Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 29 Agustus 2017

Dalil Sunnah Memotong Kumis


Memotong Kumis

Terkait memotong kumis itu terdapat beberapa hadits berikut:

1. Dari Ibnu Umar ra., dari Nabi Saw.:

“Hendaklah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, lebatkanlah janggut dan cukurlah kumis.” (HR. Bukhari)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Hendaklah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan lebatkanlah janggut.”

2. Dari Zaid bin Arqam, dari Nabi Saw.:

“Barangsiapa yang tidak menggunting sebagian kumisnya maka dia bukan golongan kami.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: hadits ini hasan shahih.

3. DariAbu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Pangkaslah kumis dan panjangkanlah janggut, hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.” (HR. Muslim dan Ahmad)

4. Dari Anas ra., dia berkata:

“Telah ditetapkan batas waktu untuk kita dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan, agar kita tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad)

5. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Lebatkanlah janggut, potonglah kumis, dan rubahlah uban kalian, janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Ahmad)

Sanad hadits ini berstatus hasan.

Para fuqaha berbeda pendapat dalam menafsirkan lafadz-lafadz hadits beserta dilalahnya. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok.
An-Nawawi berkata: “Pendapat yang tepat dan terpilih adalah memangkas kumis hingga pinggiran bibir bisa nampak, bukan memendekkannya hingga ke pangkal.”
An-Nawawi menafsirkan riwayat ahfuu as-syawariba (cukurlah kumis) dalam arti cukurlah bagian kumis yang melewati dua bibir.
As-Syaukani berkomentar dengan mengatakan: “Mencukur itu tidak seperti pengertian yang diceritakan an-Nawawi bahwa maknanya adalah cukurlah bagian kumis yang melewati dua bibir. Pengertian mencukur (al-ihfa) itu mencabut sampai ke akarnya, sebagaimana disebutkan dalam kitab as-Shihhaah, al-Qamus, al-Kasyaf dan kitab bahasa lainnya.”
Malik berkata: “Kumis itu dicukur hingga nampak pinggiran bibir.” Malik berpendapat mencukur kumis hingga ke akarnya itu dilarang, bahkan beliau berpendapat orang yang mencukur kumis seperti itu harus diberi sanksi. Telah diriwayatkan bahwasanya beliau berkata: mencukur kumis sampai habis itu penyakit.
Abu Hanifah dan para muridnya yakni Zufar, Abu Yusuf dan Muhammad, berpendapat bahwa mencukur kumis sampai habis itu lebih baik daripada sekedar memendekkannya.
Al-Muzanni dan ar-Rabi dari kalangan ulama Syafi’iyah sependapat dengan Abu Hanifah.
Telah diriwayatkan dari Ahmad, bahwasanya dia suka mencukur kumisnya habis sama sekali, dan beliau memfatwakan bolehnya mencukur dan memotong (memendekkan). Beliau memberikan pilihan di antara keduanya.
Sahabat yang berpendapat kumis harus dicukur sependek mungkin itu adalah Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Jabir, Abu Said, dan Rafi bin Khadij.

Dengan merujuk dan meneliti lafadz-lafadz hadits tersebut akan nampak jelas bahwa secara global lafadz-lafadz tersebut mengandung arti memendekkan, yang bisa diwujudkan dengan cara memotong sesuatu yang sampai pada bibir dan mulut. Lafadz-lafadz hadits tersebut tidak keluar dari makna ini. Al-qashshu (memotong), al-akhdzu (menggunting), al-ihfa dan al-juzzu (memangkas), semua membawa pada pengertian ini.
Di luar pengertian tersebut adalah al-halqu (mencukur habis) dan at-tathwil (memanjangkan), di mana kumis akan terjuntai di atas bibir dan mulut.
Dalil pengecualian ini adalah hadits keempat:

“Telah ditetapkan batas waktu untuk kita dalam memotong kumis… agar kita tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad)

Penentuan waktu memotong kumis dengan empat puluh malam menunjukkan adanya perbuatan tidak memotong dan tidak memanjangkan kumis. Adapun bagaimana bisa seperti itu pengertiannya? Hal ini karena orang yang membiarkan kumisnya selama empat puluh malam tanpa memotongnya, niscaya akan bertentangan dengan pendapat mencukur habis kumis, karena jika mencukur habis itu yang diperintahkanya niscaya penentuan waktu tidak akan lebih dari seminggu.
Kemudian penentuan waktu dengan empat puluh malam juga akan bertentangan dengan memanjangkan kumis sampai terjuntai di atas bibir dan mulut. Hukum yang bisa diistinbath dari ringkasan nash-nash itu adalah memendekkan saja, bukan mencukur habis, dan bukan pula terlalu memanjangkan.

Mengenai hukum memendekkan dan menggunting kumis itu adalah mandub alias sunah muakkadah, maka saya tidak mengetahui ada tidaknya seorang ahli fiqih yang menyalahi hukum sunah memendekkan kumis.
Adapun lafadz yang disebutkan dalam hadits-hadits seperti:

“Janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.”

“Hendaklah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik.”

“Hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.”

“Barangsiapa yang tidak menggunting kumisnya, maka dia bukan golongan kami.”

Semua lafadz tersebut tidak mengandung arti wajib (al-wujub), melainkan hanya mengandung arti penegasan dan penekanan perintah untuk melaksanakan yang mandub ini, tidak lebih dari itu. Ini semisal dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (mewarnai rambut), maka hendaknya kalian berbeda dengan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Hadits ini menuntut kaum Muslim melakukan hal yang berbeda dengan orang Yahudi dan Nasrani dalam menyemir uban. Tidak seorang faqih (ahli fiqih) pun yang mengatakan bahwa menyemir uban itu fardhu, dan tidak diriwayatkan perkataan dari seorang sahabat pun yang mewajibkannya. Misalnya hadits yang diriwayatkan dari Syaddad bin Aus, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Hendaknya kalian berbeda dengan orang Yahudi, mereka beribadah dengan tidak mengenakan sandal dan juga khuff (sepatu) mereka.” (HR. Abu Dawud)

Tidak ada seorang faqih pun yang mengatakan bahwa shalat menggunakan sandal dan khuff itu wajib.

Ahmad telah meriwayatkan sebuah hadits -yang dikomentari oleh al-Haitsami: Para perawinya adalah perawi hadits shahih kecuali Qasim, dia seorang yang tsiqah- yang menghimpun semua yang disebutkan di atas dan ada tambahan sedikit di dalamnya. Saya nukilkan dengan lengkap sebagai berikut: Dari Abu Umamah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. pergi menemui para sesepuh Anshar yang janggut-janggutnya sudah memutih, lalu beliau Saw. berkata: “Wahai kaum Anshar, gunakanlah warna merah dan warna kuning (untuk menyemir janggut) dan berbedalah kalian dengan ahli kitab.” Dia berkata: Maka kami bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli kitab mengenakan celana dan tidak memakai sarung. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Pakailah celana dan pakailah sarung, dan hendaknya kalian berbeda dengan ahli kitab.” Dia berkata: Kami bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli kitab mengenakan sepatu dan tidak mengenakan sandal. Dia berkata: Maka Rasulullah Saw. berkata: “Pakailah sepatu dan pakailah sandal, dan hendaknya kalian berbeda dengan ahli kitab.” Dia berkata: Maka kami berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli kitab memotong jenggot dan memanjangkan kumis. Dia berkata: Maka Rasulullah Saw. berkata: “Potonglah kumis kalian dan panjangkan janggut kalian, hendaknya kalian berbeda dengan ahli kitab.”

Semua orang mengetahui bahwa menyemir rambut dengan warna merah seperti pacar, atau dengan hitam kemerahan seperti al-katam (tumbuhan yang warnanya hitam sedikit kemerah-merahan yang suka digunakan untuk menyemir/mengecat), memakai celana dan kain sarung, shalat menggunakan sandal dan khuff, semua itu tidak wajib hukumnya. Maka begitu pula dengan memotong kumis dan memanjangkan janggut itu tidak wajib, walaupun terdapat nash yang menjelaskan bahwa semua itu harus dilakukan dalam rangka menyelisihi ahli kitab.

Ringkas kata, memotong dan memendekkan kumis, agar tidak terlalu panjang atau agar tidak terjuntai di atas dua bibir itu sunah muakkadah hukumnya. Mencukur habis hingga ke akar dan membiarkannya terlalu panjang menyalahi sunah ini.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam