Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 23 Agustus 2017

Pembahasan Benda yang Diduga Sebagai Najis



Keempat: Benda yang Diduga Sebagai Benda Najis

Adapun beberapa benda yang disangka sebagai benda najis adalah nabidz (air rendaman kurma), daging himar jinak, as-shadid (cairan lembut yang muncul dari luka, bukan nanah), mani, dan muntah. Kami sengaja menyiapkan pembahasan khusus yang terpisah untuk memaparkan semua itu.

1. Nabidz: rendaman kurma. Mereka biasa merendam biji-biji kurma dalam satu bejana yang di dalamnya ada air di waktu sore, kemudian mereka membiarkannya hingga pagi tiba. Setelah itu mereka membersihkannya dan menggosoknya di dalam air, lalu mereka menyusunnya. Dari rendaman biji kurma itu mereka membuat minuman yang manis. Inilah yang disebut dengan nabidz. Nabidz itu tidak lain hanyalah air kurma.
Ketika campuran ini terus dibiarkan hingga lebih dari dua atau tiga hari, terlebih lagi dalam udara yang panas, maka ia akan mendesis, yakni akan menghasilkan desis dan mengalami fermentasi. Darinya akan keluar bau yang cukup menusuk. Ketika hal seperti ini terjadi maka dipastikan cairan tersebut sudah berubah menjadi khamar, tidak lagi sebagai nabidz. Ketika sudah menjadi khamar seperti itu cairan tersebut harus ditumpahkan dan tidak boleh digunakan karena najis dan haram.

Berdasarkan gambaran dan paparan tersebut, jelas bahwa nabidz (air rendaman kurma) itu suci, tidak najis. Rasulullah Saw. biasa membuat dan meminumnya. Dari Anas, dia berkata:

“Sungguh aku telah menuangkan minuman apa saja ke dalam gelasku ini; madu, nabidz, air dan susu.” (HR. Muslim)

Hadits ini diketahui oleh seluruh imam dan para fuqaha, sampai-sampai Abu Hanifah, al-Hasan, al-Auza’iy, Ikrimah, dan Ishaq membolehkan berwudhu dengan nabidz karena sedemikian populernya kesucian dan kehalalan nabidz tersebut, sehingga tidak ada keraguan sedikitpun terkait kesucian nabidz.
Namun nabidz ini mengalami fermentasi karena lama didiamkan (diperam) hingga berubah menjadi khamer, maka faktanya sudah keluar dari fakta nabidz, dan saat itu sudah menjadi khamr yang najis.
Artinya selama faktanya masih berupa nabidz maka tidak najis, sehingga mungkin saja mereka yang menganggap nabidz itu najis yang mereka maksudkan sebenarnya adalah nabidz yang sudah mengalami fermentasi, atau bisa jadi yang mereka maksudkan adalah sejenis khamar yang sekarang ini ada tetapi diberi nama nabidz.
Nabidz yang mengalami fermentasi dan jenis khamar yang dinamai nabidz itu adalah najis

b. Daging keledai jinak: Segolongan orang memasukkan daging keledai jinak ke dalam kategori benda najis secara tersendiri. Mereka menyimpulkan daging keledai jinak itu najis berdasarkan hadits perintah Rasulullah Saw. kepada kaum Muslim dalam Perang Khaibar untuk menumpahkan daging keledai jinak yang sedang mereka masak. Yakni berdasarkan ucapan Rasulullah Saw. dalam hadits tersebut:

“Sesungguhnya daging keledai jinak itu najis.”

Hadits ini telah kami jelaskan dalam pembahasan “sisa minum hewan”, maka untuk mengomentari pernyataan mereka, kami katakan sebagai berikut: Status najisnya daging keledai sebenarnya tidak ditentang oleh seorang faqih (ahli fiqih) pun, tetapi ini tidak berarti harus memisahkan daging keledai jinak secara tersendiri dalam pembahasan benda-benda najis, karena sebenarnya cukup ditempatkan atau dimasukkan dalam pembahasan najisnya bangkai.
Hal ini karena setiap hewan yang tidak boleh dimakan -menurut syara- itu tidak bisa disembelih (termasuk keledai jinak), sehingga ketika disembelih dengan cara yang syar’i sekalipun tetap saja tidak boleh dimakan dan dagingnya tetap dipandang sebagai bangkai yang berlaku hukum bangkai padanya. Bangkai keledai itu najis, bangkai banteng itu najis, bangkai singa itu najis, begitu seterusnya. Semua ini termasuk dalam pengertian bangkai, sehingga tidak perlu dimasukkan dalam poin atau topik tersendiri.

c. Cairan yang keluar dari kulit yang terbakar atau terluka. Cairan ini tidak ada ketetapan kenajisannya dalam al-Qur’an, hadits dan Ijma Sahabat, tidak ada faqih (ahli fiqih) yang menempatkannya dalam bab benda-benda najis kecuali karena menganalogikannya dengan darah. Padahal hal tersebut tidak bisa dianalogikan, karena nanah itu bukan darah dan tidak menyerupai darah dari sisi sifat dan karakteristiknya, dan tidak ada ‘illat yang sama di antara keduanya. Walaupun begitu, dengan meneliti faktanya kita akan sampai pada kesimpulan bahwa al-qaih (nanah) itu najis dan membatalkan wudhu, tetapi tidak dengan as-shadid (cairan lembut yang muncul dari luka). Hal ini karena fakta al-qaih itu merupakan darah yang rusak atau terbentuk dari darah, di mana asal al-qaih itu merupakan benda najis dan membatalkan wudhu. Kondisi cabang itu mengikuti pokok pangkal, begitu pula dengan hukumnya. Inilah pendapat Qatadah dan Mujahid. Hal ini disebutkan oleh Abdurrazaq. Berbeda halnya dengan as-shadid, ia tidak termasuk dalam perkara yang membatalkan wudhu, juga tidak terkategorikan benda najis. Hukumnya suci dan tidak membatalkan wudhu.

d. Mani: Persoalan ini disebutkan dalam beberapa hadits berikut:

1. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Aku pernah menggaruk mani (dengan kuku) dari baju Nabi Saw., kemudian beliau Saw. berangkat dan melaksanakan shalat menggunakan baju itu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam riwayat Ahmad yang kedua, disebutkan dengan lafadz:

“Aku pernah mengerik mani.”

2. Dari Abdullah bin Syihab al-Khaulani:

“Dulu aku pernah singgah bermalam di rumah Aisyah, kemudian aku bermimpi hingga mani mengenai dua bajuku, lalu aku mencelupkannya ke dalam air. Saat itu pembantu Aisyah melihat perbuatanku, lalu dia memberitahu Aisyah perihal itu. Aisyah mengutusnya menemui aku dan berkata: Apa yang mendorongmu mencelupkan kedua bajumu? Dia berkata: Aku menjawab: Aku bermimpi basah sebagaimana orang yang tidur bermimpi. Dia bertanya: Apakah engkau melihat sesuatu pada bajumu itu? Aku menjawab: Tidak. Dia berkata: Seandainya engkau melihat sesuatu maka engkau harus mencucinya. Sungguh aku juga pernah bermimpi dan aku mengerik mani yang sudah kering dari baju Rasulullah Saw. dengan kukuku.” (HR. Muslim)

Tirmidzi dan Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan lafadz: rubbamaa faraktuhu (seringkali aku menggaruknya)

3. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Aku pernah membasuh mani itu dari baju Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. keluar untuk shalat, dan bekas cucian berupa noda air masih tampak di bajunya.” (HR. Bukhari)

4. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. pernah membersihkan mani dari bajunya dengan batang kayu idzkhir. Kemudian beliau Saw. shalat mengenakannya, lalu mengeriknya dari baju ketika sudah kering. Setelah itu beliau Saw. shalat mengenakannya.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)

5. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:

“Nabi Saw. ditanya tentang mani yang mengenai baju. Beliau Saw. menjawab: Mani itu sama halnya dengan ingus dan ludah. Engkau cukup mengusapnya dengan kain perca atau dengan batang kayu idzkhir.” (HR. ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan at-Thahawi)

Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini secara mauquf sampai pada Ibnu Abbas, dan dia berkata: yang benar adalah hadits ini mauquf.

5. Dari Aisyah ra.:

“Bahwasanya dia mengerik mani dari baju Rasulullah Saw., dan beliau Saw. dalam keadaan sedang shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Aisyah ra. dengan lafadz:

“Aku tahu bahwa aku pernah menggaruk mani dari baju Rasulullah Saw., ketika itu beliau Saw. sedang shalat mengenakannya.”

Para perawi hadits ini adalah perawi yang shahih.

Terdapat beberapa hadits lain yang isinya hampir sama dengan hadits di atas, sehingga kami cukup menyebutkan tujuh hadits saja. Berdasarkan hadits-hadits di atas, sejumlah fuqaha memahami bahwa mani itu najis. Mereka adalah: Abu Hanifah, Malik, al-Laits, al-Auzaiy, at-Tsauri.
Sedangkan as-Syafi'i, Ahmad, Dawud, Abu Tsur, Said bin al-Musayyab, dari kalangan sahabat di antaranya adalah Ali, Saad bin Abi Waqqash, Ibnu Umar, Aisyah dan Ibnu Abbas (menurut riwayat yang berasal dari mereka); mereka berpendapat bahwa mani itu suci.
Sebenarnya masalah ini agak sulit dan pelik. Hal ini karena di dalam hadits-hadits tersebut secara global disebutkan kata mencuci, menggosok, mengerik, membuang dan menyeka. Tetapi bagi orang yang mencermati dan meneliti hadits-hadits tersebut akan menemukan sesuatu yang bisa menerangi alur pembahasan ini.
Dalam hadits pertama dengan dua riwayatnya itu, disebutkan bahwa Aisyah menggaruk dan mengerik mani, tanpa adanya penjelasan apakah mani tersebut masih basah ataukah sudah kering.
Di dalam hadits kedua dengan dua riwayatnya disebutkan bahwa Aisyah mengerik mani yang sudah kering. Beliau mengerik mani yang sudah kering dan menyalahkan tindakan mencuci baju tersebut.
Tetapi dalam hadits ketiga diceritakan bahwa Aisyah juga mencucinya, tanpa menjelaskan apakah maninya itu masih basah ataukah sudah kering.
Sedangkan dalam hadits keempat disebutkan bahwa Rasulullah Saw. sendiri yang menggosok dan mengerik mani yang sudah kering.
Dalam hadits keenam, disebutkan aktivitas mengerik (dalam riwayat Ibnu Khuzaimah), dan disebutkan pula aktivitas menggaruk (dalam riwayat Ibnu Hibban), tanpa ada penjelasan apakah mani tersebut masih basah ataukah sudah kering.
Dengan demikian, hadits-hadits tersebut menggunakan lafadz mencuci, membuang, mengerik, menggaruk, menggosok, dan mengerik yang mana suatu saat ditaqyid (diberi batasan) dengan mani yang sudah kering, dan pada saat yang lain disebutkan secara mutlak tanpa taqyid (batasan) apapun.

Ketika baju itu dicuci maka tidak salah lagi hal itu dilakukan untuk menghilangkan mani yang masih basah dan juga yang sudah kering. Sedangkan membuang, itu kadang bisa menghilangkan dan kadang juga tidak sampai menghilangkan. Kita berpraduga kuat saja, bahwa membuang itu bisa menghilangkan mani yang basah dan mani yang sudah kering. Dengan demikian aktivitas mencuci dan membuang itu dimaksudkan untuk menghilangkan mani. Hanya inilah yang menunjukkan bahwa mani itu najis, dan ini menjadi dalil bagi mereka yang mengatakan bahwa mani itu najis, dan ini menjadi dalil yang menonjol seandainya memang dalil yang ada hanya ini saja. Artinya, seandainya nash-nash itu terbatas pada hadits yang menggunakan kedua lafadz itu saja.
Tetapi masalahnya ada hadits-hadits lain yang menggunakan lafadz mengerik, menggaruk, dan menggosok mani yang sudah kering. Telah diketahui bahwa mani yang sudah kering itu melekat erat pada baju, mengeras dan memadat, terlebih lagi ketika bagian yang terkena mani itu menjadi sedikit menguning, di mana aktivitas menggaruk -sedikit lebih kuat dalam menghilangkan mani daripada sekedar mengerik dan menggosok- itu tidak akan bisa menghilangkan mani sama sekali, aktivitas tersebut hanya mengurangi mani yang melekat. Hal ini menunjukkan bahwa tiga aktivitas tersebut dilakukan dalam rangka mengurangi mani yang melekat. Inilah yang menjadi dasar mereka yang berkesimpulan bahwa mani itu suci. Mereka mengatakan: menggosok dan mengerik itu tidak bisa menghilangkan mani sama sekali, dan ini menunjukkan bahwa tindakan menghilangkan mani itu tidak diperintahkan, sehingga melahirkan kesimpulan bahwa mani itu suci. Mereka memahami perintah menggosok atau mengerik tersebut sebagai anjuran dan dalam rangka kebersihan saja.

Tetapi saya sebagai penyusun kitab ini tidak merasa puas dengan hujjah ini, untuk menyatakan bahwa mani itu suci, karena akan ada hujjah yang lebih kuat, yakni perbuatan mencuci yang disebutkan pula dalam hadits, di mana perbuatan mencuci itu bisa menghilangkan mani sama sekali. Dan hadits tersebut menjadi dalil bagi mereka yang mengatakan bahwa mani itu najis, di mana mereka memahami tindakan menggosok atau menggaruk itu sebagai bukan penekanan seperti tidak ada penekanan untuk mencuci baju yang terkena madzi, padahal madzi itu najis.
Tetapi persoalannya tidak berhenti sampai di sana. Hadits keenam menyebutkan:

“Bahwasanya dia mengerik mani dari baju Rasulullah Saw., dan beliau Saw. dalam keadaan sedang shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Aisyah ra. dengan lafadz:

“Aku tahu bahwa aku pernah menggaruk mani dari baju Rasulullah Saw., ketika itu beliau Saw. sedang shalat mengenakannya.”

Hadits ini shahih, dan hadits inilah yang menjadi pemutus perbedaan pendapat, karena hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. shalat padahal ada mani di bajunya. Seandainya mani itu najis, tentunya Rasulullah Saw. tidak akan memulai shalat dengan menggunakan baju yang terkena mani itu. Hadits ini menjadi dalil yang kuat bahwa mani itu suci.

Tidak bisa dikatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw. belum mengetahui ada mani yang melekat pada bajunya. Tidak bisa dikatakan seperti itu, karena orang yang melontarkan perkataan seperti itu harus: pertama, membuktikan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak mengetahui, dan faktanya mereka tidak sanggup membuktikan hal itu; kedua, Allah Swt. menjaga dan memelihara Rasulullah Saw. dalam shalatnya agar tidak membawa najis. Hal ini dibuktikan ketika beliau Saw. diberitahu melalui wahyu bahwa ada najis melekat di sandalnya, lalu beliau Saw. membuangnya, padahal saat itu sedang shalat. Dengan demikian, hadits ini sangat kuat, menjadi hujjah atau argumentasi bahwa mani itu suci.
Terlebih lagi ketika saya tambahkan hadits kelima yang diriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas untuk menambah kekuatan hadits ini, yang semakin meyakinkan kita akan kebenaran pendapat mani itu suci. Hadits kelima tersebut menyatakan:

“Sesungguhnya mani itu sama halnya dengan ingus dan ludah.”

Kalimat ini jelas menyatakan bahwa mani itu suci, karena ingus dan ludah itu suci tanpa diperselisihkan lagi kesuciannya.

Kadang dikatakan bahwa al-Baihaqi telah meriwayatkan hadits ini secara mauquf kepada Ibnu Abbas, di mana dia berkata: yang mauquf inilah yang shahih, padahal hadits mauquf itu hanyalah ucapan seorang sahabat sehingga tidak bisa menjadi hujjah. Dan hanya ad-Daruquthni seorang yang memarfukan hadits ini sampai pada Rasulullah saw. Maka kami katakan: Ad-Daruquthni tidak sendirian memarfukan hadits ini (sampai pada Rasulullah saw), melainkan at-Thahawi dan al-Baihaqi juga sama-sama memarfukannya.
Setelah menyampaikan hadits ini, ad-Daruquthni berkata: hadits ini tidak dimarfukan selain oleh Ishaq al-Azraq dari Syuraik. Jika kita ketahui bahwa Ishaq itu seorang imam yang haditsnya ditakhrij (dicantumkan) dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim-pen.) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Jauziy, maka ini menunjukkan walaupun Ishaq seorang diri memarfukan hadits ini sebenarnya tidak jadi masalah.
Kemarfuan hadits ini menjadi tambahan kekuatan yang harus dipegang. Karena itu, status hadits ini adalah shahih dan marfu (sampai pada Rasulullah Saw.), dan ini sudah cukup untuk mentarjih (memenangkan) hujjah mereka yang menyatakan bahwa mani itu suci.
Dengan demikian nampak jelas pendapat yang benar dan tepat dalam persoalan ini, sehingga hadits-hadits yang menggunakan lafadz mencuci, mengerik, membuang, menggosok dan sebagainya itu dipahami dalam rangka menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan yang hukumnya hanya mandub saja.

Tinggallah kini syubhat yang mereka ucapkan, bahwa mani itu najis dengan pengecualian mani Rasulullah Saw., di mana menurut mereka hanya mani Rasulullah Saw. saja yang suci. Kami katakan kepada mereka:

Darimana Anda sekalian mendapatkan hak untuk melakukan pembedaan seperti ini? Mana dalilnya yang menunjukkan bahwa mani selain mani Rasulullah Saw. itu najis? Padahal tidak ada dalil selain yang kami sebutkan yakni hadits yang menceritakan mani Rasulullah Saw., bahkan sesungguhnya hadits Aisyah telah menyamakan antara mani Rasulullah Saw. dengan mani orang lain. Dengan demikian batallah syubhat yang mereka lontarkan, dan terbuktilah kebenaran hukum bahwa mani itu suci.

Mengenai pembahasan yang terlalu jauh yang disampaikan oleh para fuqaha tentang suci atau najisnya mani hewan, kemudian mereka membagi antara mani hewan yang dimakan dengan hewan yang tidak dimakan dagingnya, maka saya merasa tidak perlu untuk ikut-ikutan membahas.
Saya cukup mengatakan bahwa tidak ada dalil apapun yang menunjukkan bahwa mani hewan itu najis, sehingga mani hewan itu tetap dalam kondisi asalnya yang suci.

e. Muntah. Tidak ada nash yang shahih, hasan ataupun Ijma Sahabat yang menyebutkan bahwa muntah itu najis, sehingga muntah itu tetap dalam status asalnya yang suci. Mereka yang mengatakan bahwa muntah itu najis berpegang pada dua perkara:

Pertama: hadits yang diriwayatkan Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Darda:

“Bahwasanya Rasulullah Saw. muntah, beliau Saw. pun berbuka lalu berwudhu. Kemudian aku bertemu dengan Tsauban di Masjid Damsyik, lalu aku ceritakan perkara itu kepadanya. Maka dia berkata: Benar, bahkan akulah yang menuangkan air wudhu untuk beliau Saw.” (HR. at-Tirmidzi)

At-Tirmidzi berkata: Ini merupakan hadits yang paling shahih dalam persoalan ini.

Juga hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah ra., dia berkata:

“Barangsiapa yang terkena muntah, mimisan, qalas (sesuatu yang keluar dari rongga mulut tetapi bukan muntah), atau madzi, maka hendaklah dia pergi berwudhu, kemudian melanjutkan shalatnya, dan dia tidak berbicara dalam melakukan hal itu.” (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)

Al-Haitsami mendhaifkan hadits ini.

Kedua: mereka membuat kaidah yang menyatakan: sesuatu yang keluar dari badan dari selain jalannya itu terbagi dua: ada yang suci dan ada yang najis. Yang suci itu bagaimanapun juga tidak membatalkan wudhu, sedangkan yang najis membatalkan wudhu. Ini berasal dari satu riwayat. Kaidah ini disebutkan oleh penyusun kitab al-Mughni. Mereka menyebutkan bahwa kaidah ini diriwayatkan berasal dari sejumlah sahabat, tabi'in dan fuqaha. Mereka menerapkan perkara yang pertama, yakni hadits tersebut pada perkara yang kedua yakni kaidah, sehingga mereka menetapkan najisnya muntah. Mereka menyatakan: hadits ini menunjukkan bahwa muntah itu membatalkan wudhu, dan sesungguhnya kaidah menyatakan bahwa sesuatu yang keluar dari selain jalannya itu membatalkan wudhu jika sesuatu itu benda najis, karena itulah muntah dipandang sebagai najis.
Maka kami katakan kepada mereka bahwa kaidah ini tidak bisa diterima. Contohnya adalah mani. Keluarnya mani itu membatalkan wudhu, bahkan mewajibkan mandi walaupun mani itu suci.
Adapun pernyataan mereka bahwa sesuatu yang najis itu membatalkan wudhu secara keseluruhan, sedangkan yang suci itu tidak membatalkan wudhu, pernyataan mereka ini telah dibantah oleh beberapa orang lainnya. Makhul berkata: Tidak wajib wudhu kecuali karena adanya sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur. Malik, Rabi’ah, as-Syafi’i, Abu Tsaur, dan Ibnu al-Mundzir tidak mewajibkan wudhu ketika muntah. Kaidah yang mereka buat itu tidak benar dan tidak bisa diterima, sehingga tidak sah pula kesimpulan hukum yang didasarkan pada kaidah ini.

Mengenai dua hadits yang mereka kutip untuk memperkuat pendapatnya, maka kami katakan bahwa hadits yang kedua adalah hadits dhaif sehingga tidak layak dijadikan hujjah.
Adapun hadits yang pertama mengandung pengertian bahwa muntah itu membatalkan wudhu saja, dengan asumsi huruf fa yang ada dalam lafadz fa tawadha'a adalah fa sababiyah. Benar, bahwa al-Bazzar, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, Abu Naim, Ibnu Adi dan Abu Ya’la telah meriwayatkan dari jalur Ammar, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Wahai Ammar, engkau harus mencuci baju semata-mata jika terkena tinja, air seni, muntah dan darah.”

Tetapi sayang, hadits ini sangat dhaif derajatnya, sampai-sampai para ahli hadits menuduhnya sebagai hadits maudhu' (palsu).

Alasan tuduhan ini tiada lain karena di antara para perawinya terdapat nama Tsabit bin Hammad, dia seorang perawi yang dituduh suka memalsukan hadits. Al-Baihaqi berkata: Hadits ini bathil, tidak memiliki pangkal dan sandaran. Dia menambahkan: Tsabit bin Hammad ini seseorang yang dituduh suka meriwayatkan hadits palsu. Al-Haitsami berkata: Hadits ini sangat lemah. Karena itu hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah, sehingga tidak layak digunakan sebagai dalil najisnya muntah.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam