Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 08 Agustus 2017

Dalil Shalat Istikharah Doa Istikharah



K. Shalat Istikharah

Istikharah adalah mashdar dari kata istakhara yang berarti meminta yang terbaik, di sini maksudnya adalah meminta yang terbaik dalam suatu urusan dan kita meminta keterangan urusan mana yang terbaik menurut Allah Swt. Seperti yang kami nyatakan dalam pembahasan shalat istisqa: sebagai shalat yang dikhususkan, maka istisqa ini bisa diwujudkan dalam bentuk do'a saja tanpa ada shalat yang khusus darinya, maka kami nyatakan di sini bahwa seorang Muslim bisa beristikharah kepada Tuhannya hanya dengan berdoa saja, tidak ada shalat yang khusus yang harus dilakukannya.
Misalnya dia berdoa: Rabbi khir lii fi mas’alati kadza wa kadza (Wahai Tuhanku, pilihkanlah aku dalam masalah ini dan ini), atau dengan berdoa: Allahumma inni astakhiruka fil maudhu’il fulaaniy (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon agar Engkau memilihkan aku dalam urusan begini), dan cukup dengan itu. Akan tetapi jika dia melaksanakan shalat yang khusus untuk istikharah, maka itu lebih baik dan lebih diharapkan ijabahnya.

Shalat istkharah disunahkan dan dianjurkan. Jumlahnya dua rakaat, dan boleh dilakukan lebih dari itu, sehingga seorang yang beristikharah boleh melaksanakan shalat dua rakaat, atau kemudian menambah dua rakaat lagi sebelum dia berdoa dengan doa istikharah. Doa istikharah sebaiknya tidak dipanjatkan setelah (shalat) fardhu atau shalat nafilah yang tidak dimaksudkan untuk istikharah, tetapi sebaiknya dilakukan setelah melaksanakan shalat yang khusus untuknya, sehingga menjadi shalat istikharah sebenarnya.

Sifat istikharah itu sebagai berikut: shalat karena Allah dua rakaat dengan niat istikharah, kemudian bersalam, diikuti dengan berdoa sebagai berikut:

“Ya Allah, aku memohon agar Engkau memilihkan mana yang baik menurut-Mu, dan aku memohon Engkau memberikan kekuatan kepadaku dengan kekuatan-Mu, dan aku memohon Engkau dengan kemurahan-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau yang berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau yang Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan Engkaulah Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang masih tersembunyi. Ya Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa perkara ini -lalu Anda sebutkan urusannya- baik untukku, dalam agamaku, dalam penghidupanku, dan baik pula akibatnya bagiku -dan Anda boleh mengucapkan pengganti dari kalimat “dan baik pula akibatnya bagiku” dengan kalimat: “dan urusanku dengan cepat atau lambat”- maka berikanlah urusan ini kepadaku dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian berilah keberkahan kepadaku dalam urusan ini, dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini -dan Anda bisa menyebutkan urusannya di sini- buruk bagiku, dalam agamaku, penghidupanku dan buruk pula akibatnya bagiku -dan Anda bisa mengucapkan pengganti dari kalimat: “dan buruk pula akibatnya bagiku” dengan kalimat: “dan urusanku dengan cepat atau lambat” maka jauhkanlah hal ini dariku, dan jauhkan aku dari hal ini, dan berilah kebaikan kepadaku di mana saja berada, kemudian jadikanlah aku orang yang rela atas anugerah-Mu.”

Seandainya dia ingin beristikharah kepada Allah Swt. dalam memilih seorang pemudi namanya Fathimah sebagai istrinya, maka dia bisa mengucapkan begini: Ya Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa calon istriku ini, Fathimah, baik untukku, dalam agamaku, dalam penghidupanku, dan baik pula akibatnya bagiku, atau Anda bisa mengucapkan: Ya Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa calon istriku ini, Fathimah, baik untukku, dalam agamaku, dalam penghidupanku, dan urusanku yang cepat atau lambat, maka takdirkanlah dia kepadaku dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian berilah keberkahan kepadaku dalam hal ini, dan jika engkau mengetahui bahwa calon istriku, Fathimah ini, buruk bagiku, dalam agamaku, penghidupanku dan buruk pula akibatnya bagiku -atau mengucapkan: dan jika Engkau mengetahui bahwa calon istriku, Fathimah ini, buruk bagiku, dalam agamaku, penghidupanku dan urusanku dengan cepat atau lambat, maka jauhkanlah hal ini dariku dan jauhkan aku dari hal ini, dan berilah kebaikan kepadaku di mana saja berada, kemudian jadikanlah aku orang yang rela atas anugerah-Mu.

Setelah shalat dua rakaat dan berdoa dengan do’a ini, maka dia tinggalkan kecenderungan yang ada yang telah dia istikharahkan kepada Allah Swt., lalu menunggu apa yang dimasukkan oleh Allah Swt. ke dalam hatinya: apakah cenderung kepadanya atau cenderung pergi darinya. Jika dia belum merasa ada kecenderungan ini sejak awal shalat, maka dia bisa mengulang shalat tersebut sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya hingga kecenderungan itu ada, sehingga kecenderungannya berubah menjadi positif atau negatif. Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada kami istikharah dalam semua urusan sebagaimana beliau mengajarkan satu surat al-Qur'an kepada kami. Beliau Saw. bersabda: “Barangsiapa di antara kalian berniat melakukan suatu urusan maka hendaklah dia shalat dua rakaat yang bukan shalat fardhu, kemudian dia ucapkan: “Ya Allah, aku memohon agar Engkau memilihkan mana yang baik menurut Engkau, dan aku memohon Engkau memberi kekuatan kepadaku dengan kekuatan-Mu dan aku memohon Engkau dengan kemurahan-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau yang berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa, dan Engkau yang Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan Engkaulah Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang masih tersembunyi. Ya Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa perkara ini baik untukku, untuk agamaku, untuk penghidupanku, dan baik pula akibatnya bagiku -atau beliau Saw. mengucapkan, “dan urusanku dengan cepat atau lambat”- maka berikanlah urusan ini kepadaku dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian berilah keberkahan kepadaku dalam urusan ini, dan jika engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku, untuk agamaku, penghidupanku dan buruk pula akibatnya bagiku -atau beliau Saw. mengucapkan, “dan urusanku dengan cepat atau lambat,”- maka jauhkanlah hal ini dariku dan jauhkan aku dari hal ini, dan berilah kebaikan kepadaku di mana saja berada, kemudian jadikanlah aku orang yang rela atas anugerah-Mu.” Dia mengatakan: dan keperluannya kemudian disebutkan.” (HR. Bukhari, Ahmad dan Tirmidzi)

Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini, di dalamnya disebutkan:

“…Ya Allah, jika Engkau telah mengetahui bahwa perkara ini -lalu disebutkan perkara yang menjadi urusannya- baik untukku, untuk agamaku, untuk penghidupanku, dan baik pula akibatnya bagiku -atau baik untukku dalam segala urusanku yang cepat atau yang lambat- maka berikanlah urusan ini kepadaku dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian berilah keberkahan kepadaku dalam urusan ini, dan jika Engkau mengetahui -urusan yang diucapkan kali pertama disebutkan lagi- buruk bagiku, maka jauhkanlah hal ini dariku dan jauhkan aku dari hal ini, dan berilah kebaikan kepadaku di mana saja berada, kemudian jadikanlah aku orang yang rela atas anugerah-Mu.”

Abu Ya’la meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Said ra. dan di akhirnya ada tambahan,

“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.”

Siapa saja yang menginginkan sesuatu, maka dia bisa menambahkan kalimat tersebut ke dalamnya.
Ucapannya: astaqdiruka: yakni meminta dari-Mu untuk menumbuhkan kekuatan kepadaku atas perkara itu.

Abu Ayub ala Anshari ra. telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Sembunyikanlah pinangan, kemudian berwudhulah, dan baguskanlah wudhumu, lalu shalatlah dengan cara yang telah Allah tentukan kepadamu. Setelah itu pujilah Tuhanmu dan keagungan-Nya, lalu ucapkanlah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui. Engkaulah Dzat yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi, jika Engkau melihat si fulanah -lalu sebutkan namanya- itu baik untukku, untuk agamaku, untuk duniaku dan akhiratku, maka takdirkanlah dia untukku, dan jika orang selainnya lebih baik untukku daripada dirinya, untuk agamaku, untuk dunia dan akhiratku, maka tentukanlah dia untukku atau takdirkanlah dia untukku.” (HR. al-Hakim dan Ahmad)

Ucapannya: lalu shalatlah dengan cara yang telah Allah tentukan kepadamu, kalimat ini memberi pengertian bolehnya melakukan shalat lebih dari dua rakaat. Jika diperhatikan dua hadits tersebut maka redaksi do’anya berbeda. Perbedaan ini menunjukkan bahwa tujuan dari doa di sini adalah maknanya, bukan lafadznya, walaupun lafadz yang ada dalam hadits Bukhari itu lebih utama dan harus didahulukan untuk diambil.

Di dalam berbagai nash tidak ditemukan penentuan surat atau ayat al-Qur’an mana yang harus dibaca dalam shalat istikharah, sehingga seorang Muslim membaca ayat atau surat al-Qur’an yang dia inginkan.

Syariat yang lurus telah mendorong untuk beristikharah, shalat ini disyariatkan dalam segala urusan baik besar ataupun kecil. Dalam riwayat Bukhari disebutkan: “adalah Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada kami istikharah dalam semua urusan”, sehingga seorang Muslim tidak boleh menganggap rendah kedudukan istikharah (meminta yang terbaik kepada Allah Swt.) dalam segala urusan apapun yang tersembunyi arah kebenaran baginya di dalamnya, besar ataupun kecil, tampak mulia atau hina, dan baginya dalam semua itu akan menjadi ladang pahala.

Adapun tentang perkara-perkara yang sudah tampak jelas haq dan benar, maka tidak disyariatkan istikharah di dalamnya. Karena itu, berangkatnya seseorang untuk berjihad, atau memberikan nafkah untuk keluarga, mencegah seseorang dari minum khamar, dalam semua perkara ini dan semisalnya tidak ada istilah istikharah, karena jelasnya kebenaran dan haq di dalamnya.

Dengan istikharah akan diperoleh kebahagiaan, dan dengan meninggalkannya akan beroleh penderitaan. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Termasuk kebahagiaan anak Adam adalah istikharah yang dia lakukan kepada Allah Swt., dan termasuk kebahagiaan anak Adam adalah keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt., dan termasuk penderitaan seorang anak Adam adalah ketika dia meninggalkan istkharah kepada Allah, dan termasuk penderitaan anak Adam adalah kemarahannya atas apa yang ditetapkan oleh Allah azza wa jalla.” (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Bazzar dan Tirmidzi)

Terakhir saya katakan, banyak orang yang setelah istikharah mereka pergi tidur dan menunggu diberi mimpi oleh Allah Swt., berharap ada jawaban atas apa yang mereka istikharahkan, karena itu mereka mengakhirkan waktu shalat istikharahnya hingga setelah shalat isya, dan sebelum tidur mereka melakukan shalat istikharah, barulah pergi tidur dan menunggu mimpi dari Allah Swt. sebagai jawaban atas apa yang mereka istikharahkan. Tata cara seperti ini -yang disebut dengan istilah at-tabyiit- tidak ada dasarnya dalam syariat. Jadi, lebih utama adalah meninggalkan at-tabyiit dalam beristikharah dan mencukupkan diri dengan apa yang ditunjukkan dalam nash-nash saja.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam