Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 31 Juli 2017

Syariat Bagi Muadzin Adzan



Hal Ihwal Muadzin

Bagi muadzin disunahkan untuk mengumandangkan adzan sambil berdiri, karena posisi seperti ini lebih bagus untuk menyuarakan suara dengan lebih keras. Ini sebelum ditemukannya pengeras suara. Tetapi, menetapi sunnah ini lebih utama dan lebih baik lagi. Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Wahai Bilal, berdirilah dan panggillah (orang-orang untuk melaksanakan) shalat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana disunahkan pula baginya untuk menghadap kiblat, kecuali ketika mengumandangkan hayya ‘alas shalat dan hayya 'alal falah. Kedua kalimat itu diserukan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dari Abu Juhaifah ra., ia berkata:

“Aku melihat Bilal keluar menuju Lembah Bath-ha, lalu dia mengumandangkan adzan. Ketika sampai pada kalimat “marilah kita shalat, marilah meraih kebahagiaan” dia menolehkan lehernya ke kanan dan ke kiri, dan dia memutar (tubuhnya)...” (HR. Abu Dawud)

Tentu saja Bilal melakukan hal itu berdasarkan persetujuan dari Rasulullah Saw. Ini semua jika adzan dikumandangkan tanpa ada alat pengeras suara. Namun, jika disertai alat pengeras suara maka hal ini tidak menjadi sebuah keharusan. Selain itu, tidak menjadi masalah jika seorang muadzin melekatkan jari-jemarinya pada kedua telinganya selama dia mengumandangkan adzan. Hal ini bisa membantunya untuk lebih memperindah suara adzan yang sedang dikumandangkannya. Dari Abu Juhaifah ra., ia berkata:

“Aku melihat Bilal beradzan sambil menoleh, dan aku melihat mulutnya ke sana dan ke sini, yakni ke kanan dan ke kiri, dan jari-jemarinya berada di kedua telinganya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Disunahkan pula bagi muadzin untuk mengumandangkan adzan dalam keadaan suci, karena adzan termasuk bagian dari dzikir, dan bersuci disunahkan ketika berdzikir. Al-Muhajir bin Qunfudz telah meriwayatkan:

“Bahwasanya ia menemui Rasulullah Saw. dan pada saat itu beliau Saw. sedang buang air kecil. Dia mengucapkan salam kepadanya tetapi Rasulullah Saw. tidak membalasnya hingga beliau berwudhu. Kemudian beliau Saw. mengungkapkan alasan kepadanya seraya berkata: “Aku tidak suka mengingat Allah Swt. kecuali aku dalam keadaan suci.” (HR. Abu Dawud)

Diutamakan agar suara muadzin itu bagus, merdu dan kuat. Telah diterangkan dalam hadits Abdullah bin Zaid yang kami sebutkan sebelumnya pada pembahasan “fardlu adzan dan lafadz-lafadznya”:

“Maka berdirilah kamu bersama Bilal, dan diktekan kepadanya apa yang engkau dapatkan dalam mimpimu. Maka beradzanlah Bilal dengannya, karena sesungguhnya ia lebih kuat dan merdu suaranya daripada engkau.”

Dalam hadits al-Barra bin Azib yang kami sebutkan dalam pembahasan keutamaan adzan: Bahwasanya Nabi Allah Saw. telah berkata:

”...Dan muadzin itu baginya diberikan ampunan sekeras suaranya, dan dibenarkan oleh orang yang mendengarnya yang berasal dari tanah kering dan basah, dan baginya semisal pahala orang yang shalat bersamanya.” (HR. Ahmad dan Nasai)

Setiap laki-laki Muslim bisa mengumandangkan adzan, walaupun dia seorang fasik, bodoh, ataupun buta. Dari Malik bin al-Huwairits ra., ia berkata:

“Kami mendatangi Rasulullah Saw., dan kami adalah anak-anak muda yang berdekatan. Lalu kami melaksanakan shalat bersamanya selama dua puluh malam. Ia berkata: Adalah Rasulullah Saw. seorang yang pengasih dan lembut hati, beliau menyangka bahwasanya kami telah menyulitkan keluarga kami. Beliau kemudian bertanya kepada kami tentang orang-orang yang kami tinggalkan di keluarga kami. Kemudian kami beritahukan kepada beliau. Setelah itu beliau Saw. berkata: “Pulanglah kalian kepada keluarga kalian dan dirikanlah shalat di antara mereka. Ajarilah mereka, serta perintahlah mereka (shalat) jika telah tiba waktu shalat. Dan hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan. Kemudian salah seorang yang paling tua di antara kalian hendaknya mengimami kalian.” (HR. Ahmad)

Perkataan beliau Saw.: “dan hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan”, ini menjadi dalil tidak adanya syarat tertentu pada muadzin selain ia adalah salah seorang dari mereka, yakni seorang Muslim. Rasulullah Saw. memiliki seorang muadzin yang buta, yakni Ibnu Ummi Maktum.

Adzan itu hukumnya fardhu bagi kaum lelaki, tidak bagi kaum wanita, sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan “hukum adzan.” Adzan juga sah dilakukan oleh seorang anak kecil yang mampu dan memiliki suara yang kuat, karena anak kecil seperti ini termasuk ke dalam ungkapkan “salah seorang dari kalian.”

Disunahkan pula untuk mentartilkan kalimat adzan, dalam arti agar huruf-huruf mad dibaca panjang dalam proporsi yang bisa menambah keindahan adzan, di mana huruf alif, wawu dan ya dibaca mad, tidak huruf selainnya. Dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk mentartilkan adzan dan memendekkan iqamat.” (HR. Daruquthni)

Perlu diketahui pula bahwa membaguskan adzan tidak harus berlebihan hingga bisa merubah adzan seperti nyanyian atau lagu, sehingga jika adzan sudah sampai pada batasan ini (menyanyikan atau melagukan), maka hal ini terlarang. Dari Ibnu Abbas ra.:

“Adalah Rasulullah Saw. mendapati seorang muadzin yang melagukan adzan seperti nyanyian. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya adzan itu haruslah sederhana dan berwibawa, jika adzanmu seperti itu (maka adzanlah), jika tidak, maka janganlah engkau adzan.” (HR. Daruquthni)

Adzan Dikumandangkan Awal Waktu

Adzan tidak boleh dikumandangkan lebih awal dari waktu shalat kecuali dalam dua keadaan. Pertama: adzan untuk shalat Jum’at; boleh menyerukan adzan awal sebelum masuk waktu, dan Anda sekalian akan mendapati pembahasan ini lebih rinci pada topik “adzan pada hari Jum'at” bab “shalat-shalat fardhu selain shalat lima waktu.”
Kedua: adalah adzan mendahulukan adzan agar orang yang bertahajud bisa menyelesaikan shalatnya dan membangunkan orang yang tidur, sekaligus mengingatkan orang yang lalai untuk segera makan sahur.

Dalil mengumandangkan adzan mesti di awal waktu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurrah ra., ia berkata:

“Bilal mengumandangkan adzan jika matahari tergelincir dengan tepat, kemudian tidak beriqamat hingga Nabi Saw. keluar. Ia berkata, jika Nabi Saw. keluar, Bilal akan beriqamat ketika dia melihatnya.” (HR. Ahmad)

Adapun dalil adanya pengecualian adzan shalat fajar di bulan Ramadhan adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra. dari Nabi Saw., bahwa ia berkata:

“Janganlah salah seorang atau seseorang dari kalian merasa terhalang oleh adzan Bilal dari makan sahur, karena sesungguhnya ia mengumandangkan adzan atau memanggil ketika hari masih malam, agar orang yang sedang shalat di antara kalian segera kembali, atau yang sedang tidur segera bangun.” (HR. Bukhari)

Dalam keadaan ini wajib untuk mengeraskan adzan kedua ketika masuk waktu shalat subuh. Di antara dua adzan tersebut terdapat jeda waktu yang sekedar cukup untuk makan, atau yang sekedar bisa memenuhi kebutuhan seseorang untuk menunaikan hajatnya dan berwudhu, yang kalau ditaksir dengan hitungan jam modern memerlukan waktu sekitar sepuluh menit atau seperempat jam. Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika Bilal mengumandangkan adzan maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Aisyah berkata: Dan di antara keduanya tidak ada perbedaan kecuali yang ini turun dan yang ini naik.” (HR. an-Nasai)

Wallahu a’lam.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam