Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 25 Agustus 2017

Mensucikan Benda yang Terkena Najis



Persoalan mendasar dalam mensucikan benda yang terkena najis adalah menghilangkan dan membuang najis dari tempat/sesuatu yang dikenainya dengan tanpa meninggalkan bekas. Tetapi ada beberapa benda najis yang ketika mengenai suatu tempat/benda akan meninggalkan bekas yang permanen, sehingga sulit dihilangkan atau dibuang secara keseluruhan dari tempat/sesuatu yang dikenainya. Misalnya darah haid dan darah secara umum, khususnya ketika darah itu telah kering. Tetapi Allah Swt. Yang Maha Pengasih telah memberi keringanan kepada kaum Muslim dalam persoalan ini. Dia Swt. memaafkan bekas yang masih tertinggal setelah bendanya dicuci. Dari Abu Hurairah ra.:

“Sesungguhnya Khaulah binti Yasar menemui Nabi Saw. ketika haji atau umrah. Dia bertanya: Aku tidak memiliki baju kecuali hanya satu baju, dan aku haid di dalam baju itu. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Jika engkau telah suci, maka cucilah tempat darahnya, kemudian shalatlah dengannya.” Dia berkata: Wahai Rasulullah, kalau bekasnya tidak hilang? Beliau Saw. menjawab: “Air itu sudah cukup untukmu, bekas darahnya tidak menjadi masalah bagimu.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Dawud)

Ucapan Rasulullah Saw.: bekas darahnya tidak menjadi masalah bagimu, jelas menunjukkan dimaafkannya bekas darah yang masih tersisa di baju setelah melalui proses pencucian (setelah baju tersebut dicuci).

Tetapi lebih baik lagi jika baju itu dicuci dengan benda yang efektif menghilangkannya, atau minimal sampai berubah warnanya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Muadzah, dia berkata:

“Aku bertanya pada Aisyah tentang seorang wanita haid yang bajunya terkena darah. Maka Aisyah berkata: Hendaknya engkau mencuci baju tersebut. Jika bekasnya tidak hilang, maka hendaklah engkau merubahnya menggunakan sesuatu yang berwarna kuning. Aisyah berkata: Aku pernah haid di sisi Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, selama itu aku tidak mencuci satupun bajuku.” (HR. Abu Dawud dan ad-Darimi)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Adi bin Dinar bahwasanya dia berkata:

“Aku mendengar Ummu Qais binti Mihshan bertanya pada Nabi Saw. tentang darah haid yang ada pada baju. Maka Nabi Saw. bersabda: “Gosoklah dengan kayu gaharu, dan cucilah dengan air dan daun bidara.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Ibnu al-Qaththan berkata: sanadnya paling shahih. Kalimat dalam hadits tersebut: dan cucilah dengan air dan daun bidara, menunjukkan tuntutan menggunakan sesuatu yang bearoma cukup tajam, karena daun bidara pada masa Nabi Saw. sama dengan sabun yang ada di masa kita sekarang ini. Hadits ini menuntut seorang Muslim untuk bersungguh-sungguh menghilangkan bekas najis dengan menggunakan benda bearoma cukup tajam. Sulaiman bin Suhaim telah meriwayatkan dari Umayyah binti Abi asShalt dari seorang perempuan yang berasal dari Bani Gifar, dia berkata:

“Rasulullah Saw. memboncengku di atas haqibah (bagasi) tunggangannya. Dia berkata: Demi Allah, Rasulullah Saw. terus berjalan hingga subuh, lalu dia menderumkan untanya, kemudian aku turun dari haqibah tunggangannya, ternyata pada haqibah tunggangan beliau ada darah yang berasal dariku, dan itu merupakan darah haid pertamaku. Wanita itu berkata: Lalu aku melompat ke atas unta itu dan merasa malu. Ketika Rasulullah Saw. melihat apa yang aku lakukan dan melihat darah itu, maka beliau Saw. bertanya: “Apa yang terjadi padamu? Mungkin engkau haid.” Aku berkata: Benar. Beliau Saw. bersabda: “Bersihkanlah dirimu, kemudian ambillah satu wadah berisi air, lalu taburkanlah garam ke dalamnya, kemudian cucilah darah yang mengenai haqibah itu, lalu kembalilah ke atas tungganganmu.” (HR. Abu Dawud)

Hadits-hadits ini saling menguatkan tuntutan kepada kaum Muslim untuk menghilangkan najis dengan menggunakan benda beraroma tajam. Tetapi hadits-hadits yang lain menuntut penggunaan air saja dalam menghilangkan najisnya, sehingga menunjukkan bahwa benda beraroma tajam itu tidak wajib hukumnya, hanya disunahkan saja.

Adapun pendapat yang dilontarkan sebagian imam bahwa minyak samin yang terkena najis itu bisa disucikan dengan cara menuangkan air yang banyak ke atasnya dan mengguncang-guncangkannya, kemudian didinginkan, hingga samin tersebut mengambang di atas air, saat itulah samin bisa diambil karena sudah suci; pendapat seperti ini tidak saya pegang, karena Rasulullah Saw. ketika ditanya tentang minyak samin yang ke dalamnya jatuh seekor tikus hingga mati, sehingga tikus tersebut menajisinya (karena menjadi bangkai), Rasulullah Saw. bersabda:

“Lemparkanlah tikus tersebut, dan buanglah samin yang ada di sekitar tikus tersebut, dan makanlah samin kalian.” (HR. Bukhari dan yang lainnya)

Hadits ini telah kami sebutkan.

Rasulullah memerintahkan melemparkan bangkai tikus tersebut dan membuang samin yang ada di sekitar bangkai tersebut. Beliau Saw. tidak memerintahkan mensucikan samin tersebut. Mengenai pendapat yang disampaikan para fuqaha bahwa Rasulullah Saw. tidak memerintahkan atau tidak mengijinkan mensucikannya karena perintah seperti itu merupakan perkara yang bisa menyulitkan orang-orang, maka saya katakan bahwa pendapat seperti ini tidak memiliki dalil.

Perihal cara mensucikan terompah, maka cukup digosokkan ke tanah tanpa perlu dicuci, berbeda dengan mereka yang mewajibkan untuk dicuci. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah sebelumnya:

“Jika salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah bisa mensucikannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Pendapat yang mereka lontarkan bahwa terompah/sandal tersebut harus dicuci merupakan analogi (qiyas) dengan mencuci darah, khamar, dan benda najis lainnya yang mengenainya. Analogi (qiyas) itu tidak bisa dijadikan hujjah ketika dihadapkan dengan nash yang jelas menyebutkan sandal yang menginjak kotoran bisa suci dengan disapukan pada tanah.

Tali jemuran yang terkena najis bisa disucikan matahari ketika dijemur, tanah yang dikencingi manusia atau anjing misalnya bisa disucikan matahari dengan terjemur sampai kering tanpa campur tangan manusia, tanah yang terkena najis bisa disucikan air hujan tanpa campur tangan manusia. Hal ini karena menghilangkan najis (sebagaimana telah kami jelaskan) itu tidak memerlukan niat, sehingga secara langsung bisa melalui proses lain yang tidak memerlukan campur tangan manusia. Karenanya setiap benda yang terkena najis bisa disucikan dengan perbuatan manusia dengan air, dan tanpa air, sebagaimana benda terkena najis itu bisa menjadi suci tanpa campur tangan manusia.
Ini berbeda dengan wudhu dan mandi janabah dan sebagainya, yang tidak akan terjadi kecuali dengan perbuatan manusia dan sekaligus harus disertai dengan niat.
Seorang Muslim ketika batal wudhunya atau menjadi junub, kemudian dia berenang di kolam renang atau di laut, dia tidak dipandang telah berwudhu atau menghilangkan hadats besar kalau hanya dengan berenang begitu saja. Ini berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha.

Setiap mutanajis (benda yang terkena najis) -terkadang kita telah berlebihan menyebutnya benda najis- itu bisa disucikan kembali kecuali beberapa benda atau keadaan yang memang tidak bisa disucikan lagi, sebagaimana telah kami tunjukkan hal itu pada bagian pengantar.
Benda-benda suci yang ketika terkena najis tidak bisa disucikan lagi adalah: adonan ketika diadon dengan air najis, atau biji-bijian yang direndam dalam air najis hingga hilang kadar keringnya dan menjadi lunak karena air najis sudah terserap olehnya. Benda-benda seperti ini tidak mungkin disucikan dan tidak ada pilihan lain kecuali dibuang, karena najis telah menyerap ke dalamnya dan tidak bisa dikeluarkan lagi darinya. Dengan demikian, segala sesuatu selain beberapa kondisi di atas itu bila terkena najis adalah bisa disucikan lagi.

Poin akhir dari pembahasan ini adalah perasaan ragu, apakah sesuatu terkena najis atau tidak. Seandainya kita ragu baju yang kita kenakan itu terkena najis misalnya, maka syara tidak mengharuskan kita mencuci dan mensucikannya, tetapi kalau kita lakukan juga -mencuci dan mensucikannya- sebagai kehati-hatian maka tidak masalah. Kita tidak diharuskan mensucikannya kecuali jika yakin bahwa baju tersebut terkena najis.
Hampir mirip dengan itu adalah baju, ketika terkena najis dengan kadar yang sangat sedikit, seperti dihinggapi seekor lalat atau kecoa yang sebelumnya hinggap pada benda najis, tinja misalnya, atau baju tersebut terkena percikan air kencing dengan kadar yang sangat sedikit kurang dari satu tetes misalnya, dan ini yang disebutkan dengan -sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh pandangan mata- maka dalam kondisi ini baju tersebut masih tetap suci dan tidak wajib dicuci. Pendapat ini tidak diselisihi siapapun kecuali orang-orang yang suka was-was.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam