Makanan atau Minuman Sisa Hewan
As-Su'ru (dengan hamzah) adalah sesuatu yang
tersisa pada wadah setelah sebelumnya diminum atau dimakan oleh hewan.
An-Nawawi berkata: Maksud para fuqaha dari ucapan “sisa hewan itu suci atau
najis' adalah air liur dan mulut hewan yang basah. Ibnul Mundzir berkata: Ahli
ilmu telah bersepakat bahwa minuman sisa hewan yang dimakan dagingnya, itu
boleh diminum dan boleh digunakan untuk berwudhu. Ini mengandung arti bahwa air
sisa minum unta, kambing, sapi, domba dan sejenisnya, itu suci dan boleh
digunakan untuk apa saja.
Selain dalam perkara
di atas, mereka berbeda pendapat menjadi tiga golongan:
a. Abu Hanifah,
at-Tsauri, Ishaq bin Rahuwaih, as-Sya’biy, dan Ibnu Sirin berpendapat bahwa
sisa minuman binatang buas, burung buas, keledai jinak dan baghal, itu najis.
Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil berikut:
1. Dari Abdullah bin
Umar, dia berkata:
“Aku mendengar
Rasulullah Saw., ketika ditanya tentang air yang ada di tanah lapang dan air
yang suka didatangi oleh binatang buas dan hewan tunggangan. Dia berkata:
Rasulullah Saw. menjawab: “Jika air itu dua qulah
maka tidak akan mengandung kotoran (najis).” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Abu
Dawud)
Mereka mengatakan:
Seandainya sisa binatang dan hewan tunggangan itu tidak najis, niscaya
Rasulullah Saw. tidak akan berkata seperti itu; dan seandainya sisa binatang
itu suci, niscaya perkataan Rasulullah Saw.:
“Jika air itu dua qullah maka tidak akan mengandung kotoran
(najis).”
Tentu tidak memiliki
makna apapun, artinya sia-sia. Ucapan Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa
sisa binatang dan hewan tunggangan itu najis.
2. Dari Abu Hurairah
ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Kucing itu adalah
binatang buas.” (HR. al-Baihaqi, Ahmad dan ad-Daruquthni)
Dengan hadits ini
mereka berargumentasi tentang najisnya kucing, karena kucing -sebagaimana
disebutkan dalam hadits ini- sebagai binatang buas, dan sisa binatang buas itu
sebagaimana disebutkan dalam hadits dua qullah
adalah najis.
3. Dari Anas, ia
berkata:
“Ketika Rasulullah
Saw. menaklukkan Khaibar, kami menangkap seekor keledai di luar desa itu, lalu
kami memasaknya. Kemudian datang utusan Rasulullah Saw., seraya berseru:
Ketahuilah, sesungguhnya Allah Swt. dan Rasul-Nya telah melarang kalian memakan
keledai, karena keledai itu najis, dan karena termasuk perbuatan setan. Maka
periuk-periuk dengan isinya pun ditumpahkan, periuk dengan semua isinya
tertumpah.” (HR. Muslim dan Bukhari)
Mereka mengambil
kesimpulan dari sabda Rasulullah Saw. tentang keledai jinak “karena keledai itu
najis”, bahwa keledai itu najis.
4. Mereka berkata
bahwa binatang buas itu adalah binatang yang haram dimakan, semisal dengan
anjing, dan karena binatang buas biasanya memakan bangkai dan benda najis,
sehingga mulutnya menjadi najis. Tidak ada sesuatupun yang bisa mensucikannya.
b. Malik, al-Auza’iy,
dan Dawud berpendapat bahwa sisa makanan/minuman seluruh hewan dan binatang itu
suci tanpa kecuali, bahkan sisa minum anjing dan babi sekalipun. Az-Zuhri
berpendapat bahwa sisa minum anjing itu makruh. Dia berkata: Boleh berwudhu dengannya
jika tidak ditemukan selainnya. Ibnu al-Majasyun berpendapat bahwa sisa minuman
anjing itu makruh. Dia berkata: Boleh berwudhu dan bertayamum dengannya. Mereka
berargumentasi dengan dalil-dalil berikut:
1. Dari Abu Hurairah
ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw.
ditanya tentang danau-danau yang terletak di antara Makkah dan Madinah, lalu
ditanyakan pada beliau Saw.: Sesungguhnya anjing dan binatang buas suka meminum
air danau itu? Maka beliau Saw. bersabda: “Untuk binatang, itu air yang sudah
diambilnya berada di perutnya, dan air yang tersisa untuk kita menjadi air
minum dan air yang suci-mensucikan.” (HR. Daruquthni)
At-Thabrani
meriwayatkan hadits ini dari jalur Sahl. Al-Baihaqi meriwayatkannya dari jalur
Abu Said.
2. Dari Jabir bin
Abdillah, dari Nabi Saw.:
“Bahwasanya beliau
Saw. ditanya: Apakah kami boleh berwudhu dengan sisa minum keledai? Beliau Saw.
berkata: Boleh, dan dengan sisa minum binatang buas seluruhnya.” (HR.
as-Syafi'iy dan al-Baihaqi)
3. Dari Yahya bin
Abdirrahman bin Hathib:
“Umar bin Khaththab
keluar bersama rombongan, di dalamnya ada Amr bin al-Ash hingga ketika mereka
sampai di sebuah telaga, Amr bin al-Ash bertanya pada penjaga telaga: Wahai
penjaga telaga, apakah ada binatang buas yang meminum air telagamu? Maka Umar
bin Khaththab berkata: Wahai penjaga telaga, janganlah engkau memberitahu kami
perihal itu, kami minum dari air yang telah diminum oleh binatang buas, dan
binatang buas itu pun juga minum dari air yang telah kami minum.” (Riwayat
Malik, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni)
4. Dari Ibnu Umar, dia
berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar dalam salah satu perjalanannya, lalu beliau Saw. berjalan pada malam
hari. Mereka berjalan melewati seorang pria yang sedang duduk di sisi miqra'ah
miliknya -yakni sebuah telaga tempat berkumpulnya air- lalu Umar bertanya:
Wahai pemilik telaga, apakah binatang buas meminum air telagamu malam ini? Maka
Rasulullah Saw. berkata padanya: “Wahai penjaga telaga, janganlah engkau
memberitahunya, ini menyusahkan diri sendiri. Untuk binatang itu air yang
dibawanya dalam perutnya, dan bagi kita air yang masih tersisa sebagai air
minum dan air yang suci mensucikan.” (HR. ad-Daruquthni)
5. Dari Kabsyah binti
Ka’ ab:
“Bahwasanya Abu
Qatadah masuk menemuinya, kemudian Kabsyah menyebutkan satu kalimat yang
maknanya “lalu aku menuangkan air wudhu untuknya”, kemudian datanglah seekor
kucing dan kucing itu meminum air wudhu tersebut, Abu Qatadah lalu menyodorkan
bejana itu pada kucing tersebut hingga kucing itu bisa meminumnya, Kabsyah
berkata: Abu Qatadah melihatku memandangnya, maka Abu Qatadah berkata: Apakah
engkau merasa heran wahai keponakanku? Akupun berkata: Ya. Abu Qatadah berkata:
Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Kucing itu tidak najis. Kucing itu
termasuk binatang yang suka ada di sekeliling kita.” (HR. an-Nasai, Malik, Abu
Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini, dan berkata: status hadits ini hasan shahih. Hadits ini dishahihkan oleh al-‘Uqailiy, Bukhari,
ad-Daruquthni, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim.
6. Dan tentang hadits
“jilatan anjing”, mereka berkata: Rasulullah Saw. memerintahkan untuk mencuci
bejana/wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah sebagai
ibadah (ta’abbudiy) saja, bukan untuk
menghilangkan najis. Dan terkait babi, itu tidak ada satu nash pun yang
menyebutkan kenajisannya. Karena tidak ada nash yang menjelaskan najisnya hewan
apapun, maka sisa minumannya tetap halal dan suci sebagaimana asalnya.
c. As-Syafi’iy, Ahmad,
Rabi’ah, al-Hasan al-Bashri, Atha, dari kalangan sahabat ada Umar dan Ali,
mereka berpendapat bahwa sisa minuman seluruh hewan dan burung itu suci, selain
anjing dan babi, tetapi Ahmad memakruhkan sisa minuman baghal dan keledai. Ia
berkata: Jika seorang Muslim tidak mendapati air selainnya maka dia boleh
berwudhu dengannya dan bertayammum. Ibnu Umar memakruhkan sisa minuman keledai,
Ibnu Abi Laila memakruhkan sisa minuman kucing. Ibnu al-Mundz'ir dan Thawus
memandang sisa minuman kucing itu najis. Mereka berargumentasi dengan lima
hadits pertama yang dikutip oleh kelompok kedua, yang menjadikan mereka berbeda
pendapat adalah poin keenam. Penjelasan lebih jauh tentang hal ini akan kami
paparkan di depan, ketika membahas pendapat kelompok pertama dan pendapat
kelompok kedua, Insya Allah.
Saya akan memulai
dengan mendiskusikan pendapat kelompok pertama, saya katakan:
1) Dengan mengkaji dalil-dalil dari kelompok
ini nampak jelas bahwa yang layak dipandang sebagai dalil hanyalah hadits yang
pertama saja. Anehnya mereka menolak hadits ini ketika membahas air najis dan
air suci mensucikan (thahur). Mereka
menganggap hadits ini dhaif dengan alasan adanya kesimpangsiuran sanad dan matan.
Anehnya dalam persoalan ini (sisa minuman hewan-pen.)
mereka justru menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah
untuk memperkuat pendapat mereka bahwa sisa minuman binatang buas dan burung
buas itu sebagai najis. Walaupun begitu, kita asumsikan tidak melihat
pertentangan yang jelas di antara dua sikap mereka ini.
Hadits ini memiliki manthuq dan mafhum.
Manthuq-nya adalah air yang volumenya
dua qullah itu tidak bisa menjadi najis
ketika ada benda najis larut atau masuk ke dalamnya. Manthuq hadits ini tidak bisa menjadi sandaran bagi mereka untuk
menyatakan najisnya sisa minuman binatang buas dan hewan ternak.
Adapun mafhum hadits ini adalah bahwa air yang kurang
dari dua qullah itu bisa menjadi najis
karena masuk/larutnya najis ke dalamnya. Mafhum
ini pun tidak bisa menjadi sandaran bagi mereka untuk menyatakan najisnya sisa
minuman binatang buas dan hewan ternak.
Sedangkan pernyataan
mereka: seandainya sisa minuman binatang buas dan hewan ternak itu tidak najis,
tentu Rasulullah Saw. tidak akan mengucapkan hadits ini, maka kami katakan:
kami tidak bisa menerima kesimpulan mereka ini, karena ada perkara lain yang ingin
disampaikan oleh Rasulullah Saw. dengan haditsnya ini, yakni memberikan kaidah
umum kepada kaum Muslim dalam perkara air, di mana kaidah tersebut menyatakan
bahwa air yang banyak yang mencapai dua qullah
itu tidak bisa menjadi najis, tanpa menyebutkan apakah sisa minuman binatang
buas atau hewan ternak itu najis atau tidak najis. Seandainya Rasulullah Saw.
menghendaki makna yang mereka katakan, niscaya beliau Saw. akan menjelaskannya.
Dari sisi lain kami
katakan: Pernyataan mereka ini memiliki berbagai kemungkinan, tidak bersifat
pasti, padahal kaidah ushul menyatakan: Ketika terdapat ihtimal (beberapa kemungkinan) maka gugurlah istidlal. Karena itu hadits ini tidak bisa
menjadi dalil najisnya sisa minuman binatang buas dan hewan ternak. Pendapat
mereka ini hanya memiliki syubhatu dalil
saja. Sekarang kita beralih pada dalil-dalil yang lain.
Perihal hadits yang
kedua, ini pun tidak bisa menjadi sandaran bagi mereka. Hadits tersebut hanya
menyatakan hukum bahwa kucing itu sama dengan binatang buas. Pernyataan ini
bisa diterima, karena fakta kucing memang sama dengan binatang buas, di mana
kucing itu merupakan binatang buas yang bertaring, sehingga hukumnya sama
persis dengan hukum binatang buas. Tetapi anehnya, mereka malah mengutip hadits
tersebut untuk memperkuat pendapatnya tentang najisnya sisa minuman binatang
buas, padahal pendapat seperti itu tidak bisa diterima, karena hadits ini tidak
menghasilkan keputusan hukum apapun tentang suci atau najisnya hewan.
Dalam hadits tersebut
tidak ada keterangan sisa minum kucing itu najis, untuk kemudian dianalogikan
dengan sisa minum binatang buas, sampai bisa mengambil kesimpulan najisnya sisa
minum tersebut. Bagaimanapun juga, hadits tersebut hanya menyebutkan satu jenis
binatang buas saja dan tidak menyebutkan hukumnya. Dilalah apa yang mereka temukan di dalam hadits tersebut untuk
menopang pendapat yang mereka lontarkan itu? Ketika terbukti bahwa hukum sisa
minum binatang buas itu suci, maka hukum ini bisa ditarik pada sisa minum
kucing. Dan ketika terbukti bahwa hukum sisa minum binatang buas itu najis,
maka hukum ini pun bisa ditarik pada sisa minum kucing. Ini bisa diterima tanpa
hadits ini sekalipun, sehingga seharusnya mereka tidak mengutip hadits ini
untuk menopang pendapat mereka.
Tentang hadits ketiga,
ini pun tidak bisa menjadi hujjah yang
menopang pendapat mereka. Mereka ingin membuktikan bahwa sisa minum keledai itu
najis, tetapi hal itu tidak bisa terlaksana bagi mereka kecuali melalui dua
cara: pertama, mereka harus mendatangkan satu nash yang menjelaskan bahwa sisa
minum keledai itu najis, atau mereka harus membuktikan bahwa keledai itu
sendiri adalah najis sehingga mereka bisa menyimpulkan najisnya sisa minum
keledai. Inilah yang mereka perlukan.
Kembali pada hadits di
atas, kita tidak menemukan di dalamnya ada salah satu dari dua cara tersebut.
Hadits tersebut hanya menyebutkan satu peristiwa yang terjadi pada sahabat
dalam Perang Khaibar. Kita akan menjelaskan hadits ini dengan penjelasan yang bisa
menghilangkan sama sekali kebingungan dan keraguan, insya Allah.
Dahulu kaum Muslim
beranggapan memakan daging keledai itu boleh, sehingga mereka sering
menyembelih, memasak, dan memakannya, karena daging keledai itu halal dan suci
bagi mereka. Ketika turun hukum yang mengharamkannya, padahal mereka sedang
menyembelih keledai, menempatkan dagingnya di dalam kuali dan memasaknya, lalu
sampailah ucapan Rasulullah Saw. pada mereka:
“Sesungguhnya ia
najis, termasuk perbuatan setan.”
Ucapan innahaa rijsun, itu ditujukan pada daging
keledai yang telah disembelih dan dimasak, bukan pada keledainya yang masih
hidup. Diketahui bahwa ketika masih halal, keledai itu suci saat masih hidup
dan suci saat sudah disembelih, tetapi statusnya najis saat menjadi bangkai,
karena “bangkai itu najis” sudah menjadi kesepakatan di mana saya tidak
menemukan ada yang berbeda pendapat dalam persoalan ini.
Dengan demikian,
keledai itu (tadinya) halal dimakan dan merupakan sembelihan yang suci, ini pun
perkara yang disepakati juga. Ketika keledai itu tidak halal lagi untuk
dimakan, lalu mati atau disembelih, maka sembelihannya itu tidak menjadikan
daging keledai itu suci; daging keledai itu tetap najis karena ia sama dengan
bangkai. Tahukah Anda, seandainya kita menyembelih seekor tikus apakah
sembelihan tersebut menjadikan tikus tadi sesuatu yang suci dan halal dimakan?
Tentu saja tidak. Kesimpulan ini tidak diperselisihkan seorangpun.
Dalam hadits ini,
datang hukum yang mengharamkan memakan daging keledai, sehingga sembelihannya
itu -padahal keledai itu haram dimakan- tidak menjadikan daging keledai
tersebut halal dan suci. Daging keledai tersebut (walaupun disembelih) tetap
dihukumi najis karena sama dengan bangkai.
Hukum sembelihan
tersebut batal, yakni menyembelih sesuatu yang haram dimakan itu tidak berarti
apapun, di mana sembelihan tersebut tetap najis karena sama dengan bangkai.
Sehingga sembelihan
harimau tetap najis, sembelihan burung elang tetap najis, menjadi perkara yang
pasti diketahui. Pemahaman yang bisa diambil dari hadits tersebut adalah
membatalkan hukum halal dari daging keledai dan mengumumkan keharaman tersebut.
Maka gugurlah hukum daging sembelihan dari daging keledai yang ada dalam kuali
mereka, sehingga keledai yang sudah disembelih tersebut dipandang sebagai
bangkai, dan bangkai itu hukumnya najis. Maka muncullah ucapan Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya ia
najis.”
Ucapan innaha rijsun semata-mata menggambarkan bahwa
daging yang ada dalam kuali tersebut adalah daging bangkai, karena hewan yang
haram dimakan itu disembelih maka sembelihan tersebut tidak menjadikan daging
hewan tadi halal dan suci, melainkan tetap haram dan tetap najis.
Inilah yang bisa
dipahami dari hadits tersebut, sehingga mengutip hadits tersebut untuk menopang
pendapat mereka -bahwa keledai itu najis- merupakan kutipan yang batil. Hadits
ini menyampaikan najisnya bangkai, termasuk daging keledai yang dipandang sebagai
bangkai, sehingga hukumnya sama, yakni najis.
Hukum ini bisa ditarik
pada bangkai kambing (yang mati tidak disembelih), bangkai unta, bangkai domba,
semua itu adalah bangkai dan najis, tetapi tetap suci ketika masih hidup.
Dengan demikian tidak bisa dijadikan kutipan demi menopang pendapat yang mereka
lontarkan.
Tinggallah kini
kutipan terakhir, ketika mereka menganalogikan binatang buas dengan anjing,
lalu menghukumi binatang buas dengan hukum anjing. Mereka menambahkan bahwa
binatang buas itu memakan benda najis dan tidak ada sesuatupun yang
mensucikannya, sehingga binatang buas itu hukumnya najis. Kami membantah
pernyataan mereka: bahwa qiyas dalam
perkara ibadah itu tidak boleh kecuali ‘illatnya
nampak jelas disebutkan dalam nash, padahal tidak ada ‘illat yang jelas (‘illat
dhahirah) di sini.
Jika mereka tetap
harus melakukan qiyas dalam persoalan
ini, maka dalam dua perkara yang diqiyaskan
itu harus ada keidentikan (at-tamatsul);
jika tidak ada maka tidak bisa dilakukan qiyas.
Anjing itu sisa air minumnya dikategorikan najis mughaladzah
sehingga untuk menghilangkan najisnya harus dicuci dengan air tujuh kali dan
salah satunya adalah tanah, hukum ini bisa diterima oleh mereka, tetapi mengapa
mereka tidak mengatakan menghilangkan najis sisa air minum binatang buas
seperti burung gagak, elang, dan harimau itu wajib dicuci tujuh kali dan
disertai tanah juga?
Perbedaan antara
anjing dan binatang buas lainnya nampak jelas sehingga menafikan at-tamatsul (keidentikan) yang menjadi syarat
sahnya qiyas. Seharusnya mereka
mengatakan bahwa binatang buas itu persis anjing, sehingga persoalan najisnya
dihukumi sama dengan anjing, dan ketika mereka mengakui ada perbedaan antara
binatang buas dengan anjing, maka saat itu qiyas
tidak bisa dilakukan.
Adapun pernyataan yang
mereka lontarkan bahwa binatang buas memakan benda-benda najis dan tidak ada
yang mensucikannya sehingga menjadi najis. Maka kami bantah pernyataan mereka
itu dengan mengatakan bahwa hyena itu memakan benda-benda najis karena ia termasuk
binatang buas (hewan pemakan bangkai), yang makanannya itu adalah bangkai yang
najis, dan tidak ada sesuatu yang mensucikannya juga. Tetapi mengapa Allah Swt.
menghalalkan kepada kita untuk memakannya, sehingga hyena itu kemudian
dipandang suci seperti halnya kambing, sapi dan unta? Dari Ibnu Ammar, dia
berkata:
“Aku bertanya kepada
Jabir: Apakah hyena itu boleh diburu? Jabir berkata: Iya. Aku bertanya: Apakah
aku boleh memakannya? Jabir berkata: Iya. Dia berkata: Aku bertanya lagi:
Apakah ini dikatakan Rasulullah Saw.? Jabir menjawab: Iya.” (HR. Tirmidzi,
Ahmad dan an-Nasai)
Tirmidzi berkata:
Hadits ini hasan shahih.
Dengan demikian
gugurlah hujjah mereka, sehingga mereka
tidak memiliki hujjah apapun lagi selain
syubhat mereka saja dalam memahami hadits yang pertama ini.
2) Perihal penganut pendapat kedua, mereka
mengatakan bahwa sisa minum seluruh hewan itu suci termasuk hewan anjing dan
babi. Dengan mencermati dalil-dalil yang mereka ajukan, nampak jelas bahwa
dalil nomor tiga itu adalah ucapan Umar bin Khaththab, artinya hadits tersebut mauquf, dan perkataan sahabat itu bukan dalil
melainkan hanya menjadi hukum syara’ yang boleh diikuti. Selain itu, sanad
hadits nomor tiga itu terputus (munqathi'),
di mana Yahya tidak pernah bertemu dengan Umar sebagaimana dikatakan oleh
an-Nawawi. Yahya bin Ma'in berkata: Yahya bin Abdurrahman bin Hathib menerima
kabar dari Umar itu adalah bathil. Dengan demikian hadits tersebut tidak layak
digunakan sebagai dalil, sehingga harus kita buang.
Demikian pula kita
harus membuang hadits nomor dua yang diriwayatkan oleh as-Syafi’iy dan
al-Baihaqi karena sangat dhaif. An-Nawawi berkata: Hadits ini dhaif karena dua
orang Ibrahim itu sangat dhaif menurut ahli hadits, sehingga kabar dari
keduanya tidak bisa dijadikan hujjah.
Hadits yang pertama
dan keempat, bisa dikatakan satu hadits yang sama, karena ucapan Rasulullah
Saw. dalam kedua hadits tersebut sama persis. Karena itu kita akan
memperlakukan keduanya dengan sama.
Hadits ini, walaupun
didhaifkan oleh sebagian ahli hadits,
tetapi telah dihasankan oleh al-Baihaqi
sehingga layak digunakan sebagai hujjah.
Hadits ini menjadi
dalil sucinya sisa minum binatang buas. Dilalah
hadits ini sangat jelas, kejelasan dilalahnya
persis dengan hadits kelima, sehingga kucing itu termasuk salah satu binatang
buas yang suka memangsa bangkai. Ketika hadits ini menetapkan sisa minum
kucing, maka bisa menjadi dalil sucinya sisa minum binatang buas.
Kemudian kita harus
menjauhi sikap mencari dalil yang menunjukkan sucinya sisa minum binatang buas,
seolah-olah sucinya suatu benda itulah yang membutuhkan dalil. Syara’ telah
menetapkan setiap benda itu suci selain perkara yang dikecualikannya, dan sisa
minum binatang ternak dan binatang buas merupakan benda yang termasuk dalam
keumuman benda yang suci. Sehingga justru orang yang menyatakan sisa binatang
buas itu najis itulah yang harus menyampaikan dalilnya pada kami, bukan kami
yang harus bersusah payah membuktikan kesucian sisa minum binatang buas serta
mencari dalil-dalilnya.
Sebagai kesimpulan
dari semua paparan di atas adalah bahwa sisa minum hewan ternak, binatang buas,
dan binatang lainnya itu suci, kecuali anjing dan babi. Penganut pendapat kedua
ini memiliki pendapat yang sama dengan penganut pendapat ketiga, terkait sucinya
sisa minum seluruh binatang. Karena itu, pembahasan selanjutnya adalah mengenai
hukum sisa minum anjing dan babi, yang akan kami bahas secara bersamaan.
3) Pernyataan mereka tentang hadits jilatan
anjing bahwa perintah mencuci bejana/wadah sebanyak tujuh kali dan salah
satunya dengan tanah merupakan persoalan ta’abudiy
(ibadah), bukan karena najisnya anjing, menurut hemat saya merupakan
pernyataan yang keliru.
Memang, pendapat
mereka itu bisa saja kita terima jika hadits tersebut hanya memerintahkan
mencuci saja, tetapi masalahnya, di dalam salah satu riwayat hadits ada
ungkapan fal yuriqhu (maka tumpahkanlah)
yang disandarkan pada perintah mencuci, sehingga karenanya kita tidak bisa
menerima pendapat mereka itu. Ungkapan tersebut bisa kita temukan dalam hadits
yang diriwayatkan Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Apabila anjing
menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka tumpahkanlah bejana itu dan
cucilah sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim dan an-Nasai)
Perintah untuk
menumpahkan bejana menafikan aspek ta’abudiy,
dan saya tidak mengetahui seorangpun ada yang menyatakan bahwa menumpahkan
bejana itu merupakan persoalan ta’abudiy.
Ketika hadits ini
memerintahkan menumpahkan minuman atau makanan, yang bejananya dijilat oleh
anjing, kemudian memerintahkan mencuci bejana tersebut sebanyak tujuh kali
-yang salah satunya dengan tanah-, dan ketika Rasulullah Saw. tidak
memerintahkan merusak harta yang halal dan suci, dan beliau Saw. tidak mungkin
memerintahkan menumpahkan sesuatu yang dijilat oleh anjing melainkan benda yang
dijilat itu dipandang sebagai benda yang tidak halal dan tidak suci lagi yang
tidak boleh dimakan atau diminum, maka hal ini menunjukkan bahwa sisa minum
anjing itu najis.
Adapun ketika mereka
menyatakan sucinya sisa minum/ makan anjing dengan argumentasi ayat:
“Maka makanlah dari
apa yang ditangkapnya untukmu.” (TQS. ala Maidah [5]: 4)
Dan dengan mengutip
hadits yang diriwayatkan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, dia berkata:
“Aku bertanya: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku berburu dengan anjingku yang terlatih serta
anjingku yang tidak terlatih. Beliau Saw. berkata: “Apa yang engkau buru dengan
anjingmu yang terlatih itu maka sebutkanlah nama Allah dan makanlah, sedangkan
apa yang diburu dengan anjingmu yang tidak terlatih lalu engkau masih sempat
menyembelihnya maka makanlah.” (HR. Abu Dawud)
Bukhari, Ibnu Majah
dan Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan sedikit perbedaan lafadz.
Setelah mengutip ayat
dan hadits tersebut mereka mengatakan: Tidak disebutkan “kata mencuci”, baik di
dalam ayat ataupun di dalam hadits tersebut, tidak dibedakan antara anjing yang
terlatih dan tidak terlatih, ini menunjukkan bahwa anjing itu suci.
Jawaban atas
pernyataan mereka adalah dua nash ini -yakni ayat dan hadits- tidak
memerintahkan (sukut) kaum Muslim untuk
mencuci binatang buruan yang ditangkap oleh anjing, sedangkan hadits jilatan
anjing justru menyatakan tuntutan, bahkan memerintahkan untuk mencucinya, dan
telah diketahui bahwa diam (tidak menyampaikan apapun) itu tidak akan kuat ketika
dihadapkan pada sesuatu yang jelas dinyatakan, dan tidak akan bisa membatalkan
sesuatu yang jelas dinyatakan (manthuq).
Selain itu, ayat dan
hadits tersebut hanya berkaitan dengan persoalan buruan -dari sisi boleh
menggunakan anjing untuk menangkap binatang buruan, dan boleh memakan daging
binatang buruan yang ditangkap oleh anjing tersebut-, dua nash tersebut tidak
sedang menerangkan persoalan suci atau najisnya sesuatu. Ini jelas merupakan
dua persoalan yang berbeda.
Adalah tidak terlarang
menurut akal dan syara, bahwa satu nash
menyelesaikan satu sisi persoalan, sedang nash yang lain menyelesaikan sisi
yang lain, karena satu nash tidak harus menyelesaikan seluruh bagian persoalan
selama ada nash-nash lain yang bisa menyempurnakan penyelesaian tersebut. Ini
merupakan perkara yang sudah dimaklumi.
Tetapi kami memiliki
satu dalil yang menunjukkan bahwa anjing itu keseluruhannya adalah najis, bukan
sekedar sisa minumnya saja yang najis. Dalil tersebut adalah hadits yang
diriwayatkan dari Ummul Mukminin Maimunah ra.:
“Bahwa suatu pagi
Rasulullah Saw. kelihatan diam karena susah dan sedih. Maimunah kemudian
bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak setuju melihat keadaanmu sejak
memulai hari ini. Rasulullah Saw. berkata: “Jibril berjanji akan datang
menemuiku malam tadi, ternyata dia tidak datang menemui aku. Ketahuilah, demi
Allah, dia tidak akan pernah menyalahi janjinya padaku.” Dia berkata:
Rasulullah Saw. terus-menerus dalam keadaan seperti itu seharian. Kemudian
beliau Saw. melihat anak anjing di bawah tempat tidur kami, lalu beliau
memerintahkan agar anjing itu dikeluarkan. Kemudian diambilnya air, lalu
dipercikinya tempat bekas anjing itu. Ketika hari sudah petang, Jibril datang
menemui beliau Saw. Maka beliau Saw. bertanya kepadanya: “Engkau telah berjanji
padaku untuk menemuiku malam tadi.” Jibril berkata: Benar! Tetapi kami tidak
memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan lukisan. Pada pagi harinya
Rasulullah Saw. memerintahkan untuk membunuh anjing itu, hingga beliau Saw.
memerintahkan supaya membunuh semua anjing, sampai anjing penjaga kebun yang
sempit. Tetapi beliau Saw. membiarkan anjing penjaga kebun yang luas.” (HR.
Muslim, Abu Dawud, al-Baihaqi dan an-Nasai)
Kata al-ha'ith artinya al-bustan (kebun).
Ketika Rasulullah Saw.
mengambil air sendiri lalu menuangkannya ke tempat bekas anjing tersebut dengan
tujuan semata-mata membersihkan bekas anjing, ini menjadi dalil bahwa anjing
itu najis.
Dengan demikian,
terbukti nyata bahwa anjing itu najis, dan sisa makan/minum dan bekas
jilatannya juga najis, dan najisnya itu terkategorikan najis mughalladzah (kategori berat), dan terbukti
pula bahwa mengecualikan sisa minum anjing dari sisa minum binatang buas yang
suci merupakan sebuah kewajiban menurut syara.
Manthuq hadits dengan jelas membuktikan bahwa
kucing itu suci, dan karenanya sisa minumnya juga suci.
Tinggallah kini
persoalan sisa minum babi. Sebenarnya kita tidak memiliki nash khusus tentang
najisnya sisa minum babi. Kita hanya memiliki dua nash tentang najisnya babi
secara keseluruhan, dan ketika terbukti nyata babi itu najis secara keseluruhan
maka mengharuskan kita menetapkan najisnya sisa minum babi. Mari kita cermati
dua nash berikut ini:
a. Dari Abu Tsa'labah
al-Khusyaniy bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya kami
bertetangga dengan ahli kitab, sementara mereka memasak babi dalam kuali mereka
dan meminum khamar dalam bejana mereka. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Jika
kalian mendapatkan selainnya, maka makan dan minumlah di dalamnya, tetapi jika tidak
mendapatkan selainnya maka basuhlah dengan air, lalu makan dan minumlah.” (HR.
Abu Dawud dengan sanad yang shahih)
Dalam riwayat
at-Tirmidzi disebutkan:
“Maka beliau Saw.
bersabda:
“Bersihkanlah wadah
itu dengan sebenar-benar cucian, dan memasaklah dengannya.”
Dalam riwayat
ad-Daruquthni:
“Dia berkata: Aku
berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bergaul dengan orang-orang
musyrik, padahal kami tidak memiliki kuali dan bejana selain bejana mereka. Dia
berkata: Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Memasaklah tanpa menggunakan bejana
mereka sekemampuan kalian, jika kalian tidak menemukan juga, maka cucilah
dengan air, karena air itu bisa mensucikannya, kemudian memasaklah kalian
dengannya.”
Hadits Abu Tsa'labah
al-Khusyaniy ini telah diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Majah,
dan Ibnu Hibban dengan jalur beragam periwayatan.
b. Allah Swt.
berfirman:
“Katakanlah: “Tiadalah
aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah.” (TQS. Al-An’am [6]: 145)
Hadits ini
memerintahkan kaum Muslim mencuci kuali yang digunakan untuk memasak daging
babi dengan air, ar-rakhdhu itu artinya
adalah al-ghaslu (mencuci). Hadits ini
memerintahkan kaum Muslim mencuci wadah itu sebersih-bersihnya, yakni sebersih
mungkin harus mereka cuci sebagaimana disebutkan dalam riwayat at-Tirmidzi.
Perintah untuk mencuci dan perintah untuk mencuci sebersih mungkin tidak akan
muncul melainkan karena benda yang dicuci itu najis. Terlebih lagi dalam
riwayat yang ketiga dari ad-Daruquthni secara terang menyebutkan:
“Maka cucilah dengan
air, karena air itu bisa mensucikannya.”
Ketika dikatakan thahhartu al-inaa’a (aku mensucikan bejana), thahhartu at-tsauba (aku mensucikan baju),
atau thahhartu an-na’la (aku mensucikan
sandal), maksudnya hanyalah membersihkan najis darinya.
Adapun mengenai ayat
al-Qur’an, yang menyatakan daging babi itu sebagai rijsun, sedangkan kata rijsun
sendiri dalam Bahasa Arab itu berarti al-qadzar
dan an-natin (kotor dan busuk),
ketahuilah bahwa keduanya (kotor dan busuk) itu merupakan makna asal rijsun saja. Tetapi orang Arab memperluas
penggunaan kata tersebut sehingga menjadi kata yang mengandung beberapa makna,
sehingga kata tersebut bisa digunakan untuk menyebut al-itsmu (dosa), bisa juga untuk menyebut najis, bisa juga untuk
menyebut kemarahan dan kemurkaan, dan bisa juga untuk menyebut beberapa arti
lain, sehingga kata rijsun ini -ketika
disebutkan- tidak bisa serta merta tertuju pada satu makna tertentu kecuali
jika disertai qarinah yang menuju pada
arti tersebut dan menafikan arti yang lain. Misalnya, firman Allah Swt.:
“Ia berkata: “Sungguh
sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu.” (TQS. al-A’raf
[7]: 71)
Rijsun di sini artinya adalah kemarahan.
Dan firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (TQS.
al-Ahzab [33]: 33)
Rijsun di sini artinya adalah dosa dan
maksiat.
Adapun ayat al-Qur’an
yang terkait dengan pembahasan kita ini, maka kata rijsun di dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai najis,
alasannya mengapa? Karena telah diketahui bahwa hadits itu menafsirkan dan
menjelaskan al-Qur’an, dan dalam hal ini ada hadits yang menafsirkan lafadz rijsun yang disebutkan dalam ayat tersebut
sebagai najis, baik berdasarkan manthuq
hadits tersebut ataupun mafhumnya. Jelas
tersurat hadits ini menyebutkan:
“Karena air itu bisa
mensucikannya.”
Ini adalah manthuq hadits, dan ketika hadits tersebut
memerintahkan untuk sebersih mungkin mencuci kuali yang digunakan untuk memasak
daging babi, maka hal ini menjadi mafhum
hadits, dan keharusan untuk benar-benar bersih dalam mencuci itu menjadi qarinah bahwa daging babi itu najis, sehingga
dengan demikian manthuq dan mafhum hadits tersebut saling mendukung
pandangan bahwa daging babi itu najis, dan mendukung penafsiran ayat tersebut
bahwa daging babi itu najis.
Sebagian orang bisa
jadi mengatakan: Ayat ini menggambarkan daging babi itu sebagai rijsun (najis), tetapi tidak menyebutkan
tulang dan bulunya –misalnya- sebagai najis, begitu pula dengan hadits di atas,
karenanya mengapa kita tidak memandang “najis” dalam dua nash tersebut
ditujukan pada babi yang sudah mati dan dimasak saja, bukan ditujukan pada babi
yang masih hidup? Pertanyaan tersebut kami jawab sebagai berikut:
Pertama: Ketika nyata
terbukti bahwa daging babi itu najis bahkan walaupun telah dimasak oleh ahli
kitab, ini menunjukkan bahwa najisnya daging babi itu adalah najis orisinil (najasah ashliyah) yang senantiasa melekat
padanya, tiada lain karena syariat mengakui sembelihan ahli kitab dan memandang
sembelihan mereka itu suci, yang halal untuk dimakan oleh kaum Muslim. Ketika
ahli kitab menyembelih daging babi, kemudian syariat menyebutkan bahwa
sembelihan tersebut adalah sesuatu yang najis, maka ini menunjukkan bahwa
najisnya babi itu sebagai najis orisinil yang tidak bisa disucikan dengan cara
disembelih. Karena itu kami katakan bahwa daging babi itu najis karena pada
asalnya adalah najis, bukan karena persoalan telah disembelih atau menjadi
bangkai.
Kedua: Seandainya kita
katakan bahwa daging babi itu najis dalam arti bangkai babi, bukan babi yang
masih hidup, maka penafsiran kita itu rusak parah, karena ayat tersebut diawali
dengan didahului lafadz maitatu
(bangkai) sehingga saat itu tidak perlu disebutkan lagi bangkai anjing, karena
sudah dicakup oleh lafadz maitatu di
bagian awal ayat, sehingga menyertakan bangkai babi di dalamnya merupakan
penyertaan yang tidak bermakna. Penafsiran seperti ini jelas tidak layak untuk
dikatakan.
Ketiga: Ketika telah
terbukti bahwa daging babi itu najis, baik setelah mati ataupun sebelum mati,
maka ini menunjukkan bahwa babi itu dengan seluruh bagiannya adalah najis,
karena bulu babi, tulangnya, dan seluruh anggota tubuhnya, semuanya
bercampur-baur dengan dagingnya, sehingga sulit diterima bila bagian-bagian
tersebut dipandang suci sedang dagingnya najis.
Najisnya daging babi
secara pasti akan ditarik untuk seluruh bagian tubuh babi, sehingga babi itu
keseluruhannya adalah najis. Mengapa dalam ayat disebutkan daging babi bukan
disebutkan babi saja? Hal ini karena ayat ini sedang membahas makanan yang diharamkan,
dan diketahui bahwa sesuatu yang dimakan dari babi itu adalah dagingnya,
sehingga menggunakan lafadz daging babi itu akan sesuai dengan konteks ayat,
dan disebutkan najis babi seluruhnya sebagai tambahan maknanya.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa babi itu najis, sehingga kita harus mengatakan bahwa dagingnya,
bulunya, tulangnya, dan seluruh bagian tubuhnya itu najis, dan ini meniscayakan
kita untuk mengatakan bahwa sisa minumnya juga najis. Dengan demikian gugurlah
pendapat mereka yang mengatakan sisa minum babi itu suci.
Sebagai penutup
pembahasan, saya akan kemukakan alasan mengapa saya tidak melakukan proses istidlal seperti yang dilakukan sejumlah
fuqaha dengan mengqiyaskan babi pada
anjing. Saya katakan, qiyas seperti itu
keliru adanya, karena lafadz anjing itu tidak mencakup babi, dan karena tidak
ada ‘illat yang jelas nampak pada
najisnya anjing sehingga bisa dilakukan penganalogian. Karena itu mengqiyaskan babi pada anjing merupakan qiyas tanpa adanya ‘illat yang jelas nampak pada keduanya, dan tanpa terpenuhinya
syarat-syarat qiyas yang shahih.
Beberapa pengecualian
yang disebutkan dalam pendapat kelompok kedua dari az-Zuhri dan Ibnu
al-Majasyun terkait sisa minum anjing itu pun menjadi gugur pula dengan
jelasnya status najis sisa minum anjing.
Beberapa pengecualian
yang disebutkan dalam pendapat kelompok ketiga dari Ahmad tentang sisa minum
baghal dan keledai, dan Ibnu Umar -dalam hadits yang diriwayatkan darinya-
tentang sisa minum keledai saja, dan Ibnu Abi Laila yang memakruhkan sisa minum
kucing, Ibnu al-Mundzir, al-Hasan, dan Thawus yang mengharamkan dan menajiskan
sisa minum kucing; maka semua pengecualian itu gugur adanya, karena sucinya
sisa minum baghal dan keledai itu termasuk dalam status suci sisa minum
binatang tunggangan. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, status suci
suatu benda itu tidak memerlukan dalil yang khusus. Sucinya sisa minum kucing
disebutkan dalam satu nash yang terkait dengan kesucian sisa minum kucing,
yakni hadits shahih dari Kabsyah yang diriwayatkan para penyusun kitab
as-Sunan. Hadits tersebut telah kami sebutkan, selain memang termasuk dalam
kesucian sisa minum binatang buas secara umum.
Poin lain yang penting
dicatat, kami telah menyebutkan bahwa pada kelompok pertama terdapat syubhat
tentang najisnya sisa minum binatang buas diambil dari hadits dua qullah. Untuk menghilangkan syubhat mereka itu
kami nyatakan bahwa dalam pembahasan di atas, kami telah membuktikan sucinya
sisa minum binatang buas dengan berargumentasikan hadits Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh ad-Daruquthni.
“Untuk binatang itu
air yang sudah diambilnya berada di perutnya, dan air yang tersisa untuk kita
menjadi air minum dan air yang suci mensucikan.”
Ini merupakan manthuq hadits tentang sucinya sisa minum
binatang buas, dan selama hadits dua qullah
itu menjadi dilalah yang dzanni tentang najisnya sisa minum binatang.
Maka yang harus diamalkan adalah hadits yang menerangkan sucinya sisa minum
binatang, dan hadits ini lebih diunggulkan daripada hadits najisnya sisa minum
binatang dengan dilalahnya yang dzanni itu. Terlebih lagi kita mengetahui
bahwa pada prinsipnya kesucian itu terdapat pada semua benda, termasuk sisa
minum, tentu selain perkara yang dikecualikan oleh syara dengan dalil yang khusus, dan di sini tidak ada dalil yang
layak bisa menunjukkan najisnya sisa minum binatang buas dan binatang
tunggangan.
Dari pembahasan di
atas kita bisa sampai pada kesimpulan, bahwa pendapat kelompok ketigalah yang
benar, yakni pendapat yang menyatakan sucinya sisa minum binatang ternak,
binatang buas, hewan, dan burung seluruhnya, kecuali sisa minum anjing dan babi
saja, setelah menggugurkan beberapa pengecualian yang dilontarkan oleh sebagian
imam, yakni pendapat kelompok kedua itu sendiri dengan mengecualikan sisa minum
anjing dan babi di mana mereka salah memandang sisa minum anjing dan babi itu
sebagai sesuatu yang suci.
Dengan demikian, air
itu sedikit atau banyak, jika diminum oleh hewan yang dimakan atau tidak
dimakan dagingnya, atau burung yang buas atau tidak buas -dengan pengecualian
anjing dan babi- maka air tersebut suci mensucikan (thahur) sehingga layak digunakan untuk berwudhu, mandi, dan
menghilangkan najis. Air tersebut masih bisa dimasukkan dalam bab pembagian air
dengan kategori suci mensucikan (thahur).
Apa yang saya katakan
tentang sisa minum hewan-hewan ini, maka saya katakan pula tentang seluruh
bagian tubuhnya. Seandainya hewan apapun menceburkan tubuhnya ke dalam air,
lalu dia bisa keluar darinya dalam keadaan hidup, maka air tersebut tetap suci
mensucikan. Pernyataan terakhir ini mungkin akan kami bahas dengan panjang
lebar secara tersendiri.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar