Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 29 Agustus 2017

Dalil Sunah Siwak Gosok Gigi



Siwak

Siwak (dengan mengkasrahkan huruf sin) adalah kata yang digunakan untuk menyebut perbuatan, atau bisa juga untuk menyebut kayu atau benda yang digunakan untuk bersiwak. Dikatakan :

Dia telah mensiwak mulutnya, dan sedang mensiwak mulutnya jika dia membersihkan mulutnya dengan siwak.

Bentuk jamak (plural)-nya adalah suwuk, seperti kata kutub (buku-buku). Pengertian ini dilihat dari sisi bahasa. Pengertian kebahasaan ini tidak diperselisihkan oleh para ahli fiqih, di mana para fuqaha (para ahli fiqih) mendefinisikannya: menggunakan kayu dan sejenisnya ketika membersihkan gigi untuk menghilangkan sisa makanan yang ada pada gigi atau warna kuning yang menutupi gigi. Siwak disebutkan dalam beberapa hadits berikut:

1. Dari Aisyah ra. bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Siwak itu bisa menjadikan mulut bersih dan menyebabkan Allah senang/ ridha.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Hadits ini dishahihkan oleh an-Nawawi.

2. Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Seandainya tidak akan menyulitkan umatku, niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali shalat.” (HR. Muslim, Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam riwayat Ahmad dituturkan dengan redaksi:

“Niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak bersama dengan wudhu.”

Dan dalam riwayat Baihaqi dituturkan dengan redaksi:

“Niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.”

3. Dari al-Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya, dia berkata:

“Aku bertanya pada Aisyah: Apa perbuatan yang dimulakan Rasulullah Saw. ketika beliau hendak memasuki rumahnya? Aisyah berkata: Dengan siwak (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai dan al-Baihaqi)

4. Dari Hudzaifah, dia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw., ketika hendak berdiri untuk bertahajud, beliau Saw. suka membersihkan mulutnya dengan siwak.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

5. Dari Ali bin Abu Thalib ra.:

“Lalu Ali berkata: Bawalah satu panci air untukku. Kemudian Ali mencuci dua tangannya dan wajahnya tiga kali, berkumur tiga kali, dia memasukkan sebagian jarinya ke dalam mulutnya, beristinsyaq tiga kali, mencuci kedua sikunya tiga kali, mengusap kepalanya satu kali.... Setelah itu dia berkata: Di mana orang yang bertanya tentang wudhu Rasulullah Saw.? Beginilah cara wudhu Nabi Saw.” (HR. Ahmad)

Hadits ini dihasankan Ibnu Hajar.

6. Dari Amir bin Rabi'ah ra. dia berkata:

“Aku melihat Rasulullah Saw. entah berapa kali beliau Saw. bersiwak, padahal beliau Saw. berpuasa.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dan dihasankan oleh Ibnu Hajar.

7. Dari Abu Said ra., dia berkata:

“Aku menyaksikan Rasulullah Saw. bersabda: “Mandi pada hari jumat itu wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi (baligh), dan hendaknya dia bersiwak dan memakai wewangian jika punya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Terdapat beberapa hadits lain, tetapi kami cukup menyebutkan tujuh hadits ini saja. Semua hadits tersebut menunjukkan siwak itu disyariatkan dan sangat dianjurkan (disunahkan), hingga para fuqaha menganggapnya termasuk sunah muakkadah. An-Nawawi berkata: Berdasarkan ijma orang-orang yang memiliki kredibilitas untuk berijma.
Bahkan Dawud dan Ishaq bin Rahuwaih lebih tegas lagi dalam masalah siwak. Diriwayatkan dari Dawud bahwasanya dia menyatakan wajibnya siwak ketika hendak shalat, walaupun begitu shalat tidak batal kalau tidak bersiwak.
Ishaq bin Rahuwaih menyatakan siwak itu wajib sehingga shalat menjadi batal jika dengan sengaja tidak bersiwak.

Siwak itu disunahkan di setiap waktu berdasarkan hadits-hadits ini. Perkara ini telah dijelaskan oleh an-Nawawi dengan baik. Dia menyatakan: “Siwak itu dianjurkan sepanjang waktu, tetapi di dalam lima kesempatan lebih dianjurkan lagi. Pertama, ketika hendak shalat baik bersuci dengan air ataupun dengan tanah atau bahkan tidak bersuci sekalipun seperti halnya orang yang tidak menemukan air dan tanah secara bersamaan; kedua ketika hendak berwudhu; ketiga ketika hendak membaca al-Qur’an; keempat ketika bangun dari tidur; kelima ketika terasa perubahan bau mulut, berubahnya bau mulut bisa karena beberapa sebab, di antaranya karena meninggalkan makan dan minum, memakan sesuatu yang berbau kurang sedap, lama diam tidak berbicara, dan juga banyak bicara.”

Bahwa siwak itu dihukumi mandub (sunah) bukan fardhu, tiada lain karena hadits yang pertama menyebutkan:

“Menjadikan Allah senang/ridha.”

Sesuatu yang membuat Allah ridha itu tiada lain hanyalah dengan melaksanakan sesuatu yang wajib dan mandub, kemudian muncullah sabda beliau Saw. dalam hadits kedua:

“Seandainya tidak akan menyulitkan umatku.”

Kalimat ini menjadi qarinah yang mengarahkan perintah (amr) tersebut menjadi sunah, sehingga hadits yang ketujuh pun dibawa pada pengertian sunah (an-nadbu). Hadits kelima menunjukkan bahwa bersiwak itu tidak selamanya harus dengan kayu siwak, melainkan bisa dengan sikat gigi, bahkan cukup dengan menggosokkan jari-jemari pada gigi:

“Dia memasukkan sebagian jarinya ke dalam mulutnya.”

Anas meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Jari-jemari itu cukup untuk digunakan bersiwak.” (HR. al-Baihaqi dari beberapa jalur periwayatan)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Adi dan ad-Daruquthni.

Ibnu Hajar berkata mengomentari hadits ini: Aku tidak melihat ada masalah dalam sanadnya.

Ketika jari-jemari cukup meraih pahala, maka sesuatu yang lebih efektif membersihkan daripada jari-jemari, seperti sikat gigi atau meletakkan pasta gigi pada jari-jemari untuk menyikat gigi itu lebih utama dan lebih baik lagi. Ketika kebersihan gigi yang menjadi tuntutan, maka membersihkan gigi itu lebih efektif menggunakan kayu siwak atau sikat gigi. Kami tidak ingin menyebutkan manfaat sikat gigi/kayu siwak dari sisi kedokteran yang ditemukan oleh para dokter modern, dan hal seperti ini bukan aktivitas kita, melainkan dikategorikan dalam pembahasan dala’il an-nubuwah.

Siwak itu sunah dilakukan pada waktu siang dan malam, baik sedang berpuasa ataupun tidak sedang berpuasa. Adapun pendapat yang dipegang oleh as-Syafi'i, ulama madzhab Hanabilah, Ishaq, dan Abu Tsaur, juga pendapat yang dinisbatkan pada Atha dan Mujahid, yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah matahari tergelincir dengan argumentasi hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Demi Zat yang menggenggam jiwaku, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah Swt. dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini merupakan pendapat yang tidak shahih yang sebenarnya tidak disetujui oleh as-Syafi’i bahkan para pengikutnya. Saya sebutkan di antara mereka ada Abu Syamah, al-Izz bin Abdussalam, an-Nawawi, al-Muzani dan Ibnu Hajar.
Al-Izz berkata:
“Sebelumnya as-Syafi'i lebih mengutamakan seorang yang berpuasa untuk membiarkan mulutnya berbau daripada membersihkannya dengan siwak, mengingat dalil yang menjelaskan bahwa pahala orang bau mulut karena berpuasa itu lebih wangi dari kesturi. Tetapi kemudian beliau tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena penyebutan pahala dan keutamaan suatu amal tidak serta merta menjadikan amal tersebut lebih mulia dan lebih utama dibandingkan amal yang lainnya. Tahukah Anda bahwa witir menurut as-Syafi'i dalam qaul jadid-nya itu lebih utama daripada dua rakaat fajar; padahal Rasulullah Saw. menyatakan: “Dua rakaat fajar itu lebih utama daripada dunia dan seisinya.” Berapa banyak ibadah yang dipuji dan disebutkan keutamaannya oleh Allah Swt. sebagai as-Syari', tetapi ternyata ada ibadah lain yang lebih utama darinya. Ini termasuk kompetisi di antara dua kemaslahatan yang tidak mungkin bisa dikompromikan. Bersiwak merupakan salah satu jenis bersuci yang disyariatkan dalam rangka mengagungkan Allah Swt., karena menyeru penguasa agung dengan mulut yang suci bersih tidak diragukan lagi merupakan satu bentuk pengagungan. Karena itulah disyariatkan bersiwak, sebaliknya, tidak ada penghormatan dan pengagungan ketika menyeru penguasa agung dengan mulut yang berbau busuk. Maka bagaimana bisa dikatakan keutamaan bau mulut itu lebih besar dalam mengagungkan Allah Swt., Penguasa yang agung dibandingkan mulut yang bersih?”
Al-Izz menutup pernyataannya itu dengan mengatakan: “Perkara yang disampaikan oleh as-Syafi’i rahimahullah itu adalah mentakhsis dalil umum hanya dengan menggunakan dalil yang disebutkan di atas, yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang kami ceritakan.”
Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan: “Ketika dari hadits “bau mulut orang yang berpuasa” para sahabat kami mengambil kesimpulan memakruhkan orang yang sedang berpuasa bersiwak setelah tergelincirnya matahari, maka pengambilan kesimpulan seperti itu dapat dibantah.”

Istidlal (pengambilan kesimpulan) yang mereka lakukan untuk memakruhkan bersiwak setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan hadits khuluf (bau mulut) merupakan istidlal yang tidak layak untuk mentakhsis hadits-hadits yang menganjurkan bersiwak secara umum, karena hadits khuluf ini terkait suatu topik yang berbeda dengan topik hadits-hadits siwak, sehingga hadits khuluf ini tidak layak menjadi dalil pentakhsis.
Di antara orang yang tidak memakruhkan bersiwak setelah tergelincirnya matahari adalah Ibrahim an-Nakha’iy, Ibnu Sirin, Urwah, Malik bin Anas dan ashabur ar-ra’yi, dan diriwayatkan pula dari Umar, Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu anhum.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam