Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 03 Agustus 2017

Mengqadha Shalat Sunat Rawatib Dan Shalat Sunat Mulhaqah



Disyariatkan untuk mengqadha shalat sunat rawatib dan shalat sunat mulhaqah jika luput karena tertidur, atau lupa, atau tersibukkan oleh sesuatu sehingga tidak sempat melaksanakannya pada waktunya. Ada beberapa nash terkait dengan pembahasan ini. Dengan meneliti nash-nash ini kita mendapati sejumlah hadits yang menceritakan beberapa peristiwa tentang qadha shalat sunat ini. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak untuk membatasi hanya untuk shalat sunat tertentu yang hanya diceritakan pada hadits tersebut, melainkan untuk menerangkan shalat sunat-shalat sunat dari peristiwa tersebut, sehingga hukum yang digali dari peristiwa itu bisa dikaitkan dengan sunat-sunat ini, dan hukumnya tidak berhenti pada shalat sunat yang disebutkan dalam peristiwa itu saja. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang belum shalat (sunat) dua rakaat fajar maka hendaklah dia melakukannya setelah terbit matahari.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. tertidur dari dua rakaat (shalat sunat) fajar, lalu beliau Saw. melaksanakannya setelah terbit matahari.” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Ibnu Abi Maryam ra., ia berkata:

“Kami bersama Rasulullah Saw. berada dalam perjalanan, lalu kami berjalan pada malam hari, ketika menjelang subuh Rasulullah Saw. turun (singgah) lalu tidur dan orang-orang pun ikut tidur. Kami tidak bangun kecuali ketika matahari telah terbit menerangi kami, kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan muadzin, maka sang muadzin pun beradzan. Setelah itu beliau Saw. shalat dua rakaat sebelum fajar, lalu memerintah sang muadzin, maka sang muadzin itu pun beriqamat, kemudian beliau Saw. shalat mengimami orang-orang.” (HR. an-Nasai)

Dalam riwayat an-Nasai dari jalur Nafi Ibnu Jubair dari ayahnya, redaksinya sebagai berikut:

”...Lalu telinga mereka seolah ditutupi, hingga panas matahari membangunkan mereka. Mereka pun terbangun, kemudian beliau berkata: “Berwudhulah kalian.” Setelah itu Bilal mengumandangkan adzan dan beliau shalat dua rakaat. Mereka kemudian shalat sunat dua rakaat fajar, setelah itu shalat fajar.”

Inilah nash-nash yang terkait dengan qadha sunat rawatib untuk shalat fajar.

Dari Aisyah ra.: “Bahwa Nabi Saw. jika belum melaksanakan empat rakaat sebelum dhuhur maka beliau melakukannya setelah dhuhur.” (HR. Tirmidzi)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasululah Saw. jika luput dari empat rakaat sebelum dhuhur maka beliau melaksanakannya setelah dua rakaat ba'da dhuhur.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah)

Dua nash ini tentang qadha shalat sunat rawatib sebelum dhuhur dan shalat mulhaqahnya, karena sunat rawatib itu dua rakaat dan sunat mulhaqahnya dua rakaat, sehingga jumlahnya menjadi empat rakaat.

Sebelumnya dalam pembahasan “shalat sunat rawatib muakkad” pada bab ini kami telah menyebutkan hadits Kuraib yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, ad-Darimi, dan Abu Dawud, di dalamnya disebutkan,

“Sesungguhnya aku telah didatangi orang-orang dari Abdul Qais, lalu mereka menyibukkan aku dari dua rakaat yang (biasa kulakukan) setelah dhuhur, maka kedua rakaat tersebut adalah itu.”

Juga telah disebutkan dalam pembahasan yang sama hadits Abdullah bin Abi Qais yang diriwayatkan Ahmad dan an-Nasai, di dalamnya disebutkan:

“Adalah Nabi Saw. biasa shalat dua rakaat ba'da dhuhur, lalu beliau Saw. tersibukkan dari (shalat tersebut) hingga beliau shalat ashar. Ketika selesai (shalat ashar) beliau melaksanakan shalat dua rakaat di rumahku.”

Begitu pula disebutkan dalam pembahasan yang sama, hadits Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam yang diriwatkan oleh Ahmad, dan di dalamnya disebutkan:

“Rasulullah Saw. shalat dhuhur dan ke hadapan beliau Saw. telah dibawakan harta, lalu beliau Saw. duduk membagikannya hingga tibalah muadzin mengumandangkan adzan ashar. Beliau Saw. shalat ashar kemudian pulang kepadaku, dan hari itu memang hari giliranku. Lalu beliau shalat dua rakaat secara ringan, maka kami bertanya: “Dua rakaat apakah ini wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan keduanya?” Beliau Saw. bersabda: “Tetapi ini adalah dua rakaat yang biasa aku lakukan setelah dhuhur, hanya saja aku tersibukkan oleh pembagian harta ini hingga datanglah kepadaku muadzin yang mengumandangkan shalat ashar, dan aku tidak suka meninggalkan dua rakaat tersebut.”

Ketiga nash ini berbicara tentang qadha sunat rawatib ba'da dhuhur.

Dalam pembahasan “shalat sunat rawatib muakkad” dalam bab ini telah disebutkan hadits Abu Salamah -bin Abdurrahman- yang diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasai, di dalamnya disebutkan:

“Beliau melaksanakannya sebelum ashar, kemudian beliau disibukkan oleh sesuatu atau terlupa, maka beliau melaksanakannya setelah ashar.”

Maka nash ini berbicara tentang qadha shalat sunat sebelum ashar. Seperti yang telah kami sebutkan, bahwa nash-nash ini telah menyebutkan beberapa peristiwa qadha shalat sunat rawatib dan mulhaqah, dan peristiwa-peristiwa tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi. Semua ini menunjukkan bahwa qadha seluruh shalat sunat rawatib seluruhnya, dan qadha seluruh shalat sunat mulhaqah itu adalah sesuatu yang disyariatkan.

Adapun terkait kapan shalat sunat tersebut diqadha, maka waktu seluruhnya layak untuk mengqadha shalat sunat ini. Tidak ada perbedaan antara waktu karahah maupun selainnya.
Dan sebelumnya telah kami sebutkan hadits Kuraib, hadits Abdullah bin Abi Qais dan hadits Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, semuanya menceritakan tentang qadha shalat sunat ba’diyah dhuhur yang dilaksanakan setelah shalat ashar.
Begitu pula hadits Abi Salamah, yang menunjukkan qadha shalat sunat qabliyah ashar yang dilaksanakan setelah ashar, padahal shalat setelah ashar itu dilarang berdasarkan hadits-hadits yang kami sebutkan dalam pembahasan “shalat sunat rawatib muakkad” pada bab ini ketika kami menjelaskan shalat sunat rawatib ashar. Qais bin Amr ra. meriwayatkan:
“Bahwa dia shalat subuh bersama Rasulullah Saw., kemudian berdiri dan shalat dua rakaat, lalu Nabi bertanya: “Dua rakaat apakah ini?” Maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, ini adalah dua rakaat fajar yang belum sempat aku laksanakan, dan dua rakaat itu adalah ini.” Ia berkata: lalu Nabi Saw. diam.” (HR. Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan al-Baihaqi)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

”...Dan Rasululah Saw. melihat kepadanya dan tidak mengingkari tindakannya itu.”

Hadits ini menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunat fajar di waktu karahah, yakni waktu yang ada setelah shalat fajar hingga matahari terbit dan mulai meninggi. Shalat setelah shalat fajar hingga matahari terbit dan mulai meninggi itu hukumnya dilarang berdasarkan hadits-hadits yang kami sebutkan dalam pembahasan “shalat sunat rawatib muakkad” pada bab ini ketika kami membicarakan shalat sunat rawatib ashar, tetapi kemakruhan melaksanakan shalat di waktu-waktu terlarang itu semata-mata khusus untuk shalat sunat muthlaq yang tidak diikat oleh waktu, atau oleh sebab atau tujuan tertentu.
Adapun mengqadha shalat sunat rawatib, shalat sunat mulhaqah, dan melaksanakan shalat yang memiliki sebab dan tujuan khusus, seperti tahiyatul masjid, shalat kusuf, dan shalat jenazah, atau seperti shalat istikharah, shalat hajat dan shalat istisqa, maka semua itu boleh dilakukan walaupun di waktu terlarang.

Mengenai hadits Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang lupa dari dua rakaat fajar maka hendaklah dia melaksanakannya jika matahari telah terbit.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Dan hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dengan redaksi:

“Barangsiapa yang belum shalat dua rakaat fajar maka hendaklah dia melaksanakannya setelah matahari terbit.”

Diamnya beliau Saw. dari qadha shalat sunat fajar sebelum terbit matahari menunjukkan bolehnya hal tersebut dilakukan.
Seorang Muslim dianjurkan untuk memilih dalam mengqadha shalat sunat fajar pada waktu setelah matahari terbit bahkan ketika sudah agak tinggi, tetapi jika dia menyegerakannya dan tidak menunggu terbit dan tingginya matahari, lalu melaksanakannya sebelum itu, maka hal itu boleh-boleh saja, sehingga dua hadits ini tidak bertentangan.

Tentang syubhat yang timbul dari hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan at-Thahawi, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban, maka hal itu akan kami jelaskan sekarang, yakni (pendapat bahwa) tidak disyariatkannya qadha shalat sunat dan nafilah di waktu-waktu terlarang. Ini merupakan syubhat yang lemah, yang tidak memiliki kekuatan jika dihadapkan dengan banyaknya hadits-hadits di atas -yang menentukan bolehnya mengqadha shalat sunat dan nafilah di waktu-waktu terlarang-. Hadits tersebut adalah:

dari Ummu Salamah ra.:

“Rasulullah Saw. shalat ashar, kemudian masuk ke rumahku dan beliau shalat dua rakaat, maka aku bertanya: “Wahai Rasululah, engkau telah melakukan satu shalat yang belum pernah engkau lakukan.” Beliau bersabda: “Telah datang kepadaku harta sehingga aku tersibukkan dari dua rakaat yang biasa aku lakukan setelah dhuhur, maka aku menunaikannya sekarang.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami perlu mengqadhanya bila kami luput darinya?” Beliau menjawab: “Tidak.” (HR. at-Thahawi, Ahmad dan al-Baihaqi)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi: “…aku tersibukkan dari dua rakaat yang biasa aku lakukan sebelum ashar…” Untuk mengomentari hadits ini, pertama: riwayat ini telah didhaifkan oleh al-Baihaqi sendiri sehingga tidak memiliki sandaran yang kuat di hadapan hadits-hadits shahih dan hasan yang menyatakan disyariatkannya qadha shalat sunat, dan tidak kuat pula untuk menyalahinya.
Kedua, seandainya riwayat ini diterima karena pertimbangan sanad, maka perkataan: “apakah kami harus mengqadhanya jika kami luput darinya?” Beliau Saw. berkata: ”Tidak”, hal ini ditafsirkan sebagai penafian perintah mengqadha, di mana Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hal itu: “Apakah engkau memerintahkan kami untuk mengqadhanya?” Maka beliau Saw. menjawab: “Tidak”. Nash ini tidak memberi pengertian adanya penafian disyariatkannya qadha.
Pemahaman ini diperkuat dengan hadits yang dikeluarkan oleh at-Thahawi sendiri.: “bahwa Muawiyah mengutus seseorang menemui Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya tentang dua rakaat yang dilaksanakan Rasulullah Saw. setelah ashar, maka dia berkata: “Ya, Rasulullah Saw. shalat dua rakaat setelah ashar di sampingku.” Lalu aku bertanya: “Apakah engkau diperintahkan untuk melaksanakan dua rakaat ini? Beliau berkata: Tidak, tetapi aku biasa melakukannya setelah dhuhur, lalu aku tersibukkan darinya, maka aku melaksanakannya sekarang.”
Hadits-hadits ini saling menjelaskan satu sama lain. Dan hadits ini telah menafsirkan hadits yang sebelumnya. Keduanya membahas permasalahan yang sama, serta berasal dari satu rawi yang sama pula, yakni Ummu Salamah ra.

Adanya perbedaan antara perintah untuk mengqadha dan diam dari qadha menunjukkan bahwa perintah untuk mengqadha itu menjadikannya berhukum sunat, sedangkan berdiam diri dari perbuatan mengqadha menjadikannya berada pada wilayah pilihan (boleh). Dan makna inilah yang terkandung dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Dawud dari jalur Abdullah al-Muzani ra., di dalamnya disebutkan:

“Shalatlah kalian sebelum maghrib, dan pada ketiga kalinya (berkata): “Bagi siapa yang mau.” Karena beliau Saw. kurang suka kalau hal itu dianggap orang-orang sebagai suatu sunnah.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Hadits ini telah disebutkan dalam pembahasan “shalat sunat mulhaqah (yakni yang disertakan) pada shalat sunat rawatib muakkad” pada bab ini. Seandainya perintah Rasulullah Saw. tetap dalam bentuk: “shalatlah kalian sebelum shalat maghrib” tanpa pernyataan: “bagi siapa saja yang mau” maka dua rakaat sebelum shalat maghrib ini akan dipandang sebagai bagian dari sunat rawatib, dan kaum Muslim akan menjaganya. Tetapi ketika beliau mengatakan: “bagi siapa saja yang mau”, maka dua rakaat ini ternafikan sebagai bagian dari sunat (muakkad) dan masuk dalam kategori pilihan.
Begitu pula halnya dengan mengqadha dua rakaat ini setelah shalat ashar, maka ini termasuk dalam kategori pilihan, bukan dalam kategori sunat. Jadi, siapa saja yang mau dia bisa melaksanakannya dan bisa pula meninggalkannya, kecuali shalat sunat sebelum fajar, di mana shalat sunat sebelum fajar termasuk dalam kategori sunat, bukan dalam kategori pilihan.
Mengqadha dua rakaat fajar itu termasuk sunah, karena perintah Rasulullah Saw. dikaitkan dengannya disertai ucapan: “Barangsiapa yang lupa dari dua rakaat fajar maka hendaklah dia shalat ketika matahari terbit”, sehingga dalam mengqadha dua rakaat fajar ini ada perintah ke-Nabian sehingga mengqadhanya menjadi bagian dari sunnah.
Dan ini tidak berlaku dalam mengqadha shalat sunat selainnya, baik shalat rawatib atau yang disertakan (mulhaqah) dengan rawatib selainnya. Oleh karena itu, kaum Muslim sebaiknya menjaga dua rakaat sebelum fajar ini, dan melaksanakannya tepat pada waktunya sebelum shalat fajar, atau setelah shalat fajar jika memang terlupakan.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam