Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 26 Juli 2017

Kewajiban Shalat Jum’at Fardhu ‘Ain



3. Shalat Jum'at.

Shalat Jum'at hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap Muslim laki-laki. Setiap orang yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa ada ‘udzur atau karena menganggap remeh shalat Jumat tersebut, maka Allah Swt. akan mengunci hatinya, dan di sisi-Nya dia tergolong sebagai orang munafik dan orang yang lalai.
Shalat Jum’at dilaksanakan sebanyak dua rakaat secara berjamaah, didahului dengan berdirinya imam yang menyampaikan dua khutbah di mana di antara keduanya ada duduk sejenak. Shalat Jum’at dilaksanakan secara jahr. Barangsiapa yang shalat dua rakaat Jum'at, maka dia memperoleh kafarat atas dosa-dosa dan kemaksiatan selain dosa besar yang ada antara Jum’at tersebut dengan Jum’at sebelumnya. Berikut ini adalah dalil dari hukum-hukum yang kami sebutkan:

1) Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (TQS. al-Jumu'ah [62]: 9-10)

2) Dari Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah ra., bahwa keduanya mendengar Rasulullah Saw. mengatakan di atas mimbarnya:

“Orang-orang itu akan berhenti dari meninggalkan Jum’at-Jum’at, atau Allah Swt. akan menutup hati-hati mereka, kemudian mereka sungguh menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim dan al-Darimi)

Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dari jalur Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra.

3) Dari Abdullah bin Mas’ud ra.:

“Bahwa Nabi Saw. berkata kepada satu kaum yang mangkir dari shalat: “Sungguh aku berniat memerintahkan seseorang untuk shalat mengimami orang-orang, kemudian aku membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Ahmad, Muslim dan al-Hakim)

4) Dari Jabir bin Abdullah ra. dari Nabi Saw. ia berkata:

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa ada udzur, maka Allah Swt. akan mengunci hatinya.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah dan al-Hakim)

Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi telah meriwayatkan hadits dari jalur Abul Ja’di al-Dhamriy, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang meninggalkan Jum’at sebanyak tiga kali karena menganggapnya remeh, maka Allah mengunci hatinya.”

Dalam riwayat ini disebutkan ucapan beliau Saw.: “menganggap remeh.”

Ibnu Hibban telah meriwayatkan dari Abul Ja’di al-Dhamriy juga, bahwa ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang meninggalkan Jum’at tiga kali karena selain ‘udzur maka dia seorang munafik.”

5) Dari Umar bin Khaththab ra. ia berkata:

“Shalat safar itu dua rakaat, dan shalat dhuha itu dua rakaat, shalat Idul Fitri itu dua rakaat, shalat Jum’at itu dua rakaat, dengan sempurna tanpa ada peringkasan lagi yang berasal dari lisan Muhammad Saw.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Dalam sanadnya ada yang terputus antara Umar dan orang yang meriwayatkannya, yakni Ibnu Abi Laila, kecuali bahwa Baihaqi telah menyambungnya dengan menyebutkan (bahwa) di antara keduanya ada Ka’ab bin ‘Ujrah, sehingga hadits ini layak untuk digunakan sebagai dalil. Tetapi Baihaqi tidak menyebutkan: “yang berasal dari lisan Muhammad Saw”, dan dia meriwayatkan hadits ini secara mauquf pada Umar.

6) Dari Salman al-Farisi ra. ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum'at dan bersuci dengan sekemampuannya, lalu memakai minyak atau menggunakan wewangian di rumahnya, kemudian dia berangkat keluar seraya tidak memisahkan di antara dua orang, lalu melaksanakan shalat yang diwajibkan atasnya, kemudian diam mendengarkan jika imam berbicara, kecuali (dia) akan diampuni dosanya yang ada antara hari itu dengan Jum'at yang lain.” (HR. Bukhari)

Muslim dan Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan kalimat yang sedikit berbeda. Hadits yang diriwayatkan Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban berasal dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian mendatangi jumat, lalu ia mendengar dan tidak berbicara, maka diampuni dosanya yang ada antara dirinya dengan Jum'at tersebut. Dan ada tambahan tiga hari. Dan barangsiapa yang meratakan kerikil maka dia telah berbuat sesuatu yang sia-sia.”

7) Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jum’at yang satu ke Jum’at berikutnya menjadi kafarat dosa yang ada di antara keduanya, selama dosa besar tidak dilakukan.” (HR. Ibnu Majah)

8) Dari Hafshah istri Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Berangkat Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang telah baligh.” (HR. an-Nasai)

9) Dari Jabir bin Samurrah ra. ia berkata:

“Nabi Saw. melakukan dua khutbah dan duduk di antara keduanya. Beliau membaca al-Qur’an dan memberi peringatan kepada manusia.” (HR. Muslim)

Seluruh nash-nash ini menunjukkan pada hukum-hukum yang telah kami sebutkan, dan arah istidlalnya begitu jelas. Dan akan ada tambahan dalil atau penjelasan pada sebagian hukum-hukum ini dalam pembahasan berikutnya, insya Allah.

Pada Siapakah Shalat Jum’at Diwajibkan

Shalat Jum’at diwajibkan bagi penduduk negeri, yakni penduduk kota-kota, desa-desa dan tempat berhimpunnya orang-orang. Tidak wajib bagi orang-orang yang keluar dari tempat-tempat tadi, yang jauh dan tidak mendengar seruan adzan, di mana jauhnya dari kota ditaksir sekitar tiga mil, atau kurang lebih lima kilometer. Barangsiapa yang jauh dari perbatasan kota atau desa dengan jarak sejauh ini, maka tidak ada kewajiban melaksanakan Jum’at baginya, karena dia biasanya tidak bisa mendengar adzan. Yang dimaksud dengan adzan di sini adalah adzan tanpa pengeras suara, jadi, adzannya hanya suara manusia biasa. Abdullah bin Amr telah meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau berkata:

“Jum’at itu wajib bagi orang yang mendengar adzan.” (HR. Abu Dawud dan Daruquthni)

Amr bin Syu’aib meriwayatkan:

“Bahwa Abdullah bin Amr bin Ash berada di lembah sehingga dia tidak bisa menghadiri Jum'at bersama orang-orang di Thaif. Antara dia dengan Thaif berjarak empat atau tiga mil.” (Riwayat Abdur Razaq)

Dari Abdurrahman as-Sulami dari Ali, ia berkata:

“Tidak ada Jum’at dan tidak ada tasyriq kecuali di kota besar.” (Riwayat Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Syaibah)

Ibnu Qudamah berkata: ”...beberapa kabilah Arab tinggal di sekitar Madinah, dan mereka tidak mendirikan Jum’at. Dan Nabi Saw. tidak memerintahkan mereka untuk Jum’at, walaupun hal itu tidak samar…”

Jum’at diwajibkan bagi seluruh Muslim, kecuali orang yang sakit, anak-anak, wanita, hamba, dan musafir, juga orang yang terkena ‘udzur seperti hujan, berlumuran lumpur, dingin yang sangat; ketakutan atas jiwa, harta dan keluarga; dan termasuk orang yang ditahan. Barangsiapa yang shalat Id di hari Jum’at, maka dia tidak perlu lagi shalat Jum’at, walaupun begitu dia tetap boleh melaksanakan dua shalat ini. Hukum tersebut dianjurkan untuk makmum, sedangkan bagi imam maka disunahkan baginya untuk shalat Jum’at digabungkan dengan Id (melaksanakan keduanya). Hal ini agar orang yang tertinggal shalat Ied dan orang yang ingin melaksanakan Jum’at dari mereka yang telah shalat ‘Id bisa mengikuti Jum’at bersamanya.

Bagi orang yang tinggal di kota boleh melakukan perjalanan pada hari Jum’at sebelum tibanya waktu shalat Jum’at. Tetapi pada waktu shalat, tidak boleh baginya melakukan perjalanan, karena shalat Jum’at diwajibkan atasnya dan tidak boleh ditinggalkan. Dari Thariq bin Syihab dari Nabi Saw., beliau bersabda:

“Jum'at itu suatu kewajiban yang dibebankan pada setiap Muslim dalam satu jamaah kecuali empat golongan: (yaitu) hamba yang dimiliki, perempuan, anak kecil atau orang sakit.”

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini secara mursal, sedangkan al-Hakim meriwayatkannya secara bersambung. Menurut al-Hakim, Thariq bin Syihab telah meriwayatkan hadits ini dari Abu Musa ra., sehingga hadits ini shahih. Abdurrazaq telah meriwayatkan dalam kitabnya dari Hasan, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidak ada kewajiban Jum’at bagi orang yang melakukan perjalanan.”

Hadits ini adalah hadits mursal shahabiy, di mana hadits mursal shahabiy layak untuk dijadikan hujjah, karena seluruh sahabat itu bersifat adil. Hadits mursal serupa adalah yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Dawud dari Ibnu Abi Dzi’bin, ia berkata:

“Aku melihat Ibnu Syihab az-Zuhri hendak melakukan perjalanan pada hari Jum'at di waktu dhuha, lalu aku bertanya kepadanya: “Apakah engkau akan mengadakan perjalanan di hari Jum'at?” Maka dia menjawab:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengadakan perjalanan di hari Jum'at.”

Imam Syafi'i meriwayatkan dalam Musnadnya:

“Bahwa Umar bin Khaththab melihat seseorang bersiap-siap melakukan safar, beliau mendengarnya berkata: “Seandainya hari ini bukan hari Jum'at, niscaya aku berangkat.” Maka Umar berkata: “Berangkatlah, karena sesungguhnya Jum'at itu tidak menahan (orang) dari perjalanan.”

Atsar ini, walaupun berupa perkataan Umar, tetapi jauh kemungkinan Umar mengatakan itu berasal dari dirinya sendiri. Dalam hal apapun, perkataan sahabat itu merupakan hukum syara, yang sah untuk diambil dan diamalkan. Dari Abi Malih bin Usamah dari ayahnya, ia berkata:

“Orang-orang ditimpa hujan pada suatu hari Jum’at, lalu Nabi Saw. memerintahkan dengan menyerukan bahwa shalat pada hari itu -yakni di waktu shalat Jum'at pada hari itu- dilakukan di rumah-rumah atau tempat tinggal.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Baihaqi)

Maksud ar-rihal di sini adalah di rumah-rumah (al-buyut) dan tempat tinggal (al-masakin). Ada beberapa riwayat yang menyebutkan rumah-rumah (al-buyut). Dari Abdullah bin al-Harits Ibnu Ammi Muhammad bin Sirin, ia berkata: Ibnu Abbas berkata pada muadzinnya pada hari turun hujan:

“Jika engkau telah mengatakan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah maka janganlah engkau mengatakan hayya ‘alas-shalat (marilah kita shalat), tapi katakanlah shalluu fii buyutikum (shalatlah di rumah-rumah kalian). Lalu orang-orang seolah mengingkari hal itu, maka dia berkata: “Hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, sesungguhnya Jum'at itu suatu 'azimah, dan sesungguhnya aku tidak suka menyusahkan kalian sehingga kalian berjalan di atas tanah dan tempat yang licin.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Ucapan dan perbuatan Ibnu Abbas ini menunjukkan bahwa hujan dan tanah termasuk ‘udzur ditinggalkannya Jum’at, dan ucapan beliau: “dan aku tidak suka menyusahkan kalian” ini menjadi ‘illat ditinggalkannya Jum’at ketika ada hujan dan tanah licin. Inilah masyaqqah (kesulitan) dan bisa menimbulkan kesusahan.

Termasuk 'udzur adalah angin kencang dan udara yang sangat dingin. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Nafi dari Ibnu Umar, ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. menyuruh muadzinnya pada malam yang berhujan atau malam yang dingin dan berangin: “Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Ibnu Majah dan Malik)

Meskipun demikian, tidak bisa dinyatakan bahwa kondisi malam hari dalam hadits ini menjadi satu batasan, atau ini juga terkait dengan shalat jamaah bukan shalat Jum’at, pernyataan seperti itu tidak bisa diterima, karena kesimpulan yang ditarik di sini adalah dengan menganggap bahwa dingin, angin dan hujan itu sebagai ‘udzur, di mana ketiganya tetap sebagai ‘udzur, sehingga ketiga hal ini bisa diterapkan pada shalat Jum’at, sebab ‘udzur itu tetap menjadi ‘udzur, tidak ada pembedaan dalam nash-nash di atas antara ‘udzur jamaah dengan ‘udzur Jum’at. Yang bisa menguatkan pemahaman ini adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. dari Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan lalu dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ‘udzur.” (HR. Ibnu majah)

Di sini panggilan tersebut bersifat umum, dan ‘udzur juga bersifat umum, sehingga membatasi ‘udzur hanya dalam meninggalkan shalat jamaah, tidak termasuk shalat Jum'at, merupakan pemahaman yang tidak benar.

Ketakutan juga merupakan ‘udzur. Ketakutan itu bisa atas jiwa dari musuh atau binatang buas atau banjir besar dan lain-lain, bisa juga ketakutan atas harta, atau ketakutan atas keluarga. Ketakutan apapun dari ketiga jenis ini bisa termasuk dalam kategori 'udzur ketakutan yang membolehkan seseorang meninggalkan shalat Jum’at. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang mendengar muadzin lalu tidak ada udzur yang menghalanginya untuk memenuhi (panggilannya), mereka bertanya: “Apakah udzur itu?” Beliau Saw. menjawab: “Ketakutan atau sakit, maka shalat yang dilakukan olehnya tidak akan diterima.” (HR. Abu Dawud)

Penahanan (dalam penjara) juga merupakan suatu ‘udzur, karena menghalangi orang yang ditahan untuk bisa mengikuti shalat Jumat, dan perkara ini sangat jelas.

Barangsiapa yang shalat hari raya di hari Jum'at maka shalat Jum’at tidak diwajibkan atasnya. Dengan shalat ‘Id dia tidak perlu lagi melaksanakan shalat Jum’at, dan Anda sekalian bisa mendapati pembahasan ini pada sub bab nomor 2 topik “shalat dua hari raya: hukum dan waktunya.”

Waktu Shalat Jum'at

Waktu shalat Jum’at adalah (sama dengan) waktu shalat dhuhur, yakni ketika matahari tergelincir dari tengah-tengah langit ke arah Barat. Iyas bin Salamah bin al-Akwa’ telah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata:

“Kami melaksanakan (shalat) Jum’at bersama Rasulullah Saw. jika matahari tergelincir, kemudian kami pulang sambil mencari bayang-bayang.” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik ra.:

“Bahwa Nabi Saw. shalat Jum'at ketika matahari mulai condong.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Tirmidzi)

Nabi Saw. telah mengkhususkan shalat dhuhur dengan mengakhirkannya pada saat hari-hari yang sangat panas atau mengawalkannya pada hari-hari yang amat dingin, maka begitu pula yang dilakukan Nabi Saw. dalam mengkhususkan shalat Jum'at. Beliau Saw. suka menyegerakan shalat ketika muslim dingin, dan mengakhirkannya ketika hari sangat panas. Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:

“Adalah Nabi Saw., jika hari sangat dingin beliau Saw. menyegerakan shalat, dan ketika hari sangat panas beliau menunggu udara mulai dingin untuk melakukan shalat, yakni shalat Jum'at.” (HR. Bukhari dan Ibnu Khuzaimah)


Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam