Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 10 Agustus 2017

Dalil Keutamaan Shalat Berjama’ah



BAB KEDUABELAS
SHALAT JAMAAH

Hukum dan Keutamaan Shalat Berjamaah

Shalat Jamaah adalah perbuatan sunah yang sangat dianjurkan (mustahab), lebih ditekankan lagi apabila dilaksanakan di masjid. Hukum shalat berjamaah bukan fardhu ‘ain dan bukan pula fardhu kifayah sebagaimana dikatakan oleh sejumlah ahli fikih, di mana untuk memperkuat pendapatnya, mereka berargumentasi dengan beberapa hadits berikut:

1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik selain shalat fajar dan shalat isya. Seandainya mereka mengetahui (besarnya ganjaran) pada kedua shalat itu, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak. Sungguh aku berniat untuk memerintahkan muadzin mengumandangkan iqamat, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku perintahkan seikat kayu bakar yang aku gunakan untuk membakar orang yang tidak berangkat shalat setelahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah)

2. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Seorang lelaki buta mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mempunyai seorang pemandu yang menuntunku ke masjid.” Lalu ia meminta agar Rasulullah Saw. memberikan keringanan kepadanya sehingga ia bisa shalat di rumahnya, maka beliau pun kemudian memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia akan pergi beliau Saw. memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau mendengar seruan (adzan)?” Ia berkata: “Ya.” Maka beliau berkata: “(Kalau begitu) sambutlah (seruan itu).” (HR. Muslim dan an-Nasai)

3. Dari Ibnu Ummi Maktum:

“Bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini orang yang buta dan rumah (juga) jauh, aku mempunyai seorang penuntun yang tidak cocok denganku. Apakah aku bisa mendapatkan keringanan untuk shalat di rumahku?” Beliau Saw. bertanya: “Apakah engkau mendengar seruan (adzan)?” Ia berkata: “Ya.” Beliau berkata: “Aku tidak melihat ada keringanan untukmu.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

4. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang mendengar seruan (adzan) lalu dia tidak menyambutnya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena adanya udzur.” (HR. Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Baihaqi)

Kami katakan kepada mereka: bahwa semua hadits ini dipahami sebagai penekanan untuk menghadiri shalat jamaah, dan hadits-hadits ini berposisi sebagai pencegah, arti hakikinya bukanlah yang dimaksud oleh hadits tersebut, di mana penekanan untuk melakukan sesuatu bisa memiliki beberapa bentuk kalimat yang berbeda-beda.

Hadits yang pertama terkait dengan kaum munafik, dan tidak secara umum berkaitan dengan kaum Muslim. Sabda Rasulullah Saw. dalam hadits yang pertama: “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik” menjadi dilalah yang jelas atas apa yang kami katakan. Ini menjadi lebih jelas lagi dengan adanya ungkapan Abdullah bin Masud ra.:

“Aku sungguh telah mengetahui tidak ada yang tertinggal dari shalat kecuali seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya, atau seorang yang sakit. Jika dia seorang yang sakit niscaya dia akan berjalan di atas dua kakinya (berjalan kaki) hingga mendatangi (mengikuti) shalat...” (Riwayat Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad dalam hadits yang panjang)

Dan hadits yang diriwayatkan Abu Umair bin Anas, ia berkata:

“Pamanku dari kalangan Anshar bercerita kepadaku: mereka berkata: telah bersabda Rasulullah Saw.: “Orang munafik tidak mengikuti keduanya. Yakni shalat isya dan fajar.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Dengan ucapannya ini, Rasulullah Saw. ingin mengancam orang-orang munafik yang tidak mengikuti shalat berjamaah bersama Nabi Saw.

Hadits yang kedua memiliki pengertian hampir sama dengan hadits yang ketiga. Objek pembahasannya sama, sehingga apa yang selaras dengan salah satunya akan sesuai pula dengan yang lainnya.
Hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah Saw. pada awalnya memberi keringanan kepada seorang buta untuk tidak mengikuti shalat berjamaah, kemudian beliau menarik kembali dan membatalkan keringanan tersebut. Seandainya shalat berjamaah hukumnya wajib, tentu Rasulullah Saw. tidak akan memberi keringanan kepada orang buta tadi dengan membolehkannya melaksanakan shalat munfarid dan meninggalkan shalat berjamaah.
Mengenai alasan mengapa beliau menarik kembali setelah memberikan keringanan kepada orang buta tadi, maka ini bisa dipahami bahwa beliau ingin menegaskan kepada sahabatnya yang buta itu tentang keutamaan mengikuti shalat berjamaah dan menekankan kepadanya untuk mengikuti shalat berjamaah. Sebab, sahabat Rasulullah Saw. adalah orang-orang yang terbiasa berlomba-lomba untuk meraih pahala dan melakukan berbagai amalan sunat.
Seandainya keringanan diberikan kepada orang buta tadi dengan meninggalkan shalat berjamaah bisa saja dipahami bahwa shalat berjamaah itu (kedudukannya) seperti shalat munfarid dan tidak ada keistimewaan padanya, karena itulah maka Rasulullah Saw. memerintahkan sahabat ini untuk tetap mengikuti shalat berjamaah.

Hadits keempat bisa diinterpretasikan bahwa maksud hadits tersebut adalah ketidaksempurnaan shalat, bukannya meniadakan shalat sama sekali.
Telah diketahui dalam ilmu ushul fiqih bahwa mengamalkan dua dalil itu lebih baik daripada mengabaikan salah satunya. Pendapat (al-qaul) yang menyatakan tidak adanya pertentangan di antara dalil-dalil tersebut adalah lebih utama daripada pendapat yang menyatakan adanya pertentangan.
Ini tidak lain karena kami memiliki sejumlah hadits yang menunjukkan pada pendapat yang kami pegang tentang tidak wajibnya shalat berjamaah. Jika kita memahami ketiga hadits ini sebagai indikasi tentang wajibnya shalat berjamaah, maka kita terpaksa harus menyatakan adanya pertentangan di antara dalil-dalil yang ada dan terpaksa pula mengabaikan sebagian dalil-dalil tersebut. Sikap seperti ini tidak dibenarkan kecuali jika tidak ada kemungkinan untuk mengumpulkan dan mengkompromikan dalil-dalil tersebut.
Kemungkinan (mengumpulkan dan mengkompromikan) dalil-dalil yang ada di sini masih ada dan bisa terpenuhi dengan pendapat yang kami sebutkan di atas, di mana hadits-hadits ini adalah sebagai berikut:

1. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat salah seorang dari kalian secara menyendiri (dengan keutamaan) dua puluh lima bagian.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

2. Dari Ubay bin Ka'ab ra., ia berkata:

“Suatu hari Rasulullah Saw. shalat subuh bersama kami, lalu beliau Saw. bertanya: “Apakah si fulan hadir?” Para sahabat berkata: “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah si fulan hadir?” Para sahabat berkata: “Tidak.” Lalu beliau bersabda: “Dua shalat ini merupakan shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik. Seandainya kalian mengetahui (keutamaan) yang ada pada keduanya, niscaya kalian akan mendatanginya walaupun harus merangkak di atas lutut-lutut kalian. Dan sesungguhnya barisan pertama itu semisal barisan malaikat. Seandainya kalian mengetahui keutamaannya niscaya kalian saling berebut untuk mendapatkannya. Dan shalat seseorang dengan seseorang yang lain itu lebih suci daripada shalat seseorang secara menyendiri. Shalat seseorang dengan dua orang yang lain lebih suci daripada bersama seorang yang lain, dan jika lebih banyak (jumlahnya) maka itu lebih disukai disisi Allah Swt.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan an-Nasai)

3. Dari Abu Musa ra. ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Orang yang paling besar pahalanya dalam shalat adalah orang yang paling jauh, yakni orang yang berjalan paling jauh. Dan orang yang menunggu shalat hingga ia shalat bersama imam itu lebih besar pahalanya dari orang yang shalat kemudian tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Dari Yazid bin al-Aswad ra., ia berkata:

“Kami berangkat haji wada bersama Rasulullah saw. Yazid berkata: maka kami melaksanakan shalat subuh atau shalat fajar bersama Rasulullah, lalu ia berkata: kemudian beliau berbalik arah dalam keadaan duduk atau menghadapkan wajahnya kepada orang-orang. Beliau mendapati dua orang lelaki di belakang barisan orang-orang tidak melaksanakan shalat bersama mereka. Beliau Saw. berkata: “Bawalah ke hadapanku kedua orang lelaki itu.” Lalu ia berkata: lalu keduanya dibawa ke hadapan beliau Saw. dalam keadaan menggigil ketakutan. Beliau Saw. bertanya: “Apa yang menghalangi kalian (sehingga kalian) tidak shalat bersama orang-orang?” Keduanya menjawab: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami sudah shalat dalam perjalanan.” Beliau Saw. berkata: “Jangan lakukan lagi. Jika salah seorang dari kalian telah melaksanakan shalat dalam perjalanan kemudian mendapati shalat bersama imam, maka hendaklah ia shalat (kembali) bersamanya, karena shalat (yang kedua) itu baginya menjadi nafilah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan ad-Darimi)

Hadits yang pertama menjadikan shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat munfarid (sendirian) sebanyak dua puluh lima derajat. Seandainya shalat munfarid itu tidak diterima dan tidak boleh, tentu tidak akan ada ungkapan seperti ini. Itu menjadi indikasi yang jelas atas keabsahan shalat munfarid.
Hadits yang kedua menyatakan: “sesungguhnya shalat seseorang dengan seseorang yang lain itu lebih suci daripada shalat seseorang secara menyendiri ” tentu tidak akan diungkapkan pernyataan seperti ini seandainya shalat munfarid itu tidak boleh (atau haram) hukumnya, dan ini pun menjadi indikasi yang jelas atas keabsahan shalat munfarid.
Hadits ketiga yang menyatakan “dan orang yang menunggu shalat hingga ia bershalat bersama imam itu lebih besar pahalanya dari orang yang shalat kemudian tidur” maka hadits ini menunjukkan bahwa shalat berjamaah itu lebih besar pahalanya daripada shalat munfarid. Dan ini menunjukkan bahwa keduanya (shalat jamaah ataupun munfarid) akan mendapatkan pahala, seandainya tidak, maka untuk apa ada pernyataan melebihkan yang satu atas yang lain (mufadhalah).
Hadits yang keempat, di mana terdapat sabda beliau Saw.: “Jika salah seorang dari kalian telah melaksanakan shalat dalam perjalanan kemudian mendapati shalat bersama imam, maka hendaklah ia shalat (kembali) bersamanya, karena shalat (yang kedua) itu baginya menjadi nafilah”, di mana dua ungkapan beliau: “jika salah seorang dari kalian telah melaksanakan shalat dalam perjalanan" dan “maka hendaklah ia shalat (kembali) bersamanya, karena shalat (yang kedua) itu baginya menjadi nafilah” keduanya menunjukkan bahwa shalat munfarid itu diterima, sehingga jika kemudian dia shalat kembali di masjid secara berjamaah bersama imam, maka shalat jamaah itu menjadi nafilah baginya. Ini menjadi indikasi paling jelas atas keabsahan shalat munfarid. Jika shalat jamaah itu wajib baginya dan shalat munfarid tidak diterima, maka shalat yang dilakukannya di masjid akan dianggap sebagai shalat fardhu, dan bukan shalat yang dilakukannya dalam perjalanan. Dan ini sangat jelas sekali.

Berdasarkan paparan di atas, saya perlu tekankan: bahwa pendapat tentang tidak adanya pertentangan di antara dalil-dalil yang ada itu lebih utama daripada pendapat yang menyatakan adanya pertentangan. Dengan demikian, empat hadits yang pertama dipahami sebagai dorongan saja, bukan menunjukkan pada kewajiban atau kefardhuan (shalat jamaah).

Mengenai keutamaan shalat jamaah, telah banyak hadits yang menjadikannya lebih utama daripada shalat munfarid sebesar dua puluh lima derajat. Karena adanya perbedaan dalam beberapa riwayat, kami sebutkan sebagiannya:

1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama dari shalat salah seorang dari kalian secara menyendiri (munfarid) dengan dua puluh lima bagian, dan malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat fajr’. Kemudian Abu Hurairah berkata: ”Maka bacalah jika kalian menghendaki: Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, an-Nasai dan Ahmad)

2. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda:

“Shalat berjamaah memiliki kelebihan atas shalat seseorang di rumahnya dan shalat seseorang di pasarnya dengan dua puluh lima derajat…” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

3. Dari Aisyah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda:

“Shalat berjamaah melebihi shalat al-fadz (shalat menyendiri) dengan (kelebihan) dua puluh lima derajat.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)

Sabda beliau: shalat al-fadz maksudnya adalah shalat munfarid.

4. Dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah seseorang itu berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian mendatangi salah satu masjid, lalu ia berjalan melangkahkan kaki, kecuali dengannya Allah akan mengangkatnya satu derajat atau dihapuskan darinya kesalahan, dan dituliskan baginya kebaikan, sehingga jika kami berjalan maka sungguh kami mendekatkan (memendekkan jarak) di antara langkah-langkah. Sesungguhnya shalat seorang lelaki dalam satu jama’ah atas shalatnya secara sendirian memiliki keutamaan dua puluh lima derajat.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)

5. Dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata: sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:

“Shalat berjamaah lebih utama dari shalat seseorang secara menyendiri dengan dua puluh lima kali lipat, seluruhnya semisal dengan shalatnya.” (HR. Ahmad, al-Bazzar dan at-Thabrani)

Hanya Ibnu Umar ra. seorang diri yang meriwayatkan dua puluh tujuh. Dari beliau ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat al-fadz dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan an-Nasai)

Tidak ada riwayat dari sahabat selainnya kecuali yang hanya terkait dengan Abu Hurairah. Itu terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad, di dalamnya disebutkan dua puluh tujuh, dan dalam sanadnya ada Syarik al-Qadli (yang hafalannya terdapat kelemahan). Selain itu, riwayat ini menyalahi seluruh riwayat shahih yang dinukil dari Abu Hurairah yang menyatakan dua puluh lima.
Riwayat-riwayat yang menyatakan dua puluh lima itu lebih banyak jumlahnya, sehingga lebih utama untuk dijadikan pegangan. Tirmidzi berkata: “Mayoritas yang meriwayatkan dari Nabi Saw. mengatakan dua puluh lima, kecuali Ibnu Umar yang berkata dua puluh tujuh.”

Termasuk keutamaan shalat berjamaah adalah pahalanya melebihi pahala bersedekah dengan dua ekor domba. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Seandainya salah seorang dari kalian mengetahui bahwa jika ia mengikuti shalat bersamaku (berjamaah) ada pahala yang lebih besar dari (sedekah) dengan seekor kambing yang gemuk atau dua ekor kambing, niscaya dia akan melakukannya, padahal pahala yang akan dia peroleh itu lebih besar lagi.” (HR. Ahmad)

Shalat berjamaah memiliki keutamaan yang besar dan pahala yang banyak, khususnya dua shalat, fajar dan isya, sehingga barangsiapa yang melaksanakan shalat isya secara berjamaah maka dia seperti melaksanakan shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang melaksanakan shalat isya dan fajar secara berjamaah, maka dia seperti melaksanakan shalat sepanjang malam. Dari Utsman bin Affan ra. ia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang shalat isya dalam sebuah jamaah, maka seolah-olah dia melaksanakan shalat sepanjang setengah malam. Dan barangsiapa shalat subuh dalam satu jamaah maka seolah-olah ia shalat sepanjang satu malam.” (HR. Muslim, Bukhari, Tirmidzi, ad-Darimi dan Ahmad)

Shalat jamaah di tanah lapang atau ruang terbuka lebih besar lagi pahalanya, keutamaannya mencapai lima puluh derajat, yakni berlipat. Dari Abu Said al-Khudri ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Shalat seseorang dalam satu jamaah lebih utama dari shalatnya secara menyendiri dengan dua puluh lima derajat. Jika dia melaksanakan shalatnya di tanah lapang di mana ia menyempurnakan wudhunya, ruku'nya, sujudnya, maka (keutamaan) shalatnya mencapai lima puluh derajat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hibban)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Hakim dan Abu Dawud dengan redaksi:

“Shalat dalam sebuah jamaah sebanding dengan dua puluh lima shalat. Jika dia melaksanakan shalatnya di tanah lapang (lapangan terbuka) lalu dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya maka nilainya mencapai lima puluh shalat.”

Shalat di masjid yang (jaraknya) jauh memiliki pahala yang lebih besar. Ini karena pahala akan bertambah seiring dengan bertambahnya langkah, dan setiap langkah kaki kanannya akan mengangkat derajatnya, dan setiap langkah kaki kirinya akan menghapus kesalahannya. Sebelumnya telah disampaikan hadits Abdullah bin Mas’ud ra. yang diriwayatkan Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibnu Majah, di dalamnya ada ungkapan:

“...Kemudian mendatangi salah satu masjid, lalu ia berjalan melangkahkan kaki, kecuali dengannya Allah akan mengangkat derajat atau dihapuskan darinya kesalahan, dan dituliskan baginya kebaikan, sehingga jika kami (berjalan) sungguh mendekatkan (memendekkan jarak) di antara langkah-langkah itu…”

Dari Said bin al-Musayyab ia berkata: Seorang lelaki Anshar menjelang kematiannya berkata:

“Sesungguhnya aku ingin menyampaikan sebuah hadits yang tidak aku sampaikan kepada kalian kecuali hanya untuk mengharap ridha Allah Swt. Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian ia berangkat untuk shalat, maka tidaklah terangkat kaki kanannya kecuali Allah azza wa jalla menuliskan satu kebaikan untuknya, dan tidaklah terjejak kaki kirinya kecuali Allah Swt. akan menghapuskan satu kesalahan darinya. Karena itu hendaklah salah seorang dari kalian memendekkan langkahnya atau menjauhkan jaraknya. Dan jika mendatangi masjid lalu ia shalat dalam satu jama’ah maka Allah akan mengampuninya, dan jika ia mendatangi masjid dan mereka telah menunaikan sebagian dan yang tersisa hanya sebagian lalu ia (mengikuti) shalat yang ia dapati, dan menyempurnakan apa yang tersisa, maka seperti itu pula (yakni Allah akan mengampuninya). Dan jika ia mendatangi masjid sedangkan mereka telah shalat lalu ia menyempurnakan shalatnya, maka begitu pula halnya (yakni Allah akan mengampuninya juga). (HR. Abu Dawud)

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau berkata:

“Orang yang paling jauh maka yang paling jauh dari masjid itulah yang paling besar pahalanya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim)

Sebelumnya telah saya sebutkan hadits Abu Musa al-Asy'ari yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, di dalamnya ada kalimat:

“Orang yang paling besar pahalanya dalam shalat adalah orang yang paling jauh, yakni orang yang berjalan paling jauh...”

Langkah-langkah yang bisa menambah kebaikan dan dapat menghapuskan keburukan dihitung, baik ketika berangkat ke ataupun pulang dari masjid, bukan hanya ketika berangkat saja. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang berjalan ke sebuah masjid (untuk melaksanakan shalat) berjamaah, maka satu langkah menghapuskan keburukan dan satu langkah yang lain menuliskan kebaikan, ketika dia berangkat dan ketika dia pulang.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan at-Thabrani)

Shalat berjamaah bersama satu orang, itu lebih baik daripada shalat secara menyendiri (munfarid). Shalat seseorang secara berjamaah dengan dua orang, itu lebih baik daripada shalat berjamaah dengan satu orang. Dan ketika jumlah orang yang shalat berjamaah itu lebih banyak, maka hal itu lebih utama bagi mereka. Sebelumnya telah saya sebutkan hadits Ubay bin Ka’ab ra. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan al-Nasai, di dalamnya disebutkan:

“Dan shalat seseorang dengan seseorang yang lain, itu lebih suci daripada shalat seseorang secara menyendiri. Dan shalat seseorang dengan dua orang yang lain, itu lebih suci daripada bersama seorang yang lain. Dan jika lebih banyak (jumlahnya), maka hal itu lebih disukai di sisi Allah Swt.”

Sumber: Tuntunan Sholat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam