3. Shalat Jum'at.
Shalat Jum'at hukumnya
fardhu ‘ain bagi setiap Muslim laki-laki. Setiap orang yang meninggalkan shalat
Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa ada ‘udzur atau karena menganggap
remeh shalat Jumat tersebut, maka Allah Swt. akan mengunci hatinya, dan di
sisi-Nya dia tergolong sebagai orang munafik dan orang yang lalai.
Shalat Jum’at
dilaksanakan sebanyak dua rakaat secara berjamaah, didahului dengan berdirinya
imam yang menyampaikan dua khutbah di mana di antara keduanya ada duduk
sejenak. Shalat Jum’at dilaksanakan secara jahr.
Barangsiapa yang shalat dua rakaat Jum'at, maka dia memperoleh kafarat atas
dosa-dosa dan kemaksiatan selain dosa besar yang ada antara Jum’at tersebut
dengan Jum’at sebelumnya. Berikut ini adalah dalil dari hukum-hukum yang kami
sebutkan:
1) Allah Swt.
berfirman:
“Hai orang-orang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (TQS. al-Jumu'ah [62]: 9-10)
2) Dari Abdullah bin
Umar dan Abu Hurairah ra., bahwa keduanya mendengar Rasulullah Saw. mengatakan
di atas mimbarnya:
“Orang-orang itu akan
berhenti dari meninggalkan Jum’at-Jum’at, atau Allah Swt. akan menutup
hati-hati mereka, kemudian mereka sungguh menjadi orang-orang yang lalai.” (HR.
Muslim dan al-Darimi)
Ahmad, an-Nasai, dan
Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dari jalur Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra.
3) Dari Abdullah bin
Mas’ud ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
berkata kepada satu kaum yang mangkir dari shalat: “Sungguh aku berniat
memerintahkan seseorang untuk shalat mengimami orang-orang, kemudian aku
membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Ahmad, Muslim
dan al-Hakim)
4) Dari Jabir bin
Abdullah ra. dari Nabi Saw. ia berkata:
“Barangsiapa yang
meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa ada udzur, maka Allah Swt.
akan mengunci hatinya.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah dan
al-Hakim)
Ibnu Hibban, Ahmad,
Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi telah meriwayatkan hadits dari jalur Abul
Ja’di al-Dhamriy, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
meninggalkan Jum’at sebanyak tiga kali karena menganggapnya remeh, maka Allah
mengunci hatinya.”
Dalam riwayat ini
disebutkan ucapan beliau Saw.: “menganggap remeh.”
Ibnu Hibban telah
meriwayatkan dari Abul Ja’di al-Dhamriy juga, bahwa ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Barangsiapa yang
meninggalkan Jum’at tiga kali karena selain ‘udzur maka dia seorang munafik.”
5) Dari Umar bin
Khaththab ra. ia berkata:
“Shalat safar itu dua
rakaat, dan shalat dhuha itu dua rakaat, shalat Idul Fitri itu dua rakaat,
shalat Jum’at itu dua rakaat, dengan sempurna tanpa ada peringkasan lagi yang
berasal dari lisan Muhammad Saw.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Dalam sanadnya ada
yang terputus antara Umar dan orang yang meriwayatkannya, yakni Ibnu Abi Laila,
kecuali bahwa Baihaqi telah menyambungnya dengan menyebutkan (bahwa) di antara
keduanya ada Ka’ab bin ‘Ujrah, sehingga hadits ini layak untuk digunakan sebagai
dalil. Tetapi Baihaqi tidak menyebutkan: “yang berasal dari lisan Muhammad
Saw”, dan dia meriwayatkan hadits ini secara mauquf
pada Umar.
6) Dari Salman
al-Farisi ra. ia berkata: Nabi Saw. bersabda:
“Tidaklah seseorang
mandi pada hari Jum'at dan bersuci dengan sekemampuannya, lalu memakai minyak
atau menggunakan wewangian di rumahnya, kemudian dia berangkat keluar seraya
tidak memisahkan di antara dua orang, lalu melaksanakan shalat yang diwajibkan atasnya,
kemudian diam mendengarkan jika imam berbicara, kecuali (dia) akan diampuni
dosanya yang ada antara hari itu dengan Jum'at yang lain.” (HR. Bukhari)
Muslim dan Ahmad
meriwayatkan hadits ini dengan kalimat yang sedikit berbeda. Hadits yang
diriwayatkan Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban berasal dari Abu Hurairah ra., ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian mendatangi jumat, lalu ia
mendengar dan tidak berbicara, maka diampuni dosanya yang ada antara dirinya
dengan Jum'at tersebut. Dan ada tambahan tiga hari. Dan barangsiapa yang
meratakan kerikil maka dia telah berbuat sesuatu yang sia-sia.”
7) Dari Abu Hurairah
ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jum’at yang satu ke
Jum’at berikutnya menjadi kafarat dosa yang ada di antara keduanya, selama dosa
besar tidak dilakukan.” (HR. Ibnu Majah)
8) Dari Hafshah istri
Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Berangkat Jum’at itu
wajib bagi setiap orang yang telah baligh.” (HR. an-Nasai)
9) Dari Jabir bin
Samurrah ra. ia berkata:
“Nabi Saw. melakukan
dua khutbah dan duduk di antara keduanya. Beliau membaca al-Qur’an dan memberi
peringatan kepada manusia.” (HR. Muslim)
Seluruh nash-nash ini
menunjukkan pada hukum-hukum yang telah kami sebutkan, dan arah istidlalnya begitu jelas. Dan akan ada
tambahan dalil atau penjelasan pada sebagian hukum-hukum ini dalam pembahasan
berikutnya, insya Allah.
Pada Siapakah Shalat Jum’at
Diwajibkan
Shalat Jum’at
diwajibkan bagi penduduk negeri, yakni penduduk kota-kota, desa-desa dan tempat
berhimpunnya orang-orang. Tidak wajib bagi orang-orang yang keluar dari
tempat-tempat tadi, yang jauh dan tidak mendengar seruan adzan, di mana jauhnya
dari kota ditaksir sekitar tiga mil, atau kurang lebih lima kilometer.
Barangsiapa yang jauh dari perbatasan kota atau desa dengan jarak sejauh ini,
maka tidak ada kewajiban melaksanakan Jum’at baginya, karena dia biasanya tidak
bisa mendengar adzan. Yang dimaksud dengan adzan di sini adalah adzan tanpa
pengeras suara, jadi, adzannya hanya suara manusia biasa. Abdullah bin Amr
telah meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau berkata:
“Jum’at itu wajib bagi
orang yang mendengar adzan.” (HR. Abu Dawud dan Daruquthni)
Amr bin Syu’aib
meriwayatkan:
“Bahwa Abdullah bin
Amr bin Ash berada di lembah sehingga dia tidak bisa menghadiri Jum'at bersama
orang-orang di Thaif. Antara dia dengan Thaif berjarak empat atau tiga mil.”
(Riwayat Abdur Razaq)
Dari Abdurrahman
as-Sulami dari Ali, ia berkata:
“Tidak ada Jum’at dan
tidak ada tasyriq kecuali di kota
besar.” (Riwayat Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Syaibah)
Ibnu Qudamah berkata:
”...beberapa kabilah Arab tinggal di sekitar Madinah, dan mereka tidak
mendirikan Jum’at. Dan Nabi Saw. tidak memerintahkan mereka untuk Jum’at,
walaupun hal itu tidak samar…”
Jum’at diwajibkan bagi
seluruh Muslim, kecuali orang yang sakit, anak-anak, wanita, hamba, dan
musafir, juga orang yang terkena ‘udzur seperti hujan, berlumuran lumpur,
dingin yang sangat; ketakutan atas jiwa, harta dan keluarga; dan termasuk orang
yang ditahan. Barangsiapa yang shalat Id di hari Jum’at, maka dia tidak perlu
lagi shalat Jum’at, walaupun begitu dia tetap boleh melaksanakan dua shalat
ini. Hukum tersebut dianjurkan untuk makmum, sedangkan bagi imam maka
disunahkan baginya untuk shalat Jum’at digabungkan dengan Id (melaksanakan
keduanya). Hal ini agar orang yang tertinggal shalat Ied dan orang yang ingin
melaksanakan Jum’at dari mereka yang telah shalat ‘Id bisa mengikuti Jum’at
bersamanya.
Bagi orang yang
tinggal di kota boleh melakukan perjalanan pada hari Jum’at sebelum tibanya
waktu shalat Jum’at. Tetapi pada waktu shalat, tidak boleh baginya melakukan
perjalanan, karena shalat Jum’at diwajibkan atasnya dan tidak boleh
ditinggalkan. Dari Thariq bin Syihab dari Nabi Saw., beliau bersabda:
“Jum'at itu suatu
kewajiban yang dibebankan pada setiap Muslim dalam satu jamaah kecuali empat
golongan: (yaitu) hamba yang dimiliki, perempuan, anak kecil atau orang sakit.”
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini secara mursal, sedangkan
al-Hakim meriwayatkannya secara bersambung. Menurut al-Hakim, Thariq bin Syihab
telah meriwayatkan hadits ini dari Abu Musa ra., sehingga hadits ini shahih.
Abdurrazaq telah meriwayatkan dalam kitabnya dari Hasan, ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Tidak ada kewajiban
Jum’at bagi orang yang melakukan perjalanan.”
Hadits ini adalah
hadits mursal shahabiy, di mana hadits mursal shahabiy layak untuk dijadikan hujjah, karena seluruh sahabat itu bersifat
adil. Hadits mursal serupa adalah yang
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Dawud dari Ibnu Abi Dzi’bin, ia berkata:
“Aku melihat Ibnu
Syihab az-Zuhri hendak melakukan perjalanan pada hari Jum'at di waktu dhuha,
lalu aku bertanya kepadanya: “Apakah engkau akan mengadakan perjalanan di hari
Jum'at?” Maka dia menjawab:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. mengadakan perjalanan di hari Jum'at.”
Imam Syafi'i
meriwayatkan dalam Musnadnya:
“Bahwa Umar bin
Khaththab melihat seseorang bersiap-siap melakukan safar, beliau mendengarnya
berkata: “Seandainya hari ini bukan hari Jum'at, niscaya aku berangkat.” Maka
Umar berkata: “Berangkatlah, karena sesungguhnya Jum'at itu tidak menahan
(orang) dari perjalanan.”
Atsar ini, walaupun berupa perkataan Umar,
tetapi jauh kemungkinan Umar mengatakan itu berasal dari dirinya sendiri. Dalam
hal apapun, perkataan sahabat itu merupakan hukum syara, yang sah untuk diambil
dan diamalkan. Dari Abi Malih bin Usamah dari ayahnya, ia berkata:
“Orang-orang ditimpa
hujan pada suatu hari Jum’at, lalu Nabi Saw. memerintahkan dengan menyerukan
bahwa shalat pada hari itu -yakni di waktu shalat Jum'at pada hari itu-
dilakukan di rumah-rumah atau tempat tinggal.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai
dan Baihaqi)
Maksud ar-rihal di sini adalah di rumah-rumah (al-buyut) dan tempat tinggal (al-masakin). Ada beberapa riwayat yang
menyebutkan rumah-rumah (al-buyut). Dari
Abdullah bin al-Harits Ibnu Ammi Muhammad bin Sirin, ia berkata: Ibnu Abbas
berkata pada muadzinnya pada hari turun hujan:
“Jika engkau telah
mengatakan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah maka janganlah
engkau mengatakan hayya ‘alas-shalat
(marilah kita shalat), tapi katakanlah shalluu
fii buyutikum (shalatlah di rumah-rumah kalian). Lalu orang-orang seolah
mengingkari hal itu, maka dia berkata: “Hal itu telah dilakukan oleh orang yang
lebih baik dariku, sesungguhnya Jum'at itu suatu 'azimah,
dan sesungguhnya aku tidak suka menyusahkan kalian sehingga kalian berjalan di
atas tanah dan tempat yang licin.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Ucapan dan perbuatan
Ibnu Abbas ini menunjukkan bahwa hujan dan tanah termasuk ‘udzur
ditinggalkannya Jum’at, dan ucapan beliau: “dan aku tidak suka menyusahkan
kalian” ini menjadi ‘illat
ditinggalkannya Jum’at ketika ada hujan dan tanah licin. Inilah masyaqqah (kesulitan) dan bisa menimbulkan
kesusahan.
Termasuk 'udzur adalah
angin kencang dan udara yang sangat dingin. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Nafi dari Ibnu Umar, ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. menyuruh muadzinnya pada malam yang berhujan atau malam yang dingin dan
berangin: “Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Ibnu Majah dan Malik)
Meskipun demikian,
tidak bisa dinyatakan bahwa kondisi malam hari dalam hadits ini menjadi satu
batasan, atau ini juga terkait dengan shalat jamaah bukan shalat Jum’at,
pernyataan seperti itu tidak bisa diterima, karena kesimpulan yang ditarik di
sini adalah dengan menganggap bahwa dingin, angin dan hujan itu sebagai ‘udzur,
di mana ketiganya tetap sebagai ‘udzur, sehingga ketiga hal ini bisa diterapkan
pada shalat Jum’at, sebab ‘udzur itu tetap menjadi ‘udzur, tidak ada pembedaan
dalam nash-nash di atas antara ‘udzur jamaah dengan ‘udzur Jum’at. Yang bisa
menguatkan pemahaman ini adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. dari
Nabi Saw., beliau Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mendengar panggilan adzan lalu dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat
baginya kecuali karena ‘udzur.” (HR. Ibnu majah)
Di sini panggilan
tersebut bersifat umum, dan ‘udzur juga bersifat umum, sehingga membatasi
‘udzur hanya dalam meninggalkan shalat jamaah, tidak termasuk shalat Jum'at,
merupakan pemahaman yang tidak benar.
Ketakutan juga
merupakan ‘udzur. Ketakutan itu bisa atas jiwa dari musuh atau binatang buas
atau banjir besar dan lain-lain, bisa juga ketakutan atas harta, atau ketakutan
atas keluarga. Ketakutan apapun dari ketiga jenis ini bisa termasuk dalam
kategori 'udzur ketakutan yang membolehkan seseorang meninggalkan shalat
Jum’at. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mendengar muadzin lalu tidak ada udzur yang menghalanginya untuk memenuhi
(panggilannya), mereka bertanya: “Apakah udzur itu?” Beliau Saw. menjawab:
“Ketakutan atau sakit, maka shalat yang dilakukan olehnya tidak akan diterima.”
(HR. Abu Dawud)
Penahanan (dalam
penjara) juga merupakan suatu ‘udzur, karena menghalangi orang yang ditahan
untuk bisa mengikuti shalat Jumat, dan perkara ini sangat jelas.
Barangsiapa yang
shalat hari raya di hari Jum'at maka shalat Jum’at tidak diwajibkan atasnya.
Dengan shalat ‘Id dia tidak perlu lagi melaksanakan shalat Jum’at, dan Anda
sekalian bisa mendapati pembahasan ini pada sub bab nomor 2 topik “shalat dua
hari raya: hukum
dan waktunya.”
Waktu Shalat Jum'at
Waktu shalat Jum’at
adalah (sama dengan) waktu shalat dhuhur, yakni ketika matahari tergelincir
dari tengah-tengah langit ke arah Barat. Iyas bin Salamah bin al-Akwa’ telah
meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata:
“Kami melaksanakan
(shalat) Jum’at bersama Rasulullah Saw. jika matahari tergelincir, kemudian
kami pulang sambil mencari bayang-bayang.” (HR. Muslim)
Dari Anas bin Malik
ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
shalat Jum'at ketika matahari mulai condong.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan
Tirmidzi)
Nabi Saw. telah
mengkhususkan shalat dhuhur dengan mengakhirkannya pada saat hari-hari yang
sangat panas atau mengawalkannya pada hari-hari yang amat dingin, maka begitu
pula yang dilakukan Nabi Saw. dalam mengkhususkan shalat Jum'at. Beliau Saw.
suka menyegerakan shalat ketika muslim dingin, dan mengakhirkannya ketika hari
sangat panas. Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:
“Adalah Nabi Saw.,
jika hari sangat dingin beliau Saw. menyegerakan shalat, dan ketika hari sangat
panas beliau menunggu udara mulai dingin untuk melakukan shalat, yakni shalat
Jum'at.” (HR. Bukhari dan Ibnu Khuzaimah)
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar