Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 23 Agustus 2017

Apakah Bangkai Najis Dengan Seluruh Bagiannya



Kedua: (Perbedaan Pendapat) Najisnya Bangkai Dengan Seluruh Bagiannya

Para imam dan fuqaha banyak berbeda pendapat dalam persoalan bangkai dengan seluruh bagiannya dari sisi najis tidaknya. Terdapat beragam pendapat di dalamnya, yang nampak jelas dalam dua persoalan utama yakni:

a. Tulang dan bulu, serta bagian tubuh yang disamakan dengan keduanya, yakni gading, gigi, tanduk, bulu unta dan bulu domba.

b. Kulitnya.

Malik, as-Syafi’i, Ishaq dan Ahmad berpendapat bahwa tulang bangkai itu najis. Atha, Thawus, al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz memakruhkannya, sedangkan Ibnu Sirin, Ibnu Juraij, at-Tsauri, Abu Hanifah, az-Zuhri dan Ibnu Abbas dari kalangan sahabat berpendapat bahwa tulang bangkai itu suci.
Pendapat para fuqaha dan para imam terkait tulang terbagi menjadi tiga golongan. Sedangkan terkait kulit bangkai, apakah bisa menjadi suci dengan disamak ataukah tidak, serta apakah yang kulit bisa disucikan terbagi menjadi beberapa golongan. Kami akan menjelaskannya secara rinci, sebagai berikut:

1. Abdullah bin Mas’ud, Said bin Musayyab, Atha, al-Hasan, as-Sya'biy, Salim, an-Nakha'i, Qatadah, ad-Dhahak, Said bin Jubair, Yahya bin Said, Malik, al-Laits, at-Tsauri, Abu Hanifah, Ibnu al-Mubarak, as-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya, berpendapat bahwa kulit bangkai itu bisa disucikan dengan cara disamak, kecuali kulit anjing dan kulit babi.

2. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dan puteranya yakni Abdullah bin Umar, Imran bin Hushain, Aisyah, Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, Malik dalam satu riwayat darinya, mereka berpendapat bahwa menyamak itu tidak mensucikan kulit bangkai sama sekali.

3. Al-Auza’iy, Abu Tsur, dan Ishaq bin Rahuwaih berpendapat bahwa mensucikan kulit bangkai itu hanya berlaku untuk binatang yang dimakan dagingnya saja.

4. Malik berpendapat bahwa menyamak itu akan mensucikan bagian luar kulit, tidak bagian dalamnya, dalam arti kulit yang disamak itu tidak layak digunakan sebagai tempat menyimpan benda cair.

5. Dawud, Abu Yusuf, dan Malik dalam salah satu riwayatnya, mereka berpendapat bahwa menyamak itu mensucikan semua kulit, hingga kulit anjing dan kulit babi.

6. az-Zuhri sendirian menyatakan sucinya kulit bangkai tanpa perlu disamak.

Inilah beberapa pendapat dalam persoalan ini. Kita akan mengkaji semuanya agar mendapat pendapat yang tepat dengan petunjuk Allah Swt., yang mana pendapat yang tepat menurut saya adalah tulang bangkai, bulunya, giginya, kukunya, itu semuanya suci, dan bahwa kulit semua bangkai itu bisa disucikan dengan cara disamak terlebih dahulu. Ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

1. Firman Allah Swt.:

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. ” (TQS. al-An'am [6]: 145)

2. Dari Tsauban:

“Wahai Tsauban, belikanlah Fathimah kalung dari otot dan dua gelang dari gading.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

3. Dari Ibnu Abbas, dia berkata:

“Pelayan Maimunah pernah diberi sedekah seekor kambing, lalu kambing itu mati. Rasulullah Saw. lewat di dekatnya, beliau Saw. bertanya: “Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya, lalu kalian menyamaknya sehingga kalian bisa memanfaatkannya?” Mereka berkata: Kambing ini sudah menjadi bangkai. Maka beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya yang haram itu adalah memakannya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

4. Dari Maimunah isteri Nabi Saw., dia berkata:

“Rasulullah Saw. melewati beberapa lelaki Quraisy yang sedang menyeret domba milik mereka semisal keledai, maka Rasulullah Saw. berkata pada mereka: “Seandainya kalian mengambil kulitnya.” Mereka berkata: Domba ini sudah menjadi bangkai. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Air dan qaradz akan mensucikannya.” (HR. Ahmad, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan Malik)

Hadits ini dishahihkan oleh ad-Daruquthni, al-Hakim dan Ibnu as-Sakan. Kata al-qaradz artinya bahan yang digunakan untuk menyamak.

5. Dari Ibnu Abbas:

“Bahwasanya binatang piaraan Maimunah mati, maka Rasulullah Saw. berkata: “Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya, mengapa kalian tidak menyamak kulitnya, karena menyamaknya itu (sama dengan) menyembelihnya.” (HR. Ahmad)

Ibnu Hazm berkata: sanad hadits ini paling shahih

6. Dari Abdurrahman bin Wa’lah, dari Ibnu Abbas ra.:

“Aku (Abdurrahman) berkata: Kami ikut berperang lalu mendapatkan kulit dan kantung air dari kulit. Ibnu Abbas berkata: Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadamu, kecuali aku mendengar Rasulullah Saw. bersada: “Kulit apapun ketika disamak maka sungguh menjadi suci.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

7. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:

“Nabi Saw. hendak berwudhu dari kantung air, maka dikatakan pada beliau Saw.: Sesungguhnya kantung air ini adalah bangkai, Maka beliau Saw. bersabda: “Menyamaknya bisa menghilangkan kotoran, najisnya, atau keburukannya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Hadits ini diriwayatkan dan dishahihkan oleh al-Baihaqi, al-Hakim.

8. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Nabi Saw. ditanya tentang kulit bangkai, maka beliau Saw. bersabda: “Menyamaknya adalah cara untuk mensucikannya.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)

9. Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:

“Seekor domba milik Saudah binti Zam'ah mati, lalu ia berkata: Wahai Rasulullah, si fulanah sudah mati. Maksudnya adalah domba tersebut sudah mati, maka Nabi Saw. bertanya: “Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?” Lalu dia balik bertanya: Kami harus mengambil kulit kambing yang sudah mati? Rasulullah Saw. berkata padanya: “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman: Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi” (al-An'am: 145). Sesungguhnya kalian tidak memakannya, kalian hanya menyamaknya lalu memanfaatkannya.” Kemudian Saudah mengutus orang mengambilnya dan menguliti kulitnya, lalu dia menyamaknya. Dia menjadikannya sebagai qirbah (tempat minum) hingga qirbah tersebut digunakannya sampai usang.” (HR. Bukhari dan an-Nasai)

Sebenarnya terdapat beberapa hadits lain tentang mensucikan kulit dengan cara disamak, tetapi kami merasa cukup untuk mencantumkan sejumlah hadits di atas saja.

Dengan mencermati sembilan dalil tersebut, kita mendapati bahwa dalil yang kesembilan merupakan penafsiran dari sisi fiqih terhadap dalil yang pertama yaitu ayat al-Quran surat al-An’am: 145, dua dalil ini menjadi topik pembicaraan, kecuali dalam beberapa hal. Sabda Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya kalian tidak memakannya, kalian hanya menyamaknya lalu memanfaatkannya.”

Ketika disandarkan pada nash al-Qur’an:

“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya.”

Dengan mudah kita mendapat kesimpulan bahwa pengharaman yang ditujukan pada bangkai itu semata-mata pengharaman untuk memakan bangkai dan sesuatu yang dimakan dari bangkai tersebut.

“Sesungguhnya kalian tidak memakannya.”

“Bagi orang yang hendak memakannya.”

Sehingga pengharaman itu ditujukan pada memakan bangkai. Benda yang yang diharamkan untuk dimakan dari bangkai tersebut adalah sesuatu yang dimakan darinya. Inilah pemahaman terhadap hadits yang kesembilan ketika dipasangkan dengan ayat al-Qur’an surat al-An’am: 145.
Karena itu segala sesuatu yang layak dimakan dari bangkai itu haram dimakan dan najis hukumnya. Inilah yang dicakup oleh hukum bangkai.
Dengan demikian, sesuatu yang tidak dimakan dari bangkai, seperti tulangnya, kukunya, bulunya, dan giginya sudah keluar dari pembahasan pengharaman tersebut. Sehingga terhadap semua bagian tubuh bangkai yang tidak dimakan tidaklah berlaku hukum haram dan najisnya bangkai. Semua itu tetap dalam kondisi asalnya yakni suci.
Pemahaman seperti ini dilontarkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, adanya beberapa dalil yang membolehkan kita mempergunakan sesuatu dari bangkai selain yang dimakan seraya menjelaskan bahwa bagian yang tidak dimakan itu dianggap suci juga bisa menguatkan pemahaman ini.

a. Hadits Tsauban poin 2 yang telah kami sebutkan merupakan nash yang membolehkan kita menggunakan gading. Gading itu bagian tulang dari gajah. Hukum gading sama dengan hukum tulang dari sisi halal haramnya, dan ini menjadi dalil yang menunjukkan sucinya tulang, karena jika gading itu najis tentunya tidak boleh digunakan.
Ketika diketahui bahwa perniagaan gading itu belum dilakukan di masa Rasulullah Saw. di antara kaum Muslim sendiri -karena India dan Afrika belum masuk ke dalam pangkuan Negara Islam- melainkan kaum Muslim membeli gading tersebut dari orang kafir Hindu di India dan orang pagan di Afrika, dan mereka tentunya tidak menyembelih gajah tersebut dengan sembelihan yang diakui oleh Islam. Ini jika mereka memang menyembelihnya. Walaupun gading gajah itu dipotong langsung dari gajah yang sudah menjadi bangkai, gading tersebut tetap suci dan dipergunakan di masa Rasulullah Saw. Ini menjadi dalil yang jelas mengecualikan tulang dari bangkai yang bisa menguatkan pemahaman di atas.
Sebagian orang mungkin saja mengatakan: tulang itu dipotong dari gajah yang masih hidup, sehingga tetap suci karena tidak dipotong dari gajah yang sudah menjadi bangkai. Maka pernyataan seperti ini kami bantah dengan bantahan:

Pertama: Kaum Muslim tidak membedakan atau tidak bertanya apakah gading gajah yang sampai pada mereka itu berasal dari gajah yang masih hidup ataukah berasal dari gajah yang sudah menjadi bangkai. Seandainya mereka bertanya tentu mereka tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti, sehingga ini menunjukkan bahwa mereka tidak membedakan di antara keduanya.

Kedua: Sesungguhnya Abu Waqid al-Laitsi berkata:

“Rasulullah Saw. tiba di Madinah, di sana ada orang-orang yang pergi (mencari) ekor domba dan punuk unta lalu mereka memotongnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Sesuatu yang dipotong dari binatang yang masih hidup itu adalah bangkai.” (HR. Ahmad)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Zaid bin Aslam. Ahli ilmu menyatakan bahwa hadits ini bisa diamalkan.

Hadits menunjukkan -tanpa meninggalkan sedikitpun celah keraguan- bahwa bagian tubuh manapun yang dipotong dari gajah yang masih hidup itu adalah bangkai dan najis. Benda najis itu haram digunakan, ketika ada kebolehan menggunakan gading maka ini menunjukkan bahwa gading itu sesuatu yang lain, di mana hadits tersebut tidak berlaku padanya. Dengan demikian, gugurlah pendapat yang mengatakan bahwa gading tersebut suci karena dipotong dari hewan yang masih hidup nan suci. Sebenarnya gading gajah itu suci semata-mata karena ia bukan bangkai, itu saja.

Inilah pembahasan tentang gading gajah, dan bagian tubuh yang disamakan dengan gading gajah adalah gigi, kuku dan tulang. Az-Zuhri berkata tentang tulang belulang hewan yang sudah mati seperti gajah:

Aku bertemu dengan sejumlah orang dari kalangan ulama salaf, mereka mempergunakan tulang untuk menyisir dan meminyaki rambut. Mereka tidak memandang ada masalah dalam persoalan itu. Pernyataan ini diceritakan oleh Bukhari. Telah diketahui bahwa az-Zuhri itu adalah seorang tabi'in, karena itu maka para ulama salaf yang dia temui tidak salah lagi adalah para sahabat Rasulullah Saw.

b. Ijma para sahabat dan kesepakatan para ulama, baik salaf ataupun khalaf, tentang sucinya bulu kambing, bulu domba dan bulu unta. Telah diketahui bahwa semua itu dipotong dari binatang ternak, baik ketika masih hidup ataupun setelah ternak itu disembelih; semuanya diperlakukan sama dari sisi status sucinya dan kebolehan menggunakannya tanpa perbedaan sedikitpun.
Ketika sesuatu yang diambil dari hewan yang masih hidup itu adalah bangkai dan najis sebagaimana telah kami jelaskan, dan walaupun tiga benda di atas diambil dari hewan ternak yang masih hidup, tetap saja benda-benda tersebut dipandang suci (tidak najis-pen.), maka ini menunjukkan bahwa hukum bangkai tidak berlaku atas tiga benda tersebut.
Bangkai adalah sesuatu yang dimakan saja, sedangkan bulu kambing dan bulu domba itu tidak dimakan. Atas keduanya itu berlaku hukum yang sama dengan hukum gading gajah yang dipotong dari gajah, sehingga hukumnya suci. Maha benar Allah Swt. yang berfirman:

“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (TQS. al-An’am [6]: 80)

Ayat ini tidak membedakan satu benda dengan benda yang lain, dari sisi dipotong tidaknya.

c. Ucapan dalam hadits nomor tiga:

“Mereka berkata: Kambing ini sudah menjadi bangkai. Maka beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya yang haram itu adalah memakannya.”

Ini merupakan nash yang jelas, tidak mengandung takwil apapun, bahwa pengharaman itu ditujukan pada aktivitas memakannya, ketika memakan itu hanya pada bagian tubuh bangkai yang dimakan saja, maka ini menunjukkan kebenaran pemahaman kami.

Tinggallah kini mengenai kulit bangkai. Sebelumnya saya telah menyatakan: dua dalil ini menjadi topik pembicaraan, kecuali dalam beberapa hal. Beberapa hal itu adalah topik yang terkait dengan kulit bangkai. Sesungguhnya kulit itu bagian tubuh bangkai yang dimakan, sehingga kulit dicakup oleh keharaman memakan dan najisnya bangkai, karena kulit termasuk dalam pengertian bangkai, alasannya bisa dilihat dari dua sisi:

a. Penelitian atas fakta (tahqiq al-manath).
b. Nash-nash yang jelas menerangkan hal itu.

Dari sisi tahqiq manath, ketika kulit bisa dimakan atau memiliki kemungkinan untuk dimakan, maka kulit termasuk perkara yang disinggung oleh firman Allah Swt.:

“Bagi orang yang hendak memakannya.”

Dan dicakup oleh sabda Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya yang haram itu adalah memakannya.”

Kulit burung seperti ayam, merpati, dan bebek itu dimakan, kulit kelinci itu dimakan, dan ini nampak jelas, sedangkan kulit lembu berpeluang untuk dimakan. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahmad telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra. bahwasanya dia berkata:

“Rasulullah Saw. mengajak orang-orang Quraisy untuk masuk Islam tetapi mereka enggan, lalu Rasulullah Saw. berdoa: “Ya Allah, tolonglah aku menghadapi mereka dengan tujuh tahun kelaparan seperti tujuh tahun Nabi Yusuf. Maka tahun kelaparan menerpa mereka dan menandaskan segala sesuatu hingga mereka sampai harus makan bangkai dan kulit, sampai-sampai seorang lelaki melihat ada kabut antara dirinya dengan langit karena sedemikian laparnya.”

Dengan demikian, selama kulit itu dimakan atau memiliki kemungkinan bisa dimakan, maka ia termasuk dalam hukum bangkai dari sisi keharaman dan najisnya.

Adapun dari sisi nash-nash yang sharih, maka jelas disebutkan dalam hadits kelima:

“Mengapa kalian tidak menyamak kulitnya, karena menyamaknya itu (sama dengan) menyembelihnya.”

Juga dalam hadits keempat:

“Air dan qaradz akan mensucikannya.”

Juga dalam hadits ketujuh:

“Menyamaknya telah menghilangkan kotorannya atau najisnya atau keburukannya.”

Juga dalam hadits keenam:

“Kulit apapun ketika disamak maka sungguh menjadi suci.”

Juga dalam hadits kedelapan:

“Menyamaknya adalah cara untuk mensucikannya.”

Semua kalimat ini menyingkapkan makna yang dituju. Ketika Rasulullah Saw. berkata tentang kulit bahwa menyamaknya itu adalah sama dengan menyembelihnya, kulit tersebut bisa disucikan dengan air dan qaradz (qaradz adalah bahan yang digunakan untuk menyamak), bahwa menyamak itu menghilangkan najisnya, mensucikan kulit itu adalah dengan cara menyamaknya, maka secara pasti semua itu menunjukkan bahwa kulit bangkai itu adalah najis, karena jika tidak najis tentu saja tidak akan diperintahkan mensucikanya dengan cara disamak.

Nash yang paling jelas adalah hadits nomor 7, di mana Rasulullah Saw. mengatakan bahwa kulit bangkai itu najis. Ungkapan ini menunjukkan bahwa kulit disamakan dengan bangkai dari sisi status najisnya, sehingga hukumnya sama dengan hukum bangkai, dan selanjutnya kulit itu tidak menjadi bagian yang dikecualikan dari bangkai seperti halnya bulu dan tulang, melainkan menjadi bagian dari bangkai sehingga terhadap kulit itu diberlakukan keharaman dan najisnya bangkai.
Terlebih lagi ketika tulang, bulu kambing dan bulu domba boleh digunakan tanpa disucikan terlebih dahulu, karena tidak diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. memerintahkan untuk mensucikannya sebelum tulang dan bulu itu digunakan, juga tidak ada Ijma Sahabat tentang hal itu, sedangkan pada saat yang sama beliau Saw. dalam sejumlah hadits memerintahkan untuk mensucikan kulit dengan cara disamak sebelum kulit itu digunakan.
Inilah yang jelas membedakan antara kulit dengan tulang dan bulu, sehingga jelas pula titik perbedaan antara tulang dengan kulit.

Dari sisi kedua, kulit itu dikecualikan dari keumuman larangan menggunakan dan memanfaatkan bangkai dan benda najis. Ini merupakan hukum pengecualian. Sebenarnya kulit itu terlarang digunakan karena status najisnya, tetapi Rasulullah Saw. telah mengecualikannya dari bangkai dengan pengecualian yang khusus, lalu beliau Saw. menjelaskan bahwa kulit sebagai bagian yang najis dari bangkai ini boleh dimanfaatkan -tetapi tidak dengan bagian bangkai lainnya- dengan satu syarat hendaknya kulit tersebut disucikan terlebih dahulu dengan cara disamak.
Beliau Saw. tidak membolehkan hal seperti itu pada bagian bangkai lainnya. Karenanya, ini merupakan hukum khusus yang tidak bisa dianalogikan. Kadang muncul pertanyaan: Pernyataan bahwa kulit itu dikecualikan dari bangkai merupakan pernyataan yang tidak bisa diterima, karena dalam persoalan ini ada aspek lain, yakni bolehnya memanfaatkan kulit bangkai, karena memanfaatkan itu berbeda dengan memakan. Seandainya menggunakan kulit itu dalam rangka untuk dimakan niscaya hukumnya sama dengan hukum bangkai? Mungkin juga muncul pertanyaan: ‘illat kebolehan menggunakan kulit itu adalah karena kulit itu tidak dimakan, sehingga setiap bagian dari bangkai itu bisa dianalogikan pada kulit, yakni bisa dimanfaatkan asal tidak dimakan?

Maka kami bantah dengan ucapan: Pertanyaan seperti ini benar seandainya kita tidak memiliki nash yang mencegahnya. Nash tersebut adalah: Dari Jabir bin Abdillah ra., dia mendengar Rasulullah Saw. bersabda pada tahun penaklukan ketika beliau Saw. berada di Makkah:

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamar, bangkai, babi, dan patung. Lalu beliau Saw. ditanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau dengan lemak bangkai, karena sesungguhnya lemak bangkai itu bisa digunakan untuk memoles perahu, meminyaki kulit dan bahan penerangan manusia. Beliau Saw. berkata: “Tidak, lemak bangkai tetap haram.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda saat itu: “Allah melaknat Yahudi karena sesungguhnya ketika Allah Swt. mengharamkan lemaknya, maka mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu mereka memakan harga hasil penjualannya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan penyusun kitab as-Sunan).

Kata jammaluuhu artinya adzaabuuhu (mencairkannya).

Hadits ini menyebutkan salah satu bagian bangkai yang dicakup oleh hukum haram dan najisnya bangkai, bagian tersebut adalah lemak bangkai, karena lemak itu sesuatu yang bisa dimakan.
Lemak ini kemudian ditanyakan kepada Rasulullah Saw., pertanyaannya bukan terkait memakan lemak, tetapi terkait memanfaatkan lemak itu dalam bentuk yang lain, yakni menggunakannya untuk melumuri perahu, mengurapi kulit, dan menjadi bahan penerangan di rumah, lalu datang larangan yang tegas: laa huwa haraamun (jangan, lemak tersebut tetap haram), artinya Rasulullah Saw. menetapkan lemak itu dalam kondisi asalnya yang haram, sehingga dengan itu beliau melanggengkan lemak tersebut dalam kondisi asalnya yang najis, bangkai itu najis dan haram dimanfaatkan, bagaimanapun bentuk pemanfaatannya.
Al-Jashshash berkata:
“Pengharaman ini mencakup berbagai macam bentuk pemanfaatan, sehingga bangkai itu tidak boleh dimanfaatkan bagaimanapun bentuknya. Kita tidak boleh menjadikan bangkai itu sebagai pakan anjing dan binatang buas, karena itu merupakan satu bentuk pemanfaatan bangkai. Allah Swt. sungguh telah mengharamkan bangkai dengan pengharaman yang terkait dengan bendanya, sehingga tidak boleh memanfaatkan sesuatupun dari bangkai tersebut kecuali jika ada sesuatu yang dikhususkan oleh dalil maka harus diterima.”

Jelas bahwa bangkai itu najis dan haram dimakan, dan haram pula dimanfaatkan, bagaimanapun bentuk pemanfaatannya -tentunya selain tulang dan bulu- dan perkara yang dikecualikan dari bangkai itu adalah kulit saja, itupun jika disamak terlebih dahulu.

Sekarang kita mengkaji dalil-dalil yang digunakan sebagai argumentasi oleh mereka yang melontarkan pendapat yang berbeda dengan yang telah kami paparkan di atas, lalu kita akan membahasnya dan menjelaskan kekeliruan istidlal yang mereka lakukan.

a. Dari Abdullah bin ‘Ukaim, dia berkata:

“Rasulullah Saw. telah menetapkan kepada kami satu bulan sebelum beliau Saw. wafat: “Janganlah kalian memanfaatkan bangkai, baik kulitnya ataupun ototnya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Ada juga riwayat lain dari Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah yang tidak mencantumkan taqyid (penyebutan batas) waktu di dalamnya.
Ahmad memiliki riwayat yang ketiga:

“Satu atau dua bulan sebelum wafat beliau Saw.”

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Dua bulan sebelum wafat beliau Saw.”

b. Dari Abdullah bin Ukaim, dia berkata:

“Rasulullah Saw. membuat ketetapan dan kami sedang berada di daerah Juhainah: “Sesungguhnya aku telah memberi keringanan pada kalian untuk memanfaatkan kulit bangkai, maka (sekarang) janganlah kalian memanfaatkan bangkai, baik kulitnya ataupun ototnya.” (HR. at-Thabrani)

Di dalam hadits ini ada Fudhalah bin Mifdhal yang dikomentari oleh Abu Hatim: haditsnya tidak layak diriwayatkan. Al-Uqailiy berkata: hadits Fudhalah harus dicermati.

c. Dari Abdullah bin Ukaim dia berkata: Para sesepuh Juhainah bercerita kepadaku:

“Datanglah surat ketetapan Rasulullah Saw., atau dibacakan surat ketetapan Rasulullah Saw. kepada kami: “Janganlah kalian memanfaatkan sesuatupun dari bangkai.” (HR. at-Thahawi)

d. Hadits yang telah kami sebutkan pada nomor lima yang diriwayatkan oleh Ahmad:

“Bahwasanya binatang piaraan Maimunah mati, maka Rasulullah Saw. berkata: “Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya, mengapa kalian tidak menyamak kulitnya, karena menyamaknya itu (sama dengan) menyembelihnya.”

e. Firman Allah Swt.:

“Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kepada kejadiannya. Ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (TQS. Yasin [36]: 78-79)

f. Firman Allah Swt.:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,” (TQS. al-Maidah [5]: 3)

g. Hadits yang telah kami sebutkan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi:

“Bagian tubuh yang dipotong dari hewan yang masih hidup itu adalah bangkai.”

Inilah beberapa dalil yang mereka pegang.

Tiga hadits pertama (a, b, dan c) semua itu merupakan satu hadits yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, semuanya berasal dari jalur Abdullah bin Ukaim, hadits ini menjadi sandaran bagi orang yang tidak membolehkan menyamak kulit bangkai dan tidak membolehkan mensucikannya dari najis.
Dengan mencermati hadits ini maka akan kita dapati bahwa hadits ini dhaif dari sisi sanad dan mudhtharib (simpang siur) dari sisi matan.
Adapun dari sisi sanad, satu kali diriwayatkan dengan lafadz:

“Telah dibacakan kepada kami surat ketetapan Rasulullah.” (HR. Abu Dawud)

Satu kali diriwayatkan dengan lafadz:

“Datanglah surat ketetapan Nabi Saw. kepada kami.” (HR. Ibnu Majah)

Dan satu kali diriwayatkan dengan lafadz:

“Telah bercerita kepadaku para sesepuh Juhainah.” (HR. at-Thahawi)

Semua lafadz ini menunjukkan bahwa Abdullah telah menukil hadits dari orang-orang yang tidak dikenal (majhul), selain memang dalam sanad hadits poin b itu terdapat perawi yang dhaif.

Adapun dari sisi matan, satu saat diriwayatkan secara muqayyad (diberi batasan) waktu, dan saat yang lain tidak secara muqayyad. Bahkan riwayat yang muqayyad (diberi batasan) tersebut ada yang ditaqyid satu bulan, ada yang ditaqyid dua bulan, dalam beberapa riwayat lain ditaqyid empat puluh hari, bahkan ada yang ditaqyid tiga hari. Padahal perawi semua hadits ini adalah seorang saja, yakni Abdullah bin Ukaim. Adanya perbedaan dalam matan ini sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (simpang siur) dari sisi matan. Dengan demikian, hadits ini dhaif dari sisi sanad dan mudhtharib dari sisi matan, sehingga tidak akan kuat bila harus dihadapkan hadits-hadits menyamak yang demikian banyak dan shahih, karena itu hadits ini ditolak.

At-Tirmidzi berkata: Aku mendengar Ahmad bin al-Hasan berkata: Ahmad bin Hanbal sebelumnya berpendapat dengan hadits ini dengan batasan waktu yang disebutkan di dalamnya “dua bulan sebelum wafatnya”. Dia berkata: Ini merupakan perintah Nabi Saw. yang terakhir. Kemudian Ahmad meninggalkan hadits ini karena ada kesimpangsiuran dalam sanadnya, di mana sebagian orang meriwayatkan hadits ini dan berkata: dari Abdullah bin Ukaim dari para sesepuh Juhainah.

Al-Khallal berkata: Ketika Abu Abdillah yakni Ahmad melihat ketidakmenentuan riwayat dalam hadits ini, maka beliau kemudian tidak lagi memegang hadits tersebut.
Ibnu Taimiyah berkata: Sebagian besar ahlul ilmu berpendapat bahwa menyamak itu bisa mensucikan kulit, karena validitas nash-nash yang menceritakan hal itu. Sedangkan hadits Ibnu Ukaim tidak bisa dibandingkan dengan nash-nash tersebut dari sisi validitas dan kekuatannya, apalagi untuk bisa menasakhnya.

Adapun hadits poin (d) yang di dalamnya disebutkan:

“Mengapa kalian tidak menyamak kulitnya, karena menyamaknya itu adalah menyembelihnya.”

Hadits ini telah digunakan sebagai dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menyamak itu bisa mensucikan kulit bangkai dari hewan yang dimakan dagingnya, tetapi tidak dengan kulit bangkai dari hewan yang tidak dimakan dagingnya. Mereka menyoroti sabda Rasulullah Saw.: karena menyamak itu sama dengan menyembelihnya, lalu mereka berkata: Rasulullah Saw. telah menyerupakan menyamak dengan menyembelih, sedangkan menyembelih itu dilakukan terhadap hewan yang dimakan dagingnya, dan karena menyamak itu merupakan salah satu cara mensucikan kulit sehingga tidak memberikan pengaruh apapun terhadap hewan yang tidak dimakan seperti halnya menyembelihnya. Telah dinukil dari Ahmad bin Hanbal, bahwasanya dia berkata: Segala sesuatu yang suci saat hidupnya itu bisa disucikan dengan cara disamak, karena keumuman lafadz dalam persoalan itu, dan karena sabda Rasulullah Saw.:

“Kulit apapun ketika disamak maka sungguh menjadi suci.”

Hadits ini mencakup hewan yang dimakan dagingnya, sedangkan yang tidak dimakan dagingnya tidak dicakup oleh hadits ini, karena ia najis saat masih hidup. Hal ini karena menyembelih itu hanya memberikan pengaruh dalam menghilangkan najis yang muncul karena kematian, sehingga selainnya tetap dalam keumumannya.

Maka saya katakan: Pernyataan pertama bahwa Rasulullah Saw. menyerupakan menyamak dengan menyembelih, dan menyembelih itu dilakukan pada hewan yang dimakan dagingnya, maka ini merupakan pernyataan yang benar jika kulit tersebut disamak dalam rangka untuk dimakan. Inilah bagian yang tidak mereka katakan. Mereka menginginkan penyerupaan (at-tasybih) ini utuh sempurna, sehingga penyerupaan yang utuh sempurna ini menuntut (meniscayakan) bahwa menyembelih itu sama dengan upaya mensucikan, dan mensucikan itu hanya dilakukan terhadap hewan yang dimakan dagingnya, dan menyamak itu merubah sesuatu yang tidak dimakan karena najisnya menjadi sesuatu yang bisa dimakan karena sucinya.
Ini tentu tuntutan yang rusak, karena seandainya ucapan yang dilontarkan adalah menyamak itu dilakukan terhadap bagian yang najis pada bangkai dengan maksud menghalalkannya agar bagian tersebut bisa dimakan, niscaya benarlah ucapan mereka. Ketika mereka tidak berniat ke sana dan tidak mengatakan hal seperti itu, dan bahwa kulit itu disamak tidak semata-mata hanya untuk dimakan, maka ini menunjukkan bahwa penyerupaan menyembelih kulit dengan menyembelih hewan yang dimakan dagingnya sebagai penyerupaan yang utuh sempurna (tasybihun kaamilun) adalah keliru.
Sebenarnya, menyembelih kulit itu tidak lebih maksudnya adalah mensucikannya saja, yakni ini merupakan ungkapan kebahasaan, bukan ungkapan istilah syara. Dan menyamak itu tidak lebih faktanya sebagai upaya mensucikan kulit, yakni menghilangkan najis kulit itu saja, artinya menjadikan kulit tersebut baik sehingga layak digunakan setelah sebelumnya najis dan tidak boleh dimanfaatkan.

Inilah makna atau pengertian hadits, sehingga kata tadzkiyah (penyembelihan) itu tidak boleh ditafsirkan sebagai upaya menghilangkan najis dari benda najis agar layak dimakan, sehingga ketika mereka keliru menafsirkan kata menyembelih di sini maka mereka keliru pula dalam memutuskan hukumnya, sehingga mereka tersasar dalam persoalan hewan yang dimakan dagingnya dan yang tidak dimakan dagingnya.

Perihal ucapan yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, ini merupakan aspek lain penakwilan yang terlalu jauh, karena kami belum mendengar ada najis saat ini dan najis tempo dulu, yang satu sama lain berbeda hukumnya. Sesungguhnya najis itu adalah tetap najis, dahulu ataupun sekarang tidak ada bedanya. Pembedaan seperti itu tidak disebutkan dalam nash al-Qur’an atau hadits. Tidaklah mereka melontarkan pernyataan seperti ini melainkan agar mereka bisa menafsirkan kata at-tathhir (mensucikan) atau ad-dzakat (menyembelih) dengan penafsiran yang selaras dengan pendapat mereka sebelumnya, yakni hewan yang dimakan dagingnya itu suci, dan hewan yang tidak dimakan dagingnya itu najis, tentu ini tidak benar.
Seandainya Imam Ahmad rahimahullah cukup memperhatikan pada bagian awal dan akhir ungkapan hadits, lalu dia tidak memperhatikan kalimat yang ada di antara kedua bagian tersebut, maka akan benarlah ungkapan yang beliau lontarkan. Sabda beliau Saw.: kulit apapun, itu berlaku umum, tidak ada satu nash pun yang mentakhsisnya. Inilah yang beliau Saw. ungkapkan di bagian awal dan akhir ungkapannya, takhsis yang disampaikan Ahmad ternyata tidak ditopang oleh dalil.

Sungguh cerdas Ibnu Qudamah dalam memahami makna ini, dengan bersikap lembut terhadap ucapan Ahmad bin Hanbal, ia mengutarakannya dalam bentuk ihtimal (kemungkinan). Ia berkata: Hadits yang mereka gunakan itu mengandung kemungkinan: maksud dari ad-dzakat (menyembelih) itu adalah at-tathyib (merubah sesuatu menjadi baik), seperti ucapan raaihatun dzakiyyah ai thayyibah (bau yang harum). Kemungkinan pertama ini bisa diterima semua pihak. Kemungkinan ini ditunjukkan ketika ad-dzakat (sembelihan) disandarkan pada al-jildu (kulit) secara khusus, di mana perkara yang berkaitan dengan kulit itu adalah membaikkannya dan mensucikannya. Sedangkan ad-dzakat dalam arti ad-dzabhu (menyembelih) itu tidak disandarkan selain pada hewan secara keseluruhan; juga kemungkinan maksud dari ad-dzakat itu adalah ath-thaharah (mensucikan) sehingga thaharah disebut dengan ad-dzakat, sehingga lafadz tersebut bersifat umum untuk setiap kulit, dan mencakup perkara yang kita perselisihkan.

Kesimpulannya adalah ad-dzakat (menyembelih) yang dimaksud Rasulullah Saw. adalah ad-dzakat dari sisi bahasanya, yakni sekedar mensucikan dan menjadikannya baik, bukan ad-dzakat dalam pengertian syara yang biasa dilakukan terhadap binatang. Karena itu penyerupaan di sini adalah penyerupaan yang tidak seutuhnya.

Adapun poin (e) adalah firman Allah Swt.:

“Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama,”

mereka berargumentasi dengan ayat ini bahwa tulang itu dimasuki dan didiami oleh kehidupan (nyawa). Tulang itu hidup dan mati, seiring kehidupan dan kematian hewan, sehingga tulang hewan yang sudah menjadi bangkai itu juga sama dengan bangkai, sehingga tulang itu terkategorikan bangkai, hukumnya pun sama dengan hukum bangkai dari sisi najis dan keharamannya. Seperti itulah mereka memahami ayat ini, dan seperti itulah mereka menggunakan ayat ini sebagai argumentasi yang menopang pendapat mereka.
Faktor yang menjadi sebab mereka terjerumus seperti ini adalah hasil ijtihad Imam at-Tsauri dan Abu Hanifah, yang menyatakan sucinya tulang bangkai, karena kematian itu tidak mengenai tulang sehingga tidak bisa menajisinya. Ini persis dengan bulu, dan karena ‘illat ketetapan najis pada daging dan kulit itu karena sampainya darah pada daging atau kulit tersebut, dan ini tidak terjadi pada tulang, maka mereka membantah kedua imam tersebut dengan menyatakan bahwa pendapat kedua imam tersebut keliru, dalilnya adalah firman Allah Swt.:

“Ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?”

Mereka kemudian mengatakan bahwa sesuatu yang hidup itu akan mati, dan karena tanda kehidupan itu adalah sensasi rasa dan rasa sakit, sedangkan rasa sakit yang menimpa tulang itu bisa lebih nyeri dibandingkan rasa sakit pada daging dan kulit. Gigi geraham itu bisa merasa sakit dan bisa merasakan dingin dan panasnya air, dan sesuatu yang dihuni oleh kehidupan akan mengalami kematian, karena kematian itu adalah perpisahan dengan kehidupan, dan sesuatu yang dihinggapi kematian itu akan menjadi najis seperti daging misalnya… dan seterusnya.
Seperti itulah, ketika Abu Hanifah rahimahullah menyampaikan dasar dan alasan pendapatnya, maka pihak lain secara keliru membantah pendapatnya itu. Kedua pihak ini telah menyimpang dari upaya memahami hadits Rasulullah Saw. yang sebenarnya menjelaskan ‘illat dalam persoalan tersebut, yakni hewan yang dimakan itu berbeda dengan hewan yang tidak dimakan dagingnya, tanpa melihat lagi kehidupan dan kematian, sensasi rasa dan rasa sakit, dan sebagainya. Adapun ayat al-Qur'an dalam poin (f):

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.”

Dan hadits poin (9) yang berbunyi:

“Bagian tubuh yang dipotong dari hewan yang masih hidup itu adalah bangkai.”

Maka ini semua merupakan nash-nash yang umum, yang darinya bisa digali hukum-hukum umum yang shahih yang tidak diperselisihkan oleh seorangpun. Tetapi dalil-dalil dan bukti-bukti yang kami pegang adalah dalil-dalil yang mentakhsis hukum umum ini. Hukum yang khusus itulah yang diamalkan, sedangkan hukum umum tetap berlaku dalam persoalan selainnya. Mengutip hukum umum dengan bersandarkan dalil-dalil yang umum itu tidak bisa membantu mereka membantah dalil-dalil dan hukum-hukum yang khusus. Karena itu kami tidak akan terlalu berpanjang lebar dalam persoalan tersebut.

Tinggallah kini dua persoalan yang harus kami sebutkan, yakni:

a. Telur yang diambil dari ayam yang sudah mati, apakah telur tersebut suci ataukah najis?

b. Susu dan anfihhah (zat dari perut anak sapi yang bisa dibuat keju) yang berasal dari bangkai.

Saya katakan: Jika telur tersebut sudah sempurna sehingga layak disebut telur, lalu ditemukan di dalam perut ayam atau merpati yang sudah mati, maka telur tersebut suci alias tidak najis. Telur dalam kondisi seperti itu mirip dengan kambing, sapi, atau unta yang mati, lalu ditemukan janinnya di dalam perutnya, ketika perutnya dibedah maka keluarlah janinnya dalam keadaan hidup, janin tersebut suci sehingga berlaku padanya hukum yang diberlakukan pada bayi apapun. Telur itu semisal dengan bayi tersebut, sehingga dipandang suci dan halal dimakan, dijual-belikan, dan ditetaskan.

Sedangkan mengenai susu dan anfihhah (zat dari perut anak sapi yang bisa dibuat keju) bangkai, maka keduanya itu najis, karena keduanya merupakan bagian zat benda dari bangkai, sehingga hukumnya sama dengan hukum bangkai dari sisi suci dan najisnya. Hal ini karena bangkai itu najis, maka kambingnya pun menjadi najis karena kematian, sehingga susu yang ada dalam ambing itu pun menjadi najis. Begitupula anfihhah -yang kita sebut al-masaat, bahan yang digunakan untuk membekukan susu dalam rangka membuat keju- itu najis dengan sebab yang sama.

Mereka yang berpendapat telur yang berasal dari bangkai itu suci adalah Abu Hanifah, sebagian ulama Syafi’iyah seperti Ibnu al-Mundzir, dari kalangan Hanabilah adalah Ibnu Qudamah, sedangkan yang memakruhkan telur seperti itu adalah Malik, al-Laits dan sebagian ulama Syafi’iyah. Dan mereka yang berpendapat susu dan anfihhah bangkai itu suci adalah Ahmad, Malik dan as-Syafi’i. Sedangkan Abu Hanifah dan Dawud mengatakan bahwa keduanya itu suci.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam