Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 25 Agustus 2017

Menghilangkan Najis Harus Berapa Kali



Apakah Menghilangkan Benda Najis Harus Berbilang (Dilakukan Beberapa Kali)?

Menghilangkan najis itu disebut juga tathhir atau thaharah (bersuci). Tharahah menghilangkan najis itu tidak dibatasi bilangan cucian tertentu. Yang dituntutnya hanya menghilangkan benda najisnya saja. Bilangan cucian tertentu dalam menghilangkan najis tidaklah menjadi satu kemestian, di mana seluruh nash yang di dalamnya terdapat perintah menghilangkan najis atau perintah mencuci sesuatu yang terkena najis tidak menuntut bilangan cucian tertentu, kecuali pada tiga tempat saja. Yaitu ketika beristinja dengan tiga batu, mencuci kedua tangan setelah bangun tidur dengan tiga kali cucian, mencuci bejana yang dijilat oleh anjing sebanyak tujuh kali cucian dan cucian pertamanya dengan menggunakan tanah.
Selain dari tiga tempat ini, nash-nash yang ada datang dalam bentuk mutlak, tanpa membatasi dengan bilangan cucian tertentu yang spesifik. Dalam hadits orang Arab dusun kencing di masjid tidak ada bilangan cucian. Dalam hadits-hadits mencuci darah haid dan darah istihadhah tidak ada bilangan cucian. Dalam hadits-hadits mencuci madzi dan air kencing dan mencuci wadah orang-orang kafir yang biasa digunakan untuk daging babi dan khamar juga tidak ada penyebutan bilangan cucian sama sekali. Tidak ada penyebutan bilangan cucian sama sekali selain dalam tiga tempat di atas itu saja.
Dengan demikian, pada dasarnya thaharah (bersuci) itu adalah menghilangkan esensi benda najis saja; dalam arti baju, badan, tanah, atau segala sesuatu itu dicuci hingga benda najisnya hilang, sama saja baik untuk menghilangkannya itu perlu dilakukan dengan satu kali cucian, tiga kali cucian atau sampai dua puluh kali cucian. Bilangan cucian tidak menjadi patokan dan tuntutan, di mana yang diperintahkan itu hanyalah mencucinya hingga hilang benda najisnya.
Tiga tempat yang disebutkan bilangan cuciannya adalah:

a. Mencuci kedua tangan ketika bangun dari tidur malam. Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana hingga ia mencuci tangannya tiga kali, karena dia tidak tahu di manakah tangannya itu berada di waktu malam.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

b. Istinja setelah buang air besar. Dari Salman ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah salah seorang dari kalian beristinja dengan kurang dari tiga buah batu.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dari Aisyah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian pergi untuk buang hajat, maka hendaklah dia beristinja dengan tiga buah batu, karena tiga batu itu sudah cukup baginya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan ad-Darimi)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh ad-Daruquthni dan dishahihkannya.

c. Mencuci bejana ketika dijilat oleh anjing. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Cara mensucikan bejana salah seorang dari kalian ketika dijilat oleh anjing adalah hendaknya bejana itu dicucinya tujuh kali, cucian pertamanya menggunakan tanah.” (HR. Muslim, Tirmidzi dan Abu Dawud)

Hadits yang pertama diberi ‘illat ”karena dia tidak tahu di manakah tangannya itu berada di waktu malam.” Perintah untuk mencuci kedua tangan ketika bangun dari tidur malam itu diberi ‘illat dengan sesuatu yang diduga sebagai benda najis atau sangkaan memegang benda najis. Seandainya tidak seperti itu, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan memerintahkan mencuci tangan, terlebih lagi sampai tiga kali cucian.
Ketika ‘illat-nya itu adalah sesuatu yang diduga sebagai benda najis, maka ini menjadi qarinah yang memalingkan perintah tersebut dari hukum wajib, karena hukum wajib itu adalah mencuci sesuatu yang diyakini sebagai benda najis.
Ketika benda najis di sini tidak meyakinkan (hanya sekedar dugaan) maka perintah dalam hadits tersebut dibawa pada hukum sunah saja. Membasuh dua tangan setelah bangun tidur itu mandub hukumnya, sehingga mencuci kedua tangan itu sebanyak tiga kali cucian dimasukkan dalam hukum sunah tersebut, bukan wajib. Dengan demikian bilangan cucian sebanyak tiga kali hukumnya mandub (sunah), bukan wajib.

Abu Hurairah telah meriwayatkan bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka hendaklah dia beristintsar (memasukkan air ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya kembali) sebanyak tiga kali, karena sesungguhnya setan bermalam pada rongga hidungnya.” (HR. Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Para fuqaha dan ulama tidak menyatakan istintsar itu wajib hukumnya. Tuntutan dalam hadits tersebut hanya ditujukan untuk menghilangkan kotoran yang ada di jalur pernafasan dan menjadi sebab penghalau setan.

As-Syafi’i dan para ulama lainnya telah menyebutkan bahwa sebab yang ada dalam hadits mencuci kedua tangan (setelah bangun tidur) itu adalah fakta penduduk Hijaz biasa beristinja menggunakan batu, dan negeri mereka adalah negeri yang panas. Ketika salah seorang dari mereka tidur pasti akan berkeringat, sehingga seseorang yang tidur seperti itu tidak bisa dijamin tangannya tidak menyentuh duburnya yang di dalamnya terdapat bekas tinja.

Ibnu Khuzaimah telah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang menguatkan pemahaman ini. Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:


“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam bejana atau ke dalam air wudhunya hingga dia mencuci tangannya, karena dia tidak tahu dari bagian tubuh manakah tangannya datang.”

Perintah ini semata-mata untuk menghilangkan sesuatu yang diduga sebagai benda najis berupa bekas tinja. Jika sekarang salah seorang dari kita tidur dalam keadaan memakai pakaian yang bisa menghalangi kedua tangannya menyentuh duburnya, maka mencuci kedua tangan saat dia bangun menjadi tidak dituntut/diperintahkan lagi, kecuali jika itu dilakukan dalam rangka ta'abud (ibadah) semata, terlebih lagi sekarang ini kita beristinja menggunakan air yang membersihkan tinja dari dubur secara sempurna. Dengan demikian, bilangan cucian di sini bukan merupakan sesuatu yang wajib, tidak lebih hanya untuk menghilangkan sesuatu yang diduga sebagai benda najis.

Hadits yang kedua terkait dengan persoalan membersihkan dubur dari tinja. Hadits ini memerintahkan digunakannya tiga buah batu sebagai jumlah minimal, dan menyatakan: karena tiga batu itu sudah cukup baginya. Sekelompok ulama memahami nash ini bahwa bilangan di sini wajib hukumnya, dan istijmar (beristinja dengan menggunakan batu) tidak boleh dilakukan bila kurang dari tiga buah batu. Mereka menilai bahwa bilangan ini menjadi batasan dalam menghilangkan najis, lalu mereka menganalogikan seluruh tindakan mencuci benda najis kepada hadits ini, dan mengatakan bahwa setiap mencuci najis itu harus tiga kali cucian. Mereka semua menduga-duga saja, karena kami memiliki sebuah hadits yang membantah pendapat mereka dan membatalkan bilangan cucian hingga dalam persoalan istinja. Ad-Daruquthni telah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Sahl bin Saad:

“Bahwasanya Nabi Saw. ditanya tentang istinja dengan menggunakan batu, maka beliau Saw. berkata: “Tidakkah salah seorang dari kalian mendapatkan tiga batu, dua batu untuk dua permukaan, dan satu batu untuk pintu pelepasan tinja.”

Nash manakah yang lebih tegas dan jelas dari nash ini, yang menyatakan bahwa membersihkan satu tempat itu cukup dengan satu batu? Dalam nash tersebut Rasulullah Saw. menjadikan satu batu untuk membersihkan pintu pelepasan tinja (lubang anus), satu batu untuk permukaan yang kanan dan satu batu untuk permukaan yang kiri. Yakni hadits ini menegaskan cukupnya istinja dengan satu batu untuk satu tempat. Hadits ini tidak memintanya dibersihkan berulang-ulang, dan pada saat yang bersamaan menjelaskan sebab keharusan adanya tiga batu dalam beristinja, karena tiga batu tersebut ditujukan untuk membersihkan tiga tempat. Interpretasi manakah yang lebih jelas dan tegas daripada interpretasi ini? Dan bantahan manakah yang lebih tegas daripada bantahan ini dalam rangka membantah orang-orang yang mensyaratkan bilangan dalam istinja, seraya menggeneralisirnya untuk setiap aktivitas mencuci najis? Kita telah mengetahui bahwa hadits itu saling menafsirkan satu sama lain.

Inilah makna literal (manthuq) hadits tersebut, dilalahnya jelas menafikan bilangan cucian dalam menghilangkan benda najis. Maka bantahan apalagi yang lebih tegas daripada pernyataan seperti itu kepada mereka yang menyatakan mencuci najis itu harus berbilang? Darimanakah batasan bilangan yang mereka nyatakan dalam menghilangkan benda-benda najis itu? Bagaimana pula bisa dikatakan bahwa mencuci benda najis itu harus berbilang?

Dengan demikian, penggunaan hadits ini dan beberapa hadits sebelumnya sebagai argumentasi mereka yang mewajibkan bilangan cucian dalam menghilangkan benda-benda najis telah terbantahkan.

Selain itu, mencuci hanya ditujukan untuk menghilangkan benda najis dalam rangka membersihkan tempat yang ada najisnya saja, tidak dalam rangka berta'abud dengan bilangan tertentu. Sesungguhnya yang ada dalam hadits-hadits tersebut adalah tuntutan menghilangkan benda najis tanpa tambahan apapun, sehingga karenanya kita bisa memahami betapa kelirunya pernyataan yang mewajibkan bilangan cucian. Tidak ada dalil yang lebih jelas menunjukkan hal ini selain hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani yang telah kami sebutkan sebelumnya. Hadits tersebut memerintahkan untuk mencuci bejana dan periuk orang-orang kafir dan tidak memerintahkan cucian yang berbilang. Hadits tersebut juga menjelaskan tujuan mencuci wadah tersebut, yakni membersihkannya.

“Rasulullah Saw. bersabda: Bersihkanlah wadah itu dengan cara mencucinya, dan memasaklah kalian dengannya.” (HR. Tirmidzi)

Tujuan mencuci najis itu adalah membersihkannya. Inilah yang harus direalisasikan ketika mencuci najis apapun, yakni merealisasikan tujuan tersebut saja, tidak menjadi masalah jika setelahnya masih ada sedikit bekas benda najis. Syariat itu memudahkan manusia dan memaafkan sesuatu yang sedikit sekali darinya.

Tinggallah kini hadits ketiga. Untuk menjawabnya dilakukan dari dua aspek:

a. Bilangan yang disebutkan dalam beberapa hadits tentang “jilatan anjing” itu tidak ber'illat, sehingga tidak harus terpaku padanya dan tidak boleh menganalogikannya pada kasus yang lain. Najis yang ada pada bejana karena jilatan anjing bisa dibersihkan dengan mencucinya secara berbilang (beberapa kali cucian). Sedangkan dalam membersihkan najis yang lain tidak dihilangkan dengan cucian berbilang seperti itu. Bilangan cucian ini hanya terbatas pada mencuci najis bekas jilatan anjing saja.

b. Hadits atau beberapa hadits tentang “jilatan anjing” ini dituturkan dengan beberapa redaksi dan memiliki beberapa riwayat, yang akan kami sebutkan berikut ini:

1. Redaksi pertama:

“Jika anjing minum dalam bejana milik salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencucinya tujuh kali.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai dan Malik)

2. Redaksi kedua:

“Sucinya bejana salah seorang dari kalian ketika dijilat oleh anjing adalah hendaknya dia mencucinya tujuh kali, cucian pertama dengan menggunakan tanah.” (HR. Muslim, Tirmidzi dan Abu Dawud)

3. Redaksi ketiga:

“Ketika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian maka hendaknya kalian mencuci bejana tersebut tujuh kali, dan lumurilah cucian yang kedelapan dengan tanah.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dan an-Nasai)

4. Redaksi keempat:

“Ketika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian maka hendaknya dia menumpahkan bejana tersebut, kemudian mencucinya tujuh kali.” (HR. Muslim, an-Nasai dan al-Baihaqi)

5. Redaksi kelima:

“Ketika anjing menjilat bejana seseorang maka hendaknya dia mencucinya tujuh kali. Aku menduga beliau Saw. mengatakan: Salah satunya dengan menggunakan tanah.” (HR. al-Bazzar)

6. Redaksi keenam:

“Ketika anjing menjilat bejana maka hendaknya kalian mencucinya tujuh kali, yang ketujuhnya dengan menggunakan tanah.” (HR. Abu Dawud dan ad-Daruquthni)

7. Redaksi ketujuh:

“Bejana itu dicuci ketika dijilat oleh anjing (dengan cucian) sebanyak tujuh kali, cucian yang pertama atau yang terakhir dengan menggunakan tanah.” (HR. Tirmidzi dan as-Syafi'i dengan sanad berpredikat hasan)

Seluruh jalur periwayatan hadits ini berasal dari Abu Hurairah, kecuali riwayat yang ketiga “dan lumurilah cucian yang kedelapan dengan tanah”, yang diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Mughaffal (Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dan an-Nasai). Para imam berbeda pendapat dengan sangat jauh terkait beberapa riwayat ini.
Ahmad dan Malik dalam satu riwayat darinya mengatakan: Mencuci itu harus dilakukan menggunakan air sebanyak tujuh kali, dan dengan menggunakan tanah pada cucian yang kedelapan.
Para ulama bermadzhab Hanafi tidak mewajibkan urutan seperti itu, dan tidak mewajibkan mencucinya tujuh kali dengan menggunakan air.
Para ulama pengikut Imam Malik mewajibkan mencucinya sebanyak tujuh kali dengan menggunakan air tanpa mewajibkan urutan seperti itu.
Imam Syafi’i mewajibkan mencucinya sebanyak tujuh kali dengan menggunakan air, dan mewajibkan urutan dalam cucian yang pertama.

Imam as-Shan’aniy telah membahas persoalan ini dengan sangat baik dalam kitabnya Subulus Salam. Pernyataan beliau saya kutipkan dengan lengkap berikut ini:
Sebagian orang yang mewajibkan mencuci bejana tersebut sebanyak tujuh kali telah mengatakan: mencucinya dengan tanah itu tidak wajib karena asal-muasalnya tidak bisa dipastikan kebenarannya. Pernyataan seperti ini bisa dibantah, bahwa penggunaan tanah pada salah satu cucian itu tidak diragukan lagi berasal dari riwayat yang shahih. Tambahan dari perawi tsiqah itu bisa diterima. Juga dikatakan bahwa dalam riwayat “penggunaan tanah” itu terdapat kesimpangsiuran, diriwayatkan dengan kalimat “yang pertama”, atau “yang terakhir,” atau ”salah satunya” atau “yang ketujuh,” atau “yang kedelapan.” Kesimpangsiuran seperti itu menjadi cacat yang harus dihilangkan. Pernyataan seperti itu saya bantah, bahwa suatu kesimpangsiuran tidak menjadi cacat kecuali jika beberapa riwayat tersebut sama statusnya, dan ternyata status beberapa riwayat tersebut tidak sama. Riwayat yang menyatakan “yang pertama”, itu lebih rajih karena banyak perawi yang meriwayatkannya dan juga ditakhrij oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim). Ini dilihat dari aspek tarjih ketika terdapat kontradiksi di antara beberapa riwayat. Lafadz-lafadz riwayat yang menyalahi redaksi “cucian yang pertama” tidak akan bisa menandinginya. Ini bisa dijelaskan bahwa riwayat “cucian yang lain” itu menyendiri, tidak memiliki topangan riwayat lainnya dari kitab-kitab hadits yang ada, dan riwayat “cucian yang ketujuh dengan tanah” diperselisihkan sehingga tidak bisa menandingi riwayat “cucian yang pertama”. Dan riwayat “salah satunya” diriwayatkan oleh perawi secara ragu, sehingga riwayat ini dhaif dan tidak layak dijadikan hujjah. Kemudian riwayat ini pun bersifat mutlak sehingga harus dibawa pada riwayat yang muqayyad (diberi batasan), dan riwayat “cucian yang pertama atau yang lainnya” yang memberikan pilihan, jika pilihan tersebut berasal dari perawi maka ini menjadi keraguan/kebimbangan dari si perawi sehingga harus dirujukkan pada tarjih, dan riwayat “cucian yang pertama” jelas lebih rajih. Tetapi jika itu benar-benar ucapan Rasulullah Saw. maka ini merupakan pilihan dari beliau Saw., maka lagi-lagi kita harus menetapkan bahwa riwayat “cucian yang pertama” itu lebih rajih karena telah diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim) sebagaimana telah Anda ketahui.

Imam as-Shan’aniy juga menambahkan di tempat lain:
Nyata ditemukan dalam riwayat Muslim “lumurilah cucian kedelapan dengan tanah”, dan ini telah dikomentari oleh Ibnu Daqiq al-Id: kalimat seperti itu dituturkan oleh al-Hasan al-Bashri, tidak pernah dituturkan oleh selain beliau, mungkin maksudnya belum pernah diungkapkan oleh para ulama terdahulu selainnya.
Dengan demikian, Imam as-Shan'aniy berpegang pada riwayat yang paling rajih, yakni riwayat yang kedua di atas, pendapatnya ini benar dan sesuai dengan pendapat Imam as-Syafi’i.

Saya akan menambah penjelasan di atas: Riwayat yang pertama dan riwayat yang keempat menyebutkan bahwa cucian itu sebanyak tujuh kali tanpa menyebutkan digunakannya tanah, sedangkan riwayat-riwayat yang lain menyebutkan tanah, dan ini merupakan tambahan yang harus ditetapkan untuk dipegang dan diamalkan.
Adapun riwayat yang keenam telah menetapkan penggunaan tanah pada cucian yang ketujuh, sedangkan riwayat yang ketiga menetapkan penggunaan tanah pada cucian yang kedelapan. Riwayat yang kedua menetapkan penggunaan tanah pada cucian yang pertama.
Adapun riwayat Abu Dawud, yakni riwayat yang keenam, ini tidak mampu menandingi riwayat kedua dan ketiga dari sisi sanadnya, sehingga kedua riwayat tersebut lebih diprioritaskan.
Tinggallah kini mengkaji riwayat yang kedua dan ketiga, kami nyatakan: Bahwa riwayat yang ketiga: cucian yang kedelapan dengan tanah, maka riwayat ini telah menambah jumlah bilangan cucian menjadi delapan kali, sedangkan seluruh riwayat yang lain menyebutkan bahwa cucian itu berjumlah tujuh kali, sehingga riwayat ketiga ini secara menyendiri telah menyalahi seluruh riwayat yang karenanya riwayat tersebut menjadi riwayat yang ganjil (syadz) dan harus ditinggalkan.
Tinggallah kini riwayat yang kedua, dan inilah riwayat yang memadukan seluruh riwayat dari sisi bilangan cucian sebanyak tujuh kali, dan riwayat inilah yang menyatakan: cucian yang pertama dengan menggunakan tanah, sehingga inilah riwayat yang terjaga dan shahih serta layak digunakan sebagai hujjah.
Al-Baihaqi berkata: Abu Hurairah merupakan orang paling yang banyak hafalan dalam meriwayatkan hadits di zamannya, riwayat beliau itu lebih unggul, yakni lebih unggul daripada riwayat yang ketiga.
Tidak ada yang tertinggal selain riwayat kedua yang menetapkan penggunaan tanah pada cucian yang pertama. Riwayat ketujuh yang memberikan pilihan antara cucian pertama dan cucian selainnya. Maka kami lebih memilih riwayat kedua sebagai riwayat yang lebih rajih karena dua alasan: pertama, riwayat kedua ini lebih kuat dari sisi sanad, riwayat yang lebih kuat harus diprioritaskan ketika ada pertentangan dan perbedaan; kedua, pemberian pilihan dalam riwayat ketujuh itu mengandung makna kebimbangan, sedangkan penetapan penggunaan tanah pada cucian pertama merupakan keputusan/ketetapan, dan keputusan/ketetapan itu lebih diprioritaskan daripada kebimbangan.
Dengan demikian riwayat yang kedua lebih diprioritaskan dan diamalkan daripada riwayat yang ketujuh yang memberikan pilihan. Dengan mengamalkan riwayat kedua bukan berarti kita menyalahi riwayat ketujuh yang memberikan pilihan. Dan inilah faktor ketiga yang menjadikannya lebih unggul.

Kesimpulannya, dalam mencuci benda najis apapun tidak harus dengan bilangan cucian tertentu, kecuali najis yang diakibatkan oleh jilatan anjing, di mana kita perlu mencuci bekas jilatan anjing itu sebanyak tujuh kali cucian, di mana cucian pertama menggunakan tanah, sedangkan enam kali sisanya dengan menggunakan air.
Selama dalam seluruh riwayat ini tidak nampak adanya ‘illat, maka hukum ini tidak ber'illat, sehingga tidak layak dianalogikan pada tindakan menghilangkan benda najis lainnya.
Kemudian, mencuci bejana akibat jilatan anjing itu dari sisi mencucinya tidak termasuk ibadah mahdhah. Ia sama dengan tindakan menghilangkan najis lainnya, tetapi penyebutan bilangan dengan penjelasan seperti ini merupakan aspek ibadah mahdhah yang ada di dalamnya, sehingga bilangan pencucian yang spesifik ini harus diamalkan sebagai bentuk ibadah dan ketaatan, tanpa perlu memikirkan sebab-sebab dan ‘illat-‘illat yang melatarbelakanginya, seperti yang disampaikan para dokter modern bahwa dalam air liur anjing itu terdapat kuman bakteri yang sangat berbahaya yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air dan tanah. Pernyataan seperti itu tidak perlu kita perhatikan.
Dan berhati-hatilah kaum Muslim dari ‘illat yang disodorkan ilmu pengetahuan modern, yang sebenarnya tidak dijelaskan hadits-hadits dan ayat-ayat. Dan hendaknya pula kaum Muslim mengetahui bahwa syariat tidak menyatakan ‘illat sesuatu itu semata-mata sengaja tidak menyatakannya, seandainya syariat ingin menyatakan ‘illat sesuatu niscaya ia akan menyampaikannya.
Ketika syariat tidak menetapkan ‘illat sesuatu, mengandung arti syariat ingin menyembunyikan ‘illat perkara itu dari kita, sehingga kita tidak perlu berpayah-payah menyingkap dan mengungkapkannya, karena tindakan seperti itu sama dengan sikap lancang terhadap nash (yaitu membuat-buat ‘illat).

Karena itu, untuk mensucikan baju yang terkena najis, tanah yang terkena najis, badan yang terkena najis, peralatan, wadah, sepatu, daun, kayu, dan biji-bijian yang terkena najis, semata-mata diperintahkan menghilangkan benda najisnya saja tanpa perlu memperhatikan bilangan cucian sama sekali.
Bahkan seandainya seekor anjing duduk berjongkok di atas suatu bejana berisi air, memasukkan kakinya, menjuntaikan ekornya, atau mencelupkan sebagian bulunya ke dalamnya, maka bejana tersebut cukup dicuci satu kali saja seperti mencuci benda-benda najis lainnya. Bilangan pencucian itu hanya berlaku dalam jilatan anjing saja, dan ini merupakan ibadah yang tidak ber'illat, sehingga tidak bisa dianalogikan pada bagian tubuh anjing lainnya, tidak bisa dianalogikan pada babi dan benda-benda najis lainnya.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam