BAB
KESEPULUH
SHALAT
ORANG-ORANG YANG BERUDZUR (ORANG YANG TAKUT, MUSAFIR, DAN ORANG SAKIT)
1. Shalat Khauf
Jika kaum Muslim takut
pada musuh mereka, maka disyariatkan kepada mereka untuk melaksanakan shalatnya
secara diqashar dalam bentuk dan tata
cara yang dipaparkan oleh sebagian imam, yang memiliki hingga tujuh bentuk, dan
oleh sebagian imam lainnya hingga tujuh belas bentuk. Dalil atas disyariatkan
shalat ini adalah firman Allah Swt.:
“Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS.
an-Nisa [4]: 101)
Mengqashar shalat khauf
itu bersifat umum, yaitu dengan mengurangi jumlah rakaat shalat, di mana shalat
yang berjumlah empat rakaat (dikurangi) menjadi dua rakaat, sebagaimana
pelaksanaan satu rakaat shalat. Begitu pula shalat yang berjumlah dua rakaat,
seperti shalat subuh. Jadi, hal itu dilakukan dengan mengurangi batasannya,
ruku’nya, sujudnya, maupun bentuknya.
Shalat khauf dilaksanakan dengan isyarat, tanpa
ruku’, tanpa sujud, tanpa berdiri, dan tanpa menghadap ke arah kiblat, yakni
shalat tersebut dilakukan dengan cara bagaimanapun, dan kondisi terakhirnya
adalah ketika ketakutan sudah memuncak dan tatkala perang sedang berkecamuk.
Seluruh pengurangan ini termasuk dalam pengertian yang difirmankan Allah Swt.:
“kamu mengqashar
shalat(mu).” (TQS. an-Nisa [4]: 101)
Qashar yang disebutkan dalam ayat tersebut
adalah pengurangan secara mutlak, bukan seperti qashar
yang biasa ada dalam perjalanan (safar)
dengan cara mengurangi dari empat rakaat menjadi dua rakaat saja. Dalil atas
pemahaman ini berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Mengenai al-Qur’an,
setelah ayat di atas, menyatakan:
“Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah
dari belakangmu (untuk menghadapi musuh), dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya
kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu
dengan sekaligus, dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika
kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit. Dan
siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan
bagi orang-orang kafir itu. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]: 102-103)
Allah Swt. telah
berfirman: “lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka”, dan
setelah itu Allah Swt. menyebutkan salah satu bentuk pengqasharan shalat, yakni bahwa Allah Swt. telah
menyebut shalat yang dilakukan secara qashar
oleh orang yang takut (dalam kondisi perang) tersebut sebagai mendirikan
shalat, yang bisa membawa pengertian bahwa orang yang melakukan shalat khauf yang diqashar
hingga dua rakaat itu bisa dianggap sebagai orang yang mendirikan shalat.
Setelah itu Allah Swt.
berfirman: “Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat
itu”, walaupun tetap dalam kondisi qashar,
ini berarti bahwa shalat tanpa rasa aman tidak dipandang sebagai mendirikan
shalat. Dengan kata lain, melaksanakan shalat dengan hati yang aman, itu bisa
disebut sebagai mendirikan shalat. Pemahaman yang bisa diambil adalah bahwa
melaksanakan shalat tanpa rasa aman tidak bisa dianggap sebagai mendirikan
shalat.
Jika kita mengetahui
bahwa Rasulullah Saw. -ketika diperintah untuk melaksanakan shalat khauf yang diqashar
bersama kaum Muslim-, di mana beliau diseru dengan firman Allah Swt.: “lalu
kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka”, maka kita bisa paham bahwa
shalat khauf yang diqashar hingga dua rakaat itu termasuk iqamatus shalat (mendirikan shalat). Dan
firman-Nya: “Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat
itu”, tidak menunjukkan apapun kecuali bahwa melaksanakan shalat tanpa rasa
aman tidak bisa disebut dengan istilah mendirikan shalat. Shalat yang dilakukan
ketika tidak ada rasa aman dengan melakukan suatu pengurangan (qashar biasa), maka shalat yang dilaksanakan
tersebut tidak dipandang sebagai shalat yang didirikan. Ini menunjukkan bahwa
shalat itu dilaksanakan dengan pengurangan bentuk lain, yang bukan dengan
mengurangi jumlah rakaat menjadi dua rakaat, yakni shalat tersebut dilakukan
dengan isyarat atau cukup shalat dengan satu rakaat saja.
Tentang hadits,
disebutkan sebagai berikut:
a. Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwa Allah azza wa jalla telah mewajibkan shalat melalui
lisan Nabi kalian Saw., bagi orang yang mukim empat rakaat, bagi orang yang
musafir (bepergian) dua rakaat, dan bagi orang yang takut (al-kha’if) satu rakaat.” (HR. Ahmad, Muslim,
Abu Dawud, an-Nasai dan al-Baihaqi)
b. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
melaksanakan shalat khauf di Dzi Qarad
-salah satu wilayah Bani Sulaim- lalu orang-orang berbaris di belakangnya dua
barisan. Satu barisan menghadapi musuh, dan satu barisan lagi berbaris di
belakang beliau Saw. Beliau Saw. shalat bersama barisan yang ada di belakangnya
satu rakaat. Kemudian mereka (yang telah shalat satu rakaat) mundur ke barisan
mereka (yang menghadapi musuh), dan mereka (yang berada di barisan yang
menghadapi musuh) pindah ke tempat mereka (yang telah shalat), lalu beliau Saw.
mengimami mereka shalat satu rakaat yang lain -dalam satu riwayat ada
tambahan-. Maka Nabi Saw. melaksanakan dua rakaat, sedangkan setiap kelompok
barisan itu melaksanakan satu rakaat.” (HR. Ahmad, an-Nasai, al-Baihaqi,
al-Hakim dan Ibnu Hibban)
Ahmad, an-Nasai,
al-Baihaqi dan at-Thahawiy telah meriwayatkan hadits yang serupa dari Jabir.
Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim telah meriwayatkan hadits
serupa dari Hudzaifah.
c. Dari Abu Hurairah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
singgah di suatu tempat antara Dhajnan dan 'Usfan, lalu kaum musyrik berkata:
“Sesungguhnya mereka memiliki shalat yang lebih mereka cintai dari bapak-bapak
mereka dan anak-anak mereka, yakni shalat ashar, karena itu bersatulah kalian
dan seranglah mereka dalam waktu yang sama saat itu.” Jibril as. telah
mendatangi Nabi Saw. dan memerintahkannya untuk membagi para sahabatnya menjadi
dua bagian. Lalu beliau shalat mengimami satu kelompok dari mereka, dan
kelompok yang lain berada di belakang mereka, dan mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Kemudian (usai shalat kelompok yang pertama) datanglah
kelompok lain dan mereka melakukan shalat bersama beliau Saw., dan kemudian
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata, sehingga mereka mendapatkan satu
rakaat – satu rakaat bersama Rasulullah Saw. Sedangkan Rasulullah Saw.
mendapatkan dua rakaat.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Tirmidzi)
Dhajnan dan ‘Usfan
adalah dua tempat yang terletak di antara Makkah dan Madinah. Hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa shalat ketika ada ketakutan, itu dikurangi hingga satu rakaat
saja.
Ada juga hadits lain:
a. Bukhari, Malik dan Ibnu Majah meriwayatkan
satu hadits yang panjang dari Abdullah bin Umar ra., dan di bagian akhirnya ada
perkataan Ibnu Umar:
“Sehingga setiap
kelompok dari dua kelompok tersebut telah melaksanakan dua rakaat. Jika
ketakutannya lebih dahsyat dari itu, maka sekelompok laki-laki melaksanakan
shalat dengan berjalan kaki atau di atas tunggangan mereka, dengan menghadap
kiblat atau tidak menghadap kiblat.”
Muslim meriwayatkan
hadits ini, dan di dalamnya disebutkan:
“Jika ketakutannya
lebih dahsyat lagi, maka shalatlah di atas tunggangan atau sambil berjalan,
dengan isyarat saja.”
b. Dari Abdullah bin Unais, ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengutusku mencari Khalid bin Sufyan al-Hudzaliy yang berada di sekitar Urnah
dan Arafah. Beliau Saw. bersabda: “Pergilah dan bunuhlah dia.” Ia (perawi)
berkata: Lalu aku mencarinya, dan tibalah waktu shalat ashar, maka aku berkata:
Sesungguhnya aku khawatir terjadi sesuatu antara aku dengan dia jika aku
mengakhirkan shalat. Kemudian aku berangkat berjalan kaki dan aku shalat dengan
memberi isyarat ke arah Urnah. Tatkala aku sudah dekat darinya, dia bertanya:
“Siapakah engkau?” Aku menjawab: “Seorang lelaki dari Arab, telah sampai kabar
kepadaku bahwa engkau menghimpun (pasukan) untuk (memerangi) lelaki ini (yakni
Nabi Muhammad Saw.). Dia berkata: “Ya, sesungguhnya aku sedang menghimpun
pasukan.” Setelah itu aku berjalan bersamanya beberapa saat, hingga ketika ada
peluang aku memukulnya dengan pedangku hingga dia mati.” (HR. Abu Dawud)
Ahmad dan Baihaqi
meriwayatkan hadits yang sama dengan redaksi yang agak panjang, dan dalam
riwayat Ahmad disebutkan:
“Maka aku shalat
sambil berjalan ke arah Urnah dengan memberi isyarat kepala ketika ruku’ dan
sujud.”
c. Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra. bahwa ia
berkata kepada Said bin al-Ash, dan ia sedang menjelaskan tata cara shalat khauf:
“Dan perintahkan
kepada sahabatmu (untuk bersiaga). Jika musuh menyerang mereka secara
bergelombang, maka boleh bagi mereka (shalat sambil) berperang dan berbicara.”
(Riwayat Ahmad dan ini adalah bagian akhir hadits yang diriwayatkannya)
Abu Dawud, an-Nasai,
al-Baihaqi dan al-Hakim meriwayatkan hadits yang sama.
Ketiga teks hadits ini
walaupun berasal dari lisan para sahabat, tetapi hal itu jauh kemungkinannya
berasal dari diri mereka sendiri, yang seluruhnya memberi pemahaman bahwa
shalat khauf itu bisa dilakukan dengan
isyarat, atau bercampur dengan pertempuran dan perkataan. Yang memberi
pengertian bahwa shalat di sini didirikan tidak pada bentuk atau tata caranya
yang sudah dikenal.
Adapun qashar yang disebutkan dalam firman Allah
Swt.: “Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu).” (TQS. an-Nisa: 101)
ini bersifat umum, baik qashar menjadi
dua rakaat, atau qashar menjadi satu
rakaat, atau qashar berupa isyarat saja.
Saya telah mengatakan
pada awal pembahasan, bahwa shalat khauf
itu memiliki beberapa bentuk dan tata cara, dan saya jelaskan di sini bahwa
bentuk-bentuk yang paling gamblang adalah sebagai berikut.
1) Shalat satu rakaat
Imam shalat dengan
satu kelompok sebanyak satu rakaat. Kemudian dia tetap berdiri membiarkan
mereka yang berada di belakangnya bersalam dan pergi. Lalu datang kelompok
kedua dan berbaris di belakangnya, dan imam kembali shalat dengan mereka,
sebagai rakaat yang kedua baginya. Sedangkan bagi mereka (makmum) rakaatnya
satu-satu. Setelah itu imam bersalam dan mereka pun bersalam. Kelompok manapun
dari keduanya tidak melaksanakan rakaat yang lain lagi. Jadi, setiap kelompok
hanya melakukan satu rakaat saja, sedangkan imam melaksanakan shalat dua
rakaat. Dalil-dalil atas bentuk ini adalah ketiga hadits yang disebutkan
sebelumnya: dua hadits dari Ibnu Abbas, dan satu hadits dari Abu Hurairah.
2) Shalat dua rakaat
a. Imam melaksanakan shalat dengan satu
kelompok sebanyak satu rakaat dan ia tetap berdiri. Ia menunggu hingga mereka
menyelesaikan rakaat kedua mereka, dan mereka pergi. Lalu datang kelompok
kedua, dan mereka berbaris di belakangnya, dan imam mengimami mereka shalat
sebagai rakaatnya yang kedua, sedangkan bagi mereka (kelompok kedua) sebagai
rakaat yang pertama. Setelah itu imam tetap duduk, dan menunggu mereka hingga
mereka menyelesaikan rakaat kedua mereka sendiri. Lalu dia bersalam dan mereka
bersalam. Dalil atas bentuk ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Shalih bin
Khawwat, dari orang yang menyaksikan Rasulullah Saw. melakukan shalat khauf dalam Perang Dzatur Riqa’:
“Bahwa satu kelompok
berbaris bersamanya dan satu kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian beliau
shalat dengan orang yang bersamanya sebanyak satu rakaat, lalu beliau tetap
berdiri sedangkan mereka menyelesaikan (shalat) mereka sendiri dan (setelah selesai)
mereka pergi dan berbaris lagi menghadapi musuh. Lalu datang kelompok kedua,
dan beliau Saw. shalat dengan mereka dengan rakaat yang masih tersisa dari
shalatnya. Beliau tetap duduk dan mereka menyelesaikan shalat untuk mereka
sendiri. Setelah itu beliau bersalam memimpin mereka.” (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad, Malik dan Abu Dawud)
b. Imam melaksanakan shalat mengimami satu
kelompok dengan dua rakaat, di mana mereka menyelesaikan kedua rakaat tersebut
bersama imam dan mereka pun pergi, sedangkan imam masih tetap pada posisinya.
Lalu datang kelompok kedua, dan imam mengimami shalat mereka dua rakaat, di
mana mereka menyelesaikan kedua rakaat tersebut bersama imam. Imam bersalam dan
mereka pun bersalam.
Dalil atas bentuk ini
adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata:
“Kami menghadap ke
arah kiblat bersama Rasulullah Saw. hingga kami berada di Dzatur Riqa'. Ia
berkata,… Ia berkata: lalu dikumandangkan adzan untuk shalat, kemudian beliau
Saw. shalat mengimami satu kelompok dengan dua rakaat, setelah itu mereka
mundur ke belakang. Dan (beliau Saw.) mengimami shalat dengan kelompok yang
lain sebanyak dua rakaat. Ia berkata: sehingga Rasulullah Saw. telah
melaksanakan empat rakaat, dan untuk setiap kelompoknya dua rakaat.” (HR.
Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Thahawi dan al-Baihaqi)
c. Imam melaksanakan shalat mengimami satu
kelompok sebanyak dua rakaat, dia bersalam dan mereka pun bersalam, lalu mereka
pergi. Setelah itu datang kelompok yang lain, berbaris di belakangnya. Mereka
berniat bersama dan melaksanakan shalat bersama sebanyak dua rakaat, lalu dia
bersalam dan mereka pun bersalam. Inilah bentuk yang paling mudah. Dalil atas
hal ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah ra., bahwa ia berkata:
“Nabi Saw. mengimami
kami shalat khauf, di mana beliau Saw.
shalat dengan sebagian sahabatnya sebanyak dua rakaat. Kemudian beliau bersalam
dan mereka pun mundur kebelakang. Lalu datang kelompok yang lain dan mereka
berada di tempatnya. Beliau shalat bersama mereka sebanyak dua rakaat kemudian
bersalam, sehingga bagi Nabi Saw. ada empat rakaat, dan bagi setiap kelompoknya
(masing-masing) dua rakaat – dua rakaat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu
Hibban dan ad-Daruquthni)
Shalat yang kedua bagi
imam berarti shalat nafilah.
Dan Anda wahai saudara
Muslimku berhak memilih antara bentuk-bentuk ini maupun bentuk yang lainnya,
yang terbukti seluruhnya didasarkan pada hadits yang shahih. Dan jika saya
boleh memilihkan untuk Anda sekalian, maka saya akan memilih bentuk yang paling
mudah, yakni bentuk yang ketiga.
Khusus untuk shalat
maghrib, maka imam melakukannya sebagaimana dia melakukan shalat dua rakaat
yang telah kami bahas pada nomor dua di atas. Selain itu, dia juga memiliki hak
untuk memilih antara shalat dengan kelompok pertama sebanyak satu rakaat dan shalat
dengan kelompok yang lain sebanyak dua rakaat, atau sebaliknya, shalat dengan
kelompok pertama dua rakaat dan dengan kelompok yang lain satu rakaat. Kedua
hal ini boleh-boleh saja.
Apabila musuh
menyerang kaum Muslim secara tiba-tiba atau mengakibatkan mereka takut di
rumah-rumah mereka, lalu mereka dalam kondisi hadhar
(bukan kondisi safar) hendak melaksanakan shalat khauf
sebanyak empat rakaat, maka imam melalukan shalat seperti yang dijelaskan dalam
nomor dua, akan tetapi dia shalat dengan kelompok pertama sebanyak dua rakaat
dan tetap berdiri. Mereka menyelesaikan sendiri shalat empat rakaatnya,
kemudian pergi. Setelah itu giliran kelompok kedua, dan mereka berbaris di
belakang imam yang mengimami mereka shalat di dua rakaat yang tersisa, sehingga
dia bisa menyempurnakan shalatnya sendiri empat rakaat, sedangkan mereka yang
shalat bersamanya melaksanakan dua rakaat pertama mereka. Imam tetap duduk
ketika mereka menyelesaikan sendiri dua rakaat mereka yang masih tersisa.
Dengan demikian, mereka bisa menyelesaikan empat rakaatnya. Setelah itu, imam
bersalam dan mereka pun bersalam.
Shalat Dengan Isyarat Dan Di
Atas Kendaraan (Tunggangan) Serta Tidak Menghadap Ke Arah Kiblat
Apabila rasa takut
menyergap dengan teramat sangat, kaum Muslim dicekam ketakutan dari musuh, dan
tidak mudah bagi mereka untuk melaksanakan shalat khauf
dengan berbagai tata caranya yang disyariatkan, yang bisa dilakukan secara
lengkap dengan cara berdiri, duduk, ruku’ dan sujud, maka mereka boleh
melaksanakan shalat khauf itu dengan
isyarat, asalkan sujudnya lebih rendah dari ruku'. Shalat tersebut boleh
dilakukan oleh mereka sambil berjalan, atau berkendaraan. Juga boleh dilakukan
oleh mereka tanpa menghadap kiblat. Mereka melaksanakan shalat dengan isyarat,
bagaimanapun caranya.
Shalat bisa dilakukan
oleh orang yang lari menghindari musuhnya, mengendarai mobil, pesawat, hewan
tunggangan, atau perahu. Shalat juga bisa dilakukan dengan isyarat oleh orang
yang melekatkan badan (bertiarap) di atas batu, padang pasir, atau dinding, dan
dalam kondisi bersembunyi dari musuh.
Seluruh kondisi ini
dan yang serupa dengan itu telah menempatkan si mushalli
tidak bisa lagi melakukan sesuatu melainkan hanya bacaan al-Qur’an, dzikir,
dan isyarat saja. Dia boleh shalat ke arah mana saja, tidak ada batasan apapun
saat itu. Shalatnya tetap sah dan diterima.
Telah kami sebutkan
sebelumnya tiga teks hadits yang menunjukkan hal itu, yang diriwayatkan dari
Hudzaifah, Abdullah bin Unais dan Abdullah bin Umar ra.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar