Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 25 Agustus 2017

Sesuatu yang Digunakan Untuk Menghilangkan Najis



Ketika syariat menetapkan tujuan dari menghilangkan benda najis yang ada pada sesuatu itu adalah agar sesuatu itu menjadi bersih kembali, maka segala sesuatu yang bisa digunakan untuk membersihkannya dipandang layak untuk menghilangkan najis darinya dan mensucikannya, tanpa mengkhususkan air dan tanah sebagai alat bersuci, sebagaimana halnya yang dinyatakan oleh sejumlah imam. Segala sesuatu yang layak digunakan untuk menghilangkan najis dan membersihkan tempat menempelnya najis itu sah digunakan untuk bersuci menurut syara. Mari kita kaji nash-nash yang mendasari pendapat ini.

1. Dari Asma binti Abu Bakar ra., dia berkata:

“Seorang wanita datang menemui Nabi Saw. dan bertanya: Baju salah seorang dari kami terkena darah haid, apa yang mesti dilakukannya? Beliau Saw. menjawab: “Hendaknya dia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu memercikinya dengan air, kemudian barulah dia shalat dengannya (menggunakan baju tersebut).” (HR. Muslim)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Ahmad dengan redaksi yang mirip.

2. Dari Ummu Walad dari Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, bahwasanya dia bertanya kepada Ummu Salamah, isteri Nabi Saw., dia berkata:

“Sesungguhnya aku adalah seorang yang memanjangkan baju (untuk menutup dua kaki) dan suka berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Tanah yang ada setelahnya akan mensucikannya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan ad-Darimi) Sanad haditsnya berpredikat jayyid.

3. Dari Ibnu Abbas, dia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Ketika kulit sudah disamak, sungguh ia menjadi suci.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Malik)

4. Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah menjadi sesuatu yang mensucikannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

5. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: Jika salah seorang dari kalian pergi untuk buang hajat (buang air besar), maka hendaklah dia bersuci dengan menggunakan tiga buah batu, karena tiga buah batu itu telah cukup baginya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan ad-Darimi)

Daruquthni meriwayatkan juga hadits ini dan menshahihkannya.

Hadits yang pertama memberi pengertian bahwa air itu layak digunakan untuk menghilangkan najis “kemudian memercikkan air ke atasnya.” Hadits yang kedua dan keempat memberi pengertian bahwa tanah secara mutlak layak digunakan untuk bersuci, “tanah yang ada setelahnya akan mensucikannya”, “maka tanah menjadi sesuatu yang mensucikannya.” Hadits yang ketiga memberi pengertian bahwa material yang digunakan untuk menyamak itu layak untuk bersuci. Dalam hadits kelima terdapat penjelasan bahwa batu layak digunakan untuk bersuci, “maka hendaklah dia bersuci dengan menggunakan tiga buah batu.”

Dengan demikian, air, tanah, material yang digunakan untuk menyamak dan batu, semua itu merupakan benda-benda yang layak digunakan untuk bersuci dan menghilangkan najis berdasarkan nash-nash syara. Karena itu, bersuci atau mensucikan sesuatu dari najis tidaklah terbatas dengan satu atau dua material benda saja sebagaimana yang dinyatakan sebagian fuqaha, melainkan sah juga dengan menggunakan benda-benda tadi dan benda yang lainnya seperti sabun dan cuka, dengan cara menggosok atau mengerik, serta benda dan perbuatan apapun yang bisa menghilangkan najis, karena menghilangkan najis itulah yang menjadi obyek tuntutan, sehingga segala sesuatu yang bisa merealisasikan tujuan ini boleh digunakan dan bisa dilakukan.
Seandainya kita mencuci sebuah baju yang terkena najis dengan menggunakan sabun cair sampai najisnya hilang, atau mencuci baju dengan cuka sampai najisnya hilang, atau kita mengeriknya sampai najisnya hilang, maka baju tersebut menjadi kembali suci. Seandainya kita bakar sebuah kayu yang terkena najis sampai menjadi arang maka arang tersebut suci, atau kita panaskan besi yang terkena najis dengan api sampai najisnya hilang maka besi tersebut kembali suci. Seandainya kita menyeka cermin yang ada najisnya menggunakan selembar tisue, kain lap, atau dengan tangan sampai najisnya hilang, maka cermin tersebut kembali suci. Seandainya kita memungut najis yang menempel pada baju dengan tangan atau dengan tang penjepit hingga najisnya hilang tidak bersisa, maka baju tersebut kembali suci.
Begitulah, setiap benda padat, benda cair, atau beragam alat dan berbagai tindakan, semuanya layak digunakan dan ditempuh untuk mensucikan sesuatu yang terkena najis, dengan satu syarat saja, yakni najisnya bisa hilang dengannya.

Sekarang kita akan mengkaji ulang beragam pendapat dalam persoalan ini berikut dalil-dalilnya, serta perdebatan seputar itu: As-Syafi’i, Malik, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar menyatakan bahwa bersuci dari najis tidak bisa dilakukan kecuali dengan sesuatu yang digunakan dalam bersuci dari hadats, hal ini karena persoalan tersebut termasuk dalam keumuman bersuci.
Abu Hanifah dan Ahmad menyatakan bahwa menghilangkan najis itu boleh dengan segala benda cair yang suci yang bisa menghilangkan zat benda najis dan sekaligus menghilangkan bekasnya, seperti cuka, air mawar, dan sebagainya.

Pihak pertama berargumentasi dengan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berkata pada salah seorang perempuan yang bertanya kepada beliau Saw. tentang darah haid yang mengenai baju:

“Apa yang mesti dilakukannya? Beliau Saw. menjawab: “Hendaknya dia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu memercikinya dengan air, kemudian barulah dia shalat dengannya (menggunakan baju tersebut).” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

Hadits tersebut telah kami tuturkan sebelumnya.

Mereka juga berargumentasi dengan hadits orang Arab dusun yang kencing di masjid, dan ketika itu Rasulullah Saw. meminta seember air, kemudian bekas kencingnya disiramnya. Mereka mengatakan bahwa ini merupakan perintah yang mengandung pengertian wajib, dan karena ini merupakan bersuci yang dimaksudkan untuk shalat sehingga tidak bisa dilakukan kecuali dengan air seperti halnya bersuci dari hadats. Mereka berargumentasi dengan firman Allah Swt.:

“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.” (TQS. Al-Maidah [5]: 6; an-Nisa [4]: 43)

Pihak kedua berargumentasi dengan hadits:

“Jika anjing minum dalam wadah salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencucinya sebanyak tujuh kali.” (HR. Bukhari, Muslim dan selainnya dari jalur Asma binti Abu Bakar)

Hadits ini pun telah kami sebutkan sebelumnya.

Hadits ini menyebutkan kata “al-ghaslu” (mencuci), secara mutlak, sehingga mentaqyid (membatasi) mencuci hanya dengan air itu membutuhkan dalil, dan karena air itu benda cair yang suci yang bisa menghilangkan najis maka menghilangkan najis boleh dengannya. Adapun cairan yang tidak bisa menghilangkan najis, seperti saus dan susu, bisa dipastikan bahwa najis tidak bisa dihilangkan dengan keduanya.

Untuk membantah pihak yang menyatakan pendapat pertama tadi kami katakan, bahwa hadits darah haid itu bukan dalil yang berfungsi membatasi, dan kewajiban memenuhi perintah Rasulullah Saw. dengan menyiramkan air pada bekas kencing Arab dusun di masjid itu pun tidak memberi pengertian limitasi (untuk membatasi). Nash tersebut tidak menunjukkan bahwa hanya air saja yang harus digunakan untuk menghilangkan segala benda najis.
Hal ini karena peristiwa Arab dusun kencing di masjid itu hanyalah menjelaskan fakta dari suatu peristiwa, bukan sebagai qaidah kulliyah (kaidah umum yang menyeluruh) untuk mensucikan sesuatu dari benda najis.
Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa dalam menghilangkan najis itu tidak disyaratkan adanya niat. Dan selama yang menjadi obyek tuntutan syara itu adalah menghilangkan najis, yakni sesuatu yang disebut dengan bersuci (tathhiir atau thaharah), maka menghilangkan najis bisa dilakukan dengan menggunakan segala sesuatu yang bisa menghilangkan najis tersebut sesuai dengan perbedaan kondisi sebagaimana yang telah kami jelaskan pula sebelumnya.
Di dalam kalimat hadits darah haid ”hendaklah dia mengeriknya kemudian menggosoknya dengan air” itu tidak terdapat satupun adatul hashr (lafadz yang berfungsi untuk membatasi).
Dan redaksi kalimatnya pun tidak memberi pengertian adanya pembatasan. Hadits tersebut memang menyebutkan air, tetapi penyebutan air itu tiada lain hanya untuk menunjukkan sesuatu yang lebih umum dan lebih lazim digunakan. Hal ini karena biasanya air digunakan untuk bersuci/ membersihkan sesuatu dari najis. Pernyataan seperti ini bisa diterima. Komentar yang telah saya sampaikan terkait hadits darah haid ini sama dengan komentar yang saya katakan terkait hadits Arab dusun kencing di masjid. Di dalam hadits tersebut dikatakan: beliau Saw. meminta seember air, di dalam nash ini tidak ada dilalah yang membatasi bersuci (membersihkan sesuatu) dari najis itu hanya dengan air saja.
Dengan demikian dua hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah untuk membatasi bersuci sama sekali hanya dengan air saja.

Adapun ketika mereka mengutip ayat “lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah', maka saya katakan: iya, nash ini memberi pengertian berwudhu dan mandi karena junub, haid, dan nifas, itu hanya dengan air. Kita tidak berbeda pendapat dalam persoalan ini, karena ketika ayat ini menuntut untuk tidak beralih menggunakan tanah kecuali dalam kondisi tidak ditemukannya air, maka tuntutan seperti ini menjadi dalil wajibnya menggunakan air dalam bersuci jenis ini.
Tetapi harus diingat, mengutip ayat ini untuk dikaitkan dengan pembatasan yang menjadi tema bahasan kita saat ini, sama dengan pencampuradukkan dan kekeliruan; karena tema pembahasannya adalah menghilangkan najis, bukan wudhu dan mandi yang diperintahkan oleh syara, sehingga ini merupakan dua tema pembahasan yang berbeda.
Wudhu dan mandi merupakan ibadah mahdhah yang memerlukan niat, sedangkan menghilangkan najis tidak seperti itu (tidak memerlukan niat). Kedua hal ini berbeda sehingga tidak bisa dianalogikan.
Air itu wajib digunakan dalam thaharah (bersuci) yang terkait dengan ibadah, tetapi sama sekali tidak wajib digunakan dalam menghilangkan najis. Hal ini karena keduanya merupakan dua perkara yang berbeda sama sekali. Dengan demikian gugurlah penggunaan ayat ini sebagai hujjah yang memperkuat pendapat mereka.

Mengenai pendapat yang kedua, secara global merupakan pendapat yang benar, tetapi pihak yang melontarkannya juga telah melakukan kekeliruan. Mengutip hadits jilatan anjing sebagai argumentasi seperti yang mereka lakukan merupakan sesuatu yang lemah dan tidak berguna. Seharusnya mereka cukup dengan mengutip beberapa dalil (sebagaimana yang telah kami kutip), yang menunjukkan bahwa menghilangkan najis itu bisa menggunakan berbagai macam benda (media).
Adapun pernyataan yang mereka lontarkan, bahwa hadits ini telah menyebutkan “mencuci” secara mutlak, tidak membatasinya dengan air, maka pernyataan seperti ini hanya justifikasi atau pembenaran saja. Sesungguhnya sebagian besar hadits yang menjelaskan cara menghilangkan najis itu telah menyebutkan air sebagai medianya; maka apa komentar mereka tentang hal itu?

Kesimpulannya adalah bahwa segala sesuatu yang layak digunakan untuk membuang/menghilangkan najis dari suatu tempat yang ingin disucikan/ dibersihkan adalah sah-sah saja menurut syara. Syara telah memerintahkan untuk menghilangkan najis dengan tidak menetapkan batasan dan taqyid apapun.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam