Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 09 Agustus 2017

Hukum-Hukum Umum Shalat Sunah/Nafilah/Tathawwu’



Hukum-hukum Umum Seputar Shalat Tathawwu'

1) Shalat fardhu tidak boleh dilakukan dengan duduk atau berbaring kecuali karena dharurat, seperti sakit atau lemah. Namun, untuk shalat tathawwu' maka boleh duduk dan berbaring, baik karena ada dharurat ataupun tidak ada. Tetapi orang yang bertathawwu' dengan duduk maka baginya setengah pahala orang yang bertathawwu' secara berdiri. Dan orang yang bertathawwu' secara berbaring atau tiduran, maka baginya setengah pahala orang yang bertathawwu' secara duduk atau seperempat pahala orang yang bertathawwu’ secara berdiri.
Karena itu, hukum asalnya, shalat tathawwu' itu dilaksanakan seperti shalat fardhu, yakni dengan berdiri bagi siapa saja yang mampu. Karenanya, jika si mushalli itu semata-mata mencari pahala, maka janganlah dia mengharamkan dirinya untuk mendapatkan setengah pahala, tiga perempatnya dengan shalat secara duduk atau berbaring.
Bagi kita, dalam diri Rasulullah Saw. ada contoh yang paling baik, di mana beliau Saw. sangat menjaga shalat tathawwu’nya agar bisa dilaksanakan secara berdiri, beliau Saw. tidak melakukannya secara duduk kecuali ketika beliau Saw. telah tua dan lemah fisiknya.

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Ketika beliau Saw. sudah lanjut usia dan semakin berat maka sebagian besar shalatnya (dilaksanakan) secara duduk.” (HR. Muslim)

Dari Hafshah ra. ia berkata:

“Aku belum pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan shalat sunatnya secara duduk hingga satu tahun sebelum wafatnya, maka saat itulah beliau Saw. melakukan shalat sunatnya secara duduk, dan beliau Saw. membaca surat dan mentartilkannya sehingga lebih panjang dari yang terpanjang yang beliau baca.” (HR. Muslim, Ahmad, an-Nasai, Tirmidzi dan Malik)

Kata subhat maksudnya adalah tathawwu', sedangkan ucapan: sehingga lebih panjang dari yang terpanjang yang beliau baca, yakni bahwa beliau Saw. membaca, mentartilkan dan memanjangkan bacaannya hingga satu surat yang dibaca tersebut lebih lama dari surat lain yang sebenarnya lebih panjang darinya.

Rasulullah Saw. sangat menjaga agar tathawwu' dilakukan dengan berdiri, hingga dalam kondisi lemah sekalipun. Dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat tathawwu’nya Rasulullah Saw., maka ia berkata: ...beliau Saw. shalat malam dengan lama dan secara berdiri, dan shalat malam dengan lama dan juga secara duduk, dan jika beliau membaca sedang beliau dalam keadaan berdiri maka beliau ruku' dan sujud secara berdiri, dan jika beliau membaca Qur'an dalam keadaan duduk, maka beliau ruku' dan sujud secara duduk…” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Kondisi yang disebutkan dalam hadits ini tidak berlaku secara umum. Apabila beliau Saw. membaca al-Qur'an dalam posisi berdiri, beliau ruku’ dan sujud dalam posisi berdiri, dan jika beliau membaca al-Qur’an dalam posisi duduk, maka beliau ruku’, dan sujud dari posisi duduk, dan terkadang beliau Saw. melakukan yang berbeda dengan itu. Dari Aisyah ra.:

“Bahwa dia sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah Saw. melaksanakan shalat malam sambil duduk hingga beliau Saw. berusia lanjut. Saat itu beliau Saw. membaca Qur’an sambil duduk, hingga jika beliau ingin ruku' maka beliau berdiri, lalu beliau Saw. membaca sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, kemudian beliau Saw. baru ruku’.” (HR. Malik, Bukhari dan Muslim)

Bukhari, Muslim dan Malik meriwayatkan hadits kedua dari Aisyah ra. dengan redaksi:

“Bahwa Rasulullah Saw. shalat secara duduk lalu beliau membaca Qur'annya sambil duduk, jika dari bacaan Qur'annya tinggal sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat maka beliau berdiri lalu melanjutkan bacaannya sambil berdiri, kemudian ruku' lalu sujud, kemudian dalam rakaat kedua beliau melakukan semisal itu.”

Dengan demikian, seorang Muslim memiliki pilihan antara melakukan satu rakaat itu seluruhnya dengan duduk, dengan satu rakaat paduan antara duduk dan berdiri. Keduanya dinukil dari perbuatan Rasulullah saw.

Mengenai kebolehan shalat tathawwu' secara duduk dan berbaring, dan kurangnya pahala keduanya dibandingkan dengan shalat secara berdiri, maka hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Imran bin al-Hushain ra., bahwa dia berkata:

“Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang shalat seseorang sambil duduk, maka beliau berkata: “Jika shalat secara berdiri maka itu paling utama, dan jika shalat secara duduk maka baginya setengah pahala orang yang shalat sambil berdiri, dan jika dia shalat secara berbaring maka baginya setengah pahala orang yang shalat sambil duduk.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits dari Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh an-Nasai juga memiliki redaksi serupa. Hadits ini dipahami untuk shalat nafilah dan tathawwu’. Hadits ini dipahami juga untuk seorang Muslim yang kuat dan sehat. Hal ini karena orang sakit jika dia tidak mampu berdiri, baik dalam shalat fardhu ataupun shalat tathawwu’ lalu dia shalat secara duduk atau berbaring, maka dia tetap memperoleh pahala secara utuh. Anda akan menjumpai pembahasan topik ini dengan disertai dalilnya dalam paparan “shalat orang sakit” di pembahasan mendatang.

Apabila seorang Muslim shalat dengan duduk, maka dia shalat dengan cara mutarabbi' (duduk dengan kaki bersilang di bawah paha), tidak duduk iftirasy (duduk tahiyat awal) dan juga tidak dengan tawaruk (duduk tahiyat akhir). ini berdasarkan hadits dari Aisyah ra. bahwa ia berkata:

“Aku melihat Nabi Saw. shalat secara mutarabbi’ (duduk dengan kaki bersilang di bawah paha).” (HR. al-Daruquthni, an-Nasai, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Abdullah bin Zubair berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. berdoa seperti ini, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya sambil duduk secara mutarabbi'.” (HR. al-Baihaqi)

Walaupun shalat dengan cara duduk iftirasy ataupun tawaruk itu boleh, tetapi yang lebih beliau Saw. sukai adalah duduk dengan cara mutarabbi’.”

2) Jika seorang Muslim berada di masjid, lalu dikumandangkan iqamat untuk shalat fardhu, maka makruh baginya melakukan shalat tathawwu’.” Tetapi jika dia telah memulai shalat tathawwu’ sebelum ada iqamat shalat, kemudian iqamat tersebut dikumandangkan, maka dia harus menyelesaikan shalat tathawwu’nya secara ringan, lalu masuk bersama para mushallin ke dalam shalat fardhu tanpa mengulur-ulur lagi. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda:

“Jika iqamat shalat dikumandangkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib.” (HR. Ahmad, Muslim, ad-Darimi, Abu Dawud dan at-Tirmnidzi)

Dari Malik bin Buhainah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang laki-laki, dan iqamat shalat dikumandangkan, tetapi dia tetap shalat dua rakaat. Ketika Rasulullah Saw. selesai dari shalat, beliau memperhatikan orang-orang untuk mencari orang tersebut. Lalu beliau Saw. bertanya kepadanya: “Apakah shalat subuh itu empat rakaat, apakah shalat subuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari, Ahmad, Muslim dan an-Nasai)

Kami mengatakan hal itu dimakruhkan, bukan diharamkan, tiada lain karena shalat jamaah itu sebenarnya bukan fardhu, hukumnya hanya sunat dan dianjurkan saja, sehingga memasuki shalat jamaah juga sunah, dan meninggalkan sesuatu yang sunah itu tidak diharamkan. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Sarjis, bahwa dia berkata:

“Iqamat untuk shalat subuh telah dikumandangkan, lalu Rasulullah Saw. melihat seseorang shalat dua rakaat fajar. Kemudian beliau bertanya kepadanya: “Shalat apa yang engkau perhitungkan, shalatmu yang sendiri itu, ataukah shalat yang engkau lakukan bersama kami?” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Rasulullah Saw. telah menghitung bahwa pada laki-laki tersebut ada dua shalat, salah satunya adalah shalat yang dilakukan orang tersebut secara sendirian, yakni sunat shalat shubuh ketika ada iqamat shalat fardhu. Seandainya shalatnya ini tidak diterima dan tidak boleh, maka Rasulullah Saw. tidak akan menghitungnya dan akan memerintahkannya untuk mengulanginya lagi. Tatkala Rasulullah tidak (melakukan) seperti itu, maka ini menunjukkan bahwa shalat tersebut diterima. Kita tinggal arahkan pandangan pada ucapan dalam hadits pertama: “laa shalata illal maktubah (tidak ada shalat kecuali shalat wajib)”, laa di sini berfungsi sebagai larangan (laa nahiyah) dan bukan untuk menafikan (laa nafiyah), sehingga maknanya di sini: “janganlah kalian shalat kecuali shalat wajib”, bukan: “shalatnya tidak terlaksana kecuali yang wajib.”

3) Shalat yang wajib itu -menurut asalnya- harus dilaksanakan di masjid-masjid secara berjamaah, sedangkan shalat tathawwu’ -menurut asalnya- harus dilaksanakan di rumah dan bukan di masjid. Karena melaksanakan shalat tathawwu’ di rumah itu lebih utama dan lebih besar lagi pahalanya. Ini semua khusus untuk kaum laki-laki.
Sedangkan perempuan, maka shalat mereka di rumah itu lebih utama, baik yang wajib ataupun yang tathawwu’. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke masjid, dan shalat di rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan at-Thabrani)

Sehingga shalat kaum wanita di rumah-rumah mereka, itu lebih utama daripada shalat mereka di masjid, walaupun masjid tersebut masjid Rasulullah Saw. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ummu Humaid istri Abu Humaid as-Sa’idi ra.:

“Bahwa dia telah datang kepada Nabi Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai shalat bersamamu.” Beliau berkata: “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau menyukai shalat bersamaku, dan shalatmu di bait-mu itu lebih baik daripada shalatmu di hujrah-mu, dan shalatmu di hujrah-mu itu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, dan shalatmu di rumahmu itu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu itu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, at-Thabrani, dan Ibnu Khuzaimah)

Hujrah di sini adalah ruangan agak luas di depan al-bait, dan al-bait di sini adalah tempat mabit, yakni kamar tidur. Sehingga kesimpulan yang bisa diambil dari hadits ini adalah bahwa shalat seorang perempuan di ruang tidurnya itu lebih utama daripada shalat di masjid Rasulullah Saw., walaupun shalat di masjid Rasululah Saw. sebanding dengan seribu shalat di masjid yang lain selain masjidil haram.

Kita kembali pada awal pembahasan. Kami katakan: shalat tathawwu’ untuk lelaki itu -menurut asalnya- dilaksanakan di rumah bukan di masjid, dan shalat tathawwu’, di rumah itu lebih utama dan lebih besar pahalanya. Ini dimaksudkan agar rumah itu tidak sepi dari shalat bagaikan kuburan. Dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian melaksanakan shalatnya di masjidnya, maka jadikan satu bagian shalat untuk rumahnya, karena Allah Swt. menjadikan shalat yang dilaksanakannya di rumahnya itu sebagai suatu kebaikan.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Zaid bin Tsabit ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

”...Kalian harus shalat di rumah-rumah kalian, karena shalat seseorang yang paling baik itu adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

”...Maka shalatlah kalian wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena shalat yang paling utama adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.”

Dari Zaid bin Khalid al-Juhaniy ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian, dan janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian itu sebagai kuburan.” (HR. Ahmad, at-Thabrani dan al-Bazzar)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jadikanlah sebagian shalat-shalat kalian itu di rumah-rumah kalian, dan jangan jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)

Oleh karena itu, shalat nafilah hendaknya dilaksanakan di rumah, karena lebih utama dan lebih baik dibandingkan jika dilaksanakan di masjid, bahkan di masjid Rasulullah Saw. sekalipun. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Saad ra. bahwa ia berkata:

“Aku bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Mana yang lebih utama, shalat di rumahku ataukah shalat di masjid?” Maka beliau berkata: “Apakah engkau tidak melihat rumahku, betapa dekatnya rumahku itu dengan masjid, karena shalatku di rumahku itu lebih aku sukai daripada shalatku di masjid, kecuali shalat wajib.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

4) Shalat nafilah itu boleh dilaksanakan secara munfarid, begitu juga boleh dilaksanakan secara berjamaah, tidak ada perbedaan antara satu nafilah dengan yang lain. Dari ‘Itban bin malik al-Anshari ra. ia berkata:

“Aku shalat bersama kaumku di Bani Salim. Antara aku dengan mereka terhalang oleh satu lembah. Jika datang hujan, sulit bagiku mengatasinya untuk bisa pergi ke masjid mereka. Lalu aku datang kepada Rasulullah Saw. dan bertanya kepadanya: “Penglihatanku telah buram, dan lembah yang ada di antaraku dengan kaumku itu akan banjir jika datang hujan, sehingga sangat sulit bagiku untuk mengatasinya, tetapi aku begitu ingin engkau datang lalu shalat di rumahku agar aku bisa menjadikan tempat bekas shalatmu itu sebagai mushalla.” Lalu Rasulullah Saw. bersabda: “Aku akan melakukannya.” Esok harinya beliau Saw. datang kepadaku bersama Abu Bakar ra. setelah hari mulai sangat panas, kemudian Rasulullah Saw. meminta izin dariku dan aku mengizinkannya. Beliau tidak duduk hingga berkata: “Di bagian manakah dari rumahmu yang engkau inginkan aku shalat di atasnya?” Lalu aku menunjukkan kepada beliau Saw. satu tempat yang paling aku sukai sebagai tempat shalat. Rasulullah Saw. berdiri, kemudian bertakbir dan kamipun berdiri berbaris di belakangnya. Beliau shalat dua rakaat kemudian bersalam, dan kami pun bersalam ketika beliau bersalam.” (HR. Bukhari, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:

“Aku shalat bersama Nabi Saw. di rumah Ummu Haram, lalu beliau menempatkanku berdiri di samping kanannya, sedangkan Ummu Haram berada di belakangnya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud)

Ummu Haram ini adalah bibi Anas.
Dan dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. bangun pada sebagian malam untuk shalat, lalu aku ikut bangun, berwudhu dan shalat di sebelah kirinya. Tetapi beliau Saw. menarikku dan menggeserku ke sebelah kanannya, lalu beliau shalat tiga belas rakaat, dan berdirinya beliau Saw. dalam ketiga belas rakaat itu sama.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Sumber: Tuntunan Sholat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam