Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 20 Agustus 2017

Dalil Air Thahur (Suci dan Mensucikan)



Air Thahur (Suci dan Mensucikan)

Mereka mengatakan bahwa air thahur itu jika tercampur dengan benda/material yang suci hingga (material tersebut) merubah sifat-sifat air, seperti warnanya menjadi merah atau kuning, atau menjadi berbau, atau berubah rasanya, atau berubah unsur utamanya, maka air ini menjadi air suci tetapi tidak mensucikan, air tersebut tidak layak digunakan untuk mandi dari junub, haid atau nifas, atau untuk berwudhu. Tidak berhenti sampai di situ, mereka merincinya seperti ini:
a. Benda yang menyamai kesucian air tersebut, seperti tanah dan garam.
b. Benda yang tidak bisa bercampur dengan air, seperti lemak.
c. Benda yang tidak mungkin dihilangkan dari air, seperti lumut/ ganggang.
d. Benda selain dari jenis di atas, seperti za’faran (sejenis kunyit).

Tanpa menyebutkan apakah air tersebut kurang dari dua qullah atau lebih, mereka menetapkan satu hukum untuk setiap kondisi di atas. Lalu mereka memasuki berbagai percabangan (derivasi hukum) yang tidak perlu kami sebutkan. Kami akan membantah pendapat mereka sebagai berikut:

Pernyataan yang mereka lontarkan di awal paragraf itu adalah benar dari satu sisi, tetapi keliru dari sisi yang lain. Empat kondisi tersebut bisa dianggap benar dan keliru, karena sebenarnya tidak perlu kategorisasi seperti itu.
Pernyataan bahwa ketika air berubah karena tercampur dengan benda/ material yang suci maka air tersebut kehilangan karakter suci dan mensucikannya, maka ini merupakan pernyataan yang benar. Tetapi, mengatakan bahwa air tersebut menjadi air yang suci (maa’un thaahirun), maka ini pernyataan yang keliru, karena air itu adalah material/benda yang memiliki sifat dan karakteristik yang sudah diketahui.
Ketika sifat dan karakter ini berbeda secara nyata/ jelas, maka air tersebut tidak lagi dipandang sebagai air, tidak benar menyebutnya sebagai air, dan saat itu harus disebut dengan istilah/nama apa saja sesuai benda/material yang tercampur ke dalamnya.
Karenanya, pernyataan mereka bahwa air tersebut suci (thaahir) -dengan masih menyebutkan kata “air” saja- merupakan pernyataan yang keliru. Nabidz itu -yakni air yang digunakan untuk merendam kurma- tidak benar disebut air suci tetapi tidak mensucikan, karena itu bukan air lagi, dilihat dari sisi nama dan faktanya.
Minuman teh yang berwarna merah tidak disebut air lagi, saos tidak disebut air lagi, rebusan kacang buncis hingga menguning dan memiliki rasa yang khas tidak bisa disebut air lagi, semua itu tidak lagi disebut sebagai air suci (maa’un thaahirun) dan tidak disebut air suci dan mensucikan (maa’un thahuurun). Selama minuman dan cairan/larutan ini tidak memiliki sifat-sifat air dan tidak menyandang karakteristik air, maka semua benda tersebut harus dikeluarkan atau dieliminasi dari pembahasan seputar air ini, tidak boleh dimasukkan lagi dalam pembahasan dan kategori air.

Kaidah yang wajib dipegang adalah, bahwa selama air itu sebagai air -yakni namanya air dan hakikatnya memang air- jika tercampur dengan benda yang suci tetapi tidak sampai meniadakan namanya, tidak sampai merubah sifat dan karakteristiknya, maka ia tetap sebagai air yang suci mensucikan (thahur), yang layak digunakan untuk bersuci, tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain dari empat kondisi di atas.
Ketika ke dalam air tersebut dilarutkan garam dalam jumlah yang besar, atau dicampur dengan debu, tanah, sulfur, atau kunyit, dengan takaran yang banyak sampai tidak bisa lagi disebut air, maka semua itu harus dieliminasi dari pembahasan kategorisasi air, dan harus dimasukkan dalam pembahasan material lain yang menegasikan nama dan fakta air tersebut.
Minuman kunyit itu suci, minuman kayu manis itu suci, teh itu suci, nabidz -rendaman kurma- itu suci, larutan sulfur itu suci, tetapi benda-benda ini tidak boleh dimasukkan dalam pembahasan air dan bisa dihukumi dengan hukum air, sehingga minuman dan larutan ini tidak bisa dikatakan lagi sebagai air suci yang tidak mensucikan (thahur). Tidak ada perbedaan lagi dalam persoalan tersebut apakah airnya lebih dari dua qullah ataukah kurang dari dua qullah.

Semua persoalan ini bukan persoalan yang terkait dengan nash, tetapi hanya persoalan penyelidikan fakta air (tahqiq manath). Rasulullah Saw. bersabda: air itu suci dan mensucikan. Dan kita sedang membahas fakta air dan terhadap apakah istilah ini bisa diterapkan. Rasulullah Saw. tidak mengatakan minuman kunyit itu suci atau mensucikan hingga minuman seperti itu bisa dimasukkan dalam pembahasan air ini. Dengan demikian, apa yang mereka nyatakan bahwa air itu tetap suci (thaahir) ketika dicampur dengan sesuatu yang merubah sifat atau menafikan namanya, itu adalah pernyataan yang benar dari satu sisi sekaligus merupakan pernyataan yang keliru dari sisi yang lain. Kedua sisi ini sangat jelas sekali-.
Dan seperti itulah halnya bumbu makanan, cairan obat, larutan kimia, sari buah atau air perasan buah, dan cairan parfum. Bagaimanapun juga, semua cairan tersebut tidak memiliki kaitan sama sekali dengan hukum air dari sisi suci dan mensucikan (thahur). Semua benda tersebut tidak layak digunakan untuk berwudhu dan mandi dari nifas, haid dan junub

Kadang dikatakan bahwa Ikrimah, Hasan, al-Auza’iy dan Abu Hanifah membolehkan berwudhu menggunakan nabidz (air rendaman kurma) karena berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. bertanya kepadanya pada malam al-Jin: “Apa yang ada dalam wadah airmu?” Dia berkata: Nabidz (perasan kurma). Beliau Saw. bersabda: “Kurma yang bagus dan air yang suci lagi mensucikan.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Malam al-Jin: suatu malam di mana jin datang menemui Rasulullah Saw., kemudian mereka pergi membawa Nabi menemui kaum jin agar mereka (jin) bisa belajar agama dan hukum Islam dari beliau Saw.

Maka kami bantah pendapat mereka ini dengan tiga alasan:
Pertama: hadits ini bertentangan dengan firman Allah Swt.:

“Kemudian apabila kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu.” (TQS. an-Nisa [4]:43 dan al-Maidah [5]:6)

Hal ini karena ayat tersebut telah mewajibkan kita beralih menggunakan tanah ketika tidak ada air, dan ayat tersebut tidak menetapkan sesuatu yang lain di antara keduanya itu.

Kedua: hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Abu Zaid yang dikatakan oleh Tirmidzi: Abu Zaid itu seorang yang tidak dikenal di kalangan ahli hadits. Ibnu Hibban berkata: Abu Zaid itu tidak diketahui identitas dirinya, tidak pula diketahui ayahnya dan negerinya, sehingga siapa saja yang memiliki karakter seperti ini, lalu dia meriwayatkan satu hadits yang bertentangan dengan al-Qur'an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, maka hadits yang diriwayatkannya itu harus dijauhi.

Ketiga: Muslim telah meriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud sendiri berkata:

“Pada malam al-Jin itu, aku tidak bersama Rasulullah Saw., padahal aku sangat ingin bersama dengannya.”

Abu Dawud telah meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ditanya:

“Siapa di antara kalian yang bersama Rasulullah Saw. pada malam al-Jin. Ibnu Mas’ud menjawab: Tidak ada seorangpun dari kami bersama beliau Saw.”

Dengan demikian gugurlah hadits tersebut sebagai hujjah kebolehan berwudhu dengan nabidz. Ibnu Qudamah berkata dalam kitab al-Mughni: Selain nabidz, cairan selain air seperti cuka, lemak cair, saos, dan susu, itu yang kami ketahui tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu bahwa semua itu tidak boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi, karena Allah Swt. telah menetapkan karakter suci dan mensucikan itu hanya pada air dengan firmannya: Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu. Dan nabidz itu tidak bisa disebut sebagai air.

Inilah kesimpulan yang benar dan tepat.

Walaupun begitu, syariat yang lurus telah memberikan kemudahan kepada kaum Muslim terkait air laut dan air sungai, sehingga syariat telah menetapkan bahwa air laut itu suci dan mensucikan, walaupun air laut itu kehilangan salah satu sifat air karena rasanya yang asin, dan syariat pun telah menetapkan bahwa air sungai itu suci dan mensucikan, walaupun tanah dan berbagai noda telah merubah warnanya.
Kedua jenis air ini, ketika dikatakan sebagai pengecualian, maka hanya terbatas pada keduanya saja, tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan pada selainnya, sehingga sesuatu selain keduanya harus diperlakukan dengan apa yang sudah dibahas di atas. Karena itu para fuqaha dan para imam berkata: Air itu jika bercampur dengan sesuatu yang memang biasanya tercampur di dalamnya seperti garam dan tanah, maka air itu tetap suci dan mensucikan, dan jika ada sesuatu selain keduanya bercampur dengan air lalu menghilangkan salah satu sifat air; maka air yang tercampur dengannya tidak lagi dipandang sebagai air dan tidak lagi dimasukkan dalam kategori air yang suci dan mensucikan.

Berdasarkan paparan di atas, jelas bagi kita bahwa tidak ada sesuatupun yang namanya air yang suci tetapi tidak mensucikan, sehingga gugurlah kategori kedua dari pembagian air.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam