Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 08 Agustus 2017

Dalil Sujud Tilawah



L. Sujud Tilawah

Di dalam al-Qur'an terdapat beberapa tempat yang jika dibaca oleh sang pembaca al-Qur’an, maka dia dianjurkan untuk bersujud kepada Allah Swt. sebanyak satu kali. Ini yang disebut sujud tilawah. Syariat telah menganjurkan ketika kita membaca ayat-ayat ini untuk bersujud tilawah. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika anak Adam membaca as-sajdah lalu dia bersujud maka setan akan pergi darinya sambil menangis, ia berkata: celakalah aku, dia diperintahkan untuk bersujud lalu dia bersujud maka baginyalah Surga, dan aku diperintah untuk bersujud tetapi aku malah membangkang sehingga aku mendapatkan Neraka.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Ucapannya: as-sajdah artinya ayat yang di dalamnya disunahkan untuk bersujud.

Hukum sujud ini adalah sunah, bukan wajib, karena Nabi Saw. melakukannya beberapa kali, dan meninggalkan sujud ini pada kali yang lain sehingga menjadikan perintah (al-amr) untuk bersujud di sini dipahami sebagai an-nadb (sunat) bukan wajib. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. membaca surat an-najm, lalu beliau bersujud dan orang-orang pun bersujud bersamanya kecuali dua orang yang menginginkan ketenaran.” (HR. Ahmad, at-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah)

Dari Abdullah bin Mas'ud ra. ia berkata:

“Nabi Saw. membaca surat an-najm di Makkah, lalu beliau Saw. sujud karenanya, dan orang yang bersamanya ikut sujud, kecuali seorang tua yang malah mengambil segenggam kerikil atau pasir, lalu dia menaburkannya ke atas dahinya sambil berkata: cukuplah ini untukku. Lalu aku melihat orang itu kembali telah terbunuh dalam keadaan kafir.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai dan Abu Dawud)

Dikatakan bahwa orang tua yang disebut dalam hadits tersebut adalah Umayyah bin Khalaf.

Dari Atha bin Yasar:

“Bahwa dia telah bertanya kepada Zaid bin Tsabit ra., dan dia menduga bahwa dia telah membacakan surat an-najm di hadapan Nabi Saw., dan beliau Saw. tidak bersujud di dalamnya.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Abu Dawud)

Begitu pula para sahabat -semoga Allah meridhai mereka semua-, mereka melakukan hal serupa. Mereka kadang-kadang bersujud, dan kadang-kadang tidak bersujud. Dari Rabi’ah bin Abdullah:

“Bahwa Umar bin Khaththab ra. pada hari Jum'at berada di atas mimbar dan telah membaca surat an-nahl, hingga tiba di ayat sajdah, beliau turun dan bersujud, dan orang-orang pun ikut bersujud. Hingga jika tiba Jum'at berikutnya, beliau membaca kembali surat an-nahl, sampai tiba di ayat sajdah, beliau berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya kita melewati ayat sajdah, barangsiapa yang bersujud maka dia telah benar, dan barangsiapa yang tidak bersujud maka tidak ada dosa atasnya.” Dan Umar ra. tidak bersujud.”

Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar, ucapannya:

“Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan sujud kecuali jika kita menghendakinya.” (HR. Bukhari dan al-Baihaqi)

Adapun tempat-tempat yang disunahkan untuk bersujud, maka ada tempat-tempat yang disepakati, ada tempat-tempat yang diperdebatkan.
Tempat-tempat yang disepakati adalah surat-surat berikut: al-A’raf, ar-Ra'du, an-Nahl, al-Isra, Maryam, al-Hajj, al-Furqan, an-Naml, Alif Lam Mim Tanzil, Ha Mim as-Sajdah, dan jumlahnya ada sepuluh.
Sedangkan tempat-tempat yang diperdebatkan adalah dalam surat-surat berikut: sujud kedua dalam surat al-Hajj telah ditetapkan oleh Ahmad dan as-Syafi’i, surat Shad telah ditetapkan oleh Abu Hanifah, Ahmad dan Malik, tiga surat al-Mufashhal: an-Najm, al-Insyiqaq dan al-‘Alaq, ketiganya ditetapkan oleh Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad, dan yang kami maksud dengan al-Mufashshal adalah surat-surat yang dimulai dengan surat al-Hujurat dan diakhiri dengan surat an-Nas, dan jumlah ayat sajdah ini ada lima.
Jumlah keseluruhan ayat sajdah (dari yang disepakati dan masih diperdebatkan) ada lima belas ayat sajdah yang tidak ditetapkan seluruhnya kecuali oleh Imam Ahmad.

Pendapat yang saya pegang adalah bahwa dalam kelima belas ayat sajdah ini kita disunahkan dan dianjurkan untuk bersujud, dengan pengecualian ayat surat Shad, karena saya melihat bahwa sujud dalam ayat tersebut berhukum boleh dan bersifat pilihan, sehingga siapa yang menghendaki maka dia boleh bersujud, dan yang tidak maka dia boleh meninggalkannya. Ibnu Abbas ra. berkata:

“Shad bukan termasuk ayat yang ditetapkan untuk bersujud ketika membacanya, tetapi aku melihat Nabi Saw. bersujud ketika membacanya.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, ad-Darimi dan at-Tirmidzi)

Dan ucapan Ibnu Abbas: “Shad bukanlah termasuk ayat yang ditetapkan untuk bersujud” menjadi dilalah yang jelas. Dari Abu Said al-Khudri ia berkata:

“Rasulullah Saw. membaca surat shad, dan beliau Saw. berada di atas mimbar. Ketika beliau sampai pada ayat sajdah, beliau Saw. bersujud dan orang-orang pun ikut bersujud bersamanya. Ketika hari yang lain tiba, beliau membacanya lagi. Tatkala sampai pada ayat sajdah, orang-orang bersiap untuk sujud, lalu Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya ayat ini adalah taubat Nabi, tetapi aku melihat kalian telah bersiap untuk sujud.” Maka beliau turun dan bersujud, lalu merekapun bersujud.” (HR. Abu Dawud, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan ad-Daruquthni)

Nabi Saw. telah menyebutkan bahwa ayat tersebut sebagai taubat Nabi, yakni Nabi Dawud as. Seandainya beliau tidak melihat orang-orang bersiap untuk sujud maka mungkin beliau Saw. tidak akan bersujud. Dalam riwayat an-Nasai dari jalur Ibnu Abbas terdapat ungkapan:

“Bahwa Nabi Saw. bersujud ketika membaca surat shad, lalu beliau berkata: Nabi Dawud telah bersujud sebagai sujud taubat, dan kita bersujud karena sebagai sujud syukur.”

Barangsiapa yang menghendaki, dia bisa bersujud dalam surat shad, dan siapa yang tidak maka tinggal meninggalkannya.

Ayat sajdah kedua dari surat al-hajj, ini telah terbukti keberadaanya sehingga tidak boleh digugurkan. Banyak atsar dari para shahabat Rasulullah yang menyebutkannya. Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari jalur Ibnu Umar ra. dari Umar ra.:

“Bahwa dia bersujud pada surat al-hajj dua kali, kemudian berkata: “Sesungguhnya surat ini telah diutamakan di atas surat-surat lainnya dengan dua kali sujud.”

Malik meriwayatkan atsar serupa. Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Dalam surat al-hajj ada dua sujud.”

Abdurrazaq meriwayatkan dari jalur Abdullah bin Dinar ia berkata:

“Aku melihat Ibnu Umar bersujud dalam surat al-hajj sebanyak dua kali.”

Atsar-atsar lainnya juga telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw., bahwa mereka bersujud dalam surat al-hajj sebanyak dua kali.

Nash-nash ini, walaupun berbentuk atsar, tetapi semuanya menunjukkan pada objeknya, karena hal seperti ini tidak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Saw. berdasarkan keinginan mereka sendiri.

Mengenai sujud-sujud al-mufashhal yang tiga -yakni an-najm, al-insyiqaq dan al-‘alaq- maka sebagian orang telah berdalil bahwa tidak ada sujud di dalamnya dengan beberapa hadits, di antaranya adalah hadits dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Nabi Saw. tidak bersujud dalam salah satu pun dari surat al-mufashshal setelah beliau Saw. pindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra. ia berkata:

“Aku membacakan surat an-najm di hadapan Nabi Saw., dan beliau Saw. tidak bersujud.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Maka kami katakan kepada mereka, bahwa hadits yang pertama, di dalam sanadnya ada Abu Qudamah, dan namanya adalah al-Harits bin ‘Ubaid, ia telah dikomentari oleh Ahmad: haditsnya mudhtarib, dikomentari oleh Abu Hatim: tidak bisa dijadikan hujjah, dan hadits ini telah didhaifkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nawawi, sehingga hadits ini tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Mengenai hadits kedua, maka tidak sujudnya Rasulullah Saw. ketika membaca satu tempat dari ayat sajdah, itu tidak menunjukkan bahwa ayat tersebut bukan ayat sajdah. Jadi, tidak sujudnya Rasulullah Saw. dipahami untuk menjelaskan tidak wajibnya sujud itu saja.
Jika kita mengetahui bahwa ada sejumlah hadits yang menyebutkan sujudnya Rasulullah Saw. di tempat ini, niscaya kita memahami bahwa sebenarnya tidak sujudnya Rasulullah Saw. ini semata-mata menunjukkan tidak wajibnya sujud tersebut.
Sebelumnya telah saya sebutkan hadits Abdullah bin Mas’ud ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan selainnya, di dalamnya disebutkan:

“Nabi Saw. membaca an-najm di Makkah, lalu beliau sujud di dalamnya dan orang-orang yang bersamanya pun ikut bersujud...”

Sebelumnya ada juga hadits Abu Hurairah ra. dan di dalamnya disebutkan:

“Bahwa Nabi Saw. membaca surat an-najm kemudian beliau bersujud, dan orang-orang yang bersamanya pun ikut bersujud...” (HR. Ahmad dan selainnya)

Dengan demikian, tidak sujudnya Rasulullah Saw. ketika membaca surat an-najm bisa dipahami bahwa beliau ingin menjelaskan tentang tidak wajibnya sujudnya tersebut, dan tidak menunjukkan bahwa surat tersebut bukan tempat untuk bersujud.

Terkait dengan sujud dalam surat al-insyiqaq dan surat al-‘alaq, maka terdapat beberapa hadits yang menetapkannya. Di antaranya: dari Abu Hurairah ra. ia berkata:

“Kami bersujud bersama Nabi Saw. dalam surat -idzas samaa-un syaqqat, dan surat iqra bismi rabbikaa.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)

Dari Abu Rafi’ ia berkata:

“Aku shalat al-‘atamah (isya) bersama Abu Hurairah, lalu dia membaca idzas samaa’un syaqqat, kemudian dia bersujud. Aku bertanya: “Sujud apa ini?” Maka dia berkata: “Aku bersujud membaca surat itu di belakang Abul Qasim Saw., sehingga aku terus-menerus bersujud hingga kelak aku menjumpainya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Sebelumnya telah disebutkan dalam pembahasan “membaca al-Qur'an dalam shalat yang lima” pada bab “sifat shalat.” Yang dianjurkan adalah bersujud di keempat belas tempat ini, dan tidak apa-apa sujud di surat shad.

Selain sujud itu sangat dianjurkan bagi orang yang membaca al-Qur'an, sujud tersebut dianjurkan pula bagi mereka yang mendengar dan menghadiri pembacaan al-Qur’an tersebut, tetapi sujudnya pendengar di sini tergantung pada sujudnya sang qari. Jika sang qari tidak bersujud, maka mereka yang ada di sekitarnya tidak perlu bersujud, sehingga sang qari menjadi imam bagi mereka yang menghadiri pembacaan al-Qur'an. Ketika imam tidak bersujud, maka mereka yang hadir tidak perlu bersujud. Sebelumnya telah disebutkan beberapa hadits berikut:

“Bahwa Nabi Saw. membaca surat an-najm kemudian beliau bersujud, dan orang-orang yang bersamanya pun ikut bersujud...”

“Nabi Saw. membaca an-najm di Makkah, lalu beliau sujud di dalamnya dan orang yang bersamanya pun ikut bersujud...”

“Bahwa Umar bin Khaththab ra. pada hari Jum'at di atas mimbar telah membaca surat an-nahl, hingga tiba di ayat sajdah beliau turun dan bersujud, dan orang-orang pun ikut bersujud...”

“Rasulullah Saw. membaca surat shad dan beliau Saw. berada di atas mimbar, ketika beliau sampai pada ayat sajdah, beliau Saw. bersujud dan orang-orang pun ikut bersujud bersamanya...”

“Kami bersujud bersama Nabi Saw. dalam surat idzas samaa-un syaqqat, dan surat iqra bismi rabbika.”

“Aku bersujud membaca surat itu di belakang Abul Qasim Saw.”

Semua hadits ini menceritakan tentang sujud di belakang sang qari jika dia bersujud.

Tentang dalil bahwa yang hadir tidak perlu bersujud jika sang qari tidak bersujud, adalah hadits yang diriwayatkan Zaid bin Aslam:

“Bahwa seorang anak membacakan ayat as-sajdah di samping Nabi Saw., lalu anak tersebut menunggu Nabi Saw. bersujud. Ketika beliau Saw. tidak bersujud maka ia bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah di dalam surat ini ada ayat sajdah?” Beliau Saw. berkata: “Benar, tetapi engkau sekarang menjadi imam kami di dalamnya, seandainya engkau bersujud, niscaya kami akan ikut bersujud.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq)

Al-Baihaqi dan as-Syafi’i telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Atha bin Yasar. Hadits ini walaupun hadits mursal, tetapi layak dijadikan sebagai dalil, karena gugurnya (tak disebutkannya) seorang sahabat tidak menjadikan hadits ini sebagai hadits dhaif, karena semua sahabat itu adil.

Sujud tilawah dianjurkan di dalam shalat, sama seperti di luar shalat. Sujud ini dianjurkan, baik dalam shalat fardhu ataupun nafilah. Sebelumnya telah disebutkan hadits Abu Rafi’ yang diriwayatkan oleh Bukhari dan selainnya, di dalamnya disebutkan:

“Aku shalat al-‘atamah bersama Abu Hurairah, lalu dia membaca idzas samaa'un syaqqat kemudian dia bersujud...”

Al-‘Atamah adalah shalat isya.

Tata cara (sifat) sujud tilawah adalah sebagai berikut: bertakbir, kemudian bersujud dan mengucapkan: “Subhaana rabbiyal a'laa (Maha Suci Tuhanku yang Maha Luhur)” sebanyak tiga kali, lalu jika menghendaki bisa ditambahkan:

Sajada wajhi lilladzi khalaqahu wa shawwarahu wa syaqqa sam’ahu wa basharahu bi haullihi wa quwwatihi fa tabaarakallahu ahsanul khaliqin” (wajahku bersujud pada Dzat yang menciptakannya dan memberikan rupanya lalu memberikan pendengarannya dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya, dan Maha Suci Allah Dzat sebaik-baiknya Pencipta).

Dan jika menghendaki, bisa pula menambahkan:

Allahummaa-hthuth ‘annii bihaa wizraa, waktub lii biha ajraa, waj ‘alha li ‘indaka dzuhraa, wa taqabbalhaa minnii kama taqabbaltaha min ‘abdika dawuda” (Ya Allah, dengan sujud ini hapuskanlah dariku dosa-dosa, dan dengannya jadikanlah untukku pahala, dan jadikan pula untukku dari sisi-Mu simpanan, dan terimalah sujud ini dariku sebagaimana Engkau menerima sujud itu dari hamba-Mu Dawud).

Bisa juga mengulang doa ini sebanyak tiga kali, lalu bangkit kemudian bersalam ke sebelah kanan dan ke sebelah kirinya., dan tidak perlu bertasyahud.

Tentang takbir, Nafi’ telah meriwayatkan:

“Bahwa Ibnu Umar jika membaca an-najm beliau bersujud, dan jika membaca iqra bismirabbikal ladzii khalaq dalam shalat beliau bertakbir, lalu ruku' dan sujud, dan jika membaca dalam selain shalat, beliau bersujud pada keduanya itu.” (Riwayat Abdurrazaq)

Dari Abdullah bin Muslim, ia berkata:

“Adalah Ubay jika membaca ayat sajdah dia mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) kemudian bersujud.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)

Tidak diriwayatkan dari seorang sahabat pun bahwa dia tidak bertakbir atau memerintahkan tidak bertakbir ketika sujud tilawah.

Mengenai tasbih yang dibaca “subhaana rabbiyal a’laa” (Maha Suci Allah yang Maha Luhur), maka sebelumnya telah kami cantumkan tiga hadits yang menyebutkan tasbih ini dalam sujud, yakni:

a. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra. ia berkata:

”...Ketika turun sabbihisma rabbikal a'la maka beliau Saw. bersabda: “Jadikanlah bacaan ini dalam sujud kalian.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

b. Dari Abu Bakrah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. bertasbih dalam ruku’nya: subhaana rabbiyal 'adzimi, tiga kali, dan dalam sujudnya: subhaana rabbiyal a'laa.” (HR. al-Bazzar)

c. Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra.:

”...Dan jika beliau bersujud, beliau mengucapkan: subhaana rabbiyal a'laa -tiga kali-.” (HR. Ibnu Majah)

Anda sekalian bisa mendapati hadits ini secara keseluruhan dalam pembahasan “ruku’ dan bentuknya serta dzikir di dalamnya” pada bab “sifat shalat.” Karena sujud tilawah itu juga adalah satu jenis sujud, maka termasuk sunah untuk mengucapkan “subhaana rabbiyal a'laa” di dalamnya sebanyak tiga kali.

Terkait dengan dzikir kedua “sajada wajhi... (wajahku bersujud...)” maka telah disebutkan dalam hadits dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. mengucapkan dalam sujud al-Qur'an (sujud tilawah): “sajada wajhi lilladzi khalaqahu wa syaqqa sam'ahu wa basharahu bi haullihi wa quwwatihi (wajahku bersujud pada Dzat yang menciptakannya dan yang memberikan pendengarannya dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Tirmidzi dan al-Hakim meriwayatkan hadits ini dengan menambahkan:

Fa tabaarakallahu ahsanul khaliqin (Maha Suci Allah sebaik-baiknya Pencipta)”

Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah menambahkan: “shawwarahu (memberikan rupanya)” setelah ucapan “khalaqahu (yang menciptakannya)”, dan Ibnu as-Sakan berkata di akhirnya: “tsalatsan (tiga kali).”

Tentang doa yang ketiga, hal ini telah disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Aku berada di sisi Nabi Saw., lalu datang seorang lelaki dan berkata: “Sesungguhnya tadi malam dalam tidurku aku bermimpi seolah-olah aku shalat ke arah akar pohon, lalu aku membaca ayat sajdah dan aku pun bersujud, maka bersujudlah pohon itu karena sujudku, dan aku mendengar pohon tersebut mengucapkan: allahummah thuth ‘annii bihaa wizraa, waktub lii biha ajraa, waj ‘alha li ‘indaka dzuhraa (ya Allah dengan sujud ini hapuskanlah dariku dosa-dosa, dan dengannya jadikanlah untukku pahala, dan jadikan pula untukku dari sisi-Mu simpanan). Ibnu Abbas berkata: lalu aku melihat Nabi Saw. membaca ayat sajdah dan bersujud, kemudian aku mendengar beliau Saw. mengucapkan (kalimat) semisal yang dikabarkan lelaki itu tentang ucapan pohon tadi.” (HR. Ibnu Majah)

Tirmidzi dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dan menambahkan:

“Terimalah sujud ini dariku sebagaimana Engkau menerima sujud itu dari hamba-Mu Dawud.”

Tentang bersalam, Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq telah menyebutkan dari sejumlah tabi’in bahwa mereka -jika selesai melakukan sujud tilawah- maka mereka bersalam.
Saya tidak menemukan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. dan tidak juga dari salah seorang sahabatnya tentang salam ini, tidak dalam hal penafian dan juga tidak dalam hal penetapan. Telah kami sebutkan hadits Ali bin Abi Thalib ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Kunci shalat itu adalah bersuci, tahrimnya adalah takbir dan tahlilnya adalah mengucap salam.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

hadits dari Zaid bin Aslam yang juga telah kami sebutkan:

”...Tetapi engkau sekarang menjadi imam kami di dalamnya, seandainya engkau bersujud niscaya kami akan ikut bersujud.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq)

Jadi, jika seorang pembaca al-Qur'an bersujud maka akan diikuti oleh para hadirin, dan mereka menjadikannya imam, sehingga mereka akan bersujud bersamanya.

Dengan demikian, sujud ini meniscayakan wudhu dan bersuci yang sempurna, baik dalam badan, pakaian dan tempat, sebagaimana kesucian yang harus ada ketika akan shalat. Juga meniscayakan pelakunya untuk menghadap kiblat, karena sujud ini adalah shalat, kecuali jika dia berkendaraan, maka tidak masalah baginya jika tidak menghadap kiblat, hal ini juga bisa berlaku dalam shalat-shalat tathawwu’, jika dilaksanakan di atas hewan tunggangan, di dalam mobil, pesawat atau perahu, dan sebagainya.

Terkait dengan waktu yang terlarang, maka sujud tilawah itu dibolehkan, karena termasuk shalat yang memiliki sebab, di mana waktu sujud tersebut adalah ketika membaca al-Qur’an dengan waktu kapan saja dilakukannya. Yang serupa dengan sujud tilawah adalah shalat tahiyatul masjid dan shalat kusuf (gerhana).

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam