Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 19 Agustus 2017

Dalil Air yang Najis



Air Najis

Bagian ketiga berdasarkan kategorisasi air -menurut mereka- adalah air najis. Ini merupakan istilah yang benar, yakni sesuatu yang ada faktanya, tetapi di dalamnya ada rincian yang harus dipahami.

Dalam persoalan ini para fuqaha terpecah menjadi tiga kelompok: dua kelompok yang besar, dan kelompok ketiga adalah Abu Hanifah dan para pengikutnya.
Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hudzaifah, Hasan Bashri, Said bin Musayyab, Atha, Ikrimah, Jabir bin Zaid, Ibnu Abi Laila, at-Tsauri, Dawud, Ibrahim an-Nakha’iy, Yahya al-Qathan, al-Auza’iy, Abdurrahman bin Mahdi, Muhammad bin Mundzir, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, as-Syafi’iy dalam salah satu riwayat, mereka berpendapat: jika air sudah tercampur dengan najis, dan najis tersebut lebih dominan, sehingga menegasikan namanya dan merubah sifatnya sebagai air, maka air tersebut menjadi air najis. Dan ketika air sudah tercampur dengan najis tetapi najis tersebut tidak sampai merubah sifatnya dan menghilangkan namanya, maka air tersebut tetap suci mensucikan, baik air tersebut dalam jumlah banyak ataupun sedikit.

Abdullah bin Umar, Said bin Jubair, Mujahid, Ishaq, Abu Ubaid, dan as-Syafi’i juga Ahmad -dalam pendapat yang paling masyhur dari keduanya- mereka berpendapat bahwa jika air itu dua qullah atau lebih lalu tercampur dengan najis, lalu najis tersebut menjadi dominan padanya, sampai menghilangkan namanya dan merubah sifatnya sebagai air, maka air tersebut menjadi air najis. Tetapi jika kurang dari dua qullah maka air tersebut akan menjadi air najis ketika ada najis yang jatuh ke dalamnya, baik sampai merubah nama dan sifatnya atau tidak, baik najis itu sedikit ataupun banyak. Kami akan menunjukkan pendapat dari dua kelompok ini dan membahasnya, kemudian kami akan membahas pendapat Abu Hanifah beserta pengikutnya.

Kelompok Pertama menggunakan hadits-hadits berikut sebagai argumentasi pendapat mereka:

1. Dari Abu Said al-Khudri ra., dia berkata: :

“Rasulullah Saw. ditanya: Apakah kami boleh berwudhu dengan air dari telaga Budha'ah –Budha’ah itu sebuah telaga di mana darah haid, daging anjing dan segala sesuatu yang busuk dibuang ke dalamnya- maka Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya air itu suci mensucikan, tidak bisa dinajisi oleh sesuatupun.” (HR. Tirmidzi dan ia menghasankannya).

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, dishahihkan oleh Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hazm.

2. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. ditanya tentang danau-danau yang terletak di antara Makkah dan Madinah, lalu ditanyakan kepada beliau Saw.: Sesungguhnya anjing dan binatang buas suka meminum air danau itu? Maka beliau Saw. bersabda: “Untuk binatang, itu air yang sudah diminumnya dan masuk ke dalam perutnya, sedangkan yang tersisa bagi kita menjadi air minum dan air yang suci mensucikan.” (HR. Daruquthni)

Hadits ini diriwayatkan Thabrani dari jalur Sahl, diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dari jalur Abu Said al-Khudri, dan beliau berkata: sanadnya hasan, tetapi didhaifkan oleh al-Haitsami, Ibnu Jarir dan Ibnu al-Jauzi.

3. Dari Abu Umamah al-Bahili dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya air itu tidak bisa dinajisi sesuatupun kecuali jika sesuatu itu mendominasi baunya, rasanya, dan warnanya.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
Hadits ini diriwayatkan juga oleh ad-Daruquthni dari jalur Tsauban tanpa frase warnanya. Semua jalur periwayatan hadits ini dhaif.

Mereka mengatakan bahwa Rasulullah Saw. tidak membedakan antara air yang sedikit dengan yang banyak, dan karena tidak tampak salah satu sifat najis pada air tersebut, sehingga air tersebut tidak bisa menjadi najis karenanya seperti air yang lebih dari dua qullah. Dan mereka menolak hadits dua qullah karena dhaif.

Kelompok Kedua berargumentasi dengan hadits-hadits berikut:

1. Dari Abdullah bin Umar ra., dia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah Saw. ketika ditanya tentang air yang ada di tanah lapang dan air yang suka didatangi oleh binatang buas dan hewan tunggangan, dia berkata: Rasulullah Saw. menjawab: “Jika air itu dua qullah maka tidak akan mengandung kotoran (najis).” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dituturkan dengan frase:

“Maka sesungguhnya air tersebut tidak najis.”

Dalam hadits yang diriwayatkan al-Hakim dan Ahmad dituturkan dengan frase:

“Air tersebut tidak dinajisi sesuatupun.”

Kami akan membahas derajat hadits ini kemudian.

2. Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana hingga ia mencuci tangannya tiga kali, karena dia tidak tahu di manakah tangannya itu berada di waktu malam.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan tidak menyebutkan bilangan tiga kali.

3. Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika anjing minum (air) dalam bejana salah satu dari kalian, maka hendaklah ia mencuci bejana itu tujuh kali.” (HR. Muslim, Bukhari, dan Ahmad)

Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Muslim:

“Cara mensucikan bejana salah seorang dari kalian jika dijilat oleh anjing, adalah hendaknya dia mencuci bejana itu tujuh kali, yang pertama kali dengan tanah.”

Ketika hadits yang pertama menetapkan batasan dua qullah, ini menunjukan bahwa air yang kurang dari dua qullah itu bisa menjadi najis. Sebab, seandainya hukum air yang dua qullah itu sama dengan yang kurang dari dua qullah niscaya penetapan batasan dua qullah itu tidak berarti sama sekali.
Mereka mengomentari hadits kedua, bahwa seandainya hadits tersebut tidak menghasilkan pengertian larangan niscaya Rasulullah Saw. tidak akan melarangnya.
Dan terkait hadits ketiga, mereka berkata: Rasulullah Saw. memerintahkan mencuci bejana dan menumpahkan sisa airnya ketika bejana tersebut dijilat oleh anjing. Beliau Saw. tidak membedakan antara air yang berubah dengan yang tidak berubah, padahal dhahirnya tidak berubah.
Mereka menolak hadits Abu Umamah yang diriwayatkan Ibnu Majah dan selainnya karena hadits tersebut dhaif.
Kedua kelompok tersebut mengutip alasan-alasan lain, mereka mengatakan ungkapan yang lain yang berbeda dengan ungkapan yang pertama yang akan kami tunjukkan dalam pembahasan berikutnya dengan ijin Allah.

Dengan mencermati dalil-dalil dua kelompok dan hukum-hukum yang mereka istinbath, nampak jelas bahwa perbedaan di antara mereka tidak terlalu jauh. Air itu terbagi dua kategori: yang kurang dari dua qullah, dan air yang dua qullah atau lebih. Mengenai air yang dua qullah atau lebih, kedua kelompok ini sepakat bahwa air tersebut tidak menjadi najis ketika ada benda najis yang jatuh ke dalamnya, kecuali jika benda najis tersebut merubah sifat dan menghilangkan namanya. Namun ketika ada benda najis yang jatuh ke dalamnya dengan tidak menghilangkan namanya dan tidak sampai merubah sifatnya, maka air tersebut tetap suci mensucikan.
Abu Hanifah dan para sahabatnya memiliki pendapat yang berbeda, yang akan kami tunjukkan kemudian.
Adapun air yang kurang dari dua qullah, mereka (kedua kelompok) juga sama-sama menyatakan bahwa ketika ada benda najis yang jatuh ke dalamnya hingga merubahnya dan menghilangkan namanya maka air tersebut menjadi air najis, dan pernyataan seperti ini adalah pernyataan yang benar juga.
Muhammad bin al-Mundzir berkata: Para ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit dan banyak itu, ketika ada benda najis jatuh ke dalamnya sehingga merubah rasanya, warnanya, dan baunya, maka air tersebut menjadi air najis.
Tinggallah kini persoalan air yang kurang dari dua qullah lalu ada benda najis dengan kadar sedikit jatuh ke dalamnya yang tidak sampai merubah sifat dan menghilangkan namanya sebagai air, kategori seperti inilah yang diperselisihkan oleh kedua kelompok di atas. Kami akan membahas masalah tersebut dengan mengatakan:

Ketika air mencapai ukuran dua qullah atau lebih, lalu ada sedikit benda najis jatuh ke dalamnya yang tidak sampai merubah sifatnya dan menghilangkan namanya, maka air tersebut tetap suci mensucikan. Tetapi ketika benda najis yang jatuh ke dalamnya berjumlah banyak hingga menghilangkan namanya dan merubah sifatnya, maka air tersebut menjadi air najis.
Dan yang terakhir ini jelas-jelas telah keluar dari kategorisasi air, sehingga tidak boleh dimasukkan lagi dalam pembahasan kategorisasi air, karena telah keluar dari keberadaannya sebagai air. Air seperti itu sama dengan air yang tercampur dengan benda-benda suci yang sampai merubah sifatnya dan menghilangkan namanya, di mana air seperti itu sebelumnya telah kami keluarkan (dieliminasi) dari kategorisasi air.
Apa yang telah saya nyatakan terkait air seperti itu, sama dengan apa yang saya nyatakan terkait air yang kurang dari dua qullah kemudian tercampur dengan benda najis yang sampai merubah sifatnya dan menghilangkan namanya, air seperti ini juga telah keluar dari karakternya sebagai air, sehingga tidak layak dimasukkan dalam pembahasan pembagian atau kategorisasi air.

Sedangkan air najis yang tertinggal dan masih termasuk dalam pembahasan pembagian air adalah air yang kurang dari dua qullah, kemudian tercampur dengan sedikit benda najis sehingga benda najis tersebut tidak sampai merubah sifat dan menghilangkan namanya sebagai air. Air seperti ini masih dimasukkan dalam pembahasan pembagian air. Air seperti inilah yang diperselisihkan di antara dua kelompok besar di atas, satu kelompok menyatakan air seperti itu sebagai air najis, sedangkan kelompok yang lain menyatakan air seperti itu adalah tetap sebagai air suci mensucikan.

Dengan melihat dalil-dalil dua kelompok di atas, maka jelas bahwa kelompok pertama berpegang pada keumuman dalil-dalil, sedangkan kelompok kedua berargumentasi dengan dalil-dalil yang mentakhsis keumumannya. Karena itu, perbedaan pendapat di antara keduanya akan tetap ada, tetapi perbedaan tersebut akan berakhir seandainya kelompok pertama menerima kelompok kedua dengan dalil-dalil pentakhsisnya itu, tetapi (alih-alih menerima), mereka justru menolak dan malah melakukan berbagai penakwilan sedemikian rupa. Itulah sebabnya mengapa perbedaan pendapat ini terus berlangsung dan tidak pernah berhenti.
Kami akan berusaha meninjau hadits-hadits ini dari sisi sanad dan matannya, kemudian kita akan melihat dilalahnya dari sisi manthuq dan mafhumnya agar kita bisa sampai pada pendapat yang benar dan kuat, tentunya dengan ijin Allah Swt.

1. Hadits Abu Said bahwa air itu suci mensucikan tidak menjadi najis oleh sesuatupun adalah hadits yang layak untuk digunakan sebagai hujjah, karena Ahmad, Ibnu Ma'in, dan Ibnu Hazm telah menshahihkannya.
Secara harfiah, manthuq hadits ini memberi pengertian umum, karena kata al-maa yang dima'rifatkan oleh alif lam al-jinsi, itu bersifat umum, mencakup seluruh air, karena itu hadits tersebut bersifat umum karena tidak ada takhsis (pengkhususan) di dalamnya.
Sedangkan hadits al-hiyaadh (telaga) yang di dalamnya disebutkan: Bagi binatang itu air yang telah diminumnya yang sudah masuk dalam perutnya, dan air yang tersisa itu bagi kita sebagai minuman dan sesuatu yang suci mensucikan, adalah hadits yang menunjukkan bahwa air tersebut bersifat muthlaq dari sisi kwantitinya (banyak sedikitnya), karena frase bagi kita air yang tersisa itu bersifat muthlaq tanpa penetapan batasan volume atau takaran air, sehingga hadits tersebut tetap dalam kemutlakannya.
Dalam kedua hadits tersebut tidak ada takhsis sama sekali, sehingga keduanya memberi pengertian air yang bersifat umum dan muthlaq.

Karena hadits al-hiyaadh ini tidak berbeda dengan hadits yang pertama selain hanya sanadnya saja, sehingga andai saja dihujat dan digugurkan oleh para ahli hadits sekalipun, tetap tidak akan berpengaruh pada mereka yang mengatakan tidak ada pentakhsisan, sehingga sama saja apakah hadits tersebut diamalkan ataupun ditolak.
Adapun hadits yang ketiga, maka bagian pertama hadits tersebut yaitu kalimat:

“Sesungguhnya air tersebut tidak menjadi najis karena sesuatupun.”

Ini persis dengan lafadz yang ada dalam hadits pertama, adapun pengecualian yang ada di penghujung hadits, yaitu kalimat:

“Kecuali sesuatu itu mendominasi baunya, rasanya, dan warnanya.”

Maka saya katakan: Walaupun pengecualian tersebut ditemukan dalam beberapa riwayat hadits ini, tetapi hadits ini dikategorikan sebagai hadits dhaif.
Ibnu Majah dan ad-Daruquthni telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Abu Umamah, dan dalam sanadnya terdapat Risydin bin Saad, seorang perawi yang dituduh berdusta.
Ad-Daruquthni juga meriwayatkan hadits ini dari jalur Tsauban dengan lafadz:

“Air itu suci mensucikan, kecuali benda najis itu mendominasi baunya atau rasanya.”

Dan dalam sanadnya pun terdapat nama Risydin bin Saad, sebagaimana telah kami sebutkan, Risydin bin Saad adalah seorang perawi yang dituduh berdusta.
Al-Baihaqi telah meriwayatkan hadits ini dari Abu Umamah dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Sesungguhnya air itu suci, kecuali jika berubah baunya, rasanya atau warnanya karena benda najis yang jatuh ke dalamnya.”

Di dalam sanad hadits ini pun terdapat nama Risydin. As-Syafi'i berkata: Pernyataan yang aku lontarkan jika rasa, warna, atau bau air itu berubah maka menjadi air najis, tiada lain berasal dari hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan melalui jalur yang tidak bisa diverifikasi oleh ahli hadits selain darinya. Ad-Daruquthni berkata: Hadits ini tidak bisa dibuktikan, an-Nawawi berkata: Para ahli hadits sepakat mendhaifkan hadits ini. Karena itu, hadits ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Walaupun begitu, keputusan tetap berlaku karena berdalilkan hadits yang pertama.

Di sini saya ingin menunjukkan bahwa walaupun hadits ini dhaif, atau pengecualian yang ada dalam hadits ini adalah dhaif, tetapi makna hadits ini shahih, dan hal ini telah kami uji dalam pembahasan verifikasi fakta air (tahqiq manath). As-Syafi’i, al-Baihaqi dan selainnya berkata: Kesepakatan yang ada menunjukkan bahwa air yang sampai berubah baunya, warnanya atau rasanya karena benda najis, maka air tersebut najis. Yang mereka maksud dengan ijma’ (kesepakatan) di sini adalah ijma’ para ulama, dan sebelumnya telah kami sebutkan pernyataan Ibnu al-Mundzir terkait hal ini sehingga kami tidak perlu mengulanginya lagi, dan di sana kami telah buktikan perkara ini tidak membutuhkan nash.

2. Kelompok pertama menolak hadits dua qullah dan mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits dhaif, karena sanad dan matannya membingungkan (simpang siur). Menurut mereka hadits ini tidak bisa mentakhsis hadits yang pertama, sehingga hukum air tersebut tetap dalam keumumannya.
Mereka mengatakan bahwa persoalannya terdapat pada al-Walid bin Katsir, yakni dari al-Walid bin Katsir dari Muhammad bin Ja’far bin Zubair, dikatakan pula dari al-Walid bin Katsir dari Muhammad bin Ibad bin Ja’far, dikatakan pula dari al-Walid bin Katsir dari Ubaidillah bin Umar, dikatakan pula dari al-Walid bin Katsir dari Ubaidillah bin Abdillah bin Umar, sehingga terdapat kesimpangsiuran dari sisi sanad.
Mereka mengatakan bahwa hadits ini telah diriwayatkan pula dengan redaksi:

“Jika air itu seukuran dua qullah atau tiga qullah, maka tidak bisa menjadi najis karena sesuatupun.”

Redaksi seperti ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan ad-Daruquthni.

Juga diriwayatkan dengan redaksi:

“Jika air mencapai ukuran empat puluh qullah, maka air itu tidak akan membawa kotoran (najis).”

Redaksi seperti ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan ad-Daruquthni dari jalur Jabir bin Abdullah.
Hal seperti ini menunjukkan kesimpangsiuran dari sisi matan.

Kami bantah gugatan mereka tentang kesimpangsiuran (idhthirab) dalam sanad itu, bahwa hal seperti ini tidak dipandang sebagai kesimpangsiuran, karena ini sama dengan perpindahan dari perawi tsiqah pada perawi tsiqah yang lain.
Ibnu Hajar berkata: Setelah dikaji, terbukti bahwa hadits ini berasal dari al-Walid bin Katsir dari Muhammad bin Ibad bin Ja'far dari Abdullah bin Umar, dan dari Muhammad bin Ja’far bin Zubair dari Ubaidillah bin Abdullah bin Umar, pernyataan selain ini hanyalah dugaan saja.
Mereka semua adalah orang-orang tsiqah. Hadits ini memiliki jalur ketiga yang diriwayatkan al-Hakim, jalur periwayatan yang ketiga ini dipandang baik oleh Yahya bin Ma’in. Al-Hakim berkata: Jalur ini shahih menurut syarat dua imam (Bukhari dan Muslim), dan keduanya telah berhujjah dengan para perawi yang ada di jalur ini. Ibnu Manduh berkata: Sanad hadits dua qullah memenuhi syarat Muslim.
Dengan demikian jelaslah bahwa sanad hadits ini shahih.

Mengenai gugatan kesimpangsiurannya dari sisi matan pun gugur pula, karena riwayat au tsalatsin (atau tiga qullah) itu adalah riwayat yang syadz (ganjil), dan riwayat arba'ina qullatan (empat puluh qullah) adalah riwayat yang dhaif, didhaifkan oleh ad-Daruquthni karena ada nama al-Qasim bin Abdillah al-Umari, sehingga riwayat ini pun tidak bisa dijadikan hujjah. Hal ini tidak menjadi persoalan selama riwayat dua qullah itu memiliki sanad yang baik.

3. Mereka tidak berhenti di situ dalam menggugat hadits dua qullah ini. Mereka mengatakan bahwa qullah itu adalah ukuran yang tidak diketahui, dan penetapan batasan qullah Hajar oleh orang yang berpegang pada hadits dua qullah ini tidak diterima.
Mereka menolak riwayat yang menetapkan batasan qullah dengan qullah Hajar, dengan menyatakan bahwa ini berasal dari riwayat al-Mughirah bin Shiqlab, dia seorang perawi yang haditsnya dipandang munkar. Inilah argumentasi mereka dalam menolak hadits dua qullah.
Argumentasi seperti ini adalah argumentasi yang sangat lemah, karena Rasulullah Saw. ketika menyebutkan suatu ukuran atau suatu takaran maka harus ditafsirkan dan ditetapkan dengan sesuatu yang biasa digunakan oleh manusia yang ada pada masa Rasulullah saw. Ketidakjelasan (ukuran atau takaran) seperti itu tidak mungkin ada dalam hadits Rasulullah Saw. Dengan merujuk pada takaran atau ukuran yang digunakan manusia pada masa Rasulullah Saw., kita akan mendapati bahwa qullah Hajar itu sangat populer di kalangan manusia, sehingga tidak boleh dirujukkan pada selainnya kecuali dengan nash. Orang-orang Arab banyak menggunakan istilah qullah Hajar dalam syair-syair mereka, sebagaimana dikatakan Abu Ubaid dalam kitab at-Thahur.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Malik bin Sha'sha-ah dari Nabi Saw. -lalu dia menyebutkan hadits tentang mi’raj Nabi Saw.- di dalamnya disebutkan:

“Kemudian aku diangkat ke Sidratul Muntaha, lalu Nabi Saw. bercerita bahwa dedaunannya seperti telinga gajah, dan buahnya seperti qilal Hajar.”

Qilal adalah bentuk jamak dari qullah, artinya al-jarrah al-kabiirah (tempayan yang besar).

Setelah itu al-Baihaqi berkata: Hadits ini ditakhrij dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah.
Ini menunjukkan bahwa qullah itu sangat populer, sehingga gugatan mereka tentang dhaifnya riwayat al-Mughirah bin Shiqlab dengan alasan qullah itu tidak lazim adalah gugatan yang tidak berpengaruh sama sekali.

Berdasarkan penjelasan di atas, hadits dua qullah ini layak untuk dijadikan sebagai hujjah, walaupun didhaifkan sejumlah imam. Hal ini karena tidak ada hadits yang luput tidak didhaifkan oleh seorang imam atau lebih. Seandainya kita berkehendak menolak mereka seperti halnya mereka menolak kita, niscaya kita pun bisa menganggap hadits Abu Said sebagai hadits dhaif:

“Air itu suci mensucikan, tidak bisa dinajisi oleh sesuatupun.”

Karena ad-Daruquthni telah mengomentari hadits ini sebagai hadits yang tidak bisa dibuktikan keshahihannya. Ibnu al-Qaththan menganggap hadits ini bermasalah karena perawi yang meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Said adalah perawi yang tidak diketahui identitasnya, dan karena adanya perbedaan nama si perawi dan nama bapak si perawi. Tetapi kami tidak akan melakukan hal seperti itu, karena jika hal itu kami lakukan, niscaya banyak hukum yang tidak bisa digunakan: Hadits Abu Said ini adalah hadits shahih dan layak digunakan sebagai hujjah, karena Ahmad telah berkata: Hadits telaga Budha'ah adalah hadits shahih.
Hadits ini pun telah dishahihkan oleh Yahya bin Ma’in, Ibnu Hazm dan al-Hakim. Bahkan Ibnu al-Qaththan sendiri setelah mendhaifkan hadits ini dia berkata: Hadits ini memiliki jalur yang lebih baik dari ini.
Ketika kita hendak mengamalkan beberapa hadits, hendaknya ada satu riwayat yang shahih walaupun riwayat-riwayat sisanya didhaifkan. Mengenai hadits ini, terdapat lebih dari satu riwayat yang statusnya shahih, sehingga harus diamalkan karena layak digunakan sebagai pentakhsis.

As-Syaukani berkata: Kesimpulannya, tidak ada kontradiksi antara hadits ”dua qullah” dengan hadits “air itu suci mensucikan tidak dinajisi oleh sesuatupun”, sehingga air yang berukuran dua qullah atau lebih itu tidak menjadi najis karena jatuhnya benda najis, kecuali jika salah satu sifatnya berubah yang berdasarkan kesepakatan (ijma’) air seperti itu menjadi najis.
Inilah yang mentakhsis hadits “dua qullah” dan hadits “air itu tidak dinajisi sesuatupun.”
Adapun air yang kurang dari dua qullah, ketika berubah maka keluar dari karakter sucinya berdasarkan ijma dan berdasarkan mafhum hadits “dua qullah”, sehingga hal itu mentakhsis keumuman hadits “air itu tidak dinajisi sesuatupun”, walaupun air tersebut tidak berubah dengan jatuhnya benda najis yang tidak sampai merubahnya, maka keumuman hadits ”air itu tidak dinajisi sesuatupun” menunjukkan air tersebut tidak keluar dari status suci mensucikan kalau hanya ada benda najis yang jatuh ke dalamnya, dan mafhum hadits “dua qullah” menunjukkan air tersebut telah keluar dari status suci mensucikan ketika ada benda najis yang jatuh ke dalamnya.

4. Pernyataan yang kami sampaikan terkait hadits kedua dan ketiga dari beberapa dalil kelompok pertama, bahwa keduanya tidak tepat digunakan untuk menetapkan pendapat mereka, pernyataan ini kami sampaikan pula untuk mengomentari dua hadits tentang mencuci tangan ketika bangun tidur, dan hadits jilatan anjing.
Hal ini setelah terbukti kuatnya argumentasi hadits dua qullah, selain karena memang hadits mencuci tangan ketika bangun tidur tidak cocok dengan masalah yang dibahas karena hadits ini tidak membahas persoalan najis, semata-mata hanya membahas persoalan ”sesuatu yang dipandang kotor (istiqdzar) saja.

Adapun hadits jilatan anjing, memang hadits ini membahas persoalan najis, walaupun kalangan Malikiyah mengalihkannya dari persoalan najis dengan klaim aspek ibadah yang ada di dalamnya hingga mereka berlebihan dalam menghukuminya, di mana mereka mengatakan bahwa air sisa jilatan anjing itu suci sehingga boleh digunakan untuk berwudhu.
Kedua, seandainya kita berasumsi bahwa kedua hadits ini (hadits tentang mencuci tangan setelah bangun tidur dan hadits jilatan anjing) memang menjadi inti persoalan, sesungguhnya di dalam kedua hadits ini tidak ada batasan berapa ukuran air yang bisa menjadi najis ketika terkena atau tercampur dengan benda najis, karena kata al-inaa (bejana) yang disebutkan dalam hadits jilatan anjing dan hadits mencuci tangan ketika bangun tidur dalam satu riwayatnya:

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana hingga ia mencuci tangannya tiga kali, karena sesungguhnya salah seorang dari kalian tidak tahu di manakah tangannya itu berada di waktu malam atau di manakah tangannya gerayangan.” (HR. Abu Dawud dari jalur Abu Hurairah)

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Kata bejana ini tidak memberi pengertian batasan ukuran, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dua qullah. Hadits ini hanya menunjukkan bahwa air tersebut sedikit, sehingga hal ini menuntut kita untuk membahas dalil lain yang membatasi ukuran yang sedikit ini, maka kita harus merujuk kembali pada hadits dua qullah. Insya Allah kita akan membahas dua hadits ini lebih jauh dalam bab air musta’mal dan bab benda-benda najis.

5. Kelompok kedua menghimpun sejumlah dalil -selain dalil-dalil yang telah kami sebutkan di atas- yang sebenarnya tidak berguna dalam persoalan ini dan tidak bisa mengokohkan argumentasi mereka. Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan dalil-dalil yang mereka himpun tersebut karena saya merasa berkewajiban untuk menukilkannya, walaupun saya tidak akan berpanjang lebar membahasnya, hal ini karena nampak jelas dalil-dalil yang mereka himpun itu tidak sesuai dengan persoalan yang kita bahas. Hadits-hadits tersebut adalah:

a. Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Janganlah salah seorang dari kalian buang air kecil (kencing) pada air tergenang yang tidak mengalir, kemudian dia mandi di dalamnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai dan Abu Dawud)

b. Dari Wabishah bin Ma’bad bahwasanya Rasulullah Saw. berkata padanya:

“Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu, mintalah fatwa pada dirimu, tiga kali, kebajikan itu adalah sesuatu yang menenangkan jiwa, sedangkan dosa adalah sesuatu yang menggalaukan hatimu dan menimbulkan keraguan dalam dada, walaupun orang-orang memberikan fatwanya kepadamu.” (HR. Ahmad dan ad-Darimi. Hadits ini dihasankan oleh as-Suyuthi dan an-Nawawi)

c. Hasan bin Ali ditanya:

“Pesan apa yang engkau hafal dari Rasulullah Saw? Dia menjawab: Aku hafal dari Rasulullah Saw.: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu menuju sesuatu yang tidak meragukanmu.” (Hadits ini diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi. Juga dishahihkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibban)

Perihal hadits yang pertama, pendapat yang saya sampaikan terkait hadits ini sama dengan pendapat yang saya sampaikan terkait hadits perintah mencuci tangan ketika bangun tidur dan hadits jilatan anjing. Hadits pertama ini tidak mengandung pengertian memberi batasan ukuran air selain hanya mentakhsis air dengan air yang tergenang saja. Hadits tersebut tetap bersifat umum, tanpa memberi batasan ukuran air yang tergenang, karena itu hadits yang pertama ini tidak layak digunakan sebagai hujjah, di mana hadits ini memerlukan dalil lain yang menetapkan batasan ukuran airnya. Ini dilakukan dengan anggapan hadits ini menunjukkan air tersebut menjadi najis. Adapun jika maksud hadits tersebut adalah mandi di dalamnya, maka kami katakan bahwa illat larangan mandi dalam hadits ini bukanlah najisnya air tersebut, illatnya adalah kemungkinan air tersebut sudah terkotori dan terkontaminasi air kencing. Dengan demikian, gugurlah penggunaan hadits tersebut sebagai hujjah. Kita akan membahas persoalan-persoalan ini dengan cukup rinci dalam bab air musta'mal.

Adapun hadits kedua dan ketiga, maka di dalamnya tidak ada satupun yang layak digunakan sebagai hujjah dalam persoalan ini, karena keduanya bersifat umum, tidak hanya berlaku dalam persoalan air saja, tetapi juga berlaku dalam seluruh hukum-hukum syara’ yang dzanni lainnya. Kedua hadits ini berlaku dalam persoalan-persoalan asumtif (taqdiriyah) yang porosnya adalah hati.
Sedangkan yang diperintahkan di sini bukanlah itu, hingga jika mereka mengutip hadits-hadits tersebut maka mungkin pihak lain akan mengutipnya juga untuk memperkuat pendapatnya. Seharusnya mereka tidak menyebutkan kedua hadits tersebut dalam persoalan ini, dan seharusnya mereka cukup mengutip dan menjadikan hadits dua qullah sebagai sandaran.
Hadits dua qullah ini shahih, sehingga mereka tidak perlu mengaduk-aduk kitab-kitab hadits mencari nash-nash lain (selain hadits dua qullah) yang seperti telah mereka sebutkan itu. Kesederhanaan (simplicity) dan kejelasan menjadi asas fiqih dan asas hukum syara’ seluruhnya.

Dengan sederhana saya katakan, sesungguhnya inti dari persoalan yang diperbincangkan oleh kedua belah pihak ini hanyalah: apakah hadits yang umum :

“Sesungguhnya air itu suci mensucikan, tidak bisa dinajisi oleh sesuatupun.”

(Apakah hadits yang umum) ini yang harus diamalkan karena hadits yang mentakhsisnya tidak shahih, ataukah hadits yang mentakhsisnya itu adalah hadits shahih sehingga layak digunakan untuk mentakhsis hadits yang umum ini?
Sembilan hadits yang telah mereka sampaikan secara maksimal bisa dibatasi pada dua kategori hadits ini saja. Dengan mengamalkan hadits pentakhsis, yakni hadits dua qullah kita bisa menghasilkan pendapat yang menyatakan bahwa ada air najis dan memang betul-betul ada, sehingga selanjutnya bisa dianggap sebagai suatu kategori yang ada dalam bab kategorisasi air, tetapi air najis itu semata-mata hanya air yang kurang dari dua qullah yang terkena najis walaupun kadar najisnya sedikit, selain itu, yakni air yang terkena najis dalam jumlah banyak sehingga najis tersebut sampai merubah nama dan sifat air maka air tersebut menjadi benda najis, tetapi seperti benda-benda najis lainnya selain air, yakni sudah tidak menjadi air lagi dilihat dari sisi nama dan sifatnya, sehingga tidak perlu dimasukkan dalam pembahasan kategorisasi air. Seandainya kalangan ulama Hanafiyah memiliki pendapat yang lebih kuat dalam persoalan ini, niscaya akan kita kaji dalil-dalil mereka beserta dilalahnya (pengertian yang dikandungnya).

6. Abu Hanifah dan para sahabatnya secara menyendiri memiliki pendapat yang berbeda (lain dari yang lain): Air yang banyak itu bisa menjadi najis karena terkena benda najis, kecuali air yang mencapai ukuran tertentu sehingga diduga kuat benda najis itu tidak mencapainya. Mereka berbeda pendapat terkait ukuran/takaran tersebut.
Abu Hanifah mengatakan: Ukuran air itu adalah jika satu ujungnya (bagian pinggir air) digerakkan maka ujung yang lain tidak bergerak. Abu Yusuf berkata: (Ukuran air itu) adalah air yang mencapai sepuluh hasta kali sepuluh hasta, yang kurang dari ukuran tersebut (bila terkena najis) akan menjadi najis walaupun airnya mencapai seribu qullah, hal ini tiada lain karena Nabi Saw. bersabda: Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang tergenang (tidak mengalir) kemudian dia wudhu di dalamnya. Beliau Saw. melarang wudhu dalam air yang tergenang setelah kencing di dalamnya, dan beliau Saw. tidak membedakan banyak sedikitnya air tersebut, karena air seperti itu adalah air yang terkena najis yang tidak bisa dijamin apakah najisnya menyebar ataukah tidak di dalamnya, sehingga akhirnya air yang seperti itu menjadi najis sama halnya dengan air yang sedikit.
Artinya air yang kurang dari ukuran yang mereka tetapkan itu menjadi najis, sekecil apapun najisnya, dan air yang melebihi ukuran yang mereka tetapkan tidak bisa menjadi najis kecuali karena ada perubahan dalam sifatnya.
Untuk membantah pendapat seperti ini bisa dilakukan dari beberapa segi:

a. Pernyataan yang mereka lontarkan bahwa Rasulullah Saw. tidak membedakan banyak sedikitnya air tersebut sama dengan membatalkan pendapat mereka sendiri ketika mereka justru membatasi air yang banyak itu sebagai air yang ukurannya sepuluh hasta kali sepuluh hasta, atau air yang jika satu ujungnya (bagian pinggir air) digerakkan maka ujung yang lain tidak bergerak. Hal ini tiada lain karena Rasulullah Saw. saja tidak menetapkan batasan air yang banyak seperti pengakuan mereka, maka bagaimana mereka bisa memiliki batasan (air yang banyak) sendiri seperti itu?

b. Mereka sendiri berbeda pendapat dalam menetapkan batasan ukuran air yang banyak itu, ketika mereka sendiri berbeda pendapat dalam ukuran batasan tersebut, maka bagaimana mereka bisa meyakinkan orang lain untuk menerima dan mengikuti pendapat mereka itu?

c. Hadits dua qullah merupakan satu nash yang menetapkan batasan air yang sedikit yang bisa menjadi najis ketika tercampur dengan benda najis, dan sekaligus menetapkan batasan air yang banyak yang tidak bisa menjadi najis. Ketika hadits ini bisa dibuktikan keshahihannya, maka gugurlah analogi dan pendapat mereka itu.

d. Hadits telaga budha'ah adalah hadits shahih yang bisa menjadi argumentasi juga, dan hadits tersebut merupakan nash juga. Telaga budha'ah tidak mencapai batasan yang mereka tetapkan. Abu Dawud berkata: aku mendengar Qutaibah bin Said berkata:

“Aku bertanya pada penaksir telaga budha'ah tentang kedalamannya, dia berkata: Maksimal airnya itu mencapai pinggang. Aku bertanya: Jika berkurang (sedang kurang)? Dia berkata: Di bawah kemaluan. Abu Dawud berkata: Kemudian aku sendiri mengukur telaga budha'ah dengan selendangku, aku bentangkan selendang itu di atasnya, lalu aku mengukurnya dengan lenganku, ternyata luasnya enam hasta, kemudian aku bertanya pada orang yang membukakan pintu kebun itu untukku, lalu dia menyuruhku masuk: Apakah bentuk (bangunan) telaga itu telah dirubah dari bentuk sebelumnya? Dia menjawab tidak, dan aku melihat telaga itu sudah berubah warnanya.

Telaga budha'ah adalah telaga di mana benda-benda najis dibuang ke sana, sehingga warna airnya sedikit berubah. Walaupun begitu, air telaga tersebut tetap suci mensucikan sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang mulia, walaupun batasan/ukuran air tersebut kurang dari batasan/ukuran air yang mereka (ulama Hanafiah) sebutkan. Karena itu, hadits ini pun membatalkan pendapat mereka terkait batasan/ ukuran air.

e. Cara untuk menetapkan batasan ukuran air, dari sisi sedikit dan banyaknya, adalah tauqifiy, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali didasarkan pada nash atau ijma’ sahabat. Batasan yang mereka (ulama Hanafiah) tetapkan di atas tidak memiliki nash dan bukan didasarkan pada ijma’ sahabat, sehingga jelaslah kekeliruan pendapat ini.
Dengan demikian, terbuktilah pernyataan kami di atas bahwa air najis yang dimasukkan dalam bab kategorisasi air hanyalah air yang kurang dari dua qullah kemudian terkena najis, air yang lebih dari itu tetap suci mensucikan sesuai hukum asalnya.

Sebelum beralih pada persoalan air musta’mal dengan tiga cabangnya (derivasinya), saya ingin menyampaikan satu catatan penting, yakni bahwasanya dalil-dalil dan perdebatan yang ada di antara dua kelompok ini semata-mata ada dan terjadi di kalangan fuqaha dan para imam saja, tidak terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah Saw., bahkan bisa dikatakan tidak terjadi di kalangan para tabi’in. Tetapi saya merangkaikan beberapa nama tabi’in dan sahabat di antara para imam itu karena kesamaan pendapat di antara mereka saja.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam