Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 22 Agustus 2017

Status Hukum Makanan atau Minuman Sisa Hewan



Makanan atau Minuman Sisa Hewan

As-Su'ru (dengan hamzah) adalah sesuatu yang tersisa pada wadah setelah sebelumnya diminum atau dimakan oleh hewan. An-Nawawi berkata: Maksud para fuqaha dari ucapan “sisa hewan itu suci atau najis' adalah air liur dan mulut hewan yang basah. Ibnul Mundzir berkata: Ahli ilmu telah bersepakat bahwa minuman sisa hewan yang dimakan dagingnya, itu boleh diminum dan boleh digunakan untuk berwudhu. Ini mengandung arti bahwa air sisa minum unta, kambing, sapi, domba dan sejenisnya, itu suci dan boleh digunakan untuk apa saja.
Selain dalam perkara di atas, mereka berbeda pendapat menjadi tiga golongan:

a. Abu Hanifah, at-Tsauri, Ishaq bin Rahuwaih, as-Sya’biy, dan Ibnu Sirin berpendapat bahwa sisa minuman binatang buas, burung buas, keledai jinak dan baghal, itu najis. Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil berikut:

1. Dari Abdullah bin Umar, dia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah Saw., ketika ditanya tentang air yang ada di tanah lapang dan air yang suka didatangi oleh binatang buas dan hewan tunggangan. Dia berkata: Rasulullah Saw. menjawab: “Jika air itu dua qulah maka tidak akan mengandung kotoran (najis).” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Abu Dawud)

Mereka mengatakan: Seandainya sisa binatang dan hewan tunggangan itu tidak najis, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan berkata seperti itu; dan seandainya sisa binatang itu suci, niscaya perkataan Rasulullah Saw.:

“Jika air itu dua qullah maka tidak akan mengandung kotoran (najis).”

Tentu tidak memiliki makna apapun, artinya sia-sia. Ucapan Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa sisa binatang dan hewan tunggangan itu najis.

2. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Kucing itu adalah binatang buas.” (HR. al-Baihaqi, Ahmad dan ad-Daruquthni)

Dengan hadits ini mereka berargumentasi tentang najisnya kucing, karena kucing -sebagaimana disebutkan dalam hadits ini- sebagai binatang buas, dan sisa binatang buas itu sebagaimana disebutkan dalam hadits dua qullah adalah najis.

3. Dari Anas, ia berkata:

“Ketika Rasulullah Saw. menaklukkan Khaibar, kami menangkap seekor keledai di luar desa itu, lalu kami memasaknya. Kemudian datang utusan Rasulullah Saw., seraya berseru: Ketahuilah, sesungguhnya Allah Swt. dan Rasul-Nya telah melarang kalian memakan keledai, karena keledai itu najis, dan karena termasuk perbuatan setan. Maka periuk-periuk dengan isinya pun ditumpahkan, periuk dengan semua isinya tertumpah.” (HR. Muslim dan Bukhari)

Mereka mengambil kesimpulan dari sabda Rasulullah Saw. tentang keledai jinak “karena keledai itu najis”, bahwa keledai itu najis.

4. Mereka berkata bahwa binatang buas itu adalah binatang yang haram dimakan, semisal dengan anjing, dan karena binatang buas biasanya memakan bangkai dan benda najis, sehingga mulutnya menjadi najis. Tidak ada sesuatupun yang bisa mensucikannya.

b. Malik, al-Auza’iy, dan Dawud berpendapat bahwa sisa makanan/minuman seluruh hewan dan binatang itu suci tanpa kecuali, bahkan sisa minum anjing dan babi sekalipun. Az-Zuhri berpendapat bahwa sisa minum anjing itu makruh. Dia berkata: Boleh berwudhu dengannya jika tidak ditemukan selainnya. Ibnu al-Majasyun berpendapat bahwa sisa minuman anjing itu makruh. Dia berkata: Boleh berwudhu dan bertayamum dengannya. Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil berikut:

1. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. ditanya tentang danau-danau yang terletak di antara Makkah dan Madinah, lalu ditanyakan pada beliau Saw.: Sesungguhnya anjing dan binatang buas suka meminum air danau itu? Maka beliau Saw. bersabda: “Untuk binatang, itu air yang sudah diambilnya berada di perutnya, dan air yang tersisa untuk kita menjadi air minum dan air yang suci-mensucikan.” (HR. Daruquthni)

At-Thabrani meriwayatkan hadits ini dari jalur Sahl. Al-Baihaqi meriwayatkannya dari jalur Abu Said.

2. Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Saw.:

“Bahwasanya beliau Saw. ditanya: Apakah kami boleh berwudhu dengan sisa minum keledai? Beliau Saw. berkata: Boleh, dan dengan sisa minum binatang buas seluruhnya.” (HR. as-Syafi'iy dan al-Baihaqi)

3. Dari Yahya bin Abdirrahman bin Hathib:

“Umar bin Khaththab keluar bersama rombongan, di dalamnya ada Amr bin al-Ash hingga ketika mereka sampai di sebuah telaga, Amr bin al-Ash bertanya pada penjaga telaga: Wahai penjaga telaga, apakah ada binatang buas yang meminum air telagamu? Maka Umar bin Khaththab berkata: Wahai penjaga telaga, janganlah engkau memberitahu kami perihal itu, kami minum dari air yang telah diminum oleh binatang buas, dan binatang buas itu pun juga minum dari air yang telah kami minum.” (Riwayat Malik, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni)

4. Dari Ibnu Umar, dia berkata:

“Rasulullah Saw. keluar dalam salah satu perjalanannya, lalu beliau Saw. berjalan pada malam hari. Mereka berjalan melewati seorang pria yang sedang duduk di sisi miqra'ah miliknya -yakni sebuah telaga tempat berkumpulnya air- lalu Umar bertanya: Wahai pemilik telaga, apakah binatang buas meminum air telagamu malam ini? Maka Rasulullah Saw. berkata padanya: “Wahai penjaga telaga, janganlah engkau memberitahunya, ini menyusahkan diri sendiri. Untuk binatang itu air yang dibawanya dalam perutnya, dan bagi kita air yang masih tersisa sebagai air minum dan air yang suci mensucikan.” (HR. ad-Daruquthni)

5. Dari Kabsyah binti Ka’ ab:

“Bahwasanya Abu Qatadah masuk menemuinya, kemudian Kabsyah menyebutkan satu kalimat yang maknanya “lalu aku menuangkan air wudhu untuknya”, kemudian datanglah seekor kucing dan kucing itu meminum air wudhu tersebut, Abu Qatadah lalu menyodorkan bejana itu pada kucing tersebut hingga kucing itu bisa meminumnya, Kabsyah berkata: Abu Qatadah melihatku memandangnya, maka Abu Qatadah berkata: Apakah engkau merasa heran wahai keponakanku? Akupun berkata: Ya. Abu Qatadah berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Kucing itu tidak najis. Kucing itu termasuk binatang yang suka ada di sekeliling kita.” (HR. an-Nasai, Malik, Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini, dan berkata: status hadits ini hasan shahih. Hadits ini dishahihkan oleh al-‘Uqailiy, Bukhari, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim.

6. Dan tentang hadits “jilatan anjing”, mereka berkata: Rasulullah Saw. memerintahkan untuk mencuci bejana/wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah sebagai ibadah (ta’abbudiy) saja, bukan untuk menghilangkan najis. Dan terkait babi, itu tidak ada satu nash pun yang menyebutkan kenajisannya. Karena tidak ada nash yang menjelaskan najisnya hewan apapun, maka sisa minumannya tetap halal dan suci sebagaimana asalnya.

c. As-Syafi’iy, Ahmad, Rabi’ah, al-Hasan al-Bashri, Atha, dari kalangan sahabat ada Umar dan Ali, mereka berpendapat bahwa sisa minuman seluruh hewan dan burung itu suci, selain anjing dan babi, tetapi Ahmad memakruhkan sisa minuman baghal dan keledai. Ia berkata: Jika seorang Muslim tidak mendapati air selainnya maka dia boleh berwudhu dengannya dan bertayammum. Ibnu Umar memakruhkan sisa minuman keledai, Ibnu Abi Laila memakruhkan sisa minuman kucing. Ibnu al-Mundz'ir dan Thawus memandang sisa minuman kucing itu najis. Mereka berargumentasi dengan lima hadits pertama yang dikutip oleh kelompok kedua, yang menjadikan mereka berbeda pendapat adalah poin keenam. Penjelasan lebih jauh tentang hal ini akan kami paparkan di depan, ketika membahas pendapat kelompok pertama dan pendapat kelompok kedua, Insya Allah.

Saya akan memulai dengan mendiskusikan pendapat kelompok pertama, saya katakan:

1) Dengan mengkaji dalil-dalil dari kelompok ini nampak jelas bahwa yang layak dipandang sebagai dalil hanyalah hadits yang pertama saja. Anehnya mereka menolak hadits ini ketika membahas air najis dan air suci mensucikan (thahur). Mereka menganggap hadits ini dhaif dengan alasan adanya kesimpangsiuran sanad dan matan. Anehnya dalam persoalan ini (sisa minuman hewan-pen.) mereka justru menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk memperkuat pendapat mereka bahwa sisa minuman binatang buas dan burung buas itu sebagai najis. Walaupun begitu, kita asumsikan tidak melihat pertentangan yang jelas di antara dua sikap mereka ini.
Hadits ini memiliki manthuq dan mafhum. Manthuq-nya adalah air yang volumenya dua qullah itu tidak bisa menjadi najis ketika ada benda najis larut atau masuk ke dalamnya. Manthuq hadits ini tidak bisa menjadi sandaran bagi mereka untuk menyatakan najisnya sisa minuman binatang buas dan hewan ternak.
Adapun mafhum hadits ini adalah bahwa air yang kurang dari dua qullah itu bisa menjadi najis karena masuk/larutnya najis ke dalamnya. Mafhum ini pun tidak bisa menjadi sandaran bagi mereka untuk menyatakan najisnya sisa minuman binatang buas dan hewan ternak.
Sedangkan pernyataan mereka: seandainya sisa minuman binatang buas dan hewan ternak itu tidak najis, tentu Rasulullah Saw. tidak akan mengucapkan hadits ini, maka kami katakan: kami tidak bisa menerima kesimpulan mereka ini, karena ada perkara lain yang ingin disampaikan oleh Rasulullah Saw. dengan haditsnya ini, yakni memberikan kaidah umum kepada kaum Muslim dalam perkara air, di mana kaidah tersebut menyatakan bahwa air yang banyak yang mencapai dua qullah itu tidak bisa menjadi najis, tanpa menyebutkan apakah sisa minuman binatang buas atau hewan ternak itu najis atau tidak najis. Seandainya Rasulullah Saw. menghendaki makna yang mereka katakan, niscaya beliau Saw. akan menjelaskannya.

Dari sisi lain kami katakan: Pernyataan mereka ini memiliki berbagai kemungkinan, tidak bersifat pasti, padahal kaidah ushul menyatakan: Ketika terdapat ihtimal (beberapa kemungkinan) maka gugurlah istidlal. Karena itu hadits ini tidak bisa menjadi dalil najisnya sisa minuman binatang buas dan hewan ternak. Pendapat mereka ini hanya memiliki syubhatu dalil saja. Sekarang kita beralih pada dalil-dalil yang lain.

Perihal hadits yang kedua, ini pun tidak bisa menjadi sandaran bagi mereka. Hadits tersebut hanya menyatakan hukum bahwa kucing itu sama dengan binatang buas. Pernyataan ini bisa diterima, karena fakta kucing memang sama dengan binatang buas, di mana kucing itu merupakan binatang buas yang bertaring, sehingga hukumnya sama persis dengan hukum binatang buas. Tetapi anehnya, mereka malah mengutip hadits tersebut untuk memperkuat pendapatnya tentang najisnya sisa minuman binatang buas, padahal pendapat seperti itu tidak bisa diterima, karena hadits ini tidak menghasilkan keputusan hukum apapun tentang suci atau najisnya hewan.
Dalam hadits tersebut tidak ada keterangan sisa minum kucing itu najis, untuk kemudian dianalogikan dengan sisa minum binatang buas, sampai bisa mengambil kesimpulan najisnya sisa minum tersebut. Bagaimanapun juga, hadits tersebut hanya menyebutkan satu jenis binatang buas saja dan tidak menyebutkan hukumnya. Dilalah apa yang mereka temukan di dalam hadits tersebut untuk menopang pendapat yang mereka lontarkan itu? Ketika terbukti bahwa hukum sisa minum binatang buas itu suci, maka hukum ini bisa ditarik pada sisa minum kucing. Dan ketika terbukti bahwa hukum sisa minum binatang buas itu najis, maka hukum ini pun bisa ditarik pada sisa minum kucing. Ini bisa diterima tanpa hadits ini sekalipun, sehingga seharusnya mereka tidak mengutip hadits ini untuk menopang pendapat mereka.

Tentang hadits ketiga, ini pun tidak bisa menjadi hujjah yang menopang pendapat mereka. Mereka ingin membuktikan bahwa sisa minum keledai itu najis, tetapi hal itu tidak bisa terlaksana bagi mereka kecuali melalui dua cara: pertama, mereka harus mendatangkan satu nash yang menjelaskan bahwa sisa minum keledai itu najis, atau mereka harus membuktikan bahwa keledai itu sendiri adalah najis sehingga mereka bisa menyimpulkan najisnya sisa minum keledai. Inilah yang mereka perlukan.
Kembali pada hadits di atas, kita tidak menemukan di dalamnya ada salah satu dari dua cara tersebut. Hadits tersebut hanya menyebutkan satu peristiwa yang terjadi pada sahabat dalam Perang Khaibar. Kita akan menjelaskan hadits ini dengan penjelasan yang bisa menghilangkan sama sekali kebingungan dan keraguan, insya Allah.

Dahulu kaum Muslim beranggapan memakan daging keledai itu boleh, sehingga mereka sering menyembelih, memasak, dan memakannya, karena daging keledai itu halal dan suci bagi mereka. Ketika turun hukum yang mengharamkannya, padahal mereka sedang menyembelih keledai, menempatkan dagingnya di dalam kuali dan memasaknya, lalu sampailah ucapan Rasulullah Saw. pada mereka:

“Sesungguhnya ia najis, termasuk perbuatan setan.”

Ucapan innahaa rijsun, itu ditujukan pada daging keledai yang telah disembelih dan dimasak, bukan pada keledainya yang masih hidup. Diketahui bahwa ketika masih halal, keledai itu suci saat masih hidup dan suci saat sudah disembelih, tetapi statusnya najis saat menjadi bangkai, karena “bangkai itu najis” sudah menjadi kesepakatan di mana saya tidak menemukan ada yang berbeda pendapat dalam persoalan ini.
Dengan demikian, keledai itu (tadinya) halal dimakan dan merupakan sembelihan yang suci, ini pun perkara yang disepakati juga. Ketika keledai itu tidak halal lagi untuk dimakan, lalu mati atau disembelih, maka sembelihannya itu tidak menjadikan daging keledai itu suci; daging keledai itu tetap najis karena ia sama dengan bangkai. Tahukah Anda, seandainya kita menyembelih seekor tikus apakah sembelihan tersebut menjadikan tikus tadi sesuatu yang suci dan halal dimakan? Tentu saja tidak. Kesimpulan ini tidak diperselisihkan seorangpun.
Dalam hadits ini, datang hukum yang mengharamkan memakan daging keledai, sehingga sembelihannya itu -padahal keledai itu haram dimakan- tidak menjadikan daging keledai tersebut halal dan suci. Daging keledai tersebut (walaupun disembelih) tetap dihukumi najis karena sama dengan bangkai.
Hukum sembelihan tersebut batal, yakni menyembelih sesuatu yang haram dimakan itu tidak berarti apapun, di mana sembelihan tersebut tetap najis karena sama dengan bangkai.
Sehingga sembelihan harimau tetap najis, sembelihan burung elang tetap najis, menjadi perkara yang pasti diketahui. Pemahaman yang bisa diambil dari hadits tersebut adalah membatalkan hukum halal dari daging keledai dan mengumumkan keharaman tersebut. Maka gugurlah hukum daging sembelihan dari daging keledai yang ada dalam kuali mereka, sehingga keledai yang sudah disembelih tersebut dipandang sebagai bangkai, dan bangkai itu hukumnya najis. Maka muncullah ucapan Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya ia najis.”

Ucapan innaha rijsun semata-mata menggambarkan bahwa daging yang ada dalam kuali tersebut adalah daging bangkai, karena hewan yang haram dimakan itu disembelih maka sembelihan tersebut tidak menjadikan daging hewan tadi halal dan suci, melainkan tetap haram dan tetap najis.

Inilah yang bisa dipahami dari hadits tersebut, sehingga mengutip hadits tersebut untuk menopang pendapat mereka -bahwa keledai itu najis- merupakan kutipan yang batil. Hadits ini menyampaikan najisnya bangkai, termasuk daging keledai yang dipandang sebagai bangkai, sehingga hukumnya sama, yakni najis.
Hukum ini bisa ditarik pada bangkai kambing (yang mati tidak disembelih), bangkai unta, bangkai domba, semua itu adalah bangkai dan najis, tetapi tetap suci ketika masih hidup. Dengan demikian tidak bisa dijadikan kutipan demi menopang pendapat yang mereka lontarkan.

Tinggallah kini kutipan terakhir, ketika mereka menganalogikan binatang buas dengan anjing, lalu menghukumi binatang buas dengan hukum anjing. Mereka menambahkan bahwa binatang buas itu memakan benda najis dan tidak ada sesuatupun yang mensucikannya, sehingga binatang buas itu hukumnya najis. Kami membantah pernyataan mereka: bahwa qiyas dalam perkara ibadah itu tidak boleh kecuali ‘illatnya nampak jelas disebutkan dalam nash, padahal tidak ada ‘illat yang jelas (‘illat dhahirah) di sini.
Jika mereka tetap harus melakukan qiyas dalam persoalan ini, maka dalam dua perkara yang diqiyaskan itu harus ada keidentikan (at-tamatsul); jika tidak ada maka tidak bisa dilakukan qiyas. Anjing itu sisa air minumnya dikategorikan najis mughaladzah sehingga untuk menghilangkan najisnya harus dicuci dengan air tujuh kali dan salah satunya adalah tanah, hukum ini bisa diterima oleh mereka, tetapi mengapa mereka tidak mengatakan menghilangkan najis sisa air minum binatang buas seperti burung gagak, elang, dan harimau itu wajib dicuci tujuh kali dan disertai tanah juga?
Perbedaan antara anjing dan binatang buas lainnya nampak jelas sehingga menafikan at-tamatsul (keidentikan) yang menjadi syarat sahnya qiyas. Seharusnya mereka mengatakan bahwa binatang buas itu persis anjing, sehingga persoalan najisnya dihukumi sama dengan anjing, dan ketika mereka mengakui ada perbedaan antara binatang buas dengan anjing, maka saat itu qiyas tidak bisa dilakukan.

Adapun pernyataan yang mereka lontarkan bahwa binatang buas memakan benda-benda najis dan tidak ada yang mensucikannya sehingga menjadi najis. Maka kami bantah pernyataan mereka itu dengan mengatakan bahwa hyena itu memakan benda-benda najis karena ia termasuk binatang buas (hewan pemakan bangkai), yang makanannya itu adalah bangkai yang najis, dan tidak ada sesuatu yang mensucikannya juga. Tetapi mengapa Allah Swt. menghalalkan kepada kita untuk memakannya, sehingga hyena itu kemudian dipandang suci seperti halnya kambing, sapi dan unta? Dari Ibnu Ammar, dia berkata:

“Aku bertanya kepada Jabir: Apakah hyena itu boleh diburu? Jabir berkata: Iya. Aku bertanya: Apakah aku boleh memakannya? Jabir berkata: Iya. Dia berkata: Aku bertanya lagi: Apakah ini dikatakan Rasulullah Saw.? Jabir menjawab: Iya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan an-Nasai)

Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih.

Dengan demikian gugurlah hujjah mereka, sehingga mereka tidak memiliki hujjah apapun lagi selain syubhat mereka saja dalam memahami hadits yang pertama ini.

2) Perihal penganut pendapat kedua, mereka mengatakan bahwa sisa minum seluruh hewan itu suci termasuk hewan anjing dan babi. Dengan mencermati dalil-dalil yang mereka ajukan, nampak jelas bahwa dalil nomor tiga itu adalah ucapan Umar bin Khaththab, artinya hadits tersebut mauquf, dan perkataan sahabat itu bukan dalil melainkan hanya menjadi hukum syara’ yang boleh diikuti. Selain itu, sanad hadits nomor tiga itu terputus (munqathi'), di mana Yahya tidak pernah bertemu dengan Umar sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi. Yahya bin Ma'in berkata: Yahya bin Abdurrahman bin Hathib menerima kabar dari Umar itu adalah bathil. Dengan demikian hadits tersebut tidak layak digunakan sebagai dalil, sehingga harus kita buang.
Demikian pula kita harus membuang hadits nomor dua yang diriwayatkan oleh as-Syafi’iy dan al-Baihaqi karena sangat dhaif. An-Nawawi berkata: Hadits ini dhaif karena dua orang Ibrahim itu sangat dhaif menurut ahli hadits, sehingga kabar dari keduanya tidak bisa dijadikan hujjah.

Hadits yang pertama dan keempat, bisa dikatakan satu hadits yang sama, karena ucapan Rasulullah Saw. dalam kedua hadits tersebut sama persis. Karena itu kita akan memperlakukan keduanya dengan sama.
Hadits ini, walaupun didhaifkan oleh sebagian ahli hadits, tetapi telah dihasankan oleh al-Baihaqi sehingga layak digunakan sebagai hujjah.
Hadits ini menjadi dalil sucinya sisa minum binatang buas. Dilalah hadits ini sangat jelas, kejelasan dilalahnya persis dengan hadits kelima, sehingga kucing itu termasuk salah satu binatang buas yang suka memangsa bangkai. Ketika hadits ini menetapkan sisa minum kucing, maka bisa menjadi dalil sucinya sisa minum binatang buas.

Kemudian kita harus menjauhi sikap mencari dalil yang menunjukkan sucinya sisa minum binatang buas, seolah-olah sucinya suatu benda itulah yang membutuhkan dalil. Syara’ telah menetapkan setiap benda itu suci selain perkara yang dikecualikannya, dan sisa minum binatang ternak dan binatang buas merupakan benda yang termasuk dalam keumuman benda yang suci. Sehingga justru orang yang menyatakan sisa binatang buas itu najis itulah yang harus menyampaikan dalilnya pada kami, bukan kami yang harus bersusah payah membuktikan kesucian sisa minum binatang buas serta mencari dalil-dalilnya.

Sebagai kesimpulan dari semua paparan di atas adalah bahwa sisa minum hewan ternak, binatang buas, dan binatang lainnya itu suci, kecuali anjing dan babi. Penganut pendapat kedua ini memiliki pendapat yang sama dengan penganut pendapat ketiga, terkait sucinya sisa minum seluruh binatang. Karena itu, pembahasan selanjutnya adalah mengenai hukum sisa minum anjing dan babi, yang akan kami bahas secara bersamaan.

3) Pernyataan mereka tentang hadits jilatan anjing bahwa perintah mencuci bejana/wadah sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah merupakan persoalan ta’abudiy (ibadah), bukan karena najisnya anjing, menurut hemat saya merupakan pernyataan yang keliru.

Memang, pendapat mereka itu bisa saja kita terima jika hadits tersebut hanya memerintahkan mencuci saja, tetapi masalahnya, di dalam salah satu riwayat hadits ada ungkapan fal yuriqhu (maka tumpahkanlah) yang disandarkan pada perintah mencuci, sehingga karenanya kita tidak bisa menerima pendapat mereka itu. Ungkapan tersebut bisa kita temukan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka tumpahkanlah bejana itu dan cucilah sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim dan an-Nasai)

Perintah untuk menumpahkan bejana menafikan aspek ta’abudiy, dan saya tidak mengetahui seorangpun ada yang menyatakan bahwa menumpahkan bejana itu merupakan persoalan ta’abudiy.
Ketika hadits ini memerintahkan menumpahkan minuman atau makanan, yang bejananya dijilat oleh anjing, kemudian memerintahkan mencuci bejana tersebut sebanyak tujuh kali -yang salah satunya dengan tanah-, dan ketika Rasulullah Saw. tidak memerintahkan merusak harta yang halal dan suci, dan beliau Saw. tidak mungkin memerintahkan menumpahkan sesuatu yang dijilat oleh anjing melainkan benda yang dijilat itu dipandang sebagai benda yang tidak halal dan tidak suci lagi yang tidak boleh dimakan atau diminum, maka hal ini menunjukkan bahwa sisa minum anjing itu najis.

Adapun ketika mereka menyatakan sucinya sisa minum/ makan anjing dengan argumentasi ayat:

“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu.” (TQS. ala Maidah [5]: 4)

Dan dengan mengutip hadits yang diriwayatkan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, dia berkata:

“Aku bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berburu dengan anjingku yang terlatih serta anjingku yang tidak terlatih. Beliau Saw. berkata: “Apa yang engkau buru dengan anjingmu yang terlatih itu maka sebutkanlah nama Allah dan makanlah, sedangkan apa yang diburu dengan anjingmu yang tidak terlatih lalu engkau masih sempat menyembelihnya maka makanlah.” (HR. Abu Dawud)

Bukhari, Ibnu Majah dan Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan sedikit perbedaan lafadz.

Setelah mengutip ayat dan hadits tersebut mereka mengatakan: Tidak disebutkan “kata mencuci”, baik di dalam ayat ataupun di dalam hadits tersebut, tidak dibedakan antara anjing yang terlatih dan tidak terlatih, ini menunjukkan bahwa anjing itu suci.

Jawaban atas pernyataan mereka adalah dua nash ini -yakni ayat dan hadits- tidak memerintahkan (sukut) kaum Muslim untuk mencuci binatang buruan yang ditangkap oleh anjing, sedangkan hadits jilatan anjing justru menyatakan tuntutan, bahkan memerintahkan untuk mencucinya, dan telah diketahui bahwa diam (tidak menyampaikan apapun) itu tidak akan kuat ketika dihadapkan pada sesuatu yang jelas dinyatakan, dan tidak akan bisa membatalkan sesuatu yang jelas dinyatakan (manthuq).
Selain itu, ayat dan hadits tersebut hanya berkaitan dengan persoalan buruan -dari sisi boleh menggunakan anjing untuk menangkap binatang buruan, dan boleh memakan daging binatang buruan yang ditangkap oleh anjing tersebut-, dua nash tersebut tidak sedang menerangkan persoalan suci atau najisnya sesuatu. Ini jelas merupakan dua persoalan yang berbeda.
Adalah tidak terlarang menurut akal dan syara, bahwa satu nash menyelesaikan satu sisi persoalan, sedang nash yang lain menyelesaikan sisi yang lain, karena satu nash tidak harus menyelesaikan seluruh bagian persoalan selama ada nash-nash lain yang bisa menyempurnakan penyelesaian tersebut. Ini merupakan perkara yang sudah dimaklumi.
Tetapi kami memiliki satu dalil yang menunjukkan bahwa anjing itu keseluruhannya adalah najis, bukan sekedar sisa minumnya saja yang najis. Dalil tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin Maimunah ra.:

“Bahwa suatu pagi Rasulullah Saw. kelihatan diam karena susah dan sedih. Maimunah kemudian bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak setuju melihat keadaanmu sejak memulai hari ini. Rasulullah Saw. berkata: “Jibril berjanji akan datang menemuiku malam tadi, ternyata dia tidak datang menemui aku. Ketahuilah, demi Allah, dia tidak akan pernah menyalahi janjinya padaku.” Dia berkata: Rasulullah Saw. terus-menerus dalam keadaan seperti itu seharian. Kemudian beliau Saw. melihat anak anjing di bawah tempat tidur kami, lalu beliau memerintahkan agar anjing itu dikeluarkan. Kemudian diambilnya air, lalu dipercikinya tempat bekas anjing itu. Ketika hari sudah petang, Jibril datang menemui beliau Saw. Maka beliau Saw. bertanya kepadanya: “Engkau telah berjanji padaku untuk menemuiku malam tadi.” Jibril berkata: Benar! Tetapi kami tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan lukisan. Pada pagi harinya Rasulullah Saw. memerintahkan untuk membunuh anjing itu, hingga beliau Saw. memerintahkan supaya membunuh semua anjing, sampai anjing penjaga kebun yang sempit. Tetapi beliau Saw. membiarkan anjing penjaga kebun yang luas.” (HR. Muslim, Abu Dawud, al-Baihaqi dan an-Nasai)

Kata al-ha'ith artinya al-bustan (kebun).

Ketika Rasulullah Saw. mengambil air sendiri lalu menuangkannya ke tempat bekas anjing tersebut dengan tujuan semata-mata membersihkan bekas anjing, ini menjadi dalil bahwa anjing itu najis.
Dengan demikian, terbukti nyata bahwa anjing itu najis, dan sisa makan/minum dan bekas jilatannya juga najis, dan najisnya itu terkategorikan najis mughalladzah (kategori berat), dan terbukti pula bahwa mengecualikan sisa minum anjing dari sisa minum binatang buas yang suci merupakan sebuah kewajiban menurut syara.
Manthuq hadits dengan jelas membuktikan bahwa kucing itu suci, dan karenanya sisa minumnya juga suci.
Tinggallah kini persoalan sisa minum babi. Sebenarnya kita tidak memiliki nash khusus tentang najisnya sisa minum babi. Kita hanya memiliki dua nash tentang najisnya babi secara keseluruhan, dan ketika terbukti nyata babi itu najis secara keseluruhan maka mengharuskan kita menetapkan najisnya sisa minum babi. Mari kita cermati dua nash berikut ini:

a. Dari Abu Tsa'labah al-Khusyaniy bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya kami bertetangga dengan ahli kitab, sementara mereka memasak babi dalam kuali mereka dan meminum khamar dalam bejana mereka. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Jika kalian mendapatkan selainnya, maka makan dan minumlah di dalamnya, tetapi jika tidak mendapatkan selainnya maka basuhlah dengan air, lalu makan dan minumlah.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih)

Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan:

“Maka beliau Saw. bersabda:

“Bersihkanlah wadah itu dengan sebenar-benar cucian, dan memasaklah dengannya.”

Dalam riwayat ad-Daruquthni:

“Dia berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bergaul dengan orang-orang musyrik, padahal kami tidak memiliki kuali dan bejana selain bejana mereka. Dia berkata: Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Memasaklah tanpa menggunakan bejana mereka sekemampuan kalian, jika kalian tidak menemukan juga, maka cucilah dengan air, karena air itu bisa mensucikannya, kemudian memasaklah kalian dengannya.”

Hadits Abu Tsa'labah al-Khusyaniy ini telah diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dengan jalur beragam periwayatan.

b. Allah Swt. berfirman:

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (TQS. Al-An’am [6]: 145)

Hadits ini memerintahkan kaum Muslim mencuci kuali yang digunakan untuk memasak daging babi dengan air, ar-rakhdhu itu artinya adalah al-ghaslu (mencuci). Hadits ini memerintahkan kaum Muslim mencuci wadah itu sebersih-bersihnya, yakni sebersih mungkin harus mereka cuci sebagaimana disebutkan dalam riwayat at-Tirmidzi. Perintah untuk mencuci dan perintah untuk mencuci sebersih mungkin tidak akan muncul melainkan karena benda yang dicuci itu najis. Terlebih lagi dalam riwayat yang ketiga dari ad-Daruquthni secara terang menyebutkan:

“Maka cucilah dengan air, karena air itu bisa mensucikannya.”

Ketika dikatakan thahhartu al-inaa’a (aku mensucikan bejana), thahhartu at-tsauba (aku mensucikan baju), atau thahhartu an-na’la (aku mensucikan sandal), maksudnya hanyalah membersihkan najis darinya.
Adapun mengenai ayat al-Qur’an, yang menyatakan daging babi itu sebagai rijsun, sedangkan kata rijsun sendiri dalam Bahasa Arab itu berarti al-qadzar dan an-natin (kotor dan busuk), ketahuilah bahwa keduanya (kotor dan busuk) itu merupakan makna asal rijsun saja. Tetapi orang Arab memperluas penggunaan kata tersebut sehingga menjadi kata yang mengandung beberapa makna, sehingga kata tersebut bisa digunakan untuk menyebut al-itsmu (dosa), bisa juga untuk menyebut najis, bisa juga untuk menyebut kemarahan dan kemurkaan, dan bisa juga untuk menyebut beberapa arti lain, sehingga kata rijsun ini -ketika disebutkan- tidak bisa serta merta tertuju pada satu makna tertentu kecuali jika disertai qarinah yang menuju pada arti tersebut dan menafikan arti yang lain. Misalnya, firman Allah Swt.:

“Ia berkata: “Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu.” (TQS. al-A’raf [7]: 71)

Rijsun di sini artinya adalah kemarahan.

Dan firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (TQS. al-Ahzab [33]: 33)

Rijsun di sini artinya adalah dosa dan maksiat.

Adapun ayat al-Qur’an yang terkait dengan pembahasan kita ini, maka kata rijsun di dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai najis, alasannya mengapa? Karena telah diketahui bahwa hadits itu menafsirkan dan menjelaskan al-Qur’an, dan dalam hal ini ada hadits yang menafsirkan lafadz rijsun yang disebutkan dalam ayat tersebut sebagai najis, baik berdasarkan manthuq hadits tersebut ataupun mafhumnya. Jelas tersurat hadits ini menyebutkan:

“Karena air itu bisa mensucikannya.”

Ini adalah manthuq hadits, dan ketika hadits tersebut memerintahkan untuk sebersih mungkin mencuci kuali yang digunakan untuk memasak daging babi, maka hal ini menjadi mafhum hadits, dan keharusan untuk benar-benar bersih dalam mencuci itu menjadi qarinah bahwa daging babi itu najis, sehingga dengan demikian manthuq dan mafhum hadits tersebut saling mendukung pandangan bahwa daging babi itu najis, dan mendukung penafsiran ayat tersebut bahwa daging babi itu najis.

Sebagian orang bisa jadi mengatakan: Ayat ini menggambarkan daging babi itu sebagai rijsun (najis), tetapi tidak menyebutkan tulang dan bulunya –misalnya- sebagai najis, begitu pula dengan hadits di atas, karenanya mengapa kita tidak memandang “najis” dalam dua nash tersebut ditujukan pada babi yang sudah mati dan dimasak saja, bukan ditujukan pada babi yang masih hidup? Pertanyaan tersebut kami jawab sebagai berikut:

Pertama: Ketika nyata terbukti bahwa daging babi itu najis bahkan walaupun telah dimasak oleh ahli kitab, ini menunjukkan bahwa najisnya daging babi itu adalah najis orisinil (najasah ashliyah) yang senantiasa melekat padanya, tiada lain karena syariat mengakui sembelihan ahli kitab dan memandang sembelihan mereka itu suci, yang halal untuk dimakan oleh kaum Muslim. Ketika ahli kitab menyembelih daging babi, kemudian syariat menyebutkan bahwa sembelihan tersebut adalah sesuatu yang najis, maka ini menunjukkan bahwa najisnya babi itu sebagai najis orisinil yang tidak bisa disucikan dengan cara disembelih. Karena itu kami katakan bahwa daging babi itu najis karena pada asalnya adalah najis, bukan karena persoalan telah disembelih atau menjadi bangkai.

Kedua: Seandainya kita katakan bahwa daging babi itu najis dalam arti bangkai babi, bukan babi yang masih hidup, maka penafsiran kita itu rusak parah, karena ayat tersebut diawali dengan didahului lafadz maitatu (bangkai) sehingga saat itu tidak perlu disebutkan lagi bangkai anjing, karena sudah dicakup oleh lafadz maitatu di bagian awal ayat, sehingga menyertakan bangkai babi di dalamnya merupakan penyertaan yang tidak bermakna. Penafsiran seperti ini jelas tidak layak untuk dikatakan.

Ketiga: Ketika telah terbukti bahwa daging babi itu najis, baik setelah mati ataupun sebelum mati, maka ini menunjukkan bahwa babi itu dengan seluruh bagiannya adalah najis, karena bulu babi, tulangnya, dan seluruh anggota tubuhnya, semuanya bercampur-baur dengan dagingnya, sehingga sulit diterima bila bagian-bagian tersebut dipandang suci sedang dagingnya najis.
Najisnya daging babi secara pasti akan ditarik untuk seluruh bagian tubuh babi, sehingga babi itu keseluruhannya adalah najis. Mengapa dalam ayat disebutkan daging babi bukan disebutkan babi saja? Hal ini karena ayat ini sedang membahas makanan yang diharamkan, dan diketahui bahwa sesuatu yang dimakan dari babi itu adalah dagingnya, sehingga menggunakan lafadz daging babi itu akan sesuai dengan konteks ayat, dan disebutkan najis babi seluruhnya sebagai tambahan maknanya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa babi itu najis, sehingga kita harus mengatakan bahwa dagingnya, bulunya, tulangnya, dan seluruh bagian tubuhnya itu najis, dan ini meniscayakan kita untuk mengatakan bahwa sisa minumnya juga najis. Dengan demikian gugurlah pendapat mereka yang mengatakan sisa minum babi itu suci.

Sebagai penutup pembahasan, saya akan kemukakan alasan mengapa saya tidak melakukan proses istidlal seperti yang dilakukan sejumlah fuqaha dengan mengqiyaskan babi pada anjing. Saya katakan, qiyas seperti itu keliru adanya, karena lafadz anjing itu tidak mencakup babi, dan karena tidak ada ‘illat yang jelas nampak pada najisnya anjing sehingga bisa dilakukan penganalogian. Karena itu mengqiyaskan babi pada anjing merupakan qiyas tanpa adanya ‘illat yang jelas nampak pada keduanya, dan tanpa terpenuhinya syarat-syarat qiyas yang shahih.

Beberapa pengecualian yang disebutkan dalam pendapat kelompok kedua dari az-Zuhri dan Ibnu al-Majasyun terkait sisa minum anjing itu pun menjadi gugur pula dengan jelasnya status najis sisa minum anjing.

Beberapa pengecualian yang disebutkan dalam pendapat kelompok ketiga dari Ahmad tentang sisa minum baghal dan keledai, dan Ibnu Umar -dalam hadits yang diriwayatkan darinya- tentang sisa minum keledai saja, dan Ibnu Abi Laila yang memakruhkan sisa minum kucing, Ibnu al-Mundzir, al-Hasan, dan Thawus yang mengharamkan dan menajiskan sisa minum kucing; maka semua pengecualian itu gugur adanya, karena sucinya sisa minum baghal dan keledai itu termasuk dalam status suci sisa minum binatang tunggangan. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, status suci suatu benda itu tidak memerlukan dalil yang khusus. Sucinya sisa minum kucing disebutkan dalam satu nash yang terkait dengan kesucian sisa minum kucing, yakni hadits shahih dari Kabsyah yang diriwayatkan para penyusun kitab as-Sunan. Hadits tersebut telah kami sebutkan, selain memang termasuk dalam kesucian sisa minum binatang buas secara umum.

Poin lain yang penting dicatat, kami telah menyebutkan bahwa pada kelompok pertama terdapat syubhat tentang najisnya sisa minum binatang buas diambil dari hadits dua qullah. Untuk menghilangkan syubhat mereka itu kami nyatakan bahwa dalam pembahasan di atas, kami telah membuktikan sucinya sisa minum binatang buas dengan berargumentasikan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni.

“Untuk binatang itu air yang sudah diambilnya berada di perutnya, dan air yang tersisa untuk kita menjadi air minum dan air yang suci mensucikan.”

Ini merupakan manthuq hadits tentang sucinya sisa minum binatang buas, dan selama hadits dua qullah itu menjadi dilalah yang dzanni tentang najisnya sisa minum binatang. Maka yang harus diamalkan adalah hadits yang menerangkan sucinya sisa minum binatang, dan hadits ini lebih diunggulkan daripada hadits najisnya sisa minum binatang dengan dilalahnya yang dzanni itu. Terlebih lagi kita mengetahui bahwa pada prinsipnya kesucian itu terdapat pada semua benda, termasuk sisa minum, tentu selain perkara yang dikecualikan oleh syara dengan dalil yang khusus, dan di sini tidak ada dalil yang layak bisa menunjukkan najisnya sisa minum binatang buas dan binatang tunggangan.

Dari pembahasan di atas kita bisa sampai pada kesimpulan, bahwa pendapat kelompok ketigalah yang benar, yakni pendapat yang menyatakan sucinya sisa minum binatang ternak, binatang buas, hewan, dan burung seluruhnya, kecuali sisa minum anjing dan babi saja, setelah menggugurkan beberapa pengecualian yang dilontarkan oleh sebagian imam, yakni pendapat kelompok kedua itu sendiri dengan mengecualikan sisa minum anjing dan babi di mana mereka salah memandang sisa minum anjing dan babi itu sebagai sesuatu yang suci.

Dengan demikian, air itu sedikit atau banyak, jika diminum oleh hewan yang dimakan atau tidak dimakan dagingnya, atau burung yang buas atau tidak buas -dengan pengecualian anjing dan babi- maka air tersebut suci mensucikan (thahur) sehingga layak digunakan untuk berwudhu, mandi, dan menghilangkan najis. Air tersebut masih bisa dimasukkan dalam bab pembagian air dengan kategori suci mensucikan (thahur).
Apa yang saya katakan tentang sisa minum hewan-hewan ini, maka saya katakan pula tentang seluruh bagian tubuhnya. Seandainya hewan apapun menceburkan tubuhnya ke dalam air, lalu dia bisa keluar darinya dalam keadaan hidup, maka air tersebut tetap suci mensucikan. Pernyataan terakhir ini mungkin akan kami bahas dengan panjang lebar secara tersendiri.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam