Jum’at itu seperti
(shalat) jamaah,
yang sah dilakukan oleh dua orang saja. Dan setiap kali bilangannya lebih
banyak maka Jum’at tersebut lebih utama. Akan tetapi dengan keberadaan dua
orang ini atau lebih dan mewajibkan mereka untuk melaksanakan shalat Jum'at,
itu harus dilakukan di kota atau desa atau sekumpulan penduduk, bukan di
lingkungan nomaden, lading, atau tanah lapang (jauh dari kota atau desa).
Sebab, orang-orang nomaden, penghuni sahara dan yang tinggal di lading, tidak
wajib atas mereka untuk melaksanakan shalat Jum’at walaupun jumlah mereka
banyak. Jum’at tidak wajib kecuali bagi penduduk negeri dan kota, sebagaimana
yang kami sebutkan sebelumnya.
Mengenai persoalan
yang diperdebatkan oleh para ahli fikih terkait jumlah yang harus dipenuhi
untuk wajibnya shalat Jum’at, itu semua adalah hasil kesimpulan yang tidak
digali dan disandarkan pada nash-nash yang layak dijadikan sebagai dalil. Tidak
ada satu hadits pun yang menetapkan jumlah yang harus dipenuhi dalam Jum’at,
tidak ada satu hadits pun yang menentukan bilangan tertentu, yang mensyaratkan
bilangan tertentu untuk sahnya pelaksanaan shalat Jum’at. Apa yang disebutkan
dalam hadits terkait penyebutan bilangan orang, hal itu tidak lebih sekedar
menggambarkan fakta yang terjadi, bukan sebagai syarat, atau bisa juga
disebutkan dalam riwayat-riwayat yang lemah yang tidak layak dijadikan dalil.
Contohnya:
1) Dari Abdurrahman
bin Ka’ab bin Malik dari ayahnya:
“As'ad menjadi orang
pertama yang mengumpulkan kami di Madinah sebelum kedatangan Rasulullah Saw.,
di suatu lembah dari lahan (milik) Bani Bayadhah di Naqi’, yang disebut
al-Khudhummat. Aku bertanya:
“Berapa jumlah kalian
waktu itu?” Dia menjawab: “Empat puluh orang.” (Riwayat Baihaqi dan Daruquthni)
Lafadz hurrah artinya tanah yang ditutupi batu
berwarna hitam, dan hurrah Bani Bayadhah
ini terletak sejauh satu mil dari kota Madinah.
2) Dari Jabir:
“Bahwa Nabi Saw.
berkhutbah dengan berdiri pada hari Jum'at. Lalu datanglah kafilah dagang dari
Syam, maka orang-orang pun berhamburan pergi ke arahnya hingga tidak tersisa
kecuali dua belas orang saja.” (HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)
Hadits yang pertama
menyebutkan jumlah empat puluh, dan pada hadits yang kedua disebutkan berjumlah
dua belas, maka kedua jumlah ini telah disebutkan dalam dua teks hadits ini,
tetapi tidak disebutkan yang manakah dari keduanya yang menjadi syarat wajibnya
Jum’at, sehingga realita yang terjadi dalam hadits ini tidak bisa serta-merta
menjadi syarat. Dengan demikian, tidak bisa disimpulkan dari dua nash hadits
ini bahwa shalat Jum’at itu disyaratkan harus terpenuhi jumlah empat puluh
orang atau terpenuhi jumlah dua belas orang. Dan seperti:
1) Dari Jabir, dia
berkata:
“Sunnah telah berlaku
bahwa pada setiap tiga orang harus ada seorang imam, dan pada setiap empat
puluh orang dan selebihnya itu ada Jum'at, Idul Fitri, dan Idul Adha. Hal ini
karena mereka adalah satu jamaah.” (Riwayat Ahmad, an-Nasai, Daruquthni, Ibnu Hibban
dan Baihaqi)
2) Dari Ummu Abdillah
ad-Dusiyah ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jum’at itu menjadi
suatu kewajiban atas setiap penduduk desa walaupun di dalamnya tidak ada
kecuali hanya empat orang saja.” (HR. Baihaqi)
3) Dari Abu Umamah
bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Atas lima puluh orang
itu ada kewajiban Jum'at, dan tidak ada kewajiban Jum'at apabila bilangan
orangnya di bawah jumlah tersebut.” (HR. Daruquthni)
Inilah tiga teks
hadits yang menyebutkan jumlah sebagai syarat sah Jum'at. Namun, selain
mengandung pengertian yang saling bertentangan, hadits-hadits ini juga memiliki
sanad yang lemah, yang sama sekali tidak layak untuk dijadikan hujjah.
Hadits yang pertama
telah dilemahkan oleh jumhur para hafidz hadits. Imam Baihaqi berkata: “hadits
serupa ini tidak boleh dijadikan hujjah.”
Hadits yang kedua
telah dilemahkan oleh Baihaqi sendiri,
dan hadits yang ketiga
telah dilemahkan oleh Daruquthni sendiri karena di dalam sanadnya terdapat Ja'far bin Zubair.
Daruquthni berkata: dia seorang matruk.
Ini semua adalah
hadits-hadits yang lemah (dhaif) yang tidak boleh dijadikan hujjah, sehingga tidak layak sama sekali
dijadikan sebagai dalil.
Sedangkan apa yang
diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa dia mensyaratkan empat puluh orang
-dalam satu riwayat-, dan mensyaratkan lima puluh orang -dalam riwayat yang
lain-, maka hal itu tidak layak dijadikan sebagai dalil, karena perkataan para
tabi'in dan orang-orang setelah mereka bukanlah dalil.
Ringkasnya, saya
katakan bahwa semua yang dinyatakan terkait penetapan syarat jumlah, itu tidak
ada dalilnya sama sekali.
Mendapati Satu Rakaat Jum'at
Meniscayakan Mendapatkan Shalat Jum'at
Barangsiapa yang
mendapati satu rakat dari dua rakaat (shalat) Jum'at maka dia telah mendapatkan
shalat Jum'at, dan dia harus menyelesaikan shalatnya dengan melakukan rakaat
yang kedua saja (menggenapinya). Namun, orang yang mendapati kurang dari satu
rakaat, seperti orang yang mendapati imam dalam keadaan sujud pada rakaat yang
kedua, atau imam sedang duduk tasyahud,
maka dia tidak mendapati shalat Jum'at. Karena itu dia wajib shalat empat
rakaat, yakni shalat dhuhur. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., bersabda:
“Barangsiapa yang
mendapatkan satu rakaat shalat maka dia telah mendapatkan shalat.” (HR.
Tirmidzi, Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Dari Abu Hurairah ra.
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mendapati satu rakaat dari Jum'at maka hendaklah dia menyelesaikan rakaat
shalat (sisanya) yang lain.” (HR. al-Hakim)
Dalam riwayat Ibnu
Khuzaimah dikatakan:
“Barangsiapa yang
mendapati dari shalat Jum'at satu rakaat saja, maka sesungguhnya dia telah
mendapatkan shalat.”
Dari Ibnu Mas'ud ra.
ia berkata:
“Barangsiapa yang
mendapatkan dari shalat Jum'at satu rakaat, maka hendaknya dia menambahkan
rakaat yang lain padanya. Dan barangsiapa yang luput darinya dua rakaat
tersebut maka hendaknya dia shalat empat rakaat.” (Riwayat Thabrani)
Tirmidzi berkata: “dan
yang biasa dilakukan menurut sebagian besar ahli ilmu dari kalangan sahabat
Nabi Saw. dan sebagainya, mereka berkata: barangsiapa yang mendapati satu
rakaat dari shalat Jum'at maka hendaklah dia menyelesaikan rakaat shalat yang
lainnya, dan barangsiapa yang mendapati jamaah shalat dalam keadaan duduk, maka
hendaklah dia shalat empat rakaat.”
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar