Keempat: Benda yang Diduga
Sebagai Benda Najis
Adapun beberapa benda
yang disangka sebagai benda najis adalah nabidz (air rendaman kurma), daging
himar jinak, as-shadid (cairan
lembut yang muncul dari luka, bukan nanah), mani,
dan muntah. Kami sengaja menyiapkan pembahasan khusus yang terpisah untuk
memaparkan semua itu.
1. Nabidz: rendaman
kurma. Mereka biasa merendam biji-biji kurma dalam satu bejana yang di dalamnya
ada air di waktu sore, kemudian mereka membiarkannya hingga pagi tiba. Setelah
itu mereka membersihkannya dan menggosoknya di dalam air, lalu mereka menyusunnya.
Dari rendaman biji kurma itu mereka membuat minuman yang manis. Inilah yang
disebut dengan nabidz. Nabidz itu tidak lain hanyalah air kurma.
Ketika campuran ini
terus dibiarkan hingga lebih dari dua atau tiga hari, terlebih lagi dalam udara
yang panas, maka ia akan mendesis, yakni akan menghasilkan desis dan mengalami
fermentasi. Darinya akan keluar bau yang cukup menusuk. Ketika hal seperti ini
terjadi maka dipastikan cairan tersebut sudah berubah menjadi khamar, tidak
lagi sebagai nabidz. Ketika sudah menjadi khamar seperti itu cairan tersebut
harus ditumpahkan dan tidak boleh digunakan karena najis dan haram.
Berdasarkan gambaran
dan paparan tersebut, jelas bahwa nabidz (air rendaman kurma) itu suci, tidak
najis. Rasulullah Saw. biasa membuat dan meminumnya. Dari Anas, dia berkata:
“Sungguh aku telah
menuangkan minuman apa saja ke dalam gelasku ini; madu, nabidz, air dan susu.”
(HR. Muslim)
Hadits ini diketahui
oleh seluruh imam dan para fuqaha, sampai-sampai Abu Hanifah, al-Hasan,
al-Auza’iy, Ikrimah, dan Ishaq membolehkan berwudhu dengan nabidz karena
sedemikian populernya kesucian dan kehalalan nabidz tersebut, sehingga tidak
ada keraguan sedikitpun terkait kesucian nabidz.
Namun nabidz ini
mengalami fermentasi karena lama didiamkan (diperam) hingga berubah menjadi
khamer, maka faktanya sudah keluar dari fakta nabidz, dan saat itu sudah
menjadi khamr yang najis.
Artinya selama
faktanya masih berupa nabidz maka tidak najis, sehingga mungkin saja mereka
yang menganggap nabidz itu najis yang mereka maksudkan sebenarnya adalah nabidz
yang sudah mengalami fermentasi, atau bisa jadi yang mereka maksudkan adalah
sejenis khamar yang sekarang ini ada tetapi diberi nama nabidz.
Nabidz yang mengalami
fermentasi dan jenis khamar yang dinamai nabidz itu adalah najis
b. Daging keledai
jinak: Segolongan orang memasukkan daging keledai jinak ke dalam kategori benda
najis secara tersendiri. Mereka menyimpulkan daging keledai jinak itu najis
berdasarkan hadits perintah Rasulullah Saw. kepada kaum Muslim dalam Perang
Khaibar untuk menumpahkan daging keledai jinak yang sedang mereka masak. Yakni
berdasarkan ucapan Rasulullah Saw. dalam hadits tersebut:
“Sesungguhnya daging
keledai jinak itu najis.”
Hadits ini telah kami
jelaskan dalam pembahasan “sisa
minum hewan”, maka untuk mengomentari pernyataan mereka, kami katakan
sebagai berikut: Status najisnya daging keledai sebenarnya tidak ditentang oleh
seorang faqih (ahli fiqih) pun, tetapi ini tidak berarti harus memisahkan
daging keledai jinak secara tersendiri dalam pembahasan benda-benda najis,
karena sebenarnya cukup ditempatkan atau dimasukkan dalam pembahasan najisnya
bangkai.
Hal ini karena setiap
hewan yang tidak boleh dimakan -menurut syara-
itu tidak bisa disembelih (termasuk keledai jinak), sehingga ketika disembelih
dengan cara yang syar’i sekalipun tetap saja tidak boleh dimakan dan dagingnya
tetap dipandang sebagai bangkai yang berlaku hukum bangkai padanya. Bangkai
keledai itu najis, bangkai banteng itu najis, bangkai singa itu najis, begitu
seterusnya. Semua ini termasuk dalam pengertian bangkai, sehingga tidak perlu
dimasukkan dalam poin atau topik tersendiri.
c. Cairan
yang keluar dari kulit yang terbakar atau terluka. Cairan ini tidak ada
ketetapan kenajisannya dalam al-Qur’an, hadits dan Ijma Sahabat, tidak ada faqih (ahli fiqih) yang menempatkannya
dalam bab benda-benda najis kecuali karena menganalogikannya dengan darah.
Padahal hal tersebut tidak bisa dianalogikan, karena nanah itu bukan darah dan
tidak menyerupai darah dari sisi sifat dan karakteristiknya, dan tidak ada ‘illat yang sama di antara keduanya. Walaupun
begitu, dengan meneliti faktanya kita akan sampai pada kesimpulan bahwa al-qaih (nanah) itu najis dan membatalkan
wudhu, tetapi tidak dengan as-shadid
(cairan lembut yang muncul dari luka). Hal ini karena fakta al-qaih itu merupakan darah yang rusak atau
terbentuk dari darah, di mana asal al-qaih itu merupakan benda najis dan
membatalkan wudhu. Kondisi cabang itu mengikuti pokok pangkal, begitu pula
dengan hukumnya. Inilah pendapat Qatadah dan Mujahid. Hal ini disebutkan oleh
Abdurrazaq. Berbeda halnya dengan as-shadid,
ia tidak termasuk dalam perkara yang membatalkan wudhu, juga tidak
terkategorikan benda najis. Hukumnya suci dan tidak membatalkan wudhu.
d. Mani: Persoalan ini
disebutkan dalam beberapa hadits berikut:
1. Dari Aisyah ra.,
dia berkata:
“Aku pernah menggaruk
mani (dengan kuku) dari baju Nabi Saw., kemudian beliau Saw. berangkat dan
melaksanakan shalat menggunakan baju itu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam riwayat Ahmad
yang kedua, disebutkan dengan lafadz:
“Aku pernah mengerik
mani.”
2. Dari Abdullah bin
Syihab al-Khaulani:
“Dulu aku pernah
singgah bermalam di rumah Aisyah, kemudian aku bermimpi hingga mani mengenai
dua bajuku, lalu aku mencelupkannya ke dalam air. Saat itu pembantu Aisyah
melihat perbuatanku, lalu dia memberitahu Aisyah perihal itu. Aisyah
mengutusnya menemui aku dan berkata: Apa yang mendorongmu mencelupkan kedua
bajumu? Dia berkata: Aku menjawab: Aku bermimpi basah sebagaimana orang yang
tidur bermimpi. Dia bertanya: Apakah engkau melihat sesuatu pada bajumu itu?
Aku menjawab: Tidak. Dia berkata: Seandainya engkau melihat sesuatu maka engkau
harus mencucinya. Sungguh aku juga pernah bermimpi dan aku mengerik mani yang
sudah kering dari baju Rasulullah Saw. dengan kukuku.” (HR. Muslim)
Tirmidzi dan Ahmad
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz: rubbamaa
faraktuhu (seringkali aku menggaruknya)
3. Dari Aisyah ra.,
dia berkata:
“Aku pernah membasuh
mani itu dari baju Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. keluar untuk shalat, dan
bekas cucian berupa noda air masih tampak di bajunya.” (HR. Bukhari)
4. Dari Aisyah ra.,
dia berkata:
“Rasulullah Saw.
pernah membersihkan mani dari bajunya dengan batang kayu idzkhir. Kemudian
beliau Saw. shalat mengenakannya, lalu mengeriknya dari baju ketika sudah
kering. Setelah itu beliau Saw. shalat mengenakannya.” (HR. Ahmad dan
al-Baihaqi)
5. Dari Ibnu Abbas
ra., dia berkata:
“Nabi Saw. ditanya
tentang mani yang mengenai baju. Beliau Saw. menjawab: Mani itu sama halnya
dengan ingus dan ludah. Engkau cukup mengusapnya dengan kain perca atau dengan
batang kayu idzkhir.” (HR. ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan at-Thahawi)
Al-Baihaqi juga
meriwayatkan hadits ini secara mauquf
sampai pada Ibnu Abbas, dan dia berkata: yang benar adalah hadits ini mauquf.
5. Dari Aisyah ra.:
“Bahwasanya dia
mengerik mani dari baju Rasulullah Saw., dan beliau Saw. dalam keadaan sedang
shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Ibnu Hibban
meriwayatkan dari Aisyah ra. dengan lafadz:
“Aku tahu bahwa aku
pernah menggaruk mani dari baju Rasulullah Saw., ketika itu beliau Saw. sedang
shalat mengenakannya.”
Para perawi hadits ini
adalah perawi yang shahih.
Terdapat beberapa
hadits lain yang isinya hampir sama dengan hadits di atas, sehingga kami cukup
menyebutkan tujuh hadits saja. Berdasarkan hadits-hadits di atas, sejumlah
fuqaha memahami bahwa mani itu najis. Mereka adalah: Abu Hanifah, Malik,
al-Laits, al-Auzaiy, at-Tsauri.
Sedangkan as-Syafi'i,
Ahmad, Dawud, Abu Tsur, Said bin al-Musayyab, dari kalangan sahabat di
antaranya adalah Ali, Saad bin Abi Waqqash, Ibnu Umar, Aisyah dan Ibnu Abbas
(menurut riwayat yang berasal dari mereka); mereka berpendapat bahwa mani itu
suci.
Sebenarnya masalah ini
agak sulit dan pelik. Hal ini karena di dalam hadits-hadits tersebut secara
global disebutkan kata mencuci, menggosok, mengerik, membuang dan menyeka.
Tetapi bagi orang yang mencermati dan meneliti hadits-hadits tersebut akan
menemukan sesuatu yang bisa menerangi alur pembahasan ini.
Dalam hadits pertama
dengan dua riwayatnya itu, disebutkan bahwa Aisyah menggaruk dan mengerik mani,
tanpa adanya penjelasan apakah mani tersebut masih basah ataukah sudah kering.
Di dalam hadits kedua
dengan dua riwayatnya disebutkan bahwa Aisyah mengerik mani yang sudah kering.
Beliau mengerik mani yang sudah kering dan menyalahkan tindakan mencuci baju
tersebut.
Tetapi dalam hadits
ketiga diceritakan bahwa Aisyah juga mencucinya, tanpa menjelaskan apakah
maninya itu masih basah ataukah sudah kering.
Sedangkan dalam hadits
keempat disebutkan bahwa Rasulullah Saw. sendiri yang menggosok dan mengerik
mani yang sudah kering.
Dalam hadits keenam,
disebutkan aktivitas mengerik (dalam riwayat Ibnu Khuzaimah), dan disebutkan
pula aktivitas menggaruk (dalam riwayat Ibnu Hibban), tanpa ada penjelasan
apakah mani tersebut masih basah ataukah sudah kering.
Dengan demikian,
hadits-hadits tersebut menggunakan lafadz mencuci, membuang, mengerik,
menggaruk, menggosok, dan mengerik yang mana suatu saat ditaqyid (diberi batasan) dengan mani yang sudah
kering, dan pada saat yang lain disebutkan secara mutlak tanpa taqyid (batasan) apapun.
Ketika baju itu dicuci
maka tidak salah lagi hal itu dilakukan untuk menghilangkan mani yang masih
basah dan juga yang sudah kering. Sedangkan membuang, itu kadang bisa
menghilangkan dan kadang juga tidak sampai menghilangkan. Kita berpraduga kuat
saja, bahwa membuang itu bisa menghilangkan mani yang basah dan mani yang sudah
kering. Dengan demikian aktivitas mencuci dan membuang itu dimaksudkan untuk
menghilangkan mani. Hanya inilah yang menunjukkan bahwa mani itu najis, dan ini
menjadi dalil bagi mereka yang mengatakan bahwa mani itu najis, dan ini menjadi
dalil yang menonjol seandainya memang dalil yang ada hanya ini saja. Artinya,
seandainya nash-nash itu terbatas pada hadits yang menggunakan kedua lafadz itu
saja.
Tetapi masalahnya ada
hadits-hadits lain yang menggunakan lafadz mengerik, menggaruk, dan menggosok
mani yang sudah kering. Telah diketahui bahwa mani yang sudah kering itu
melekat erat pada baju, mengeras dan memadat, terlebih lagi ketika bagian yang
terkena mani itu menjadi sedikit menguning, di mana aktivitas menggaruk
-sedikit lebih kuat dalam menghilangkan mani daripada sekedar mengerik dan
menggosok- itu tidak akan bisa menghilangkan mani sama sekali, aktivitas
tersebut hanya mengurangi mani yang melekat. Hal ini menunjukkan bahwa tiga
aktivitas tersebut dilakukan dalam rangka mengurangi mani yang melekat. Inilah
yang menjadi dasar mereka yang berkesimpulan bahwa mani itu suci. Mereka
mengatakan: menggosok dan mengerik itu tidak bisa menghilangkan mani sama
sekali, dan ini menunjukkan bahwa tindakan menghilangkan mani itu tidak
diperintahkan, sehingga melahirkan kesimpulan bahwa mani itu suci. Mereka
memahami perintah menggosok atau mengerik tersebut sebagai anjuran dan dalam
rangka kebersihan saja.
Tetapi saya sebagai
penyusun kitab ini tidak merasa puas dengan hujjah
ini, untuk menyatakan bahwa mani itu suci, karena akan ada hujjah yang lebih kuat, yakni perbuatan
mencuci yang disebutkan pula dalam hadits, di mana perbuatan mencuci itu bisa
menghilangkan mani sama sekali. Dan hadits tersebut menjadi dalil bagi mereka
yang mengatakan bahwa mani itu najis, di mana mereka memahami tindakan
menggosok atau menggaruk itu sebagai bukan penekanan seperti tidak ada
penekanan untuk mencuci baju yang terkena madzi, padahal madzi itu najis.
Tetapi persoalannya
tidak berhenti sampai di sana. Hadits keenam menyebutkan:
“Bahwasanya dia
mengerik mani dari baju Rasulullah Saw., dan beliau Saw. dalam keadaan sedang
shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Ibnu Hibban
meriwayatkan dari Aisyah ra. dengan lafadz:
“Aku tahu bahwa aku pernah
menggaruk mani dari baju Rasulullah Saw., ketika itu beliau Saw. sedang shalat
mengenakannya.”
Hadits ini shahih, dan hadits inilah yang menjadi pemutus
perbedaan pendapat, karena hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. shalat
padahal ada mani di bajunya. Seandainya mani itu najis, tentunya Rasulullah
Saw. tidak akan memulai shalat dengan menggunakan baju yang terkena mani itu.
Hadits ini menjadi dalil yang kuat bahwa mani itu suci.
Tidak bisa dikatakan:
Sesungguhnya Rasulullah Saw. belum mengetahui ada mani yang melekat pada
bajunya. Tidak bisa dikatakan seperti itu, karena orang yang melontarkan
perkataan seperti itu harus: pertama, membuktikan bahwa Rasulullah Saw. memang
tidak mengetahui, dan faktanya mereka tidak sanggup membuktikan hal itu; kedua,
Allah Swt. menjaga dan memelihara Rasulullah Saw. dalam shalatnya agar tidak
membawa najis. Hal ini dibuktikan ketika beliau Saw. diberitahu melalui wahyu
bahwa ada najis melekat di sandalnya, lalu beliau Saw. membuangnya, padahal
saat itu sedang shalat. Dengan demikian, hadits ini sangat kuat, menjadi hujjah atau argumentasi bahwa mani itu suci.
Terlebih lagi ketika
saya tambahkan hadits kelima yang diriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas untuk
menambah kekuatan hadits ini, yang semakin meyakinkan kita akan kebenaran
pendapat mani itu suci. Hadits kelima tersebut menyatakan:
“Sesungguhnya mani itu
sama halnya dengan ingus dan ludah.”
Kalimat ini jelas
menyatakan bahwa mani itu suci, karena ingus dan ludah itu suci tanpa
diperselisihkan lagi kesuciannya.
Kadang dikatakan bahwa
al-Baihaqi telah meriwayatkan hadits ini secara mauquf
kepada Ibnu Abbas, di mana dia berkata: yang mauquf
inilah yang shahih, padahal hadits mauquf itu hanyalah ucapan seorang sahabat
sehingga tidak bisa menjadi hujjah. Dan
hanya ad-Daruquthni seorang yang memarfukan
hadits ini sampai pada Rasulullah saw. Maka kami katakan: Ad-Daruquthni tidak
sendirian memarfukan hadits ini (sampai
pada Rasulullah saw), melainkan at-Thahawi dan al-Baihaqi juga sama-sama memarfukannya.
Setelah menyampaikan
hadits ini, ad-Daruquthni berkata: hadits ini tidak dimarfukan selain oleh Ishaq al-Azraq dari Syuraik. Jika kita
ketahui bahwa Ishaq itu seorang imam yang haditsnya ditakhrij (dicantumkan) dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim-pen.) sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Jauziy, maka ini menunjukkan walaupun Ishaq seorang
diri memarfukan hadits ini sebenarnya
tidak jadi masalah.
Kemarfuan hadits ini menjadi tambahan kekuatan
yang harus dipegang. Karena itu, status hadits ini adalah shahih dan marfu
(sampai pada Rasulullah Saw.), dan ini sudah cukup untuk mentarjih (memenangkan) hujjah mereka yang menyatakan bahwa mani itu suci.
Dengan demikian nampak
jelas pendapat yang benar dan tepat dalam persoalan ini, sehingga hadits-hadits
yang menggunakan lafadz mencuci, mengerik, membuang, menggosok dan sebagainya
itu dipahami dalam rangka menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan yang
hukumnya hanya mandub saja.
Tinggallah kini
syubhat yang mereka ucapkan, bahwa mani itu najis dengan pengecualian mani
Rasulullah Saw., di mana menurut mereka hanya mani Rasulullah Saw. saja yang
suci. Kami katakan kepada mereka:
Darimana Anda sekalian
mendapatkan hak untuk melakukan pembedaan seperti ini? Mana dalilnya yang
menunjukkan bahwa mani selain mani Rasulullah Saw. itu najis? Padahal tidak ada
dalil selain yang kami sebutkan yakni hadits yang menceritakan mani Rasulullah
Saw., bahkan sesungguhnya hadits Aisyah telah menyamakan antara mani Rasulullah
Saw. dengan mani orang lain. Dengan demikian batallah syubhat yang mereka
lontarkan, dan terbuktilah kebenaran hukum bahwa mani itu suci.
Mengenai pembahasan
yang terlalu jauh yang disampaikan oleh para fuqaha tentang suci atau najisnya
mani hewan, kemudian mereka membagi antara mani hewan yang dimakan dengan hewan
yang tidak dimakan dagingnya, maka saya merasa tidak perlu untuk ikut-ikutan
membahas.
Saya cukup mengatakan
bahwa tidak ada dalil apapun yang menunjukkan bahwa mani hewan itu najis,
sehingga mani hewan itu tetap dalam kondisi asalnya yang suci.
e. Muntah. Tidak ada
nash yang shahih, hasan ataupun Ijma
Sahabat yang menyebutkan bahwa muntah itu najis, sehingga muntah itu
tetap dalam status asalnya yang suci. Mereka yang mengatakan bahwa muntah itu
najis berpegang pada dua perkara:
Pertama: hadits yang
diriwayatkan Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Darda:
“Bahwasanya Rasulullah
Saw. muntah, beliau Saw. pun berbuka lalu berwudhu. Kemudian aku bertemu dengan
Tsauban di Masjid Damsyik, lalu aku ceritakan perkara itu kepadanya. Maka dia
berkata: Benar, bahkan akulah yang menuangkan air wudhu untuk beliau Saw.” (HR.
at-Tirmidzi)
At-Tirmidzi berkata:
Ini merupakan hadits yang paling shahih
dalam persoalan ini.
Juga hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah ra., dia berkata:
“Barangsiapa yang
terkena muntah, mimisan, qalas (sesuatu
yang keluar dari rongga mulut tetapi bukan muntah), atau madzi, maka hendaklah
dia pergi berwudhu, kemudian melanjutkan shalatnya, dan dia tidak berbicara
dalam melakukan hal itu.” (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)
Al-Haitsami mendhaifkan hadits ini.
Kedua: mereka membuat
kaidah yang menyatakan: sesuatu yang keluar dari badan dari selain jalannya itu
terbagi dua: ada yang suci dan ada yang najis. Yang suci itu bagaimanapun juga
tidak membatalkan wudhu, sedangkan yang najis membatalkan wudhu. Ini berasal
dari satu riwayat. Kaidah ini disebutkan oleh penyusun kitab al-Mughni. Mereka
menyebutkan bahwa kaidah ini diriwayatkan berasal dari sejumlah sahabat,
tabi'in dan fuqaha. Mereka menerapkan perkara yang pertama, yakni hadits
tersebut pada perkara yang kedua yakni kaidah, sehingga mereka menetapkan
najisnya muntah. Mereka menyatakan: hadits ini menunjukkan bahwa muntah itu
membatalkan wudhu, dan sesungguhnya kaidah menyatakan bahwa sesuatu yang keluar
dari selain jalannya itu membatalkan wudhu jika sesuatu itu benda najis, karena
itulah muntah dipandang sebagai najis.
Maka kami katakan
kepada mereka bahwa kaidah ini tidak bisa diterima. Contohnya adalah mani.
Keluarnya mani itu membatalkan wudhu, bahkan mewajibkan mandi walaupun mani itu
suci.
Adapun pernyataan
mereka bahwa sesuatu yang najis itu membatalkan wudhu secara keseluruhan,
sedangkan yang suci itu tidak membatalkan wudhu, pernyataan mereka ini telah
dibantah oleh beberapa orang lainnya. Makhul berkata: Tidak wajib wudhu kecuali
karena adanya sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur. Malik, Rabi’ah,
as-Syafi’i, Abu Tsaur, dan Ibnu al-Mundzir tidak mewajibkan wudhu ketika
muntah. Kaidah yang mereka buat itu tidak benar dan tidak bisa diterima,
sehingga tidak sah pula kesimpulan hukum yang didasarkan pada kaidah ini.
Mengenai dua hadits
yang mereka kutip untuk memperkuat pendapatnya, maka kami katakan bahwa hadits
yang kedua adalah hadits dhaif sehingga
tidak layak dijadikan hujjah.
Adapun hadits yang
pertama mengandung pengertian bahwa muntah itu membatalkan wudhu saja, dengan
asumsi huruf fa yang ada dalam lafadz fa tawadha'a adalah
fa sababiyah. Benar, bahwa al-Bazzar,
ad-Daruquthni, al-Baihaqi, Abu Naim, Ibnu Adi dan Abu Ya’la telah meriwayatkan
dari jalur Ammar, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Wahai Ammar, engkau
harus mencuci baju semata-mata jika terkena tinja, air seni, muntah dan darah.”
Tetapi sayang, hadits
ini sangat dhaif derajatnya,
sampai-sampai para ahli hadits menuduhnya sebagai hadits maudhu' (palsu).
Alasan tuduhan ini
tiada lain karena di antara para perawinya terdapat nama Tsabit bin Hammad, dia
seorang perawi yang dituduh suka memalsukan hadits. Al-Baihaqi berkata: Hadits
ini bathil, tidak memiliki pangkal dan sandaran. Dia menambahkan: Tsabit bin
Hammad ini seseorang yang dituduh suka meriwayatkan hadits palsu. Al-Haitsami
berkata: Hadits ini sangat lemah. Karena itu hadits ini tidak layak digunakan
sebagai hujjah, sehingga tidak layak
digunakan sebagai dalil najisnya muntah.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar