I. Shalat Istisqa
Istisqa menurut bahasa
adalah seseorang yang meminta air untuk dirinya sendiri atau orang lain.
Sedangkan menurut istilah syara' adalah seseorang yang memohon air kepada Allah
Swt. ketika hujan tertahan atau tidak turun-turun sehingga menyulitkan ibadah.
Istilah istisqa disebutkan dalam al-Qur'an. Allah Swt. berfirman:
“Dan (Ingatlah) ketika
Musa memohon air untuk kaumnya, lalu kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan
tongkatmu”, lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air.” (TQS. al-Baqarah
[2]: 60)
“Dan Kami wahyukan
kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: “Pukullah batu itu dengan
tongkatmu!” Maka memancarlah dari padanya dua belas mata air.” (TQS. al-A'raf
[7]: 160)
Turunnya air itu
sebagai rahmat, sehingga tertahannya air -baik sedikit atau banyak- merupakan
siksa yang ditimpakan Allah pada para hamba yang telah melenceng keluar dari
aturan-Nya, atau bermaksiat kepada Allah Swt. dan tidak bertakwa. Allah Swt.
berfirman:
“Dan bahwasanya
jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam),
benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang
banyak).” (TQS. al-Jin [72]: 16)
“Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. al-A'raf [7]:
96)
Telah disebutkan dalam
hadits bahwa ketika suatu kaum tidak mau berzakat, maka hujan akan ditahan dari
langit dan tidak turun kepada mereka. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
menghadapkan wajah kepada kami, lalu beliau berkata: “Wahai seluruh Muhajirin,
ada lima hal di mana kalian akan diuji dengannya, dan aku berlindung kepada
Allah agar kalian tidak menemuinya: ...dan tidaklah mereka menahan zakat harta
mereka, kecuali mereka tidak akan dituruni hujan dari langit. Dan seandainya
tidak ada binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan...” (HR. Ibnu
Majah)
Para ulama dan para
fuqaha telah bersepakat bahwa shalat istisqa itu sunat yang sangat dianjurkan. Saya tidak
mengetahui seorangpun ahli fikih yang menyatakan wajibnya shalat istisqa ini.
Asal disyariatkannya
shalat istisqa adalah bahwa Rasulullah Saw. telah melaksanakannya, dan para
sahabat ra. shalat bersama beliau saw. Dari Abdullah bin Zaid ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
keluar ke mushalla (lapangan tempat
shalat Idul Fitri dan Idul Adha), lalu beliau meminta hujan, menghadap kiblat,
dan membalik kainnya, kemudian shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu
Majah, an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)
Dari ‘Abbad bin Tamim
dari pamannya, ia berkata:
“Aku melihat Nabi Saw.
suatu hari keluar meminta hujan, lalu membalik punggungnya ke arah orang-orang,
menghadap kiblat dan berdoa, kemudian membalik kainnya. Setelah itu beliau
mengimami kami shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan pada keduanya.” (HR.
Bukhari dan Ahmad)
Shalat istisqa disyariatkan
dilaksanakan secara berjamaah, dilakukan tanpa adzan dan iqamat. Dari
Abu Hurairah ra. ia berkata:
“Nabi Saw. keluar pada
suatu hari untuk meminta hujan, dan beliau shalat mengimami kami dua rakaat
tanpa adzan dan iqamat, kemudian beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa
kepada Allah, lalu beliau Saw. membalik wajahnya ke arah kiblat sambil mengangkat
kedua tangannya. Setelah itu membalik kainnya, sehingga yang sebelah kanan jadi
di sebelah kiri, dan yang sebelah kiri jadi di sebelah kanan.” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, aI-Baihaqi, al-Atsram dan Ibnu Khuzaimah)
Shalat istisqa bisa dilakukan
kapan saja, kecuali waktu-waktu yang terlarang dari shalat, tetapi yang lebih
utama dilaksanakan di awal siang, sebagaimana shalat dua hari raya. Dari
Aisyah ra., ia berkata:
“Orang-orang mengadu
kepada Rasulullah Saw. karena tidak turun hujan, lalu beliau memerintahkan
mereka untuk membawakan mimbar dan meletakkannya untuk beliau gunakan di mushalla. Kemudian beliau menjanjikan kepada
orang-orang agar mereka keluar pada suatu hari. Aisyah berkata: Rasulullah Saw.
keluar ketika bagian atas matahari mulai muncul, beliau Saw. duduk di atas
mimbar, beliau Saw. mengagungkan Allah Swt., memuji-Nya azza wa jalla, seraya berkata: “Sesungguhnya kalian telah
mengadukan kemarau yang menimpa rumah-rumah kalian, dan terlambatnya hujan
dengan musim yang kalian alami. Allah azza wa
jalla telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Dia Swt.
berjanji kepada kalian akan mengabulkannya untuk kalian.” Lalu beliau Saw.
berkata: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang Maha Pengasih
lagi Maha Pemurah, yang merajai hari pembalasan, tidak ada tuhan selain Allah
yang melakukan apapun yang diinginkan-Nya. Ya Allah, Engkaulah Allah yang tidak
ada tuhan selain engkau, Dzat yang Maha Kaya sedangkan kami begitu fakir,
turunkanlah kepada kami hujan, dan jadikanlah apa yang Engkau turunkan itu
sebagai makanan utama dan sesuatu yang cukup hingga waktunya.” Setelah itu
beliau mengangkat kedua tangannya dan terus-menerus mengangkatnya hingga
tampaklah putih dua ketiaknya. Kemudian beliau membalik punggungnya ke arah
orang-orang, dan membalik kain selendangnya sambil tetap mengangkat kedua
tangannya, lalu beliau menghadap kepada orang-orang seraya turun (dari mimbar)
dan kemudian shalat dua rakaat...” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Ucapannya: ketika
bagian atas matahari mulai muncul, yakni ketika matahari mulai terbit. Dan ini
merupakan waktu shalat dua hari raya.
Mengenai sifat shalat istisqa,
dilakukan dua rakaat,
serupa dengan dua rakaat shalat Jum'at dari sisi takbir dan jahrnya.
Sebelumnya telah kami
sebutkan hadits Abdullah bin Zaid yang diriwayatkan oleh Bukhari dan selainnya,
di dalamnya disebutkan: ”...kemudian beliau shalat dua rakaat.” Juga dalam
hadits “Abbad bin Tamim dari pamannya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan selainnya,
di sana disebutkan: “…kemudian beliau mengimami kami shalat dua rakaat dengan
mengeraskan bacaan pada keduanya.” Dan dari Ibnu Ishaq:
“Abdullah bin Yazid
al-Anshari keluar, bersamanya ada al-Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam ra.,
lalu mereka meminta hujan. Dia mengimami mereka di atas kedua kakinya, tidak di
atas mimbar, meminta ampunan, kemudian shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan,
tidak beradzan dan juga tidak beriqamat. Abu Ishaq berkata: Abdullah bin Yazid
bertemu dengan Nabi Saw.” (HR. Bukhari)
Sekedar untuk
diketahui bahwa Abdullah bin Yazid di sini bukanlah Abdullah bin Zaid yang
sebelumnya disebutkan juga dalam hadits Bukhari.
Tetapi ada sejumlah
fuqaha yang berpandangan bahwa shalat istisqa itu persis sama dengan shalat dua
hari raya, di mana dalam rakaat pertama ada tujuh takbir dan dalam rakaat kedua
ada lima takbir. Mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
keluar dengan khusyu, merendahkan diri, tawadhu,
memakai pakaian kerja, dan berangkat perlahan-lahan tidak tergesa-gesa. Lalu
beliau shalat mengimami orang-orang sebanyak dua rakaat sebagaimana beliau Saw.
shalat hari raya. Beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini.” (HR.
Ahmad, al-Hakim, ad-Daruquthni, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Ucapannya mutabadzilan yakni yalbisu libasal ‘amal (memakai pakaian kerja), dan mutarassilan yakni mutamahhilan ghair musta’jil (perlahan-lahan tidak
tergesa-gesa). Mereka mengatakan bahwa perkataan Ibnu Abbas “sebagaimana beliau
Saw. shalat hari raya”, ini memberi pengertian bahwa dalam shalat istisqa itu
ada takbir seperti takbir hari raya, dan mereka juga beragumentasi dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah, ia berkata:
“Marwan mengutusku
kepada Ibnu Abbas agar aku menanyakan kepadanya tentang sunat istisqa. Ia
berkata: Sunat istisqa itu adalah sunat shalat dalam dua hari raya, juga bahwa
beliau Saw. membalikkan jubahnya, sehingga yang sebelah kanannya menjadi berada
di sebelah kirinya dan yang sebelah kirinya menjadi berada di sebelah kanannya,
dan beliau shalat dua rakaat, bertakbir pada rakaat pertama tujuh takbir dan
membaca sabbihisma rabbikal a'laa, dan
membaca pada rakaat kedua hal ataaka haditsul
ghaasyiyah, dan beliau Saw. bertakbir pada rakaat kedua ini dengan lima
takbir.” (Riwayat ad-Daruquthni, al-Hakim dan al-Baihaqi)
Maka kami katakan
kepada mereka: tentang hadits Daruquthni ini, di dalamnya ada Muhammad bin
Abdil ‘Aziz yang dikomentari oleh Bukhari: “seorang yang haditsnya dipandang
sebagai hadits munkar”, dikomentari oleh an-Nasai: “seorang yang matruk” dan
dikomentari Abu Hatim sebagai: “seorang yang dhaif.” Dengan demikian hadits ini
adalah hadits dhaif yang tidak layak untuk dijadikan sebagai hujjah dan harus dibuang.
Hadits Ahmad memiliki dilalah yang tidak jelas atas pendapat yang
mereka pegang, sehingga hadits ini tidak layak untuk membatasi (taqyid) hadits-hadits yang banyak lagi shahih
yang memutlakkan ucapan “dua rakaat”, sehingga perkataan dari Ibnu Abbas ini
bisa dipahami bahwa dia ingin mengatakan shalat istisqa itu seperti shalat Id,
hanya berjumlah dua rakaat saja. Pemahaman ini bisa diperkuat dengan apa yang
ada dalam riwayat Abdurrazaq:
“...Lalu beliau berdoa
dan shalat sebagaimana beliau shalat dalam shalat hari raya, yakni dua rakaat.”
Dengan demikian shalat
istisqa itu adalah dua rakaat biasa, di mana bacaan di dalamnya dikeraskan.
Imam berdiri di depan
orang-orang yang akan shalat dengan menghadap kiblat dengan menghadapkan
punggungnya kepada orang-orang. Dia membalikkan kainnya, dengan menjadikan
bagian luarnya menjadi di dalam dan bagian dalamnya menjadi di luar, yang kanan
menjadi di sebelah kiri, dan yang kiri menjadi di sebelah kanan. Para makmum
membalikkan pakaian mereka juga, kemudian imam berdoa dengan doa yang dia
kehendaki, memperbanyak istighfar dengan cara tertentu, bisa pula imam
mempersingkat istighfar, kemudian shalat mengimami orang-orang sebanyak dua
rakaat dengan bacaan dikeraskan tanpa takbir (yaitu takbir dalam shalat hari
raya-pen.) selain takbiratul ihram. Setelah bersalam dan
menyelesaikan shalatnya, imam menaiki mimbar dan berkhutbah di hadapan
orang-orang dengan isi yang sesuai dengan kondisi (saat itu), kemudian dia
turun. Apabila imam berdoa hendaknya imam mengangkat tangannya tinggi-tinggi,
dan memberi isyarat dengan punggung telapak tangannya menghadap langit,
sedangkan bagian dalam telapak tangannya menghadap bumi.
Termasuk sunah bahwa
shalat ini dilaksanakan di mushalla,
yakni di luar perumahan yang ada di suatu negeri, diletakkan mimbar tempat imam
berdiri ketika menyampaikan khutbah, dan orang-orang yang akan shalat istisqa
hendaknya keluar menuju mushalla dengan
khusyu, tawadhu dan merendahkan diri
serta tidak menghias pakaian mereka. Dalam setiap perkara itu ada beberapa
haditsnya, yang bisa kami sebutkan sebagai berikut:
1) Dari Abdullah bin Zaid ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melakukan shalat istisqa, dan beliau memakai selendang miliknya yang berwarna
hitam. Beliau Saw. menarik bagian bawahnya dan menjadikannya bagian atasnya,
sehingga selendang itu membebani beliau Saw., lalu beliau membalikkanya yang
sebelah kanan menjadi sebelah kiri dan yang sebelah kiri menjadi sebelah
kanan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Khamishah maksudnya adalah pakaian berwarna
hitam yang kasar.
2) Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya,
Abdullah bin Zaid, ia berkata:
“Nabi Saw. keluar
untuk shalat istisqa, dan beliau Saw. membalikkan selendangnya.” (HR. Bukhari)
Riwayat Bukhari dan
Muslim yang kedua dari jalur yang sama disebutkan dengan redaksi:
“Lalu beliau
membalikkan selendangnya.”
3) Dari Abdullah bin Zaid ra., ia berkata:
“Aku telah melihat
Rasulullah Saw. ketika melaksanakan shalat istisqa mengimami kami, beliau
memanjangkan doa dan memperbanyak istighfar atas masalah itu. Ia berkata:
Kemudian beliau Saw. menghadap ke kiblat dan membalikkan selendangnya, sehingga
bagian luarnya menjadi bagian dalam, dan orang-orang ikut membalikkan selendang
mereka mengikuti beliau Saw.” (HR. Ahmad)
4) Sebelumnya telah disebutkan hadits Ibnu
Abbas ra. yang diriwayatkan Ahmad dan selainnya, di sana disebutkan:
“Bahwa Rasulullah Saw.
keluar dengan khusyu, merendahkan diri, tawadhu, memakai pakaian kerja biasa,
dan berangkat perlahan-lahan tidak tergesa-gesa…”
Dalam riwayat an-Nasai
disebutkan:
“Rasulullah Saw.
keluar dengan memakai pakaian kerja, penuh tawadhu dan merendahkan diri, lalu
beliau Saw. duduk di atas mimbar....”
5) Sebelumnya juga disebutkan hadits Aisyah ra.
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya:
“…Lalu beliau
memerintahkan mereka membawa mimbar dan meletakkannya untuk beliau gunakan di mushalla…”
6) Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:
“Adalah Nabi Saw.
tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa beliau Saw. sekalipun, kecuali dalam
doa shalat istisqa, dan bahwa beliau Saw. mengangkatnya hingga terlihat putih
kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
7) Dari Anas bin Malik ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
shalat istisqa, lalu beliau memberi isyarat dengan punggung dua telapak
tangannya ke langit.” (HR. Ahmad, Muslim dan an-Nasai)
8) Dari Anas bin Malik ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
shalat istisqa seperti ini, yakni dengan membentangkan kedua tangannya, dan
beliau Saw. menjadikan bagian dalam kedua telapak tangannya menghadap ke arah
bumi, sehingga kami melihat putih dua ketiak beliau Saw.” (HR. Abu Dawud)
9) Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya ra., ia
berkata:
“Nabi Saw. keluar
untuk shalat istisqa. Beliau Saw. menghadapkan wajahnya ke kiblat seraya
berdoa, dan beliau Saw. membalikkan selendangnya, kemudian shalat dua rakaat
dengan menjaharkan bacaan pada kedua
rakaatnya.” (HR. Bukhari, Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai)
10) Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:
“Nabi Saw. keluar pada
suatu hari untuk meminta hujan. Beliau shalat mengimami kami dua rakaat tanpa
adzan dan iqamat, kemudian beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada
Allah. Beliau Saw. membalik wajahnya ke arah kiblat sambil mengangkat kedua
tangannya, lalu membalik selendangnya, sehingga yang sebelah kanan jadi di
sebelah kiri, dan yang sebelah kiri jadi di sebelah kanan.” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, al-Baihaqi, al-Atsram dan Ibnu Khuzaimah)
Hadits ini telah
disebutkan sebelumnya.
11) Dari Abdullah bin Zaid al-Mazini ra. ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar menuju mushalla dan melakukan
shalat istisqa, dan beliau membalikkan selendangnya ketika menghadap kiblat.
Ishaq berkata dalam haditsnya: Beliau Saw. memulai dengan shalat sebelum
berkhutbah, kemudian menghadap kiblat lalu berdoa.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu
Dawud, an-Nasai dan al-Baihaqi)
12) Dari as-Sya’bi ia berkata:
“Umar bin Khaththab
keluar melakukan shalat istisqa mengimami orang-orang, dan beliau tidak lebih
hanya beristighfar hingga pulang. Maka orang-orang berkata: “Wahai amirul
mukminin, kami tidak melihat engkau beristisqa.” Umar berkata: “Sesungguhnya
aku telah meminta hujan dengan madajih
langit yang dengannya akan turun hujan: Maka Aku katakan kepada mereka:
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya
Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, membanyakkan harta dan
anak-anakmu”, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, lalu bertaubatlah kepada-Nya,
niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan
kekuatan pada kekuatanmu.” (Riwayat Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah dan Said bin
Manshur)
Madajih langit maksudnya salah satu bintang di
langit yang menjadi pertanda akan datangnya musim hujan.
Istisqa yang maknanya
adalah meminta hujan kepada Allah Swt., sebagaimana bisa dilakukan dengan
shalat yang tertentu, juga bisa dilaksanakan dengan doa saja tanpa melakukan
shalat. Istisqa cukup dilakukan dengan melakukan doa dan beristigfar saja. Ini
yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab ra.: “dan beliau tidak lebih hanya
beristighfar saja hingga pulang.” Dengan kata lain, Umar cukup hanya dengan
istighfar dalam melakukan istisqa dan dia tidak melakukan shalat. Hal ini
dipahami dengan melihat dilalah riwayat
yang lain, dari Abdurrazaq dengan redaksi:
“Bahwa Umar bin
Khaththab keluar memimpin orang-orang pergi ke mushalla.
Beliau berdoa dan beristighfar lalu turun dari mimbar, kemudian beliau pulang
dan tidak melakukan shalat.”
Berikutnya akan kami
tuturkan beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. berdoa istisqa
tanpa melakukan shalat istisqa.
Imam kadang beristisqa dengan
doa saja di sepanjang khutbah Jum’at yang disampaikannya tanpa
melakukan shalat istisqa. Dari Anas ra. ia berkata:
“Adalah Nabi Saw.
berkhutbah pada hari Jum’at, lalu orang-orang berdiri dan berteriak seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, hujan lama tidak turun, pohon-pohon telah memerah
dan binatang ternak binasa, maka berdoalah engkau kepada Allah agar Dia
menurunkan hujan kepada kami.” Maka beliau Saw. berdo’a: “Ya Allah turunkanlah
hujan kepada kami, (dikatakan sebanyak dua kali).” Dan demi Allah, sebelumnya
kami tidak melihat gumpalan awan sedikitpun di langit, lalu muncullah awan dan
kemudian turunlah hujan. Beliau Saw. turun dari mimbar lalu melaksanakan
shalat. Ketika bubar dari shalat, hujan terus-menerus turun hingga Jum’at
berikutnya. Ketika Nabi Saw. berdiri berkhutbah, orang-orang berteriak
kepadanya: “Rumah-rumah hancur, jalan-jalan terputus, maka berdoalah engkau
kepada Allah agar Dia menghentikan hujan dari kami.” Nabi Saw. tersenyum
kemudian berdoa: “Ya Allah, rubahlah hujan ini agar berada di sekeliling kami,
jangan sampai menjadi siksa bagi kami.” Lalu kota Madinah pun terbuka, sehingga
hujan turun di sekitar Madinah saja dan tidak turun di Madinah sama sekali. Aku
melihat Madinah, sesungguhnya Madinah seperti dalam lingkaran mahkota.” (HR.
Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan an-Nasai)
Dalam riwayat Bukhari
yang lain dari jalur Anas ra.:
“Lalu Rasulullah Saw.
mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Allah, turunkanlah hujan kepada
kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan
kepada kami...”
Dalam riwayat Bukhari
yang ketiga dengan redaksi:
“Ya Allah turunkanlah
hujan kepada kami…”
Tentu saja doa ini
bisa dilafalkan setelah shalat wajib yang lima, karena hal itu menjadi saat
yang paling diharapkan diijabahnya do’a.
Sebagian doa-doa ma’tsurah dalam shalat istisqa adalah
sebagai berikut:
a. Ya Allah,
turunkanlah hujan kepada hamba-Mu, binatang ternakmu, sebarkanlah rahmat-Mu dan
hidupkanlah negeri-Mu yang mati ini.
b. Ya Allah,
turunkanlah hujan kepada kami dengan hujan yang lebat, hujan yang baik, merata,
menyuburkan, lebat, segera dan tidak berlambat-lambat.
c. Ya Allah, turunkan
hujan kepada kami dengan hujan yang lebat, menyenangkan dan menyuburkan,
bermanfaat dan tidak menimbulkan madharat, segera dan tidak berlambat-lambat.
1) Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari
kakeknya ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika beristisqa beliau mengucapkan:
“Ya Allah turunkanlah hujan kepada hamba-Mu, binatang ternak-Mu, sebarkanlah
rahmat-Mu dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati ini.” (HR. Abu Dawud)
Malik dan Abdurrazaq
meriwayatkan hadits ini tanpa menyebutkan sanad dari ayahnya dari kakeknya.
2) Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Seorang Arab Badwi
datang kepada Nabi Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu
sebagai utusan dari suatu kaum yang sedang paceklik, di mana seorang
penggembala tidak lagi memiliki bekal, dan seekor kuda milik mereka tidak ada
yang sanggup menggerakkan ekornya (karena sedemikian laparnya).” Lalu beliau
Saw. menaiki mimbar, kemudian memuji Allah Swt. sambil mengucapkan: “Ya Allah,
turunkanlah hujan kepada kami dengan hujan yang lebat, hujan yang baik, merata,
menyuburkan, lebat, dalam waktu segera dan tidak berlambat-lambat.” Kemudian
beliau Saw. turun. Maka tidak seorangpun yang datang dari berbagai penjuru
kecuali mereka berkata: “(Daerah) kami telah dihidupkan kembali.” (HR. Ibnu
Majah)
Mari-an artinya dengan baik, thabaqan artinya merata ke segenap penjuru
bumi, marii‘an atau murii'an artinya menyuburkan, ghadaqan artinya lebat, raa-its artinya telat atau berlambat-lambat.
3) Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
“Orang-orang menangis
mendatangi Nabi Saw. dan beliau Saw. kemudian berdoa: “Ya Allah, turunkan hujan
kepada kami dengan hujan yang lebat, menyenangkan dan menyuburkan, bermanfaat
dan tidak menimbulkan madharat, segera dan tidak berlambat-lambat.” Ia (perawi)
berkata: lalu langit pun menjadi gelap.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Tatkala Allah Swt.
memberikan nikmat kepada kaum Muslim dengan menurunkan hujan, maka dianjurkan
bagi mereka untuk mengucapkan:
“Ya Allah, curahkanlah
hujan ini dengan tepat dan penuh manfaat.”
Dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasululah Saw.
jika turun hujan beliau berdo’a, “Ya Allah curahkanlah hujan ini dengan lebat
dan penuh manfaat.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan an-Nasai)
Jika hujan turun
terlalu deras sehingga merugikan manusia, maka dianjurkan kepada mereka untuk
berdoa:
“Ya Allah, rubahlah
hujan ini agar berada di sekitar kami, jangan sampai menjadi siksa bagi kami.”
Atau mengucapkan dan
menambahkan:
“Ya Allah, curahkanlah
hujan ke anak bukit, gunung, hutan rimba dan belukar, bukit, lembah dan lahan
pepohonan.”
Lafadz-lafadz ini
tidak terlalu diharuskan dalam berdoa, sehingga seorang Muslim bisa juga
mengucapkan doa misalnya: “Ya Allah, curahkanlah ke perbukitan, gunung, kebun,
lembah dan lahan penggembalaan...”
Sebelumnya telah kami
sebutkan hadits Anas ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan selainnya,
di dalamnya disebutkan:
”…Orang-orang
berteriak kepadanya: “Rumah-rumah hancur, jalan-jalan terputus maka berdoalah
engkau kepada Allah agar Dia menghentikan hujan dari kami.” Nabi Saw. tersenyum
kemudian berdoa: “Ya Allah, rubahlah hujan ini agar berada di sekeliling kami,
jangan sampai menimpa menyiksa kami.” Lalu kota Madinah pun terbuka, sehingga
hujan turun di sekitar Madinah saja dan tidak turun di Madinah sama sekali...”
Dan dari Anas ra.:
“Bahwa seorang
laki-laki pada hari Jum'at masuk dari salah satu pintu menghadap ke arah
mimbar, sementara Rasulullah Saw. sedang berdiri menyampaikan khutbah. Lelaki
itu menghadap kepada Rasulullah Saw. sambil berdiri seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, binatang ternak telah binasa, dan jalan terputus (karena unta-unta
menjadi lemah karena laparnya), maka berdoalah engkau kepada Allah agar Dia
menurunkan hujan untuk kami.” Dia (perawi) berkata: lalu Rasulullah Saw.
mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, turunkanlah hujan kepada
kami. Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah turunkanlah hujan kepada
kami.” Anas berkata: “Dan demi Allah, (saat itu) kami tidak melihat langit
berawan, gumpalan awan atau sesuatupun, dan tidak di antara kami, tidak ada
rumah atau gubuk yang ada di antara kami dengan bukit Sala’.” Ia berkata: lalu
muncullah dari belakang bukit itu awan seperti perisai, lalu awan itu menyebar
dan meliputi langit kemudian hujan pun turun. Ia berkata: “Demi Allah, kami
tidak melihat matahari selama enam hari.” Kemudian seorang laki-laki masuk dari
pintu yang sama di Jum'at sebelumnya, sementara Rasulullah Saw. sedang berdiri
menyampaikan khutbah. Lelaki itu menghadap beliau Saw. dan berkata: “Wahai
Rasulullah, harta binasa, jalan terputus (terkena banjir), maka berdoalah
engkau kepada Allah agar Dia menahannya.” Dia (perawi) berkata: lalu Rasulullah
Saw. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, rubahlah hujan ini
agar berada di sekitar kami, jangan sampai menimpa dan menyiksa kami. Ya Allah
curahkanlah hujan ke anak bukit, gunung, hutan rimba dan belukar, bukit, lembah
dan lahan pepohonan.” Ia berkata: lalu hujan pun terhenti dan kami keluar
berjalan kaki di bawah sinar matahari.” (HR. Bukhari)
Kaum Muslim boleh mengajukan
seseorang yang mereka lihat memiliki keutamaan dan kebaikan, lalu mereka
beristisqa dengannya. Umar bin Khaththab telah mengajukan Abbas paman
Rasulullah Saw. Anas bin Malik ra. telah meriwayatkan:
“Bahwa Umar bin
Khaththab jika mereka tertimpa musim kemarau maka mereka beristisqa dengan Abbas bin Abdul Muthalib, dan
Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya dulu kami telah bertawasul kepadamu dengan Nabi kami dan Engkau menurunkan hujan
kepada kami, dan sesungguhnya kami sekarang bertawasul
kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami.” Dia
(perawi) berkata: maka turunlah hujan kepada mereka.” (HR. Bukhari, Ibnu Hibban
dan Ibnu Khuzaimah)
Untuk melengkapi
paparan ini, saya tuturkan dua hadits yang mulia:
1) Dari Anas ra. ia
berkata:
“Kami tertimpa hujan,
dan waktu itu kami bersama Rasulullah saw. Ia (perawi) berkata: lalu Rasulullah
Saw. membuka sebagian bajunya hingga beliau terkena hujan. Maka kami bertanya:
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal seperti ini?” Beliau berkata:
“Sesungguhnya ini adalah tanda janji yang diberikan Allah Swt.” (HR. Muslim,
Ahmad dan Abu Dawud)
2) Dari Aisyah istri
Nabi Saw., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika suatu hari bertiup angin kencang dan langit mendung, maka ketakutan
muncul di wajah Rasulullah Saw. dan beliau terus berjalan bolak-balik ke depan
dan ke belakang. Namun, ketika turun hujan bergembiralah beliau dan hilanglah ketakutan
dari wajah beliau. Aisyah berkata: maka aku menanyakan hal itu kepadanya.
Beliau berkata: “Sesungguhnya aku takut adzab akan ditimpakan kepada umatku.”
Dan beliau berkata ketika melihat hujan: ”Ini adalah rahmat.” (HR. Muslim)
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar