Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 21 Agustus 2017

Beberapa Penerapan Hukum Terkait Air



Beberapa Implementasi Hukum Terkait Dengan Air

1. Kami telah mengatakan jika air mencapai dua qullah atau lebih maka tidak bisa menjadi najis (kecuali jika air itu sampai berubah). Sekarang kami ingin menjelaskan ukuran dua qullah tersebut. Kami katakan: dua qullah itu setara dengan dua belas ceret atau kaleng jerigen yang biasa kita gunakan sekarang ini untuk menyimpan minyak.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Juraij -dia adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz seorang ahli fiqih di tanah Haram Makkah yang hidup di abad kedua hijrah. Ibnu Juraij berkata: Aku melihat qullah Hajar. Satu qullah itu sebanyak dua qirbah (kantong air dari kulit) atau dua qirbah lebih sedikit. Al-Baihaqi menambahkan: As-Syafi’i berkata: Dulu seorang Muslim berpendapat bahwa satu qullah itu kurang dari setengah qirbah, atau setengah qirbah, kadang ada juga yang mengatakan bahwa sembilan qirbah itu lebih banyak dari ukuran dua qullah, dan kadang dua qullah itu lebih sedikit dari lima qirbah. As-Syafi'i berkata: Untuk kehati-hatian, kita tetapkan satu qullah itu dua setengah qirbah, sehingga air yang berukuran lima qirbah tidak akan membawa/menjadi najis...”
Dengan demikian, ukuran dua qullah itu setara dengan lima qirbah. Dan para ahli sudah mengukurnya -yakni lima qirbah itu- setara dengan dua belas jerigen, dan ini setara dengan drum (barrel) besar, sehingga jika ada air sepenuh drum itu lalu seseorang kencing di dalamnya, atau melemparkan bangkai ke dalamnya, maka air di dalam drum tersebut tetap suci-mensucikan, kecuali jika berubah sifatnya sebagai air, sehingga jika tidak berubah sifatnya dan tidak hilang namanya maka air tersebut tetap dalam karakter asalnya, sebagai air suci mensucikan.

2. Air yang kurang dari dua qullah -yakni yang kurang dari satu drum (barrel) jika dijatuhi benda najis (terkena najis-pen.) maka air tersebut menjadi najis, saat itu juga harus ditumpahkan, tanpa melihat lagi apakah najisnya sedikit atau banyak. Ketika beberapa tetes air kencing larut ke dalam air tersebut, maka air tersebut menjadi najis, tanpa melihat lagi apakah warna, rasa dan baunya berubah atau tidak. Dikecualikan dari hal itu adalah kondisi ketika ada najis dengan kwantitas yang sangat sedikit, seperti satu tetes air kencing atau setetes darah, atau ke dalamnya jatuh seekor kecoa yang kaki-kakinya dilekati najis, maka dalam kondisi ini air tersebut tidak menjadi najis, air tersebut tetap dalam kondisi suci mensucikan (thahur). Begitu pula ketika ke dalam air tersebut jatuh hewan yang tidak memiliki aliran darah merah, seperti lalat, belalang, kumbang dan hewan sejenis itu, maka air tersebut tetap suci mensucikan (thahur). Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda:

“Apabila seekor lalat jatuh ke dalam wadah salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencelupkannya seluruhnya, baru kemudian membuang lalatnya, karena pada salah satu sayapnya terdapat obat penawar sedang pada sayap lainnya terdapat penyakit.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar. Dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Telah dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah: dua jenis bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah itu adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Penjelasan lengkapnya adalah sebagai berikut :

Dilalah hadits pertama menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak memerintahkan menumpahkan makanan atau minuman yang ke dalamnya jatuh seekor lalat, seandainya makanan atau minuman tersebut menjadi najis dengan jatuhnya lalat tadi niscaya beliau Saw. tidak akan mengizinkan mengkonsumsi makanan/minuman tersebut.
Dilalah hadits kedua menunjukkan bahwa belalang itu merupakan bangkai yang bisa dimakan, seandainya belalang itu najis saat ia mati (menjadi bangkai) niscaya tidak boleh dimakan.
Begitulah, setiap binatang yang tidak memiliki aliran darah merah, semuanya itu suci, baik dalam keadaan hidup ataupun ketika sudah mati menjadi bangkai. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha’iy bahwa dia memberikan rukhshah untuk kumbang, kalajengking, belalang dan jengkerik ketika jatuh ke dalam minyak maka tidak apa-apa hukumnya. Al-Baihaqi berkata: Kami meriwayatkan hadits semakna dari al-Hasan al-Bashri, Atha dan Ikrimah.

Dari sisi lain, ketika ada hewan selain anjing dan babi jatuh ke dalam air, lalu dia keluar dalam keadaan masih hidup, maka airnya tetap dalam kondisi aslinya sebagai air suci mensucikan, baik hewan tersebut tikus, kucing atau burung, karena seluruh hewan yang masih hidup itu suci, dengan pengecualian anjing dan babi.
Namun jika hewan yang jatuh ke dalam air itu mati, maka dilihat dulu, jika hewan tersebut adalah lalat, kalajengking, kumbang atau kecoa -semisal dengannya seluruh hewan laut seperti ikan dan kepiting- maka air tersebut tetap suci, baik volume airnya banyak atau sedikit.
Tapi jika yang jatuh ke dalam air tersebut bukan termasuk hewan yang disebut hewan yang tidak memiliki aliran darah, ketika hewan seperti ini jatuh dan mati di dalam air, maka air tersebut menjadi najis dan kehilangan status suci mensucikannya.
Ketika semua hewan, kecuali anjing dan babi, minum dari air yang sedikit, maka air tersebut tetap suci, tidak dibedakan lagi antara kucing, keledai, hyena, dan selainnya. Dalilnya akan kami sebutkan dalam pembahasan minuman/makanan sisa hewan.

3. Air aajin, yaitu air yang telah berubah akibat lama tergenang, seperti air lumpur. Keduanya itu suci mensucikan selama masih menyandang nama air. Ibnu al-Mundzir berkata: Ahli ilmu bersepakat bahwa wudhu dengan air aajin yang di sana tidak ada benda najis, itu boleh-boleh saja, kecuali Ibnu Sirin yang memakruhkannya.
Pernyataan jumhur lebih kuat lagi, telah diriwayatkan bahwa Nabi Saw. berwudhu dari telaga yang airnya seperti rendaman pacar. Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab al-Mughni: Ibnu al-Mundzir menceritakan dari az-Zuhri tentang remukan roti yang dibasahi air; lalu remukan roti itu merubah warnanya atau tidak sampai merubah warnanya, maka air seperti itu tidak digunakan untuk berwudhu. Sedangkan pendapat yang dipegang oleh jumhur lebih kuat, karena remukan tersebut suci dan tidak sampai merubah sifat air, sehingga tidak menghalanginya untuk digunakan bersuci selama tidak ada perubahan sifat padanya. Dan Nabi Saw. bersama isterinya telah mandi dari sebuah jafnah yang di dalamnya ada bekas adonan. (HR. an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Atsram)

4. Hukum asal air itu suci mensucikan (thahur), karena itu jika seorang Muslim merasa ragu apakah air yang dihadapannya itu najis atau tidak, maka rasa ragu tersebut tidak harus menghalangi dirinya berwudhu dan menghilangkan najis dengannya, baik ketika dia mendapati di dalamnya ada perubahan atau tidak ada perubahan, kecuali jika perubahan itu mendominasi air tersebut dan menghilangkan namanya.
Berdasarkan hal ini maka air yang ada di saluran air itu dipandang suci mensucikan walaupun ada perubahan, karena orang yang lewat di jalan tidak bisa memastikan apakah air tersebut najis atau suci, sehingga karenanya status air tersebut harus dibangun di atas status asalnya. Orang yang lewat di jalan tidak wajib bertanya pada pemilik saluran/selokan apakah air tersebut suci atau najis.

Ketika seorang Muslim berada di suatu tempat dan dia tidak memiliki kecuali hanya dua bejana air, kemudian dia diberitahu bahwa salah satunya itu najis tanpa bisa dipastikan yang mana di antara keduanya, sedangkan yang satunya lagi suci, kemudian dia hendak berwudhu; maka dia tidak boleh berwudhu dengan air yang manapun dari kedua bejana tersebut. Justru dia harus menumpahkan kedua bejana tersebut lalu bertayamum, karena bisa jadi dia berwudhu dengan air najis, sehingga dia sendiri akan terkena najis dan hadatsnya pun tidak hilang.
Berbeda halnya jika pada seorang Muslim hanya ada dua buah baju, yang satu najis sedangkan yang lain suci tanpa mampu membedakan di antara keduanya, kemudian dia hendak shalat, maka dia boleh mengenakan salah satunya lalu dia shalat, kemudian menanggalkan bajunya itu seraya memakai yang satunya lagi, lalu dia shalat lagi. Dalam kondisi seperti ini dia telah menjamin dirinya melakukan shalat dengan cara yang benar.

5. Jika seorang Muslim datang ke suatu telaga, lalu dia diberitahu seorang fasik, kafir, anak kecil, atau orang gila, bahwa air tersebut najis, maka dia tidak boleh menerima ucapan mereka, karena mereka tergolong orang-orang yang tidak berhak bersaksi.
Tetapi ketika diberitahu oleh orang yang berhak bersaksi dan dipastikan keadilannya, atau keadilannya tidak cacat, baik laki-laki ataupun perempuan, maka dia harus menerima berita tentang najisnya air tersebut jika dipastikan sebab najisnya.
Namun jika si pemberi kabar hanya memberitahu air tersebut sebagai air najis tanpa memberi penjelasan apapun, maka seorang Muslim tidak wajib menerima kabar tersebut, karena bisa jadi si pemberi kabar itu tidak mengetahui sebab-sebab najisnya air, atau tidak yakin terhadap najisnya air, sehingga dia bisa keliru menghukumi najisnya air tersebut.

6. Jika air terkena najis, lalu hendak disucikan dan dihilangkan najisnya, maka dilihat dulu. Apabila air tersebut kurang dari dua qullah atau kurang dari satu drum, maka dilihat dulu, jika air tersebut tidak berubah oleh benda najis maka cukup ditambahkan air yang suci ke dalamnya hingga mencapai dua qullah, yakni satu drum, sehingga air tersebut menjadi suci seluruhnya.
Tetapi jika air tersebut sampai berubah karena benda najis, maka tuangkan air ke dalamnya hingga mencapai dua qullah atau satu drum. Jika hilang perubahannya maka hilang pula najisnya. Tetapi jika belum hilang perubahannya maka harus ditambahkan lagi air hingga hilang perubahannya, tanpa mempertimbangkan lagi kuantitas air yang ditambahkan.
Adapun jika airnya sebanyak dua qullah, yakni satu drum atau lebih, maka air tersebut tidak bisa menjadi najis dengan jatuhnya benda najis ke dalamnya, kecuali jika najis itu sampai merubahnya. Namun jika tidak sampai berubah, maka airnya tetap dalam kondisi asalnya, yakni suci mensucikan; dan jika airnya berubah karena benda najis tersebut maka harus ditambahkan air ke dalamnya hingga perubahan itu hilang tanpa mempertimbangkan lagi kuantitas air yang ditambahkan. Tidak ada perbedaan di dalamnya apakah air najis yang dituangkan ke dalam air suci, atau air suci yang dituangkan ke dalam air najis. Jadi tidak ada perbedaan, baik tuangan air itu sekaligus atau sedikit demi sedikit, semua itu sama saja.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam