K. Shalat Istikharah
Istikharah adalah mashdar dari kata istakhara
yang berarti meminta yang terbaik, di sini maksudnya adalah meminta yang
terbaik dalam suatu urusan dan kita meminta keterangan urusan mana yang terbaik
menurut Allah Swt. Seperti yang kami nyatakan dalam pembahasan shalat istisqa: sebagai shalat yang dikhususkan, maka
istisqa ini bisa diwujudkan dalam bentuk
do'a saja tanpa ada shalat yang khusus darinya, maka kami nyatakan di sini
bahwa seorang Muslim bisa beristikharah
kepada Tuhannya hanya dengan berdoa saja, tidak ada shalat yang khusus yang
harus dilakukannya.
Misalnya dia berdoa: Rabbi khir lii fi mas’alati kadza wa kadza
(Wahai Tuhanku, pilihkanlah aku dalam masalah ini dan ini), atau dengan berdoa:
Allahumma inni astakhiruka fil maudhu’il
fulaaniy (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon agar Engkau memilihkan aku
dalam urusan begini), dan cukup dengan itu. Akan tetapi jika dia melaksanakan
shalat yang khusus untuk istikharah,
maka itu lebih baik dan lebih diharapkan ijabahnya.
Shalat istkharah disunahkan dan dianjurkan. Jumlahnya dua rakaat, dan boleh
dilakukan lebih dari itu, sehingga seorang yang beristikharah boleh melaksanakan shalat dua
rakaat, atau kemudian menambah dua rakaat lagi sebelum dia berdoa dengan doa istikharah. Doa istikharah
sebaiknya tidak dipanjatkan setelah (shalat) fardhu atau shalat nafilah yang tidak dimaksudkan untuk istikharah, tetapi sebaiknya dilakukan setelah
melaksanakan shalat yang khusus untuknya, sehingga menjadi shalat istikharah sebenarnya.
Sifat istikharah itu sebagai berikut: shalat karena
Allah dua rakaat dengan niat istikharah,
kemudian bersalam, diikuti dengan berdoa sebagai berikut:
“Ya Allah, aku memohon
agar Engkau memilihkan mana yang baik menurut-Mu, dan aku memohon Engkau
memberikan kekuatan kepadaku dengan kekuatan-Mu, dan aku memohon Engkau dengan
kemurahan-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau yang berkuasa, sedangkan aku
tidak berkuasa. Engkau yang Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan
Engkaulah Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang masih tersembunyi. Ya
Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa perkara ini -lalu Anda sebutkan
urusannya- baik untukku, dalam agamaku, dalam penghidupanku, dan baik pula
akibatnya bagiku -dan Anda boleh mengucapkan pengganti dari kalimat “dan baik
pula akibatnya bagiku” dengan kalimat: “dan urusanku dengan cepat atau lambat”-
maka berikanlah urusan ini kepadaku dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian
berilah keberkahan kepadaku dalam urusan ini, dan jika Engkau mengetahui bahwa
urusan ini -dan Anda bisa menyebutkan urusannya di sini- buruk bagiku, dalam
agamaku, penghidupanku dan buruk pula akibatnya bagiku -dan Anda bisa
mengucapkan pengganti dari kalimat: “dan buruk pula akibatnya bagiku” dengan
kalimat: “dan urusanku dengan cepat atau lambat” maka jauhkanlah hal ini
dariku, dan jauhkan aku dari hal ini, dan berilah kebaikan kepadaku di mana
saja berada, kemudian jadikanlah aku orang yang rela atas anugerah-Mu.”
Seandainya dia ingin
beristikharah kepada Allah Swt. dalam
memilih seorang pemudi namanya Fathimah sebagai istrinya, maka dia bisa
mengucapkan begini: Ya Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa calon istriku
ini, Fathimah, baik untukku, dalam agamaku, dalam penghidupanku, dan baik pula
akibatnya bagiku, atau Anda bisa mengucapkan: Ya Allah, jika Engkau telah
mengetahui bahwa calon istriku ini, Fathimah, baik untukku, dalam agamaku,
dalam penghidupanku, dan urusanku yang cepat atau lambat, maka takdirkanlah dia
kepadaku dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian berilah keberkahan
kepadaku dalam hal ini, dan jika engkau mengetahui bahwa calon istriku,
Fathimah ini, buruk bagiku, dalam agamaku, penghidupanku dan buruk pula
akibatnya bagiku -atau mengucapkan: dan jika Engkau mengetahui bahwa calon
istriku, Fathimah ini, buruk bagiku, dalam agamaku, penghidupanku dan urusanku
dengan cepat atau lambat, maka jauhkanlah hal ini dariku dan jauhkan aku dari
hal ini, dan berilah kebaikan kepadaku di mana saja berada, kemudian jadikanlah
aku orang yang rela atas anugerah-Mu.
Setelah shalat dua
rakaat dan berdoa dengan do’a ini, maka dia tinggalkan kecenderungan yang ada
yang telah dia istikharahkan kepada
Allah Swt., lalu menunggu apa yang dimasukkan oleh Allah Swt. ke dalam hatinya:
apakah cenderung kepadanya atau cenderung pergi darinya. Jika dia belum merasa
ada kecenderungan ini sejak awal shalat, maka dia bisa mengulang shalat
tersebut sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya hingga kecenderungan itu
ada, sehingga kecenderungannya berubah menjadi positif atau negatif. Dari Jabir
bin Abdullah ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. telah mengajarkan kepada kami istikharah
dalam semua urusan sebagaimana beliau mengajarkan satu surat al-Qur'an kepada
kami. Beliau Saw. bersabda: “Barangsiapa di antara kalian berniat melakukan
suatu urusan maka hendaklah dia shalat dua rakaat yang bukan shalat fardhu,
kemudian dia ucapkan: “Ya Allah, aku memohon agar Engkau memilihkan mana yang
baik menurut Engkau, dan aku memohon Engkau memberi kekuatan kepadaku dengan
kekuatan-Mu dan aku memohon Engkau dengan kemurahan-Mu yang agung, karena
sesungguhnya Engkau yang berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa, dan Engkau
yang Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan Engkaulah Dzat Yang Maha
Mengetahui segala sesuatu yang masih tersembunyi. Ya Allah, jika Engkau telah
mengetahui bahwa perkara ini baik untukku, untuk agamaku, untuk penghidupanku,
dan baik pula akibatnya bagiku -atau beliau Saw. mengucapkan, “dan urusanku
dengan cepat atau lambat”- maka berikanlah urusan ini kepadaku dan mudahkanlah
urusan ini bagiku, kemudian berilah keberkahan kepadaku dalam urusan ini, dan
jika engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku, untuk agamaku,
penghidupanku dan buruk pula akibatnya bagiku -atau beliau Saw. mengucapkan,
“dan urusanku dengan cepat atau lambat,”- maka jauhkanlah hal ini dariku dan
jauhkan aku dari hal ini, dan berilah kebaikan kepadaku di mana saja berada,
kemudian jadikanlah aku orang yang rela atas anugerah-Mu.” Dia mengatakan: dan
keperluannya kemudian disebutkan.” (HR. Bukhari, Ahmad dan Tirmidzi)
Ibnu Majah
meriwayatkan hadits ini, di dalamnya disebutkan:
“…Ya Allah, jika
Engkau telah mengetahui bahwa perkara ini -lalu disebutkan perkara yang menjadi
urusannya- baik untukku, untuk agamaku, untuk penghidupanku, dan baik pula
akibatnya bagiku -atau baik untukku dalam segala urusanku yang cepat atau yang
lambat- maka berikanlah urusan ini kepadaku dan mudahkanlah urusan ini bagiku,
kemudian berilah keberkahan kepadaku dalam urusan ini, dan jika Engkau
mengetahui -urusan yang diucapkan kali pertama disebutkan lagi- buruk bagiku,
maka jauhkanlah hal ini dariku dan jauhkan aku dari hal ini, dan berilah
kebaikan kepadaku di mana saja berada, kemudian jadikanlah aku orang yang rela
atas anugerah-Mu.”
Abu Ya’la meriwayatkan
hadits ini dari jalur Abu Said ra. dan di akhirnya ada tambahan,
“Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.”
Siapa saja yang
menginginkan sesuatu, maka dia bisa menambahkan kalimat tersebut ke dalamnya.
Ucapannya: astaqdiruka: yakni meminta dari-Mu untuk
menumbuhkan kekuatan kepadaku atas perkara itu.
Abu Ayub ala Anshari
ra. telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Sembunyikanlah
pinangan, kemudian berwudhulah, dan baguskanlah wudhumu, lalu shalatlah dengan
cara yang telah Allah tentukan kepadamu. Setelah itu pujilah Tuhanmu dan
keagungan-Nya, lalu ucapkanlah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedang
aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui. Engkaulah
Dzat yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi, jika Engkau melihat
si fulanah -lalu sebutkan namanya- itu baik untukku, untuk agamaku, untuk
duniaku dan akhiratku, maka takdirkanlah dia untukku, dan jika orang selainnya
lebih baik untukku daripada dirinya, untuk agamaku, untuk dunia dan akhiratku,
maka tentukanlah dia untukku atau takdirkanlah dia untukku.” (HR. al-Hakim dan
Ahmad)
Ucapannya: lalu
shalatlah dengan cara yang telah Allah tentukan kepadamu, kalimat ini memberi
pengertian bolehnya melakukan shalat lebih dari dua rakaat. Jika diperhatikan
dua hadits tersebut maka redaksi do’anya berbeda. Perbedaan ini menunjukkan
bahwa tujuan dari doa di sini adalah maknanya, bukan lafadznya, walaupun lafadz
yang ada dalam hadits Bukhari itu lebih utama dan harus didahulukan untuk
diambil.
Di dalam berbagai nash
tidak ditemukan penentuan surat atau ayat al-Qur’an mana yang harus dibaca
dalam shalat istikharah, sehingga seorang Muslim membaca ayat atau
surat al-Qur’an yang dia inginkan.
Syariat yang lurus
telah mendorong untuk beristikharah, shalat ini disyariatkan dalam
segala urusan baik besar ataupun kecil. Dalam riwayat Bukhari
disebutkan: “adalah Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada kami istikharah dalam semua urusan”, sehingga
seorang Muslim tidak boleh menganggap rendah kedudukan istikharah (meminta yang terbaik kepada Allah Swt.) dalam segala
urusan apapun yang tersembunyi arah kebenaran baginya di dalamnya, besar
ataupun kecil, tampak mulia atau hina, dan baginya dalam semua itu akan menjadi
ladang pahala.
Adapun tentang perkara-perkara
yang sudah tampak jelas haq dan benar, maka tidak disyariatkan istikharah di dalamnya. Karena itu,
berangkatnya seseorang untuk berjihad, atau memberikan nafkah untuk keluarga,
mencegah seseorang dari minum khamar, dalam semua perkara ini dan semisalnya
tidak ada istilah istikharah, karena
jelasnya kebenaran dan haq di dalamnya.
Dengan istikharah akan diperoleh kebahagiaan, dan
dengan meninggalkannya akan beroleh penderitaan. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra.
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Termasuk kebahagiaan
anak Adam adalah istikharah yang dia
lakukan kepada Allah Swt., dan termasuk kebahagiaan anak Adam adalah
keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt., dan termasuk
penderitaan seorang anak Adam adalah ketika dia meninggalkan istkharah kepada Allah, dan termasuk
penderitaan anak Adam adalah kemarahannya atas apa yang ditetapkan oleh Allah azza wa jalla.” (HR. Ahmad, al-Hakim,
al-Bazzar dan Tirmidzi)
Terakhir saya katakan,
banyak orang yang setelah istikharah
mereka pergi tidur dan menunggu diberi mimpi oleh Allah Swt., berharap ada
jawaban atas apa yang mereka istikharahkan,
karena itu mereka mengakhirkan waktu shalat istikharahnya
hingga setelah shalat isya, dan sebelum tidur mereka melakukan shalat istikharah, barulah pergi tidur dan menunggu
mimpi dari Allah Swt. sebagai jawaban atas apa yang mereka istikharahkan. Tata cara seperti ini -yang
disebut dengan istilah at-tabyiit- tidak ada dasarnya dalam syariat. Jadi,
lebih utama adalah meninggalkan at-tabyiit dalam beristikharah dan mencukupkan diri dengan apa yang ditunjukkan
dalam nash-nash saja.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar