Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 27 Juli 2017

Dalil Tata Cara Shalat Khauf



BAB KESEPULUH

SHALAT ORANG-ORANG YANG BERUDZUR (ORANG YANG TAKUT, MUSAFIR, DAN ORANG SAKIT)

1. Shalat Khauf

Jika kaum Muslim takut pada musuh mereka, maka disyariatkan kepada mereka untuk melaksanakan shalatnya secara diqashar dalam bentuk dan tata cara yang dipaparkan oleh sebagian imam, yang memiliki hingga tujuh bentuk, dan oleh sebagian imam lainnya hingga tujuh belas bentuk. Dalil atas disyariatkan shalat ini adalah firman Allah Swt.:

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS. an-Nisa [4]: 101)

Mengqashar shalat khauf itu bersifat umum, yaitu dengan mengurangi jumlah rakaat shalat, di mana shalat yang berjumlah empat rakaat (dikurangi) menjadi dua rakaat, sebagaimana pelaksanaan satu rakaat shalat. Begitu pula shalat yang berjumlah dua rakaat, seperti shalat subuh. Jadi, hal itu dilakukan dengan mengurangi batasannya, ruku’nya, sujudnya, maupun bentuknya.
Shalat khauf dilaksanakan dengan isyarat, tanpa ruku’, tanpa sujud, tanpa berdiri, dan tanpa menghadap ke arah kiblat, yakni shalat tersebut dilakukan dengan cara bagaimanapun, dan kondisi terakhirnya adalah ketika ketakutan sudah memuncak dan tatkala perang sedang berkecamuk. Seluruh pengurangan ini termasuk dalam pengertian yang difirmankan Allah Swt.:

“kamu mengqashar shalat(mu).” (TQS. an-Nisa [4]: 101)

Qashar yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah pengurangan secara mutlak, bukan seperti qashar yang biasa ada dalam perjalanan (safar) dengan cara mengurangi dari empat rakaat menjadi dua rakaat saja. Dalil atas pemahaman ini berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.

Mengenai al-Qur’an, setelah ayat di atas, menyatakan:

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh), dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus, dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit. Dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]: 102-103)

Allah Swt. telah berfirman: “lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka”, dan setelah itu Allah Swt. menyebutkan salah satu bentuk pengqasharan shalat, yakni bahwa Allah Swt. telah menyebut shalat yang dilakukan secara qashar oleh orang yang takut (dalam kondisi perang) tersebut sebagai mendirikan shalat, yang bisa membawa pengertian bahwa orang yang melakukan shalat khauf yang diqashar hingga dua rakaat itu bisa dianggap sebagai orang yang mendirikan shalat.
Setelah itu Allah Swt. berfirman: “Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu”, walaupun tetap dalam kondisi qashar, ini berarti bahwa shalat tanpa rasa aman tidak dipandang sebagai mendirikan shalat. Dengan kata lain, melaksanakan shalat dengan hati yang aman, itu bisa disebut sebagai mendirikan shalat. Pemahaman yang bisa diambil adalah bahwa melaksanakan shalat tanpa rasa aman tidak bisa dianggap sebagai mendirikan shalat.
Jika kita mengetahui bahwa Rasulullah Saw. -ketika diperintah untuk melaksanakan shalat khauf yang diqashar bersama kaum Muslim-, di mana beliau diseru dengan firman Allah Swt.: “lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka”, maka kita bisa paham bahwa shalat khauf yang diqashar hingga dua rakaat itu termasuk iqamatus shalat (mendirikan shalat). Dan firman-Nya: “Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu”, tidak menunjukkan apapun kecuali bahwa melaksanakan shalat tanpa rasa aman tidak bisa disebut dengan istilah mendirikan shalat. Shalat yang dilakukan ketika tidak ada rasa aman dengan melakukan suatu pengurangan (qashar biasa), maka shalat yang dilaksanakan tersebut tidak dipandang sebagai shalat yang didirikan. Ini menunjukkan bahwa shalat itu dilaksanakan dengan pengurangan bentuk lain, yang bukan dengan mengurangi jumlah rakaat menjadi dua rakaat, yakni shalat tersebut dilakukan dengan isyarat atau cukup shalat dengan satu rakaat saja.

Tentang hadits, disebutkan sebagai berikut:

a. Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Allah azza wa jalla telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian Saw., bagi orang yang mukim empat rakaat, bagi orang yang musafir (bepergian) dua rakaat, dan bagi orang yang takut (al-kha’if) satu rakaat.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan al-Baihaqi)

b. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. melaksanakan shalat khauf di Dzi Qarad -salah satu wilayah Bani Sulaim- lalu orang-orang berbaris di belakangnya dua barisan. Satu barisan menghadapi musuh, dan satu barisan lagi berbaris di belakang beliau Saw. Beliau Saw. shalat bersama barisan yang ada di belakangnya satu rakaat. Kemudian mereka (yang telah shalat satu rakaat) mundur ke barisan mereka (yang menghadapi musuh), dan mereka (yang berada di barisan yang menghadapi musuh) pindah ke tempat mereka (yang telah shalat), lalu beliau Saw. mengimami mereka shalat satu rakaat yang lain -dalam satu riwayat ada tambahan-. Maka Nabi Saw. melaksanakan dua rakaat, sedangkan setiap kelompok barisan itu melaksanakan satu rakaat.” (HR. Ahmad, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim dan Ibnu Hibban)

Ahmad, an-Nasai, al-Baihaqi dan at-Thahawiy telah meriwayatkan hadits yang serupa dari Jabir. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim telah meriwayatkan hadits serupa dari Hudzaifah.

c. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. singgah di suatu tempat antara Dhajnan dan 'Usfan, lalu kaum musyrik berkata: “Sesungguhnya mereka memiliki shalat yang lebih mereka cintai dari bapak-bapak mereka dan anak-anak mereka, yakni shalat ashar, karena itu bersatulah kalian dan seranglah mereka dalam waktu yang sama saat itu.” Jibril as. telah mendatangi Nabi Saw. dan memerintahkannya untuk membagi para sahabatnya menjadi dua bagian. Lalu beliau shalat mengimami satu kelompok dari mereka, dan kelompok yang lain berada di belakang mereka, dan mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Kemudian (usai shalat kelompok yang pertama) datanglah kelompok lain dan mereka melakukan shalat bersama beliau Saw., dan kemudian mereka bersiap siaga dan menyandang senjata, sehingga mereka mendapatkan satu rakaat – satu rakaat bersama Rasulullah Saw. Sedangkan Rasulullah Saw. mendapatkan dua rakaat.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Tirmidzi)

Dhajnan dan ‘Usfan adalah dua tempat yang terletak di antara Makkah dan Madinah. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa shalat ketika ada ketakutan, itu dikurangi hingga satu rakaat saja.

Ada juga hadits lain:

a. Bukhari, Malik dan Ibnu Majah meriwayatkan satu hadits yang panjang dari Abdullah bin Umar ra., dan di bagian akhirnya ada perkataan Ibnu Umar:

“Sehingga setiap kelompok dari dua kelompok tersebut telah melaksanakan dua rakaat. Jika ketakutannya lebih dahsyat dari itu, maka sekelompok laki-laki melaksanakan shalat dengan berjalan kaki atau di atas tunggangan mereka, dengan menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat.”

Muslim meriwayatkan hadits ini, dan di dalamnya disebutkan:

“Jika ketakutannya lebih dahsyat lagi, maka shalatlah di atas tunggangan atau sambil berjalan, dengan isyarat saja.”

b. Dari Abdullah bin Unais, ia berkata:

“Rasulullah Saw. mengutusku mencari Khalid bin Sufyan al-Hudzaliy yang berada di sekitar Urnah dan Arafah. Beliau Saw. bersabda: “Pergilah dan bunuhlah dia.” Ia (perawi) berkata: Lalu aku mencarinya, dan tibalah waktu shalat ashar, maka aku berkata: Sesungguhnya aku khawatir terjadi sesuatu antara aku dengan dia jika aku mengakhirkan shalat. Kemudian aku berangkat berjalan kaki dan aku shalat dengan memberi isyarat ke arah Urnah. Tatkala aku sudah dekat darinya, dia bertanya: “Siapakah engkau?” Aku menjawab: “Seorang lelaki dari Arab, telah sampai kabar kepadaku bahwa engkau menghimpun (pasukan) untuk (memerangi) lelaki ini (yakni Nabi Muhammad Saw.). Dia berkata: “Ya, sesungguhnya aku sedang menghimpun pasukan.” Setelah itu aku berjalan bersamanya beberapa saat, hingga ketika ada peluang aku memukulnya dengan pedangku hingga dia mati.” (HR. Abu Dawud)

Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan hadits yang sama dengan redaksi yang agak panjang, dan dalam riwayat Ahmad disebutkan:

“Maka aku shalat sambil berjalan ke arah Urnah dengan memberi isyarat kepala ketika ruku’ dan sujud.”

c. Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra. bahwa ia berkata kepada Said bin al-Ash, dan ia sedang menjelaskan tata cara shalat khauf:

“Dan perintahkan kepada sahabatmu (untuk bersiaga). Jika musuh menyerang mereka secara bergelombang, maka boleh bagi mereka (shalat sambil) berperang dan berbicara.” (Riwayat Ahmad dan ini adalah bagian akhir hadits yang diriwayatkannya)

Abu Dawud, an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim meriwayatkan hadits yang sama.

Ketiga teks hadits ini walaupun berasal dari lisan para sahabat, tetapi hal itu jauh kemungkinannya berasal dari diri mereka sendiri, yang seluruhnya memberi pemahaman bahwa shalat khauf itu bisa dilakukan dengan isyarat, atau bercampur dengan pertempuran dan perkataan. Yang memberi pengertian bahwa shalat di sini didirikan tidak pada bentuk atau tata caranya yang sudah dikenal.
Adapun qashar yang disebutkan dalam firman Allah Swt.: “Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu).” (TQS. an-Nisa: 101) ini bersifat umum, baik qashar menjadi dua rakaat, atau qashar menjadi satu rakaat, atau qashar berupa isyarat saja.

Saya telah mengatakan pada awal pembahasan, bahwa shalat khauf itu memiliki beberapa bentuk dan tata cara, dan saya jelaskan di sini bahwa bentuk-bentuk yang paling gamblang adalah sebagai berikut.

1) Shalat satu rakaat

Imam shalat dengan satu kelompok sebanyak satu rakaat. Kemudian dia tetap berdiri membiarkan mereka yang berada di belakangnya bersalam dan pergi. Lalu datang kelompok kedua dan berbaris di belakangnya, dan imam kembali shalat dengan mereka, sebagai rakaat yang kedua baginya. Sedangkan bagi mereka (makmum) rakaatnya satu-satu. Setelah itu imam bersalam dan mereka pun bersalam. Kelompok manapun dari keduanya tidak melaksanakan rakaat yang lain lagi. Jadi, setiap kelompok hanya melakukan satu rakaat saja, sedangkan imam melaksanakan shalat dua rakaat. Dalil-dalil atas bentuk ini adalah ketiga hadits yang disebutkan sebelumnya: dua hadits dari Ibnu Abbas, dan satu hadits dari Abu Hurairah.

2) Shalat dua rakaat

a. Imam melaksanakan shalat dengan satu kelompok sebanyak satu rakaat dan ia tetap berdiri. Ia menunggu hingga mereka menyelesaikan rakaat kedua mereka, dan mereka pergi. Lalu datang kelompok kedua, dan mereka berbaris di belakangnya, dan imam mengimami mereka shalat sebagai rakaatnya yang kedua, sedangkan bagi mereka (kelompok kedua) sebagai rakaat yang pertama. Setelah itu imam tetap duduk, dan menunggu mereka hingga mereka menyelesaikan rakaat kedua mereka sendiri. Lalu dia bersalam dan mereka bersalam. Dalil atas bentuk ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Shalih bin Khawwat, dari orang yang menyaksikan Rasulullah Saw. melakukan shalat khauf dalam Perang Dzatur Riqa’:

“Bahwa satu kelompok berbaris bersamanya dan satu kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian beliau shalat dengan orang yang bersamanya sebanyak satu rakaat, lalu beliau tetap berdiri sedangkan mereka menyelesaikan (shalat) mereka sendiri dan (setelah selesai) mereka pergi dan berbaris lagi menghadapi musuh. Lalu datang kelompok kedua, dan beliau Saw. shalat dengan mereka dengan rakaat yang masih tersisa dari shalatnya. Beliau tetap duduk dan mereka menyelesaikan shalat untuk mereka sendiri. Setelah itu beliau bersalam memimpin mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Malik dan Abu Dawud)

b. Imam melaksanakan shalat mengimami satu kelompok dengan dua rakaat, di mana mereka menyelesaikan kedua rakaat tersebut bersama imam dan mereka pun pergi, sedangkan imam masih tetap pada posisinya. Lalu datang kelompok kedua, dan imam mengimami shalat mereka dua rakaat, di mana mereka menyelesaikan kedua rakaat tersebut bersama imam. Imam bersalam dan mereka pun bersalam.

Dalil atas bentuk ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata:

“Kami menghadap ke arah kiblat bersama Rasulullah Saw. hingga kami berada di Dzatur Riqa'. Ia berkata,… Ia berkata: lalu dikumandangkan adzan untuk shalat, kemudian beliau Saw. shalat mengimami satu kelompok dengan dua rakaat, setelah itu mereka mundur ke belakang. Dan (beliau Saw.) mengimami shalat dengan kelompok yang lain sebanyak dua rakaat. Ia berkata: sehingga Rasulullah Saw. telah melaksanakan empat rakaat, dan untuk setiap kelompoknya dua rakaat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Thahawi dan al-Baihaqi)

c. Imam melaksanakan shalat mengimami satu kelompok sebanyak dua rakaat, dia bersalam dan mereka pun bersalam, lalu mereka pergi. Setelah itu datang kelompok yang lain, berbaris di belakangnya. Mereka berniat bersama dan melaksanakan shalat bersama sebanyak dua rakaat, lalu dia bersalam dan mereka pun bersalam. Inilah bentuk yang paling mudah. Dalil atas hal ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah ra., bahwa ia berkata:

“Nabi Saw. mengimami kami shalat khauf, di mana beliau Saw. shalat dengan sebagian sahabatnya sebanyak dua rakaat. Kemudian beliau bersalam dan mereka pun mundur kebelakang. Lalu datang kelompok yang lain dan mereka berada di tempatnya. Beliau shalat bersama mereka sebanyak dua rakaat kemudian bersalam, sehingga bagi Nabi Saw. ada empat rakaat, dan bagi setiap kelompoknya (masing-masing) dua rakaat – dua rakaat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Hibban dan ad-Daruquthni)

Shalat yang kedua bagi imam berarti shalat nafilah.

Dan Anda wahai saudara Muslimku berhak memilih antara bentuk-bentuk ini maupun bentuk yang lainnya, yang terbukti seluruhnya didasarkan pada hadits yang shahih. Dan jika saya boleh memilihkan untuk Anda sekalian, maka saya akan memilih bentuk yang paling mudah, yakni bentuk yang ketiga.

Khusus untuk shalat maghrib, maka imam melakukannya sebagaimana dia melakukan shalat dua rakaat yang telah kami bahas pada nomor dua di atas. Selain itu, dia juga memiliki hak untuk memilih antara shalat dengan kelompok pertama sebanyak satu rakaat dan shalat dengan kelompok yang lain sebanyak dua rakaat, atau sebaliknya, shalat dengan kelompok pertama dua rakaat dan dengan kelompok yang lain satu rakaat. Kedua hal ini boleh-boleh saja.

Apabila musuh menyerang kaum Muslim secara tiba-tiba atau mengakibatkan mereka takut di rumah-rumah mereka, lalu mereka dalam kondisi hadhar (bukan kondisi safar) hendak melaksanakan shalat khauf sebanyak empat rakaat, maka imam melalukan shalat seperti yang dijelaskan dalam nomor dua, akan tetapi dia shalat dengan kelompok pertama sebanyak dua rakaat dan tetap berdiri. Mereka menyelesaikan sendiri shalat empat rakaatnya, kemudian pergi. Setelah itu giliran kelompok kedua, dan mereka berbaris di belakang imam yang mengimami mereka shalat di dua rakaat yang tersisa, sehingga dia bisa menyempurnakan shalatnya sendiri empat rakaat, sedangkan mereka yang shalat bersamanya melaksanakan dua rakaat pertama mereka. Imam tetap duduk ketika mereka menyelesaikan sendiri dua rakaat mereka yang masih tersisa. Dengan demikian, mereka bisa menyelesaikan empat rakaatnya. Setelah itu, imam bersalam dan mereka pun bersalam.

Shalat Dengan Isyarat Dan Di Atas Kendaraan (Tunggangan) Serta Tidak Menghadap Ke Arah Kiblat

Apabila rasa takut menyergap dengan teramat sangat, kaum Muslim dicekam ketakutan dari musuh, dan tidak mudah bagi mereka untuk melaksanakan shalat khauf dengan berbagai tata caranya yang disyariatkan, yang bisa dilakukan secara lengkap dengan cara berdiri, duduk, ruku’ dan sujud, maka mereka boleh melaksanakan shalat khauf itu dengan isyarat, asalkan sujudnya lebih rendah dari ruku'. Shalat tersebut boleh dilakukan oleh mereka sambil berjalan, atau berkendaraan. Juga boleh dilakukan oleh mereka tanpa menghadap kiblat. Mereka melaksanakan shalat dengan isyarat, bagaimanapun caranya.
Shalat bisa dilakukan oleh orang yang lari menghindari musuhnya, mengendarai mobil, pesawat, hewan tunggangan, atau perahu. Shalat juga bisa dilakukan dengan isyarat oleh orang yang melekatkan badan (bertiarap) di atas batu, padang pasir, atau dinding, dan dalam kondisi bersembunyi dari musuh.
Seluruh kondisi ini dan yang serupa dengan itu telah menempatkan si mushalli tidak bisa lagi melakukan sesuatu melainkan hanya bacaan al-Qur’an, dzikir, dan isyarat saja. Dia boleh shalat ke arah mana saja, tidak ada batasan apapun saat itu. Shalatnya tetap sah dan diterima.

Telah kami sebutkan sebelumnya tiga teks hadits yang menunjukkan hal itu, yang diriwayatkan dari Hudzaifah, Abdullah bin Unais dan Abdullah bin Umar ra.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam