BAB DUA
BENDA-BENDA NAJIS
Al-Qadzarah (kotoran) itu ada yang sangat
buruk sekali dan disebut dengan an-najasah
(najis), ada pula yang tidak terlalu buruk yang disebut dengan ad-danas dan al-wasakh
(kotoran). Syariat telah mengharamkan kotoran yang sampai pada kategori najis,
dan memakruhkan kotoran biasa (al-wasakh).
Najis (an-najasah) itu pasti kotoran (qadzarah); tetapi kotoran tidak serta merta
adalah najis, karena kotoran itu ada yang dikategorikan sebagai najasah, ada pula yang dikategorikan sebagai wasakh (kotoran biasa).
Kotoran biasa dan
ringan telah diperintahkan syariat untuk dihilangkan, dicuci dan dijauhi,
dengan perintah yang tidak jazim
(pasti). Inilah yang disebut dengan sunah (an-nadbu),
dan aktivitasnya dikategorikan sebagai menjaga kebersihan (tandzif). Menjaga kebersihan badan, baju dan
tempat, itu semuanya merupakan perkara yang sangat dianjurkan (sunah) oleh syara, sehingga orang yang melakukannya akan
memperoleh pahala, sedangkan yang tidak melakukannya tidak diancam dengan dosa.
Sedangkan najasah (najis) telah diperintahkan oleh
syariat untuk dijauhi dengan perintah yang jazim,
sehingga tindakan menjauhi najis itu menjadi satu kewajiban (al-fardhu).
Najis itu dibagi dua
kategori: najis hissiyah (kongkret) dan najis hukmiyah. Contoh najis hissiyah adalah air kencing, tinja, darah, anjing, dan
sebagainya. Sedangkan contoh najis hukmiyah
adalah janabah, haid, nifas, dan batalnya wudhu. Dua jenis najis ini harus
dijauhi dalam tiga aktivitas ibadah yang harus dimuliakan, yakni shalat,
thawaf, dan memegang mushaf. Syara’
tidak mensyaratkan menjauhi najis secara rinci dalam selain ketiga aktivitas
ibadah tersebut.
Syariat telah
mensyaratkan bagi orang yang membaca al-Qur'an untuk tidak junub, dan boleh
dilakukan tanpa berwudhu. Dalam dzikir kepada Allah tidak disyaratkan harus
suci dari junub. Begitupula dalam jihad -yang termasuk ibadah-, zakat yang juga
termasuk ibadah, dan seluruh aktivitas tasharuf
berupa jual beli, hibah, dan wakalah. Termasuk juga dengan nikah, safar
(bepergian), makan, minum, dan berburu. Semua itu tidak disyaratkan harus suci
dari junub. Setiap ibadah dan tasharuf
akan diterima dari seorang Muslim tanpa disyaratkan harus suci dari najis hukmiyah, kecuali dalam perkara shalat,
thawaf, dan menyentuh mushaf saja.
Najis hissiyah telah diperintahkan Allah Swt.
sebagai Pembuat syariat
(as-Syaari') untuk dijauhi, dan tidak
ditransaksikan bagaimanapun kondisinya. Air najis itu tidak boleh digunakan
bagaimanapun juga. Darah dan air kencing, serta benda najis lainnya, hukumnya
wajib dijauhi, kecuali anjing buruan dan anjing penjaga yang memang diberi rukhshah (keringanan) oleh as-Syaari'. Ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
“Barangsiapa yang
memiliki anjing selain anjing galak untuk berburu atau anjing penjaga ternak,
maka pahalanya akan berkurang setiap hari sebanyak dua qirath.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kecuali kulit binatang
yang juga diberi rukhshah. Perkara
tersebut insya Allah akan kami bahas
lebih jauh.
Di dalam Sunnah Nabi
Saw. -terlebih lagi al-Qur’an- tidak ada rincian pasti terkait benda-benda
najis dan beberapa jenis benda yang mensucikan, sehingga muncul perbedaan
pendapat di kalangan para mujtahid dalam persoalan tersebut.
Ibnu Rusyd yang
bermadzhab Maliki mengatakan: Mengenai beberapa jenis benda najis, berdasarkan
bendanya, para ulama menyepakati empat perkara: bangkai hewan yang memiliki
aliran darah tetapi bukan hewan air; daging babi dengan sebab apapun babi itu
mati; darah itu sendiri yang berasal dari hewan yang tidak hidup di air, yang
berasal dari hewan yang masih hidup atau yang sudah mati ketika darah tersebut
mengalir memancar; maksudnya darah tersebut dalam jumlah banyak; dan terakhir
adalah air kencing dan tinja manusia. Mayoritas para ulama sepakat bahwa khamar
itu najis, tetapi dalam persoalan itu ada perbedaan pendapat dengan sebagian
ahli hadits, dan mereka berbeda pendapat dalam persoalan selain itu.
As-Syaukani
menyatakan: Benda-benda najis itu adalah tinja manusia secara mutlak, air
kencing manusia -kecuali bayi laki-laki yang masih menyusui-, air liur anjing,
kotoran hewan, darah haid, dan daging babi. Selain dalam perkara tersebut,
terdapat perbedaan pendapat. Pada prinsipnya sesuatu itu suci, sehingga sesuatu
itu tidak boleh dialihkan dari status sucinya kecuali berdasarkan dalil yang shahih, yang tidak kontradiktif dengan dalil
lain yang memiliki kualitas setara atau lebih tinggi darinya.
Dalam kitab al-Kafi
karya Ibnu Qudamah dikatakan: bahwa benda-benda najis itu adalah air kencing
manusia, air kencing hewan yang tidak dimakan dagingnya, tinja, wadi, muntah,
darah, nanah, khamr, anjing, babi, bangkai, asap dan uap yang berasal benda najis.
Ibnu Qudamah menyebutkan ada dua pendapat terkait madzi, segumpal darah (alaqah), cairan basah yang berasal dari vagina
dan sperma. Beberapa fuqaha yang lain menyebutkan selain itu.
Mereka berbeda
pendapat dalam persoalan najis ini, karena -sebagaimana telah kami katakan-
Sunnah tidak menyebutkan benda-benda najis secara rinci, atau bisa dikatakan
Sunnah jarang menyebutkan najis secara jelas.
Kalangan ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah sangat ketat membahas persoalan bersuci dan
benda-benda najis, tetapi ulama Malikiyah terlalu longgar dalam membahas
persoalan ini, sedangkan ulama Hanafiyah berada di tengah-tengah di antara
mereka; mereka sangat ketat dalam beberapa perkara dan sangat longgar dalam
beberapa perkara yang lain.
Kita akan membahas
persoalan ini dengan izin Allah, dengan mengambil petunjuk dari dalil-dalil shahih, menjauhkan diri dari dalil-dalil
dhaif, qiyas (analogi) yang rusak,
syubhat atau dari sikap taklid pada satu madzhab atau satu imam tertentu.
Semoga Allah Swt.
memberi kesempatan kepada kita untuk menyingkap persoalan ini
seterang-terangnya, sehingga bisa mendapatkan kesimpulan yang tepat dan
memuaskan.
Dalam pembukaan telah
kami katakan: Benda-benda najis itu ada sembilan: empat perkara berasal dari
manusia, yakni air kencing, tinja, madzi dan wadi, tiga perkara berasal dari
hewan yakni anjing, babi, dan bangkai, satu perkara berasal dari keduanya (manusia
dan hewan), yakni darah yang mengalir/memancar, dan satu perkara bukan berasal
dari keduanya, yakni khamer. Inilah benda-benda najis yang kami simpulkan dari
nash-nash.
Kami akan menyampaikan
dalil-dalilnya secara lebih rinci, setelah itu kita akan mendiskusikan pendapat
yang dilontarkan pihak lain yang bisa jadi berbeda dengan pendapat yang kami
katakan.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar