Posisi Imam untuk Mayit
Laki-laki dan Perempuan
Disyariatkan agar pada
saat menyalati jenazah, sang imam berposisi di antara kepala dan dada apabila
jenazahnya laki-laki, dan di bagian tengah di sisi pinggangnya apabila
jenazahnya perempuan.
Namun, jika jenazahnya
berbilang, maka posisinya sebagai berikut: apabila mayatnya beberapa orang maka
mereka dibariskan satu per satu di antara imam dan kiblat, kemudian imam
berdiri di depan kepala mayat yang paling dekat dengannya, lalu menyalati mereka
semua dengan satu kali shalat.
Apabila mayatnya
terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak secara bersamaan, maka mayat
laki-laki ditempatkan di depan imam, kemudian anak kecil di depan laki-laki,
kemudian mayat perempuan ditempatkan setelah anak kecil, yang selanjutnya
adalah (arah) kiblat. Setelah itu imam menyalatkan mereka seluruhnya satu kali.
Dari Samurrah bin Jundub ra., ia berkata:
“Aku shalat di
belakang Nabi Saw., menyalati jenazah seorang perempuan yang mati di masa
nifasnya, dan beliau Saw. berdiri di bagian pinggangnya.” (HR. Bukhari, Ahmad,
Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Aku shalat di
belakang Nabi Saw., dan beliau Saw. menyalatkan Ummu Ka’ab yang meninggal (dan
dia meninggal) di masa nifasnya. Maka Rasulullah Saw. berdiri menyalatinya pada
bagian pinggangnya.”
Dari Abu Ghalib
-al-Hannath- dari Anas bin Malik ra.:
“Tatkala dibawa satu
jenazah laki-laki, dia berdiri di dekat kepala si mayat, kemudian dibawa lagi
jenazah perempuan maka dia berdiri lebih bawah dari itu, yakni setentang dengan
ujung leher yang bertemu dengan kepala. Ketika dia selesai shalat, al-'Ala bin
Ziyad bertanya kepadanya: “Wahai Abu Hamzah, apakah Rasulullah Saw. berdiri
menyalati jenazah laki-laki dan perempuan ini seperti apa yang kulihat dari apa
yang engkau lakukan itu?” Dia berkata: “Ya”. Dia berkata: lalu al-Ala bin Ziyad
menghadap orang-orang seraya berkata: “Hafalkanlah.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Majah dan at-Thahawi)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Lalu dia berdiri di
dekat bagian tengah perempuan itu.”
Al-Baihaqi
meriwayatkan juga hadits ini dengan lafadz: “maka dia berdiri lebih bawah dari
itu, setentang dengan pusar, yakni di bagian pinggang perempuan tersebut.”
Dari Atha bin Abi
Rabbah dari Ammar -pelayan al-Harits bin Naufal- dia berkata:
“Kemudian dibawalah
jenazah anak kecil dan perempuan, (jenazah) anak kecil itu diajukan dekat
orang-orang. Kemudian mayat perempuan diletakkan di belakangnya, dan mereka
menyalati keduanya, di antara orang-orang itu ada Abu Said al-Khudri, Ibnu
Abbas, Abu Qatadah dan Abu Hurairah. Aku menanyai mereka tentang hal itu, maka
mereka menjawab: “Inilah sunnah.” (HR. an-Nasai, Abu Dawud, dan al-Baihaqi)
Apabila mayat anak
kecil dibaringkan pada bagian kanannya, maka pada saat itu mayat perempuan
berada di depannya, yang berikutnya adalah (arah) kiblat. Hal ini diperkuat
dengan hadits yang diriwayatkan an-Nasai dari Nafi:
“Bahwa Ibnu Umar
menyalati sembilan jenazah seluruhnya, dan dia menempatkan mayat laki-laki
(ditaruh) setelah imam, mayat perempuan berposisi sebelum kiblat, dan dia (Ibnu
Umar) meletakkan mayat-mayat itu pada satu barisan. Kemudian diletakkan pula
jenazah Ummu Kultsum, puteri Ali dan isteri Umar bin Khaththab, juga mayat anak
laki-lakinya yang bernama Zaid. Keduanya diletakkan seluruhnya, dan imam pada
hari itu adalah Said bin Ash. Di antara orang-orang itu (yakni yang menjadi
makmum) terdapat Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abu Said dan Abu Qatadah. Kemudian
diletakkan (jenazah) anak kecil itu di dekat imam, maka seseorang bertanya:
ketika aku membantah hal itu dan melihat pada Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu
Said dan Abu Qatadah, maka aku bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka berkata:
“Inilah sunnah.”
Banyaknya Orang yang Shalat dan
Barisan Shalat itu Lebih Disukai
Disunahkan agar yang
menyalati mayit itu orang-orang dengan jumlah yang banyak, tidak kurang dari
empat puluh orang. Seandainya jumlah mereka mencapai seratus, maka ini lebih
utama dan lebih baik lagi. Disunahkan juga agar orang-orang yang shalat itu berbaris
paling sedikit dalam tiga shaf. Jika orang-orang yang menyalatinya itu
orang-orang yang dikenal shalih dan bertakwa, maka itu lebih diharapkan, karena
diterimanya permohonan mereka bagi si mayit. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah seorang
laki-laki Muslim meninggal, lalu berdiri empat puluh orang menyalatinya di mana
mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, kecuali Allah akan
mengabulkan permohonan syafaat mereka untuk si mayit.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Dari Aisyah ra. dari
Nabi Saw., beliau bersabda:
“Tidaklah seorang
mayit itu dishalati oleh sekelompok orang dari kalangan kaum Muslim yang
jumlahnya mencapai seratus orang, dan mereka semua meminta syafaat untuk si
mayit, kecuali permohonan syafaat itu akan diberikan untuk si mayit.” (HR.
Muslim, Ahmad, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Dari Malik bin
Hubairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidaklah seorang
mukmin itu mati, lalu ia dishalati oleh sekelompok orang dari kalangan kaum
Muslim yang jumlahnya mencapai tiga baris, kecuali dia akan diampuni.” (HR.
Ahmad dan Trirmidzi)
Ibnu Majah, al-Hakim
dan Baihaqi meriwayatkan juga hadits ini. Abu Dawud meriwayatkan hadits ini
juga dengan redaksi:
“Tidaklah seorang
Muslim itu mati lalu dishalati oleh tiga baris dari kalangan kaum Muslim,
kecuali akan diijabah. Dia berkata:
adalah Malik, jika orang yang menyalati jenazah berjumlah sedikit, maka beliau
membagi mereka menjadi tiga shaf, untuk mengamalkan hadits ini.”
Sifat Shalat Jenazah
Imam berdiri dan
orang-orang berbaris di belakangnya, lalu dia bertakbir dengan mengangkat kedua
tangannya, dan membaca surat al-fatihah. Tidak menjadi masalah dia membaca satu
surat setelahnya.
Kemudian bertakbir
yang kedua, seraya mengangkat kedua tangannya, dan bershalawat kepada Nabi
Saw., lebih utama mengucapkan shalawat ibrahimiyah.
Lalu bertakbir yang
ketiga sambil mengangkat kedua tangannya, dan berdoa untuk si mayit dengan hati
yang ikhlas, memintakan ampunan dan rahmat untuknya, dan jika dia berdoa dengan
salah satu doa ma'tsurah maka itu lebih
utama.
Kemudian bertakbir
yang keempat, lalu bersalam ke sebelah kanannya, dan jika dia juga bersalam ke
sebelah kirinya, hal itu lebih utama. Dalam shalat ini bacaan tidak dijahrkan. Inilah sifat yang paling ideal untuk
shalat jenazah.
Boleh juga menghimpun
shalawat atas Nabi Saw. dengan bacaan al-fatihah dan surat. Juga boleh
menghimpunkan semuanya dengan doa, sehingga semua itu dilafalkan setelah takbir
yang pertama, kemudian bertakbir tiga kali sisanya tanpa membaca, berdzikir
atau berdoa apapun.
Yang disyariatkan dan
yang diwajibkan adalah membaca al-fatihah setelah takbir pertama, kemudian tiga
takbir lainnya. Urutan sisanya diluaskan, sehingga si mushalli bisa memilih apa yang dikehendakinya.
Dan shalawat pada
Rasulullah sah dilakukan dengan redaksi manapun, tetapi shalawat ibrahimiyah
yang disyariatkan dalam duduk tasyahud
dalam shalat biasa itu lebih utama dan lebih baik.
Boleh juga shalat
jenazah itu dilakukan dengan menjahrkan
bacaan, tetapi mensirrkannya lebih
utama.
Boleh pula takbirnya
itu lima, enam atau tujuh takbir. Dan inilah dalil-dalil untuk sifat shalat
jenazah:
a) Dari Jabir bin
Abdullah ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:
“Sungguh pada hari ini
telah wafat seorang laki-laki shalih dari al-Habasyi. (Mereka diminta untuk
bersiap-siap) dan mereka pun menyalatinya. Dia (perawi) berkata: maka kami
berbaris, lalu Nabi Saw. menyalatinya dan kami berdiri bershaf-shaf.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
b) Dari Abu Hurairah
ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menyalati satu Jenazah, lalu beliau bertakbir empat kali dan bersalam satu
kali.” (HR. al-Baihaqi dan Daruquthni)
c) Dari Ibnu Mas’ud
ra. ia berkata:
“Ada beberapa perkara
yang dilakukan Rasulullah Saw. tetapi ditinggalkan orang-orang, salah satunya
adalah imam mengucap salam dalam shalat jenazah seperti mengucapkan salam dalam
shalat.” (HR. Thabrani dan al-Baihaqi)
d) Dari Thalhah bin
Abdilah bin Auf, ia berkata:
“Aku berada di
belakang Ibnu Abbas menyalati satu jenazah, lalu beliau membaca fatihatul kitab. Dia berkata: agar mereka
mengetahui bahwa itu termasuk sunnah.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Syafi'i,
Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Lalu dia membaca fatihatul kitab dan satu surat, dan
mengeraskan bacaan sehingga dia bisa memperdengarkan bacaan tersebut kepada
kami. Ketika selesai, aku memegang tangannya dan menanyainya. Lalu dia
menjawab: “Inilah sunnah dan inilah yang benar.”
Dalam riwayat al-Hakim
disebutkan dengan lafadz: “…kemudian setelah selesai dia berkata: Wahai
manusia, sesungguhnya tidaklah aku membaca dengan keras melainkan agar kalian
mengetahui bahwa ini adalah sunnah.” Ucapan sunnah di sini artinya metode yang
ditetapkan Islam, bukan dalam arti nafilah
atau tathawwu’.
e) Dari Abu Umamah bin
Sahl, bahwa dia diberitahu seseorang dari kalangan sahabat Nabi Saw.:
“Bahwa termasuk sunnah
dalam shalat jenazah, (yaitu) hendaknya seorang imam bertakbir, kemudian
membaca fatihatul kitab dengan pelan
dalam hati setelah takbir pertama, setelah itu bershalawat pada Nabi Saw.,
dilanjutkan dengan memanjatkan doa dengan tulus untuk jenazah pada
takbir-takbir berikutnya, dan tidak membaca (ayat al-Qur'an) apapun di
dalamnya. Setelah itu bersalam dengan pelan dalam hatinya.” (HR. al-Baihaqi,
Syafi'i, Abdurrazaq, Abu Dawud at-Thayyalisi)
Al-Hakim mentakhrij hadits ini dari arah yang lain.
f) Dari Nafi dari Ibnu
Umar ra.: Bahwa dia mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir dalam shalat
jenazah, dan dia berdiri setelah dua rakaat yakni dalam shalat wajib. (HR.
al-Baihaqi dan Syafi'i). Hadits ini diriwayatkan secara marfu' dari Anas dan juga dari Ibnu Abbas.
g) Dari Abu Hurairah
ra., ia berkata:
“Nabi Saw. mengumumkan
berita wafatnya an-Najasyi kepada para sahabatnya, kemudian beliau maju (untuk
shalat) dan mereka berbaris di belakangnya, lalu beliau bertakbir empat kali.”
(HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
h) Dari Jabir ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
menyalati Ashamah an-Najasyi, dan beliau Saw. bertakbir empat kali.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
i) Dari Abdul A’la ia
berkata:
“Aku di belakang Zaid
bin Arqam ra. menyalati seorang jenazah, dan dia bertakbir lima kali. Lalu Abu
Isa Abdurrahman bin Abi Laila berdiri menghampirinya dan memegang tangannya
seraya bertanya: “Apakah engkau lupa?” Dia berkata: “Tidak, tetapi aku shalat
di belakang Abul Qasim kekasihku dan beliau Saw. bertakbir lima kali, sehingga
aku tidak akan meninggalkannya.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan
an-Nasai)
j) Dari Abu Wail ia
berkata:
“Mereka bertakbir di
masa Rasulullah Saw. tujuh kali, lima kali, dan enam kali, atau dia berkata
empat kali. Lalu Umar bin Khaththab mengumpulkan para sahabat Rasulullah Saw.,
dan setiap orang dari mereka mengatakan apa yang dilihatnya. Kemudian Umar mengumpulkan
mereka untuk empat kali takbir saja sebagai shalat terpanjang.” (HR.
al-Baihaqi)
k) Dari Syarahbil bin
Saad ia berkata:
“Aku menyaksikan
Abdullah bin Abbas mengimami kami shalat jenazah di Abwa, dan dia bertakbir,
kemudian membaca Ummul Qur’an dengan mengeraskan suaranya. Setelah itu dia
bershalawat atas Nabi, diikuti dengan berdoa: “Ya Allah, hamba-Mu, anak
hamba-Mu dan anak dari umat-Mu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah.
Engkau adalah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Mu, dan bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba-Mu dan utusan-Mu. Dia sangat membutuhkan rahmat-Mu, dan Engkau
cukup kaya untuk tidak menyiksanya. Dia telah meninggalkan dunia dan segenap
penghuninya, dan jika dia suci maka sucikanlah, dan jika dia bersalah maka
ampunilah. Ya Allah, janganlah Engkau mengharamkan kami dari pahalanya, dan
janganlah Engkau menyesatkan kami setelahnya.” Kemudian dia bertakbir tiga
kali, lalu selesai. Dia berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku tidak membaca
dengan terang dan keras kecuali agar kalian mengetahui bahwa itu adalah
sunnah.” (HR. al-Hakim)
Hadits Syurahbil ini
didhaifkan oleh sejumlah orang, tetapi ditsiqahkan
oleh Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Main, sehingga hadits ini layak
digunakan sebagai dalil.
Doa Untuk si Mayit
Memanjatkan doa dengan
bentuk apapun adalah sah, apalagi di dalamnya ada permintaan rahmat dan ampunan
untuk si mayit, serta permohonan agar dia diberi syafaat dengan hati yang
ikhlas. Namun, memanjatkan doa yang ma'tsur
tentunya lebih utama. Berikut ini adalah beberapa bentuk doa untuk si mayit
yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw.:
1) Ya Allah ampunilah
dia, curahkanlah rahmat untuknya, maafkanlah dia, dan jauhkan dari bala,
muliakanlah tempat kembalinya, luaskanlah tempat masuknya, dan bersihkanlah dia
dengan air, air es dan embun, bersihkanlah dia dari dosa-dosa sebagaimana baju yang
putih dibersihkan dari kotoran, dan berilah ganti berupa rumah yang lebih baik
dari rumahnya, dan keluarga yang lebih baik dari keluarganya, dan istri yang
lebih baik dari istrinya, dan masukkanlah dia ke dalam Surga, dan lindungilah
dia dari siksa kubur dan siksa api Neraka.
2) Ya Allah, ampunilah
orang yang masih hidup dari kalangan kami dan yang sudah mati, orang yang ikut
menyaksikan di antara kami maupun yang tidak ada, yang kecil ataupun yang
besar, laki-laki ataupun perempuan. Ya Allah, barangsiapa yang Engkau hidupkan
maka hidupkanlah dia di dalam Islam, dan barangsiapa yang Engkau matikan maka
matikanlah dia dalam keadaan membawa iman. Ya Allah, janganlah Engkau halangi
kami dari pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami setelahnya.
3) Ya Allah, hamba-Mu
dan anak hamba-Mu ini, dia bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan
bahwasanya Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu, dan Engkau lebih mengetahui
hal itu daripada aku. Jika dia seorang yang baik maka tambahkanlah kebaikannya,
dan jika dia seorang yang buruk maka ampunilah dia, dan janganlah Engkau
halangi kami dari pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami setelahnya.
Dalil dari doa yang
pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
menyalati satu jenazah, dan aku hafal doanya, di mana beliau Saw. mengucapkan:
“Ya Allah ampunilah dia, curahkanlah rahmat untuknya, maafkanlah dia, dan
jauhkan dari bala, muliakanlah tempat kembalinya, luaskanlah tempat masuknya,
dan bersihkanlah dia dengan air, air es dan embun, bersihkanlah dia dari
dosa-dosa sebagaimana baju yang putih dibersihkan dari kotoran, dan berilah
ganti berupa rumah yang lebih baik dari rumahnya, dan keluarga yang lebih baik
dari keluarganya, dan istri yang lebih baik dari istrinya, dan masukkanlah dia
ke dalam Surga, dan lindungilah dia dari siksa kubur dan siksa api Neraka. ”
(HR. Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalil untuk doa yang
kedua adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
menyalati satu jenazah dan beliau berdoa: “Ya Allah, ampunilah orang yang masih
hidup dari kalangan kami dan yang sudah mati, orang yang ikut menyaksikan di
antara kami maupun yang tidak ada, yang kecil ataupun yang besar, laki-laki
ataupun perempuan. Ya Allah, barangsiapa yang Engkau hidupkan maka hidupkanlah
dia di dalam Islam, dan barangsiapa yang Engkau matikan maka matikanlah dia
dalam keadaan membawa iman. Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami dari
pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami setelahnya.” (HR. Ibnu Majah)
Ahmad dan Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini hingga kalimat:
“Maka matikanlah dia
dalam keadaan membawa iman,” saja.
Sedangkan Abu Dawud
dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang sedikit
berbeda.
Sedangkan dalil untuk
doa yang ketiga adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra. dari Nabi
Saw.:
“Bahwa beliau Saw.
jika menyalati jenazah, maka beliau Saw. berdoa: “Ya Allah, hamba-Mu dan anak
hamba-Mu ini, dia bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwasanya
Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu, dan Engkau lebih mengetahui hal itu daripada
aku. Dan jika dia seorang yang baik maka tambahkanlah kebaikannya, dan jika dia
seorang yang buruk maka ampunilah dia, dan janganlah Engkau halangi kami dari
pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami setelahnya.” (HR. Ibnu Hibban)
Malik meriwayatkan
hadits ini secara mauquf kepada Abu
Hurairah.
Saya melihat bahwa doa
yang pertama dan ketiga ini salah satunya dilafalkan jika mayit tersebut sudah
baligh, laki-laki atau perempuan. Namun, jika mayit tersebut anak kecil yang
belum baligh maka didoakan dengan doa yang kedua. Bisa juga dengan doa berikut
ini: “Ya Allah jadikanlah dia bagi kami sebagai yang lebih dahulu, pendahulu,
dan pahala.” Dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah ra.:
“Bahwa dia jika
menyalati bayi yang meninggal yang belum melakukan kesalahan sedikitpun, dia
berdoa: “Ya Allah jadikanlah dia bagi kami sebagai yang lebih dahulu,
pendahulu, dan simpanan (pahala).”
Dan dalam lafadz yang
kedua: “dan pahala” sebagai pengganti kata “simpanan.” (HR. al-Baihaqi)
Pada prinsipnya, doa
pada mayit itu harus dilakukan dengan tulus ikhlas, penuh harapan semoga Allah
menerima doa ini dan memberikan syafaat pada si mayit, sehingga jika tidak
disertai keikhlasan, maka doa itu tidak memiliki arti apa-apa. Telah diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, bahwa dia berkata:
“Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: “Jika kalian menyalati mayit maka ikhlaskanlah doa
kalian untuknya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Semua doa ini,
seluruhnya disebutkan dalam bentuk mudzakkar,
dan doa-doa ini layak untuk dilafalkan untuk mayat laki-laki dan perempuan
dengan tanpa perubahan apapun, sehingga doa tersebut dilafalkan apa adanya
sebagaimana disebutkan dalam haditsnya, baik mayatnya itu laki-laki ataupun
perempuan, karena doa-doa tersebut mencakup dua jenis kelamin manusia.
Shalat Jenazah Dilakukan Dalam
Kondisi Suci
Ada sejumlah ahli
fikih yang membolehkan shalat jenazah tanpa berwudhu. Mereka memandang shalat
jenazah tidak termasuk shalat. Shalat jenazah menurut mereka hanyalah doa, atau
salah satu bentuk dan tata cara berdoa, dan dalam berdoa seseorang tidak
diwajibkan untuk berwudhu atau bersuci. Maka kami katakan pada mereka: Anda
telah sangat jauh dari kebenaran, karena shalat janazah itu sebenarnya adalah
shalat sebagaimana shalat-shalat lainnya, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Di
dalamnya dibaca fatihatul kitab, dan
dilaksanakan sebagaimana shalat yang lain, baik dengan berjamaah atau
sendirian. Apabila dilaksanakan secara berjamaah maka di sana ada imam dan para
makmum, yang berbaris di belakangnya yang mengikuti gerak shalatnya.
Begitu banyak
hadits-hadits yang menyebutnya sebagai shalat, dan cukuplah hadits yang
diriwayatkan melalui lisan Rasulnya: “Shalatlah kalian atas sahabat kalian”,
dan hadits tentang an-Najasyi: “Shalatlah kalian untuknya,” lalu kami berbaris,
kemudian Nabi Saw. bershalat untuknya dan kami berdiri bershaf-shaf.” Kami
tidak perlu menambah penjelasan lagi, karena masalahnya telah begitu jelas
sehingga tidak memerlukan pemahaman yang lebih banyak dari ini.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar