Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 22 Agustus 2017

Hukum sisa makanan dan minuman manusia



Tinggallah kini satu persoalan, pada asalnya tidak dibahas karena sedemikian jelasnya, tetapi para fuqaha seringkali berbeda pendapat dalam persoalan tersebut. Saya kira menjadi satu keharusan bagi saya untuk menyatakannya, yakni: apakah sisa minum manusia itu suci ataukah najis?

Sejumlah fuqaha berpendapat bahwa sisa minum/makan (as-su’ru) orang kafir itu najis, bahkan sebagian mereka menambahkan bahwa sisa minum/makan orang yang junub dan sedang haid itu juga najis. Mereka berargumentasi dengan firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (TQS. At-Taubah [9]: 28)

Mereka menarik kesimpulan dari ayat ini, bahwa orang kafir, dan kemudian sisa makan/minumnya adalah najis.
Mereka juga berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Abu Tsa'labah al-Khusyaniy, dia bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang bejana dan wadah orang kafir, dalam satu riwayat disebutkan bejana dan wadah ahli kitab, maka Rasulullah Saw. menjawab:

“Jika kalian mendapatkan selainnya maka makan dan minumlah dengannya, tetapi jika tidak mendapatkan selainnya maka basuhlah dengan air, lalu makan dan minumlah.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini sebelumnya telah kami cantumkan.

Mereka mengambil kesimpulan dari hadits ini bahwa bejana dan kuali orang kafir/ahli kitab sebagai sesuatu yang najis, sehingga tubuh orang kafir/ahli kitab pun menjadi najis, kemudian mereka mengambil kesimpulan dari hadits-hadits kewajiban bersuci bagi orang junub dan wanita haid bahwa kedua orang ini pun najis selama keduanya dalam keadaan junub dan sedang haid. Mereka juga mengambil kesimpulan dari ayat:

“Dan jika kamu junub maka bersucilah (mandilah),” (TQS. Al-Maidah [5]: 6)

Dan firman Allah Swt.:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 222)

Mereka berkesimpulan dengan dua ayat ini, bahwa orang yang junub dan haid itu najis. Mereka mengatakan al-Qur’an telah menyebutkan bahwa orang kafir itu najis, dan ayat-ayat al-Qur’an juga hadits-hadits telah memerintahkan orang yang junub dan haid itu untuk bersuci, padahal bersuci itu dilakukan tiada lain untuk membersihkan diri dari najis, sehingga hal itu (menurut mereka) menunjukkan bahwa keduanya itu najis, sehingga najis pula sisa keduanya. Inilah ringkasan pernyataan yang mereka lontarkan.

Sebelum menjawab, kami ingatkan bahwa satu bagian dari pernyataan mereka ini telah disebutkan dalam pembahasan “air musta'mal”, dan kami telah paparkan kekeliruan pendapat yang mereka lontarkan, sehingga kami tidak perlu merincinya kembali. Kami cukup menyatakan bahwa hadits ini menyebutkan:

“Bahwa Rasulullah Saw. bertemu dengannya -yakni Hudzaifah sebagai perawi hadits ini-, padahal dia dalam keadaan junub, maka dia menjauhkan diri dari beliau Saw., lalu dia mandi, kemudian dia datang seraya berkata: Aku tadi dalam keadaan junub. Nabi Saw. berkata: “Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak najis.”

Dan hadits ini menyebutkan: Dari Aisyah ra. dia berkata:

“Aku pernah minum dan waktu itu aku sedang haid, kemudian aku memberikan (gelas minum)-ku pada Nabi saw. Beliau Saw. meletakkan mulutnya di bekas mulutku, lalu beliau Saw. minum.”

“Dan aku makan daging yang masih menempel pada tulang, waktu itu aku sedang haid, lalu aku memberikannya pada Nabi saw. Kemudian beliau Saw. meletakkan mulutnya di bekas mulutku.”

Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya.

Keduanya telah kami sebutkan dalam pembahasan sebelumnya. Dua hadits ini menjadi dalil yang layak menunjukkan sucinya orang yang junub dan haid.

Tinggallah kini persoalan najisnya orang kafir, apakah di dalam ayat al-Qur’an tersebut terdapat pengertian bahwa najisnya itu najis hissiyah, ataukah najis maknawiyah? Dalam al-Qur’an tidak disebutkan kata “najis” kecuali satu kali, yang terdapat dalam surat at-Taubah: 28:

“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini,”

Satu-satunya kata “najis” dalam al-Qur’an ini tidak datang dalam makna dzahirnya, melainkan disebutkan dalam pengertian “maknawiyah”, artinya najis dari sisi keyakinan, bathin dan pola pikirnya. Dalil-dalil yang menunjukkan najisnya orang kafir itu sebagai najis maknawi adalah sebagai berikut::

a. Bukhari, Ahmad, dan an-Nasai meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Nabi Saw. pernah mengirim pasukan berkuda ke arah Nejd. Pasukan itu lalu kembali dengan membawa seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal, lalu mereka mengikat laki-laki itu di salah satu tiang masjid…”

b. Pernikahan seorang Muslim dengan wanita dari kalangan nasrani dan yahudi, dan berbagai hal yang ditimbulkan darinya, seperti bercumbu dengannya, keringat si wanita yang mengenai diri suaminya, tangan si wanita memegang makanan dan minuman suaminya, dan berbagai aktivitas rumah tangga yang dilakukan si wanita, bahkan ketika si wanita melahirkan anak-anaknya yang Muslim dan suci dari suaminya itu.

c. Firman Allah Swt.:

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu.” (TQS. al-Maidah [5]: 5)

d. Dari Anas ra.:

“Seorang Yahudi pernah mengundang Nabi Saw. untuk menyantap roti gandum dan minyak zaitun/lemak yang baunya sudah berubah, lalu Nabi Saw. memenuhi undangan tersebut.” (HR. Ahmad)

Syanihah artinya mutaghayyiratur ra'ihah, yaitu bau yang sudah berubah.

e. Dari Jabir ra., dia berkata:

“Kami pernah berperang bersama Rasulullah Saw., lalu kami mendapatkan bejana orang-orang musyrik dan tempat minum mereka. Maka kami menggunakannya, dan beliau Saw. tidak mencela perbuatan mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Hadits yang pertama menunjukkan bahwa orang musyrik -dalam hadits tersebut adalah Tsumamah- itu adalah suci. Seandainya orang musyrik itu najis, tentu kaum Muslim tidak akan memasukkannya ke dalam masjid dan tidak akan mengikatnya di sana.
Poin (b) memiliki dilalah yang jelas seterang matahari di siang hari, bahwa badan atau tubuh orang kafir itu suci.
Ayat al-Qur’an pada poin (c) memiliki dilalah yang sama jelasnya dengan poin (b), karena jika tubuh dan tangan orang kafir, baik yahudi ataupun nasrani, itu najis tentu memakan makanan buatan mereka tidak boleh hukumnya, karena makanan mereka tentu najis juga. Lebih dikuatkan lagi dengan apa yang tercantum dalam poin (d), sedangkan poin (e) memiliki dilalah yang jelas bahwa wadah/kuali dan tempat minum orang musyrik itu suci.

Dengan demikian, badan orang kafir itu suci, sisa makan dan minum mereka suci, wadah dan peralatan mereka juga suci, kecuali jika diketahui bahwa wadah tersebut digunakan oleh mereka untuk memasak makanan atau minuman yang najis, maka saat itu harus dipandang sebagai benda yang terkena najis sehingga harus dicuci dan disucikan. Dari Abu Tsa’labah al-Khusyaniy bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Saw.:

“Kami bertetangga dengan ahli kitab, sementara mereka memasak babi dalam kuali mereka dan meminum khamar dalam bejana mereka, maka Rasulullah Saw. berkata: “Jika kalian mendapatkan selainnya maka makan dan minumlah di dalamnya, tetapi jika tidak mendapatkan selainnya maka basuhlah dengan air, lalu makan dan minumlah.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini sebelumnya telah kami cantumkan.

Adapun orang kafir selain Ahli Kitab, seperti Majusi, orang-orang musyrik, Hindu, Budha dan Atheis, maka kita harus memperlakukan bejana dan kuali mereka seperti kita memperlakukan bejana dan kuali ahli kitab, sama saja, kita harus mencuci dan mensucikannya jika kita mengetahui bahwa mereka meletakkan benda-benda najis di dalam bejana dan kuali tersebut. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Tsa’labah dia berkata:

“Rasulullah Saw. ditanya tentang kuali orang-orang Majusi, beliau Saw. bersabda: “Cucilah kuali tersebut dan kemudian memasaklah dengannya.” (HR. Tirmidzi)

Kita harus memperlakukan bejana dan kuali ahli kitab sama dengan bejana dan kuali orang kafir, majusi dan sebagainya.

Hal ini ditunjukkan pula oleh hadits yang diriwayatkan dari Abu Tsa’labah al-Khusyaniy secara marfu’:

“Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang suka melakukan perjalanan. Kami sering melewati orang-orang Yahudi, Nasrani dan Majusi. Kami tidak mendapatkan bejana kecuali bejana-bejana mereka. Maka Nabi Saw. bersabda: “Jika kalian tidak lagi mendapatkan selain bejana-bejana itu maka cucilah bejana itu dengan air, kemudian makan dan minumlah dengannya.” (HR. Ahmad)

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam