Siwak
Siwak (dengan mengkasrahkan huruf sin)
adalah kata yang digunakan untuk menyebut perbuatan, atau bisa juga untuk
menyebut kayu atau benda yang digunakan untuk bersiwak. Dikatakan :
Dia telah mensiwak
mulutnya, dan sedang mensiwak mulutnya jika dia membersihkan mulutnya dengan
siwak.
Bentuk jamak
(plural)-nya adalah suwuk, seperti kata kutub (buku-buku). Pengertian ini dilihat dari
sisi bahasa. Pengertian kebahasaan ini tidak diperselisihkan oleh para ahli
fiqih, di mana para fuqaha (para ahli fiqih) mendefinisikannya: menggunakan
kayu dan sejenisnya ketika membersihkan gigi untuk menghilangkan sisa makanan
yang ada pada gigi atau warna kuning yang menutupi gigi. Siwak disebutkan dalam
beberapa hadits berikut:
1. Dari Aisyah ra. bahwasanya Nabi Saw.
bersabda:
“Siwak itu bisa
menjadikan mulut bersih dan menyebabkan Allah senang/ ridha.” (HR. Ahmad,
an-Nasai, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Hadits ini dishahihkan oleh an-Nawawi.
2. Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw., beliau
Saw. bersabda:
“Seandainya tidak akan
menyulitkan umatku, niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap
kali shalat.” (HR. Muslim, Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dalam riwayat Ahmad
dituturkan dengan redaksi:
“Niscaya aku
memerintahkan mereka untuk bersiwak bersama dengan wudhu.”
Dan dalam riwayat
Baihaqi dituturkan dengan redaksi:
“Niscaya aku
memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.”
3. Dari al-Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya,
dia berkata:
“Aku bertanya pada
Aisyah: Apa perbuatan yang dimulakan Rasulullah Saw. ketika beliau hendak
memasuki rumahnya? Aisyah berkata: Dengan siwak (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad,
an-Nasai dan al-Baihaqi)
4. Dari Hudzaifah, dia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw., ketika hendak berdiri untuk bertahajud, beliau Saw. suka membersihkan
mulutnya dengan siwak.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
5. Dari Ali bin Abu Thalib ra.:
“Lalu Ali berkata:
Bawalah satu panci air untukku. Kemudian Ali mencuci dua tangannya dan wajahnya
tiga kali, berkumur tiga kali, dia memasukkan sebagian jarinya ke dalam
mulutnya, beristinsyaq tiga kali, mencuci kedua sikunya tiga kali, mengusap
kepalanya satu kali.... Setelah itu dia berkata: Di mana orang yang bertanya
tentang wudhu Rasulullah Saw.? Beginilah cara wudhu Nabi Saw.” (HR. Ahmad)
Hadits ini dihasankan Ibnu Hajar.
6. Dari Amir bin Rabi'ah ra. dia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. entah berapa kali beliau Saw. bersiwak, padahal beliau Saw.
berpuasa.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dan dihasankan
oleh Ibnu Hajar.
7. Dari Abu Said ra., dia berkata:
“Aku menyaksikan
Rasulullah Saw. bersabda: “Mandi pada hari jumat itu wajib bagi setiap orang
yang telah bermimpi (baligh), dan hendaknya dia bersiwak dan memakai wewangian
jika punya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Terdapat beberapa
hadits lain, tetapi kami cukup menyebutkan tujuh hadits ini saja. Semua hadits
tersebut menunjukkan siwak itu disyariatkan dan sangat dianjurkan (disunahkan),
hingga para fuqaha menganggapnya termasuk sunah
muakkadah. An-Nawawi berkata: Berdasarkan ijma
orang-orang yang memiliki kredibilitas untuk berijma.
Bahkan Dawud dan Ishaq
bin Rahuwaih lebih tegas lagi dalam masalah siwak. Diriwayatkan dari Dawud
bahwasanya dia menyatakan wajibnya siwak ketika hendak shalat, walaupun begitu
shalat tidak batal kalau tidak bersiwak.
Ishaq bin Rahuwaih
menyatakan siwak itu wajib sehingga shalat menjadi batal jika dengan sengaja
tidak bersiwak.
Siwak itu disunahkan
di setiap waktu berdasarkan hadits-hadits ini. Perkara ini telah dijelaskan
oleh an-Nawawi dengan baik. Dia menyatakan: “Siwak itu dianjurkan sepanjang
waktu, tetapi di dalam lima kesempatan lebih dianjurkan lagi. Pertama, ketika
hendak shalat baik bersuci dengan air ataupun dengan tanah atau bahkan tidak
bersuci sekalipun seperti halnya orang yang tidak menemukan air dan tanah
secara bersamaan; kedua ketika hendak berwudhu; ketiga ketika hendak membaca
al-Qur’an; keempat ketika bangun dari tidur; kelima ketika terasa perubahan bau
mulut, berubahnya bau mulut bisa karena beberapa sebab, di antaranya karena
meninggalkan makan dan minum, memakan sesuatu yang berbau kurang sedap, lama
diam tidak berbicara, dan juga banyak bicara.”
Bahwa siwak itu
dihukumi mandub (sunah) bukan fardhu, tiada lain karena hadits yang pertama
menyebutkan:
“Menjadikan Allah
senang/ridha.”
Sesuatu yang membuat
Allah ridha itu tiada lain hanyalah dengan melaksanakan sesuatu yang wajib dan
mandub, kemudian muncullah sabda beliau Saw. dalam hadits kedua:
“Seandainya tidak akan
menyulitkan umatku.”
Kalimat ini menjadi qarinah yang mengarahkan perintah (amr) tersebut menjadi sunah, sehingga hadits
yang ketujuh pun dibawa pada pengertian sunah (an-nadbu).
Hadits kelima menunjukkan bahwa bersiwak itu tidak selamanya harus dengan kayu
siwak, melainkan bisa dengan sikat gigi, bahkan cukup dengan menggosokkan
jari-jemari pada gigi:
“Dia memasukkan
sebagian jarinya ke dalam mulutnya.”
Anas meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Jari-jemari itu cukup
untuk digunakan bersiwak.” (HR. al-Baihaqi dari beberapa jalur periwayatan)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Adi dan ad-Daruquthni.
Ibnu Hajar berkata
mengomentari hadits ini: Aku tidak melihat ada masalah dalam sanadnya.
Ketika jari-jemari
cukup meraih pahala, maka sesuatu yang lebih efektif membersihkan daripada
jari-jemari, seperti sikat gigi atau meletakkan pasta gigi pada jari-jemari
untuk menyikat gigi itu lebih utama dan lebih baik lagi. Ketika kebersihan gigi
yang menjadi tuntutan, maka membersihkan gigi itu lebih efektif menggunakan
kayu siwak atau sikat gigi. Kami tidak ingin menyebutkan manfaat sikat
gigi/kayu siwak dari sisi kedokteran yang ditemukan oleh para dokter modern,
dan hal seperti ini bukan aktivitas kita, melainkan dikategorikan dalam
pembahasan dala’il an-nubuwah.
Siwak itu sunah
dilakukan pada waktu siang dan malam, baik sedang berpuasa ataupun tidak sedang
berpuasa. Adapun pendapat yang dipegang oleh as-Syafi'i, ulama madzhab
Hanabilah, Ishaq, dan Abu Tsaur, juga pendapat yang dinisbatkan pada Atha dan
Mujahid, yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah matahari
tergelincir dengan argumentasi hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah,
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Demi Zat yang
menggenggam jiwaku, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah
Swt. dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat ini merupakan
pendapat yang tidak shahih yang
sebenarnya tidak disetujui oleh as-Syafi’i bahkan para pengikutnya. Saya
sebutkan di antara mereka ada Abu Syamah, al-Izz bin Abdussalam, an-Nawawi,
al-Muzani dan Ibnu Hajar.
Al-Izz berkata:
“Sebelumnya as-Syafi'i
lebih mengutamakan seorang yang berpuasa untuk membiarkan mulutnya berbau
daripada membersihkannya dengan siwak, mengingat dalil yang menjelaskan bahwa
pahala orang bau mulut karena berpuasa itu lebih wangi dari kesturi. Tetapi kemudian
beliau tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena penyebutan pahala dan
keutamaan suatu amal tidak serta merta menjadikan amal tersebut lebih mulia dan
lebih utama dibandingkan amal yang lainnya. Tahukah Anda bahwa witir menurut
as-Syafi'i dalam qaul jadid-nya itu
lebih utama daripada dua rakaat fajar; padahal Rasulullah Saw. menyatakan: “Dua
rakaat fajar itu lebih utama daripada dunia dan seisinya.” Berapa banyak ibadah
yang dipuji dan disebutkan keutamaannya oleh Allah Swt. sebagai as-Syari', tetapi ternyata ada ibadah lain
yang lebih utama darinya. Ini termasuk kompetisi di antara dua kemaslahatan
yang tidak mungkin bisa dikompromikan. Bersiwak merupakan salah satu jenis
bersuci yang disyariatkan dalam rangka mengagungkan Allah Swt., karena menyeru
penguasa agung dengan mulut yang suci bersih tidak diragukan lagi merupakan
satu bentuk pengagungan. Karena itulah disyariatkan bersiwak, sebaliknya, tidak
ada penghormatan dan pengagungan ketika menyeru penguasa agung dengan mulut
yang berbau busuk. Maka bagaimana bisa dikatakan keutamaan bau mulut itu lebih
besar dalam mengagungkan Allah Swt., Penguasa yang agung dibandingkan mulut
yang bersih?”
Al-Izz menutup
pernyataannya itu dengan mengatakan: “Perkara yang disampaikan oleh as-Syafi’i rahimahullah itu adalah mentakhsis dalil umum hanya dengan menggunakan
dalil yang disebutkan di atas, yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang
kami ceritakan.”
Ibnu Hajar al-Asqalani
menyatakan: “Ketika dari hadits “bau mulut orang yang berpuasa” para sahabat
kami mengambil kesimpulan memakruhkan orang yang sedang berpuasa bersiwak
setelah tergelincirnya matahari, maka pengambilan kesimpulan seperti itu dapat
dibantah.”
Istidlal (pengambilan kesimpulan) yang mereka
lakukan untuk memakruhkan bersiwak setelah tergelincirnya matahari bagi orang
yang berpuasa dengan menggunakan hadits khuluf
(bau mulut) merupakan istidlal yang
tidak layak untuk mentakhsis
hadits-hadits yang menganjurkan bersiwak secara umum, karena hadits khuluf ini terkait suatu topik yang berbeda
dengan topik hadits-hadits siwak, sehingga hadits khuluf
ini tidak layak menjadi dalil pentakhsis.
Di antara orang yang
tidak memakruhkan bersiwak setelah tergelincirnya matahari adalah Ibrahim
an-Nakha’iy, Ibnu Sirin, Urwah, Malik bin Anas dan ashabur ar-ra’yi, dan diriwayatkan pula dari Umar, Ibnu Abbas
dan Aisyah radhiyallahu anhum.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar