Memotong Kumis
Terkait memotong kumis
itu terdapat beberapa hadits berikut:
1. Dari Ibnu Umar ra., dari Nabi Saw.:
“Hendaklah kalian
berbeda dengan orang-orang musyrik, lebatkanlah janggut dan cukurlah kumis.”
(HR. Bukhari)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Hendaklah kalian
berbeda dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan lebatkanlah janggut.”
2. Dari Zaid bin Arqam, dari Nabi Saw.:
“Barangsiapa yang
tidak menggunting sebagian kumisnya maka dia bukan golongan kami.” (HR. Ahmad
dan an-Nasai)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dan berkata: hadits ini hasan shahih.
3. DariAbu Hurairah ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Pangkaslah kumis dan
panjangkanlah janggut, hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.”
(HR. Muslim dan Ahmad)
4. Dari Anas ra., dia berkata:
“Telah ditetapkan
batas waktu untuk kita dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu
ketiak, memotong bulu kemaluan, agar kita tidak membiarkannya lebih dari empat
puluh malam.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad)
5. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah
Saw. bersabda:
“Lebatkanlah janggut,
potonglah kumis, dan rubahlah uban kalian, janganlah kalian menyerupai orang
Yahudi dan Nasrani.” (HR. Ahmad)
Sanad hadits ini
berstatus hasan.
Para fuqaha berbeda
pendapat dalam menafsirkan lafadz-lafadz hadits beserta dilalahnya. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok.
An-Nawawi berkata:
“Pendapat yang tepat dan terpilih adalah memangkas kumis hingga pinggiran bibir
bisa nampak, bukan memendekkannya hingga ke pangkal.”
An-Nawawi menafsirkan
riwayat ahfuu as-syawariba (cukurlah
kumis) dalam arti cukurlah bagian kumis yang melewati dua bibir.
As-Syaukani
berkomentar dengan mengatakan: “Mencukur itu tidak seperti pengertian yang
diceritakan an-Nawawi bahwa maknanya adalah cukurlah bagian kumis yang melewati
dua bibir. Pengertian mencukur (al-ihfa)
itu mencabut sampai ke akarnya, sebagaimana disebutkan dalam kitab as-Shihhaah, al-Qamus,
al-Kasyaf dan kitab bahasa lainnya.”
Malik berkata: “Kumis
itu dicukur hingga nampak pinggiran bibir.” Malik berpendapat mencukur kumis
hingga ke akarnya itu dilarang, bahkan beliau berpendapat orang yang mencukur
kumis seperti itu harus diberi sanksi. Telah diriwayatkan bahwasanya beliau berkata:
mencukur kumis sampai habis itu penyakit.
Abu Hanifah dan para
muridnya yakni Zufar, Abu Yusuf dan Muhammad, berpendapat bahwa mencukur kumis
sampai habis itu lebih baik daripada sekedar memendekkannya.
Al-Muzanni dan ar-Rabi
dari kalangan ulama Syafi’iyah sependapat dengan Abu Hanifah.
Telah diriwayatkan
dari Ahmad, bahwasanya dia suka mencukur kumisnya habis sama sekali, dan beliau
memfatwakan bolehnya mencukur dan memotong (memendekkan). Beliau memberikan
pilihan di antara keduanya.
Sahabat yang
berpendapat kumis harus dicukur sependek mungkin itu adalah Abdullah bin Umar,
Abu Hurairah, Jabir, Abu Said, dan Rafi bin Khadij.
Dengan merujuk dan
meneliti lafadz-lafadz hadits tersebut akan nampak jelas bahwa secara global
lafadz-lafadz tersebut mengandung arti memendekkan, yang bisa diwujudkan dengan
cara memotong sesuatu yang sampai pada bibir dan mulut. Lafadz-lafadz hadits tersebut
tidak keluar dari makna ini. Al-qashshu
(memotong), al-akhdzu (menggunting), al-ihfa dan al-juzzu
(memangkas), semua membawa pada pengertian ini.
Di luar pengertian
tersebut adalah al-halqu (mencukur
habis) dan at-tathwil (memanjangkan), di
mana kumis akan terjuntai di atas bibir dan mulut.
Dalil pengecualian ini
adalah hadits keempat:
“Telah ditetapkan
batas waktu untuk kita dalam memotong kumis… agar kita tidak membiarkannya
lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad)
Penentuan waktu
memotong kumis dengan empat puluh malam menunjukkan adanya perbuatan tidak
memotong dan tidak memanjangkan kumis. Adapun bagaimana bisa seperti itu
pengertiannya? Hal ini karena orang yang membiarkan kumisnya selama empat puluh
malam tanpa memotongnya, niscaya akan bertentangan dengan pendapat mencukur
habis kumis, karena jika mencukur habis itu yang diperintahkanya niscaya
penentuan waktu tidak akan lebih dari seminggu.
Kemudian penentuan
waktu dengan empat puluh malam juga akan bertentangan dengan memanjangkan kumis
sampai terjuntai di atas bibir dan mulut. Hukum yang bisa diistinbath dari ringkasan nash-nash itu adalah memendekkan
saja, bukan mencukur habis, dan bukan pula terlalu memanjangkan.
Mengenai hukum memendekkan dan menggunting
kumis itu adalah mandub alias sunah muakkadah, maka saya tidak mengetahui
ada tidaknya seorang ahli fiqih yang menyalahi hukum sunah memendekkan kumis.
Adapun lafadz yang
disebutkan dalam hadits-hadits seperti:
“Janganlah kalian
menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.”
“Hendaklah kalian
berbeda dengan orang-orang musyrik.”
“Hendaknya kalian
berbeda dengan orang-orang Majusi.”
“Barangsiapa yang
tidak menggunting kumisnya, maka dia bukan golongan kami.”
Semua lafadz tersebut
tidak mengandung arti wajib (al-wujub),
melainkan hanya mengandung arti penegasan dan penekanan perintah untuk
melaksanakan yang mandub ini, tidak lebih dari itu. Ini semisal dengan hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya orang
Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (mewarnai rambut), maka hendaknya kalian
berbeda dengan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Hadits ini menuntut
kaum Muslim melakukan hal yang berbeda dengan orang Yahudi
dan Nasrani
dalam menyemir uban. Tidak seorang faqih (ahli fiqih) pun yang mengatakan bahwa
menyemir uban itu fardhu, dan tidak diriwayatkan perkataan dari seorang sahabat
pun yang mewajibkannya. Misalnya hadits yang diriwayatkan dari Syaddad bin Aus,
dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Hendaknya kalian
berbeda dengan orang Yahudi, mereka beribadah dengan tidak mengenakan sandal
dan juga khuff (sepatu) mereka.” (HR. Abu Dawud)
Tidak ada seorang
faqih pun yang mengatakan bahwa shalat menggunakan sandal dan khuff itu wajib.
Ahmad telah
meriwayatkan sebuah hadits -yang dikomentari oleh al-Haitsami: Para perawinya
adalah perawi hadits shahih kecuali
Qasim, dia seorang yang tsiqah- yang menghimpun semua yang disebutkan di atas
dan ada tambahan sedikit di dalamnya. Saya nukilkan dengan lengkap sebagai
berikut: Dari Abu Umamah ra., dia berkata:
“Rasulullah Saw. pergi
menemui para sesepuh Anshar yang janggut-janggutnya sudah memutih, lalu beliau
Saw. berkata: “Wahai kaum Anshar, gunakanlah warna merah dan warna kuning
(untuk menyemir janggut) dan berbedalah kalian dengan ahli kitab.” Dia berkata:
Maka kami bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli kitab mengenakan celana
dan tidak memakai sarung. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Pakailah celana dan
pakailah sarung, dan hendaknya kalian berbeda dengan ahli kitab.” Dia berkata:
Kami bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli kitab mengenakan sepatu dan
tidak mengenakan sandal. Dia berkata: Maka Rasulullah Saw. berkata: “Pakailah
sepatu dan pakailah sandal, dan hendaknya kalian berbeda dengan ahli kitab.”
Dia berkata: Maka kami berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli kitab
memotong jenggot dan memanjangkan kumis. Dia berkata: Maka Rasulullah Saw.
berkata: “Potonglah kumis kalian dan panjangkan janggut kalian, hendaknya
kalian berbeda dengan ahli kitab.”
Semua orang mengetahui
bahwa menyemir rambut dengan warna merah seperti pacar, atau dengan hitam
kemerahan seperti al-katam (tumbuhan
yang warnanya hitam sedikit kemerah-merahan yang suka digunakan untuk
menyemir/mengecat), memakai celana dan kain sarung, shalat menggunakan sandal
dan khuff, semua itu tidak wajib hukumnya. Maka begitu pula dengan memotong
kumis dan memanjangkan janggut itu tidak wajib, walaupun terdapat nash yang
menjelaskan bahwa semua itu harus dilakukan dalam rangka menyelisihi ahli
kitab.
Ringkas kata, memotong
dan memendekkan kumis, agar tidak terlalu panjang atau agar tidak terjuntai di
atas dua bibir itu sunah muakkadah
hukumnya. Mencukur habis hingga ke akar dan membiarkannya terlalu panjang
menyalahi sunah ini.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar