Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 04 Agustus 2017

Dalil Shalat Sunah Tarawih



E. Shalat Tarawih

Shalat tarawih, diberi istilah tarawih karena para mushalli beristirahat (yastarih) di dalamnya setelah setiap empat rakaat, agar mereka bisa mendapatkan angin segar (tarwihah), dan bentuk jamaknya adalah tarawih. Shalat ini menjadi bagian dari qiyamul lail, tetapi khusus untuk bulan Ramadhan saja. Jadi, tarawih merupakan qiyamullail pada bulan Ramadhan.

Hukum shalat ini adalah sunah dan dianjurkan, sehingga barangsiapa yang melaksanakannya karena keimanan dan mencari pahala dari sisi Allah maka dosanya yang telah dilakukannya (di masa lalu) akan diampuni Allah Swt. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. sangat menganjurkan qiyam Ramadhan tanpa memerintahkan mereka melakukannya sebagai satu 'azimah (suatu ketetapan), di mana beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan keimanan dan mencari pahala dari sisi Allah, maka dosa yang telah dilakukannya (di masa lalu) akan diampuni.” (HR. Muslim, Ahmad, Malik, Abu Dawud dan an-Nasai)

Ucapan: “tanpa memerintahkan mereka melakukannya sebagai satu 'azimah (suatu ketetapan)” menjadi indikasi paling jelas bahwa tarawih itu hukumnya sunah, bukan wajib.

Ummul Mukminin Aisyah ra. telah meriwayatkan:

“Bahwa pada suatu malam Rasulullah Saw. shalat di masjid, lalu orang-orang mengikuti shalat beliau. Besoknya beliau shalat dan orang-orang semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul pada hari ketiga dan keempat, tetapi Rasulullah Saw. tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau berkata: “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian kecuali aku merasa takut hal itu akan diwajibkan atas kalian,” dan ini terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Malik)

Maka ucapan beliau Saw.: “kecuali aku merasa takut hal itu akan diwajibkan atas kalian”, secara pasti menunjukkan tidak wajibnya shalat tersebut.

Shalat ini bisa dilaksanakan secara berjamaah, dan tentu bisa pula secara munfarid, dan ini merupakan hukum asal shalat tathawwu' secara umum. Yang paling utama adalah dilaksanakan shalat tarawih berjamaah di rumah. Kedua, shalat tarawih berjamaah di masjid. Ketiga, shalat tarawih secara munfarid di rumah. Yang terakhir, jika shalat tersebut dilaksanakan secara munfarid di masjid. Dari Zaid bin Tsabit ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. mengambil satu ruang kecil dengan dialasi oleh kain tebal atau tikar, lalu Rasulullah Saw. keluar dan shalat di dalamnya. Dia (perawi) berkata: maka orang-orang dari kalangan laki-laki mengamati hal tersebut, kemudian mereka shalat mengikuti shalat beliau saw. Dia berkata: kemudian mereka datang pada waktu malam dan berkumpul, dan Rasulullah Saw. melambatkan diri dari mereka. Dia berkata: dan beliau tidak keluar menemui mereka, maka mereka mengeraskan suaranya dan melempari pintu Nabi dengan kerikil kecil. Lalu Rasulullah Saw. keluar menemui mereka dalam keadaan marah. Rasulullah Saw. berkata kepada mereka: “Mengapa kalian tetap saja melakukan apa yang beberapa hari ini kalian lakukan hingga aku menyangka shalat ini akan diwajibkan atas kalian, maka hendaklah kalian shalat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya shalat seseorang yang paling baik itu adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu.” (HR. Muslim dan Bukhari)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Sesungguhnya Nabi Saw. mengambil satu tempat di masjid dengan dialasi tikar, lalu Nabi Saw. shalat di atasnya pada beberapa malam, hingga orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Lalu mereka tidak menemukan suara beliau Saw. pada suatu malam, dan mereka menyangka bahwa beliau Saw. ketiduran. Maka sebagian dari mereka berdehem agar beliau Saw. keluar menemui mereka. Maka beliau berkata: “Mengapa kalian masih saja melakukan perbuatan yang beberapa hari ini aku lihat, sehingga aku takut hal itu akan diwajibkan atas kalian, dan seandainya itu diwajibkan atas kalian maka kalian tidak bisa melaksanakannya, karenanya wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena shalat seseorang yang paling utama itu adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu.”

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat tarawih jika dilaksanakan di rumah, maka itu lebih utama dibandingkan jika dilaksanakan di masjid.

Dari Abu Dzar ra. ia berkata:

“Kami berpuasa bersama Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan, dan beliau Saw. tidak mengimami kami sama sekali dari bulan itu hingga tersisa tujuh hari. Lalu beliau mengimami kami hingga berlalu sepertiga malam. Ketika malam keenam, beliau tidak mengimami kami. Ketika malam kelima beliau mengimami kami hingga berlalu sampai pertengahan malam. Maka aku bertanya: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau mensunahkan shalat malam ini kepada kami.” Dia (perawi) berkata: maka Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya seorang laki-laki itu jika shalat bersama imam hingga selesai maka dihitung baginya shalat malam.” Dia berkata: ketika malam keempat, beliau tidak mengimami kami, dan ketika malam ketiga beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya dan orang-orang, lalu beliau mengimami kami hingga kami khawatir al-falah akan luput dari kami. Dia berkata: aku bertanya: Apakah al-falah itu?” Dia berkata: ”Makan sahur.” Kemudian beliau Saw. tidak mengimami kami dari sisa bulan itu.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)

Ucapan: hingga tersisa tujuh hari, yakni malam kedua puluh tiga. Ketika malam keenam beliau tidak mengimami kami, yakni pada malam kedua puluh empat beliau Saw. tidak shalat mengimami mereka. Ketika malam kelima beliau mengimami kami, yakni pada malam kedua puluh lima beliau Saw. mengimami mereka. Ketika malam ketiga beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya dan orang-orang, lalu beliau mengimami kami, yakni pada malam kedua puluh tujuh bulan Ramadhan beliau Saw. mengimami mereka semua, dan nampak bahwa ini merupakan malam yang paling utama. Hadits ini dijelaskan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Nu’aim bin Ziyad bahwa dia mendengar Nu'man bin Basyir ra. berkata di atas mimbar di kota Himsh:

“Kami berdiri shalat bersama Rasulullah Saw. pada malam dua puluh tiga di bulan Ramadhan hingga awal sepertiga malam. Kemudian kami berdiri shalat bersamanya malam dua puluh lima hingga pertengahan malam. Lalu beliau Saw. mengimami kami malam dua puluh tujuh, hingga kami menyangka bahwa kami tidak akan mendapati al-falah. Dia berkata: dan kami menyebut sahur itu al-falah…” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat tarawih secara berjamaah di masjid, di mana pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, yakni malam-malam dicarinya lailatul qadar, Rasulullah Saw. shalat bersama kaum Muslim secara berjamaah, dan beliau melaksanakannya di masjid.

Di sini ada dua nash yang diduga bertentangan: pertama, yang menunjukkan keutamaan shalat tarawih dilaksanakan di rumah, kedua, yang menunjukkan keutamaan dilaksanakannya shalat tarawih ini secara berjamaah di masjid. Maka dengan meminta pertolongan kepada Allah Swt. kami katakan: sabda beliau Saw. dalam hadits yang pertama:

“Karenanya wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama itu adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu.”

Bisa dipahami bahwa barangsiapa yang ingin melaksanakan shalat tathawwu' –di mana hukum asal shalat tathawwu' itu adalah dilaksanakan sendirian- maka dia harus melakukan shalatnya di rumah, karena shalat (tathawwu’) di rumah itu lebih utama daripada shalat di masjid. Inilah prinsipnya dan merupakan hukum asal dalam perkara ini.
Barangsiapa yang ingin shalat tarawih, maka melaksanakan shalat ini di rumah, itu lebih baik baginya daripada di masjid, dan ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan oleh para fuqaha. Selama ini, kaidah tersebut menjadi hukum asalnya, maka kami mengadopsi pernyataan bahwa shalat tarawih secara berjamaah di rumah, itu yang paling utama tanpa diragukan lagi, karena melaksanakan shalat secara berjamaah menurut hukum asalnya itu lebih baik daripada shalat sendirian. Ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan lagi, sehingga orang yang shalat tarawih secara berjamaah di rumah telah menghimpun dua hukum asal dan dua keutamaan.
Adapun orang yang shalat tarawih secara sendirian di rumah maka dia telah mengamalkan satu hukum asal saja, dan barangsiapa yang shalat tarawih secara berjamaah di masjid maka dia pun telah mengamalkan satu hukum asal saja. Karena itu, kita harus mentarjih salah satu dari dua hukum asal ini, dan kami mendapati hadits Abu Dzar yang menyatakan:

“Ketika malam ketiga beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya dan orang-orang, lalu beliau mengimami kami”

Maka ketika beliau Saw. mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya dan orang-orang dalam shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam dua puuh tujuh -dan ini biasanya menjadi malam lailatul qadar- dan beliau tidak membiarkan mereka shalat tarawih di rumah Nabi secara sendirian, hal ini menunjukkan keutamaan shalat secara berjamaah di masjid dibandingkan shalat sendirian di rumah. Sebab, jika sebaliknya, niscaya Rasulullah Saw. tidak akan mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya untuk shalat tarawih.
Ini menunjukkan bahwa mengambil hukum asal yang kedua -yakni shalat berjamaah di masjid- itu lebih utama daripada mengambil hukum asal yang pertama -yakni shalat sendirian di rumah- sehingga shalat tarawih berjamaah di masjid berada dalam posisi kedua setelah shalat tarawih secara berjamaah di rumah.

Yang tersisa sekarang adalah shalat sendirian di rumah dan shalat sendirian di masjid. Tidak ragu lagi untuk mengutamakan yang pertama daripada yang kedua, karena Rasulullah Saw. telah menetapkan perkara ini. Beliau tidak shalat mengimami kaum Muslim di masjid, sehingga tidak ada peluang bagi mereka untuk shalat secara sendirian, sembari berkata kepada mereka:

“Sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu.”

Yaitu memberikan isyarat kepada mereka untuk pulang ke rumah masing-masing dan melaksanakan shalat tarawih di sana, agar mereka tidak shalat di masjid secara sendirian.

Kadang muncul pertanyaan: mengapa kita mesti berasumsi bahwa mereka akan melaksanakan shalat tarawih secara sendirian di masjid, dan tidak pernah melaksanakannya secara berjamaah di sana? Sesungguhnya Rasulullah Saw. ketika tidak shalat tarawih bersama mereka, tidak memerintahkan mereka melaksanakannya secara berjamaah dengan dipimpin seorang imam yang ditunjuknya dari kalangan mereka, sementara mereka jika shalat tarawih berjamaah di masjid selalu dengan diimami Nabi Saw. Ini yang sebenarnya terjadi, sehingga mereka kembali ke rumah-rumah mereka, dan melaksanakan shalat tersebut di rumah-rumah mereka pada malam-malam di mana Rasulullah Saw. tidak keluar untuk shalat mengimami mereka. Tidak ada satu nash pun yang meriwayatkan bahwa ketika itu mereka melaksanakan shalat tersebut secara berjamaah di masjid.

Kadang ditanyakan pula, selama shalat secara berjamaah di masjid itu lebih utama daripada shalat di rumah secara sendirian, lalu mengapa Rasulullah Saw. memerintahkan mereka pulang untuk melaksanakan shalat tersebut di rumah secara sendirian? Jawaban atas hal itu adalah sabda beliau Saw.:

“Aku takut hal itu akan diwajibkan atas kalian, dan seandainya diwajibkan atas kalian, maka kalian tidak bisa melaksanakannya.”

Kekhawatiran Rasulullah Saw. dari wajibnya shalat tarawih atas kaum Muslim jika beliau mendawamkan berjamaahnya shalat tersebut di masjid, inilah yang mencegah beliau tidak melaksanakannya secara berjamaah di masjid dalam kondisi terus-menerus, seandainya tidak seperti itu, mungkin perkaranya akan berbeda.

Mengenai jumlah rakaat shalat tarawih, syariat tidak menetapkan batasan jumlah rakaat tertentu yang harus ditetapi, tetapi yang paling utama adalah melaksanakannya delapan rakaat, yang kemudian diikuti tiga rakaat shalat witir, karena bilangan rakaat inilah yang diriwayatkan berasal dari perbuatan Rasulullah Saw. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia bertanya kepada Aisyah ra.:

“Bagaimanakah shalat Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan?” Ia berkata: “Rasulullah Saw. tidak menambah dalam bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan engkau jangan menanyakan bagaimana bagus dan panjangnya shalat tersebut. Kemudian beliau Saw. shalat empat rakaat, dan jangan engkau tanyakan bagaimana bagus dan panjangnya shalat tersebut. Kemudian beliau Saw. shalat tiga rakaat...” (HR. Bukhari, Muslim, Malik, dan Abu Dawud)

Ucapan Aisyah: “kemudian beliau Saw. shalat tiga rakaat” yakni shalat witir.

Dan dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. shalat pada malam hari tiga belas rakaat, di antaranya adalah witir dan dua rakaat fajar.” (HR. Bukhari)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. shalat tiga belas rakaat, beliau shalat delapan rakaat kemudian berwitir...” (HR. Muslim)

Sehingga shalat beliau Saw. pada waktu malam adalah delapan rakaat selain witir.

Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata: Ubay bin Kaab datang kepada Nabi Saw. seraya bertanya:

“Wahai Rasulullah, ada sesuatu dariku pada malam itu -yakni di bulan Ramadhan- beliau bertanya: “Apakah itu wahai Ubay?” Dia berkata: “Kaum wanita di rumahku berkata: “Sesungguhnya kami tidak membaca al-Qur'an, maka kami akan shalat mengikuti shalatmu.” Dia berkata: “maka aku shalat mengimami mereka delapan rakaat, kemudian witir.” Dia berkata: “Beliau Saw. nampak rela, dan tidak mengatakan sesuatupun.” (HR. Ibnu Hibban)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la dan at-Thabrani dalam al-Ausath, dan al-Haitsami menghasankan sanadnya.

Tetapi boleh juga menambah bilangan rakaat shalat tarawih ini hingga dua puluh rakaat, yang kemudian diikuti oleh witir satu atau tiga rakaat. Hal itu diriwayatkan dari sahabat Rasulullah Saw. Seandainya jumlah delapan rakaat itu satu kemestian, niscaya para sahabat Rasulullah Saw. tidak akan melampauinya, dan ketika ada fakta bahwa mereka melampaui jumlah ini maka hal ini menunjukkan tidak wajibnya menetapi bilangan delapan rakaat. Terlebih lagi bahwa mereka tidak melakukan hal itu secara sendirian atau di rumah-rumah mereka. Hal itu dilakukan mereka secara berjamaah di masjid Rasulullah Saw., dan tindakan itu tidak diingkari oleh seorangpun sehingga hal ini menjadi ijma sahabat. Dan ijma’ sahabat merupakan salah satu dalil syariat. Dari as-Saib bin Yazid ia berkata:

“Mereka berdiri shalat di masa Umar bin Khaththab ra. di bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat. Ia berkata: mereka membaca al-miun (surat-surat dalam al-Qur'an dengan jumlah ayat sekitar seratus ayat), sehingga mereka memegang tongkat-tongkat mereka di zaman Utsman ra. karena lamanya berdiri.” (HR. al-Baihaqi)

Membaca al-miun artinya membaca surat-surat yang panjang yang jumlah ayatnya dalam kisaran seratus ayat. Hadits ini menyebutkan shalat tarawih saja, dan jumlahnya dua puluh rakaat.

Dari Abdurrahman bin Abdul Qariy, ia berkata:

“Aku keluar bersama Umar bin Khaththab di bulan Ramadhan ke masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok dan tercerai berai, di mana seseorang shalat untuk dirinya sendiri atau seseorang shalat dan mengimami segelintir orang. Maka Umar berkata: Aku melihat seandainya aku bisa menghimpun mereka pada satu qari saja niscaya hal itu lebih ideal. Kemudian ia ber’azam, dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Kaab. Setelah itu aku keluar bersamanya pada malam yang lain, dan orang-orang shalat diimami oleh qari mereka. Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini, dan orang-orang yang tidur darinya lebih utama dari orang-orang yang berdiri shalat, yakni di akhir malam, sedangkan orang-orang berdiri di awal malam.” (HR. Bukhari dan Malik)

Ucapan Umar: “sebaik-baiknya bid'ah adalah ini” ditafsirkan sesuai tuntutan bahasa (al-iqtidha al-lughawi) yang artinya adalah perbuatan kreatif dan baik, sehingga kalimat ini tidak bisa ditafsirkan menurut makna (al-ma'na) yang ditunjukkan oleh ucapan Nabi Saw. (yaitu): “setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah sesat” (HR. Abu Dawud dari jalur al-‘Irbadh). Sebab, perbuatan Umar itu bukanlah perkara baru yang diada-adakan (al-muhdatsah) sehingga tidak bisa dipandang sebagai bid'ah yang diharamkan (al-bid'ah al-muharramah), karena kami telah menceritakan juga sebelumnya bahwa Rasulullah Saw. telah melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah beberapa malam di bulan Ramadhan di masjid:

“Ketika malam ketiga, beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya dan orang-orang, lalu beliau mengimami kami.” (HR. Abu Dawud dan selainnya dari jalur Abu Dzar ra.)

Sehingga Umar bin Khaththab tidak dianggap telah membuat suatu perkara baru dengan mengumpulkan orang-orang agar diimami Ubay bin Kaab. Jadi, perbuatannya ini tidak dikategorikan sebagai bid'ah yang tergolong dalam ucapan beliau Saw.:

“Setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dari jalur al-‘lrbadh)

Rasulullah Saw. melaksanakan tarawih cukup dengan delapan rakaat. Lalu para sahabat menambahnya di masa Umar bin Khaththab menjadi dua puluh rakaat, yang diimami oleh Ubay bin Ka'ab sebagaimana telah kami sebutkan di atas. Ubay bin Ka'ab di masa Rasulullah Saw. pernah shalat delapan rakaat sebagai imam bagi kaum wanita yang shalat di rumahnya, sehingga semua ini menunjukkan kebolehan. Namun, yang mengherankan saya adalah pendapat yang menyatakan bolehnya menambah hingga empat puluh rakaat, sedangkan di hadapan kita ada perbuatan Rasulullah dan perbuatan para sahabatnya, dan tidak ada kebaikan atau keutamaan yang bisa kita cari selain dari dua perbuatan ini.

Mengenai bacaan dalam shalat tarawih, tidak ada kekhususan yang disebutkan dalam satu nash pun untuk membaca surat tertentu. Karena itu, seorang Muslim hendaknya membaca surat atau ayat apa saja dari al-Qur’ an yang mulia, dan bisa memperpanjang bacaan semampunya, terutama jika dia shalat sendirian.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang di zaman kita dengan membaca satu ayat yang amat pendek dalam satu rakaat, sehingga -mungkin saja- ayat yang dibacanya itu tidak memiliki makna yang berdiri sendiri, seperti dengan membaca “was-sama ‘i wat-thaariq” atau membaca “wa taqallubaka fis saajidiin” atau membaca “mud-haammataan”, maka hal ini hanya menunjukkan kebodohan dan kepandiran mereka terhadap pahala Allah Swt. Ini akibat dari buruknya pelaksanaan shalat semacam itu yang konon dikatakan sebagai qiyamullail di bulan Ramadhan. Padahal makna yang terkandung di dalam istilah qiyamullail adalah al-ithalah (melamakan bacaan) dan al-istighraq (menghabiskan).

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam