidz bin ‘Afra yang
mendeskripsikan bagaimana Rasulullah Saw. berwudhu, di dalamnya disebutkan:
“Dan beliau Saw.
mengusap kepalanya dengan air sisa wudhunya setelah beliau membasuh kedua
tangannya sebanyak dua kali, beliau Saw. memulai dengan bagian belakang
kepalanya, kemudian mendorong tangannya sampai ke ubun-ubunnya, lalu beliau
Saw. membasuh kedua kakinya tiga kali...” (HR. Ahmad)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Bahwasanya Nabi Saw.
mengusap kepalanya dengan sisa air yang masih ada di tangannya.”
Para imam tidak
berselisih pendapat tentang kualitas para perawi yang ada dalam sanad hadits ini, kecuali pada Abdullah bin
Muhammad bin ‘Aqil bin Abi Thalib, tetapi hal ini telah dibantah oleh Tirmidzi,
ia berkata: Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil itu jujur, tetapi sebagian imam
mengkritik beliau dari sisi kualitas hafalannya. Imam Bukhari berkomentar juga
tentang Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil ini, dia berkata: Ahmad, Ishaq dan
al-Humaidi berhujjah dengan hadits
Abdullah ini. Dengan demikian, hadits ini layak untuk dijadikan sebagai hujjah.
Hadits ini jelas
membantah manthuq dengan manthuq, nyata disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. mengusap kepalanya dengan sisa air yang masih ada pada kedua tangannya. Hujjah apalagi yang tersisa pada mereka ketika
mereka mengutip dua hadits untuk menyatakan bahwa air musta’mal (yang telah digunakan) dalam wudhu itu tidak layak
digunakan lagi? Sehingga gugurlah hujjah
mereka dengan dua hadits ini, dan tidak ada yang tersisa dari hujjah mereka kecuali satu hadits saja, yakni
hadits yang ketujuh (g), hadits Jariyah yang diriwayatkan oleh at-Thabrani,
yakni sabda Rasulullah Saw.:
“Ciduklah air yang
baru untuk (mengusap) kepala.”
Inilah sisa syubhat
yang ada pada mereka ketika mereka tetap saja melarang menggunakan air musta’mal. Hadits ini dikomentari oleh
al-Haitsami: Di dalam sanadnya ada
Dahtsam bin Qurran yang didhaifkan oleh
jama'ah. Perawi ini pun disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, sehingga status perawi yang satu
ini diperselisihkan, hingga Ibnu Hibban sendiri tidak mencantumkan haditsnya
dalam kitab Shahihnya, walaupun begitu
saya akan memandangnya layak untuk dijadikan hujjah.
Hadits ini memiliki
topik yang sama dengan dengan dua hadits sebelumnya, hanya saja dua hadits
sebelumnya menjelaskan perbuatan (fi’il)
Rasulullah Saw., sedangkan hadits ini merupakan ucapan (qaul) Rasulullah Saw., sedangkan tema atau topiknya sama saja.
Kami telah
menyampaikan dua hadits bahwa Rasulullah Saw. tidak menciduk air yang baru
ketika mengusap kepalanya,
“Bahwasanya Nabi Saw.
mengusap kepalanya dengan sisa air yang masih ada di tangannya.” (HR. Abu
Dawud)
Dan ini adalah manthuq (bunyi literal) hadits.
Dalam hadits yang lain
disebutkan bahwa beliau Saw. tidak menciduk air yang baru untuk mengusap
kepalanya, padahal beliau Saw. disebutkan menciduk air yang baru untuk setiap
aktivitas (basuhan) wudhunya yang lain, dan ini adalah mafhum hadits. Manthuq
dan mafhum hadits ini saling memperkuat
untuk menyelisihi dua hadits:
“Beliau Saw. mengusap
kepalanya dengan air yang bukan sisa membasuh tangannya.”
Dan hadits:
“Bahwasanya Nabi Saw.
menciduk air yang baru untuk (mengusap) kepalanya.”
Keduanya adalah manthuq (bunyi literal) hadits.
Perselisihan atau
perbedaan di antara hadits-hadits ini menafikan illat
isti'mal (telah digunakannya air tersebut), karena seandainya air musta’mal itu tidak bisa digunakan lagi, tentu
tidak akan ada hadits yang menyebutkan Rasulullah Saw. menggunakan sisa air
wudhu.
Bisa jadi dikatakan
oleh mereka bahwa benar ini dilakukan oleh beliau Saw. tetapi hal ini termasuk
kekhususan beliau Saw. Maka kami bantah bahwa pernyataan seperti ini sama
sekali tidak benar. Tiada lain karena apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
tidak bisa dipandang sebagai kekhususannya, kecuali jika ada dalil yang
menunjukkan perbuatan tersebut memang termasuk kekhususan beliau Saw., dan di
sini justru tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu.
Telah diketahui oleh
sahabat dan orang setelah mereka, bahwa Rasulullah Saw. melaksanakan shalat,
lalu para sahabat mengambil tatacara shalat itu dari beliau Saw.
Rasulullah Saw.
berwudhu lalu kaum Muslim belajar tatacara wudhu itu dari beliau Saw., dan
sebagian besar hadits-hadits tentang wudhu yang dilakukan oleh kaum muslim itu
merupakan af’al (perbuatan) Rasulullah
Saw. atau merupakan af'al para sahabat
lalu para sahabat tersebut menyebutkan bahwa apa yang mereka lakukan menyerupai
apa yang dilakukan Rasulullah Saw.
Dengan terang-terangan
mereka katakan bahwa mereka berwudhu sebagaimana Rasulullah Saw. berwudhu, di
antara mereka ada yang mengatakan: Aku adalah orang di antara kalian yang
paling mirip wudhunya dengan Rasulullah saw. Wudhu merupakan salah satu kewajiban
syara’ yang lebih banyak diambil dari perbuatan (af'al)
Rasulullah Saw. bila dibandingkan dengan ucapan (qaul)
Rasulullah Saw., lalu muncul orang yang mengatakan bahwa mengusap kepala dengan
air sisa membasuh kedua tangan itu termasuk kekhususan Rasulullah saw. Maka
kami katakan pada orang tersebut bukan seperti itu cara memahami nash.
Dengan landasan yang
telah kami paparkan di atas, maka bisa kita nyatakan bahwa hadits Jariyah
-dengan asumsi hadits tersebut sebagai hadits shahih-
itu dipahami sebagaimana hadits-hadits sebelumnya, karena memiliki topik
yang sama.
Maksud hadits ini
jelas bahwa seorang Muslim hendaknya membasuh kepalanya dengan air yang baru,
yakni bukan dengan air yang tersisa pada kedua tangannya setelah sebelum
membasuh kedua tangannya itu.
Hadits ini bisa
dipadukan dengan dua hadits sebelumnya yang menyebutkan hal seperti itu
berdasarkan perbuatan (af'al) Rasulullah
saw. Sebenarnya tidak ada pengertian yang baru dari hadits ini. Rasulullah Saw.
memerintahkan Muslim yang diserunya itu untuk melakukan persis seperti apa yang
beliau lakukan ketika membasuh kepalanya, yakni dengan menggunakan air yang
baru, sebagaimana disebutkan dalam dua hadits yang memiliki topik yang sama, di
mana dua hadits tersebut kemudian diselisihi oleh dua hadits yang lain.
Perbedaan di antara
hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya mengusap kepala dengan air yang baru dan
bolehnya mengusap kepala dengan air yang tersisa pada kedua tangan (setelah
sebelumnya digunakan untuk membasuh kedua tangan). Sehingga dalam persoalan ini
terdapat keluasan bagi kita untuk memilih salah satunya.
Seperti inilah
seharusnya nash-nash tersebut dipahami, bukan dengan cara dipaksa dimuati
dengan sesuatu yang tidak didukungnya, sehingga mereka keliru mengistinbath alasan isti'mal
(telah digunakannya air) dari dalil-dalil tersebut, di mana alasan atau illat tersebut sebenarnya tidak ada sama
sekali dalam nash, baik dilihat dari sisi manthuq-nya
ataupun dari sisi mafhum-nya. Kekeliruan
pendapat ini tidak akan terjadi kecuali oleh orang yang mereka-reka illat ini sebagai pendapatnya terlebih dahulu,
baru kemudian dia mencari sandaran dalilnya.
Para fuqaha banyak
yang berbeda pendapat tentang persoalan mengusap dua telinga. Mereka mengutip
hadits-hadits dan perbuatan para sahabat seraya mencari sandaran dari
kamus-kamus bahasa. Topik perdebatan mereka seputar: apakah kedua telinga itu
bagian dari kepala atau anggota tubuh yang terpisah dari kepala? Orang yang
mengatakan bahwa telinga itu bagian dari kepala sehingga menjadi bagian
integral dari satu anggota badan akan mengatakan: kedua telinga itu diusap
bersamaan dengan kepala dengan satu kali usapan saja, tidak perlu diambil air
yang baru.
Sedangkan orang yang
mengatakan bahwa kedua telinga itu bukan bagian dari kepala maka mereka
mewajibkan untuk mengambil air yang baru untuk mengusapnya. Seperti itulah,
mereka mewajibkan untuk setiap anggota badan dalam wudhu itu harus diambil air
yang baru, agar jelas ada tanda pemisah di antara setiap anggota badan yang
dibasuh. Mereka menganggap pemisahan sebagai illat
(alasan) untuk mengambil air yang baru. Di sini mereka meninggalkan illat isti'mal,
karena kepala itu satu anggota badan tersendiri, maka menurut mereka wajib
diambil air yang baru yang terpisah dari air basuhan kedua tangan.
Begitulah, dalam satu
kesempatan mereka berpegang pada illat isti’mal,
sedangkan dalam kesempatan yang lain mereka berpegang pada illat harus ada pemisahan di antara anggota
badan.
Sebagai contoh saya
sodorkan kepada para pembaca satu paragraf yang dikutip dari kitab al-Mughni
karya Ibnu Qudamah: Masalah: dia berkata: [dan mengambil air yang baru untuk
mengusap kedua telinga baik bagian luarnya ataupun bagian dalamnya]. Disunahkan
mengambil air yang baru untuk membasuh dua telinga. Ahmad berkata: Aku
menganjurkan untuk mengambil air yang baru untuk membasuh dua telinga. Ibnu
Umar suka mengambil air yang baru untuk mengusap dua telinga. Pendapat inilah
yang dipegang oleh Malik dan as-Syafi’i. Ibnu al-Mundzir berkata: Pendapat yang
mereka katakan ini tidak ditemukan dalam hadits-hadits. Abu Umamah, Abu
Hurairah dan Abdullah bin Zaid telah meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Dua telinga itu
bagian dari kepala.” (HR. Ibnu Majah)
Ibnu Abbas, Rubayyi
binti Muawwidz, dan al-Miqdam bin Ma’dikariba meriwayatkan:
“Bahwa Nabi Saw.
mengusap kepala dan dua telinganya satu kali.” (HR. Abu Dawud)
Mengusap kedua telinga
secara menyendiri (tidak disatukan dengan mengusap kepala-pen.) dengan air yang baru, juga telah
diriwayatkan dari Ibnu Umar.
Az-Zuhri berpendapat
bahwa kedua telinga itu merupakan bagian dari wajah. As-Sya’biy berkata: Bagian
depan kedua telinga merupakan bagian dari wajah, sedangkan bagian belakangnya
merupakan bagian dari kepala. As-Syafi’iy dan Abu Tsaur berkata: Telinga itu
tidak termasuk ke dalam wajah, juga termasuk ke dalam kepala, sehingga mengusap
kedua telinga secara menyendiri dengan air yang baru merupakan jalan keluar
perbedaan pendapat ini, dan ini jelas lebih tepat. Dan jika kedua telinga
diusap dengan air yang digunakan untuk mengusap kepala itu juga sudah cukup,
karena Nabi Saw. melakukannya.
Penjelasan yang
disampaikan penyusun kitab al-Mughni tentang apa yang disampaikan oleh
as-Syafi’i, Ahmad dan selainnya itu, jelas menunjukkan bahwa anggota wudhu yang
terpisah itu harus dibasuh dengan air yang baru. Mereka inilah yang menyatakan
bahwa air musta’mal itu kehilangan
sifatnya yang suci-mensucikan. Mereka berpendapat bahwa untuk setiap anggota
wudhu yang berdiri sendiri itu harus dibasuh dengan air yang baru.
Ini merupakan bukti
yang jelas bahwa mereka memahami mengambil air yang baru itu sebagai memulai
membasuh anggota wudhu yang baru yang berdiri sendiri, sehingga illat “mengambil air yang baru” menurut mereka
merupakan pemisah di antara anggota wudhu. Anehnya kemudian mereka mengatakan
ketika Rasulullah Saw. memerintahkan mengambil air yang baru untuk mengusap
kepala menunjukkan beliau Saw. melarang menggunakan air musta’mal dalam wudhu???
Secara ringkas kami
katakan, bahwa air musta’mal itu boleh digunakan kembali
untuk wudhu karena zatnya masih berupa air, dan hukum air itu tidak bisa
menjadi junub. Hukum air tetap suci-mensucikan (thahur), kecuali jika ada sesuatu yang
mengalahkan sifatnya dan menghilangkan namanya. Wudhu itu tidak merubah sifat
air dan tidak menghilangkan namanya sebagai air, karena itu air tersebut tetap
suci mensucikan (thahur) walaupun terkena sedikit kotoran yang berasal dari anggota wudhu yang
dibasuh. Kecuali jika orang yang berwudhu itu berlumuran kotoran,
sehingga air bekas wudhunya itu dipenuhi kotoran sampai berubah sifatnya dan
hilang namanya, maka saat itu air tersebut tidak boleh digunakan untuk
berwudhu, atau ketika orang yang berwudhu itu berlumuran najis sehingga air
bekas wudhunya menjadi air najis, tetapi hal seperti ini sangat jarang terjadi.
Dengan demikian, kita
bisa mengakhiri pembahasan pendapat mereka yang mengatakan bahwa air yang sudah
digunakan untuk menghilangkan hadats itu suci tetapi tidak mensucikan, dan
pendapat yang benar telah nampak dalam persoalan ini.
7. Sekarang kita
membahas pendapat yang terakhir. Qadhi Abu Yusuf dan gurunya, yakni Abu Hanifah
dalam satu riwayat darinya berpegang pada hadits:
“Janganlah salah
seorang dari kalian buang air kecil (di dalam air yang tergenang)…”
Mereka berdua
menyatakan: Larangan mandi di dalam air yang tergenang telah dirangkaikan
dengan larangan kencing di dalamnya. Dengan dilalah
iqtiran dan penyamaan di antara dua
perkara, maka kami berkesimpulan air itu menjadi najis kalau digunakan untuk
mandi, sama dengan air itu menjadi najis ketika dikencingi. Dua orang imam ini
berpandangan bahwa dilalah iqtiran
mengandung pengertian penyamaan pangkal hukum dan rincian-rinciannya.
Kami bersihkan syubhat
dan keraguan seperti ini -sebagai tambahan untuk penjelasan sebelumnya- bahwa dilalah iqtiran itu dipandang lemah oleh para
ahli ushul, bahkan orang-orang yang berpegang pada dilalah iqtiran ini tidak mensyaratkan persamaan di antara dua
sisi yang dipadukan. Kadangkala mereka memadukan dua larangan atau lebih, di
mana hukum yang pertama itu berupa larangan untuk mengharamkan dan hukum yang
kedua berupa larangan untuk memakruhkan.
Terkadang pula mereka
memadukan dua perintah atau lebih, di mana hukum yang pertama berupa perintah
untuk mewajibkan, sedangkan hukum yang kedua berupa perintah untuk memandubkan atau membolehkan.
Kaidah dilalah iqtiran yang menjadi sandaran dua imam
ini sangat lemah bahkan keliru, sehingga tidak boleh dijadikan rujukan dan
sandaran. Poin ini telah kami isyaratkan dalam pembahasan sebelumnya.
Selain itu, pernyataan
mandi di dalam air bisa menajisi air itu bukanlah manthuq
nash, sehingga ketika nanti ditemukan manthuq
nash yang menyalahinya maka pernyataan tersebut menjadi tidak berlaku dan
dinafikan, karena manthuq (bunyi literal
nash) itu lebih kuat dalam persoalan hujjah
dan pengamalannya. Hadits jafnah yang
telah kami sebutkan sebelumnya jelas menyatakan:
“Sesungguhnya air itu
tidak bisa menjadi junub.”
Jelas merupakan manthuq, dan inilah yang harus diamalkan,
seraya kita harus meninggalkan mafhum
dari hadits :
“Janganlah salah
seorang dari kalian buang air kecil (di dalam air yang tergenang)…”
Itupun dengan asumsi
seandainya keabsahan mafhum tersebut
bisa diterima. Karena itu gugurlah hadits ini sebagai dalil yang menopang
pendapat mereka itu.
Adapun pendapat
keduanya, bahwa air yang digunakan untuk menghilangkan junub atau air yang
digunakan untuk berwudhu itu adalah air yang digunakan untuk menghilangkan
penghalang shalat, sehingga halangan itu berpindah ke dalam air tersebut
sebagai pencuci mencuci najis yang bisa berubah, maka hal ini merupakan
kesimpulan akal, bukan hukum syara’.
Ketika sebuah
kesimpulan bertentangan dengan nash, maka kesimpulan tersebut tidak benar.
Inilah yang disepakati oleh seluruh fuqaha dan ahli ushul. As-Syafi’iy berkata:
Ketika sebuah hadits itu berstatus shahih
maka itulah madzhab (pendapatku), dan lemparkanlah pendapatku ke dinding.
Dalam persoalan ini
banyak hadits yang menunjukkan kesucian air musta’mal,
sehingga hadits-hadits inilah yang harus diamalkan, sedangkan analogi (qiyas) seperti di atas harus ditinggalkan.
Adapun pendapat
terakhir dari keduanya, bahwa mandi atau wudhu itu disebut sebagai thaharah (bersuci), dan bersuci itu tidak
dilakukan kecuali untuk membersihkan dari sesuatu yang najis, karena bersuci
dari sesuatu yang suci itu tidak bisa dipahami oleh akal, maka kami katakan:
sesungguhnya kaidah seperti ini jelas keliru, sehingga pendapat yang dibangun
di atas kaidah yang keliru ini pun menjadi keliru pula.
Hal ini karena thaharah (bersuci) itu tidak serta merta
sebagai kebalikan dari najasah (najis).
Firman Allah Swt.:
“Maka barangsiapa yang
menghendaki, tentulah ia memperhatikannya di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,
yang ditinggikan lagi disucikan.” (TQS. Abasa [80]: 12-14)
Firman Allah Swt.:
“(Yaitu) seorang Rasul
dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan
(al-Quran).” (TQS. al-Bayyinah [98]: 2)
Firman Allah Swt.:
“Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka.” (TQS. at-Taubah [9]: 103)
Firman Allah Swt.:
“Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka.” (TQS. al-Maidah
[5]: 41)
Firman Allah Swt.
kepada keluarga Rasulullah Saw.:
“Tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu.” (TQS. al-Maidah [5]:
6)
Firman Allah Swt.:
“Usirlah Luth beserta
keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang
(menda'wakan dirinya) bersih.” (TQS. anNaml [27]: 56)
Dan masih banyak lagi
ayat al-Qur'an lainnya yang menyebutkan kata thaharah
bukan dalam arti kebalikan najis hissiyah.
Allah Swt. ketika menjelaskan karakter shuhuf
itu muthahharah maksudnya shuhuf itu bukan telah dibersihkan dari najis.
Allah Swt. ketika menyebutkan kata shadaqah maksudnya bukan sebagai penghilang
najis dari manusia. Begitu pula ketika menyebutkan frase hendak mensucikan hati
kalian, tentu maksudnya bukan hendak menghilangkan najis dari hati kalian, dan
berbagai ayat yang lainnya. Semua ini adalah kata thaharah,
yang dari sisi manapun juga tidak beroposisi dengan kata najasah.
Ketika datang, seorang
Muslim yang melakukan kesalahan, kepada Rasulullah Saw., seraya berkata: Wahai
Rasulullah, thahhirnii (sucikanlah aku),
maksudnya bukan meminta Rasulullah Saw. untuk membersihkan dirinya dari najis,
melainkan meminta Rasulullah Saw. untuk mendirikan had (hukuman sanksi) atas dirinya, dan dia menyebutnya sebagai thaharah, dan ini merupakan sesuatu yang pasti
diketahui.
Thaharah itu terkadang menjadi lawan dari najis hissiyah, tetapi terkadang pula menjadi
lawan dari najis maknawiyah, dan juga
mengandung beragam makna, sehingga mengkhususkan thaharah
untuk najis hissiyah dalam menghilangkan
hadats itu membutuhkan pentakhsis,
sedangkan di sini tidak ditemukan adanya pentakhsis.
Sebaliknya, justru di hadapan kita ada hadits-hadits yang menafikan pengertian najis hissiyah dari seorang Muslim ketika dia
junub, dan dari seorang wanita ketika dia sedang haid, kami ilustrasikan dua
kondisi tersebut dengan beberapa keterangan berikut:
a. Hudzaifah bin
al-Yaman meriwayatkan :
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. bertemu dengannya, padahal dia dalam keadaan junub, maka dia menjauhkan
diri dari beliau Saw., lalu dia mandi, kemudian dia datang seraya berkata: Aku
tadi dalam keadaan junub. Nabi Saw. berkata: “Sesungguhnya seorang Muslim itu
tidak najis.” (HR. Muslim)
Ahmad dan Bukhari
meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Hurairah.
b. Dari Aisyah ra. dia
berkata:
“Rasulullah Saw.
berkata kepadaku: “Ambilkanlah aku al-khumrah (alas untuk sujud) dari masjid.”
Dia berkata: Maka aku berkata: Sesungguhnya aku sedang haid. Maka Nabi Saw.
berkata: “Sesungguhnya darah haidmu itu tidak berada di tanganmu.” (HR. Muslim,
Abu Dawud dan Ahmad)
c. Dari Aisyah ra. dia
berkata:
Aku pernah minum dan
waktu itu aku sedang haid, kemudian aku memberikan (gelas minum)-ku kepada Nabi
Saw. Beliau Saw. meletakkan mulutnya di bekas mulutku, lalu beliau Saw. minum,
dan aku makan daging yang masih menempel pada tulang. Waktu itu aku sedang
haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi Saw., kemudian beliau Saw. meletakkan
mulutnya di bekas mulutku.” (HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasai)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan mendahulukan bagian akhirnya.
Arti harfiah (manthuq) hadits yang pertama menunjukkan bahwa
orang yang junub itu tidak najis, sedangkan mafhum
hadits yang kedua dan ketiga menunjukkan bahwa wanita yang haid itu tidak
najis. Karena itu, ketika beberapa hadits datang menggunakan lafadz thaharah dan at-tathahhur
(bersuci) dari junub, itu tidak mengandung arti menghilangkan najis, melainkan
mengandung arti yang lain, yakni menjauhkan diri dari dosa dan menghilangkan
faktor yang menghalangi shalat. Kesimpulan ini ditunjukkan oleh hadits berikut:
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika seorang hamba
yang Muslim atau mukmin berwudhu, lalu dia membasuh wajahnya, maka keluarlah
dari wajahnya itu setiap dosa yang dilakukan oleh kedua matanya bersama air
atau dengan tetes air terakhir. Dan ketika dia membasuh kedua tangannya maka
keluarlah dari tangannya itu setiap dosa yang dilakukan oleh tangannya bersama
air atau bersama tetes air terakhir. Dan ketika dia membasuh dua kakinya maka
keluarlah setiap dosa yang dilakukan oleh kedua kakinya bersama dengan air atau
bersama tetes air terakhir, hingga dia keluar dalam keadaan bersih dari dosa.
(HR. Muslim dan Malik)
Ad-Darimi meriwayatkan
satu bagian dari hadits ini.
Berdasarkan hal itu,
wudhu bisa berarti mencuci kesalahan dan dosa, bukan untuk membersihkan najis
seperti yang mereka duga.
Kemudian seandainya
wudhu yang dilakukan seorang Muslim itu dalam rangka bersuci dari najis,
niscaya harus kita katakan bahwa orang tersebut najis sebelum berwudhu,
tentunya kesimpulan seperti itu dinegasikan oleh sabda Rasulullah Saw. yang
telah kami sebutkan:
“Sesungguhnya seorang
Muslim itu tidak najis.”
Dan niscaya orang lain
yang menyentuh si Muslim ini akan menjadi najis juga, tentunya kesimpulan
seperti ini tidak akan pernah dikatakan oleh siapapun.
Dengan demikian,
gugurlah berhujjah dengan kaidah seperti
ini, dan gugurlah pandangan yang dibangun di atas kaidah seperti ini, selain
memang bahwa kaidah seperti itu semata-mata merupakan kesimpulan akal semata
ketika dinyatakan [karena mensucikan sesuatu yang suci itu tidak bisa dipahami
oleh akal], padahal hukum-hukum syara’ itu tidak diambil dari akal, semata-mata
hanya digali dari nash-nash syara’.
Akhirnya kami
nyatakan, bahwa setiap bantahan yang kami sampaikan pada para penganut pendapat
yang pertama sama dengan bantahan pada para penganut pendapat ini. Karena itu,
jelaslah tidak ada alasan lagi yang bisa mendasari pendapat “air yang
sebelumnya telah digunakan untuk menghilangkan hadats besar dan hadats kecil
itu tidak mensucikan lagi” sebagaimana yang dilontarkan oleh penganut pendapat
yang menyatakan bahwa air seperti itu tetap suci tetapi tidak mensucikan, dan
juga oleh mereka yang berlebihan menetapkan air seperti itu sebagai air najis.
Pendapat yang benar adalah air musta’mal
(yang sudah digunakan untuk) menghilangkan hadats itu tetap suci mensucikan,
dan ini merupakan pendapat kelompok ketiga yang nampak jelas ketepatan dan
kebenarannya.
8. Kembali ke
pembahasan awal, kami telah menyebutkan bahwa mereka membagi air itu menjadi
enam kategori: air yang suci dan mensucikan, air yang suci, air najis, air musta’mal yang suci dan mensucikan, air musta’mal yang suci, dan air musta’mal yang najis. Kami telah menjelaskan
kategori yang besar, tinggallah kini membahas kategori yang sedikit.
Mereka mengatakan air
yang telah digunakan (musta’mal) untuk
menghilangkan hadats itu, ketika digunakan untuk basuhan kedua dan ketiga dalam
wudhu, maka air tersebut masih tetap suci mensucikan, dengan berbagai perbedaan
pendapat di kalangan mereka, karena air pada basuhan kedua dan ketiga itu tidak
digunakan untuk menghilangkan hadats. Hadats itu telah hilang pada saat
membasuh anggota wudhu pertama kali dibasuh. Basuhan kedua dan ketiga itu tidak
wajib hukumnya, sehingga basuhan kedua dan ketiga itu tidak ikut serta
menghilangkan hadats. Jadi air musta’mal
pada basuhan kedua dan ketiga itu tetap suci mensucikan, persis dengan air yang
didinginkan. Ini memberikan arti bahwa mereka mensyaratkan air musta’mal yang kehilangan status suci
mensucikannya itu adalah air yang digunakan dalam basuhan yang wajib saja,
bukan yang digunakan dalam basuhan yang sunah (dengan berbagai perbedaan
pendapat di kalangan mereka sebagaimana telah saya katakan).
Wudhu itu wajib, dan
kewajiban tersebut terlaksana pada basuhan yang pertama, sehingga basuhan kedua
dan ketiganya itu sunah saja. Mandi dari janabah,
haid dan nifas itu wajib hukumnya, sehingga air yang telah digunakan dalam
mandi wajib tersebut kehilangan status suci mensucikannya. Begitulah mereka
menderivasikan berbagai hukum, dan seperti itulah mereka melakukan aktivitas
berpikir tanpa mendatangkan dalil apapun dari al-Qur’an dan hadits.
Menurut hemat saya
tidak ada salahnya jika saya sodorkan satu gambaran derivasi hukum yang mereka
buat, agar pembaca sekalian bisa melihat berbagai macam perbedaan pendapat
tanpa disertai dalil yang menopangnya.
Ibnu Qudamah
menyatakan dalam kitab al-Mughni: Seluruh hadats yang kami sebutkan itu sama
saja hadats kecil, janabah, haid, nifas, begitu pula cipratan air ketika
memandikan mayat jika kami katakan tetap suci mensucikan. Riwayat yang ada
berbeda pendapat terkait cipratan air dari wanita dzimmi yang mandi karena
haid. Diriwayatkan bahwa air tersebut suci mensucikan karena tidak digunakan
untuk menghilangkan penghalang shalat semisal air yang didinginkan.
Diriwayatkan pula bahwa air tersebut tidak suci-mensucikan karena telah
digunakan untuk menghilangkan sesuatu yang menghalangi si suami menyetubuhinya,
serupa dengan air yang digunakan mandi oleh si wanita muslimah. Ketika si
wanita menggunakan air tersebut untuk mandi janabah maka air tersebut mensucikan,
karena air tersebut tidak digunakan untuk menghilangkan penghalang shalat dan
tidak digunakan untuk satu ibadah, persis dengan air yang didinginkan. Ada
kemungkinan juga air tersebut tidak boleh digunakan karena telah digunakan
untuk mandi janabah, persis dengan air yang telah digunakan wanita muslimah
untuk mandi. [Pasal] Ketika air tersebut digunakan untuk thaharah (bersuci)
yang sunah, bukan wajib, seperti memperbarui mandi, basuhan kedua dan ketiga
dalam wudhu, mandi untuk shalat Jumat dan dua hari raya, dan sebagainya, maka
di dalamnya terdapat dua keterangan. {Pertama} air tersebut seperti air yang
telah digunakan untuk menghilangkan hadats, karena hal itu termasuk thaharah
yang disyariatkan, serupa dengan air yang digunakan untuk mandi junub. {Kedua}
boleh digunakan, karena air tersebut tidak digunakan untuk menghilangkan
penghalang shalat, serupa dengan air yang didinginkan. Ketika air digunakan
untuk thaharah yang tidak disyariatkan, maka hal itu sedikitpun tidak
mempengaruhi air, sehingga persis dengan air yang didinginkan atau digunakan
untuk mencuci baju. Keterangan yang ada tidak berbeda pendapat terkait air yang
digunakan untuk mendinginkan dan membersihkan diri, di mana air tersebut tetap
dalam kemutlakannya (suci mensucikan). Kami tidak mengetahui ada perbedaan
pendapat dalam persoalan itu. [Pasal] Sedangkan air yang digunakan dalam
perkara ta'abudi (ibadah) selain hadats, seperti membasuh dua telapak tangan
ketika bangun tidur, jika kita katakan bahwa perkara tersebut bukan wajib maka
hal itu tidak mempengaruhi status air sedikitpun. Tetapi jika kita katakan
perkara tersebut hukumnya wajib maka al-Qadhi berkata air tersebut suci tetapi
tidak mensucikan. Abu al-Khattab menyebutkan ada dua keterangan dalam persoalan
seperti itu (keterangan pertama) air tersebut telah keluar dari kemutlakannya,
karena telah digunakan dalam thaharah yang bersifat ta'abudi, sehingga semisal
dengan air yang digunakan dalam menghilangkan hadats, dan karena Nabi Saw.
melarang seseorang yang baru bangun tidur untuk mencelupkan tangannya ke dalam
bejana sebelum dia mencuci tangannya sehingga hal tersebut mengandung arti
larangan. (Keterangan kedua) air tersebut tetap dalam kemutlakannya karena
tidak digunakan untuk menghilangkan hadats apapun, persis sama dengan air yang
digunakan untuk menyejukkan diri, ketika dianalogikan akan persis dengan air
yang digunakan untuk membasuh dzakar dari madzi ketika kita katakan hukumnya
wajib, karena hal ini semakna adanya.
Terkait dengan paparan
tentang air musta’mal di atas, saya
tidak menemukan komentar yang lebih baik dari komentar yang dilontarkan
as-Syaukani dalam kitab Nailul Authar: Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah dan selainnya melontarkan berbagai pernyataan yang tidak
lahir dari ilmu. Mereka melakukan rincian dan pencabangan yang jauh dari
karakter syariat yang lapang dan mudah. Dengan paparan di atas, Anda bisa
mengetahui bahwa ketetapan air musta’mal dikeluarkan dari karakter thahur (suci
mensucikan)-nya itu tidak dibangun di atas dalil sama sekali.
Keempat: kami telah
mengatakan di awal pembahasan sebagai berikut: Air musta’mal terbagi dua bagian. Satu bagian adalah air yang telah
digunakan untuk menghilangkan hadats, baik hadats besar ataupun hadats kecil,
satu bagian telah digunakan untuk selain itu, kami akan membahas bagian yang
pertama, baru kemudian beralih pada bagian yang kedua. Kita telah selesai
membahas bagian yang pertama, yakni air yang digunakan untuk menghilangkan
hadats besar dan hadats kecil.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar