Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 25 Juli 2017

Dalil Tata Cara Shalat Jenazah



Posisi Imam untuk Mayit Laki-laki dan Perempuan

Disyariatkan agar pada saat menyalati jenazah, sang imam berposisi di antara kepala dan dada apabila jenazahnya laki-laki, dan di bagian tengah di sisi pinggangnya apabila jenazahnya perempuan.
Namun, jika jenazahnya berbilang, maka posisinya sebagai berikut: apabila mayatnya beberapa orang maka mereka dibariskan satu per satu di antara imam dan kiblat, kemudian imam berdiri di depan kepala mayat yang paling dekat dengannya, lalu menyalati mereka semua dengan satu kali shalat.
Apabila mayatnya terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak secara bersamaan, maka mayat laki-laki ditempatkan di depan imam, kemudian anak kecil di depan laki-laki, kemudian mayat perempuan ditempatkan setelah anak kecil, yang selanjutnya adalah (arah) kiblat. Setelah itu imam menyalatkan mereka seluruhnya satu kali. Dari Samurrah bin Jundub ra., ia berkata:

“Aku shalat di belakang Nabi Saw., menyalati jenazah seorang perempuan yang mati di masa nifasnya, dan beliau Saw. berdiri di bagian pinggangnya.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Aku shalat di belakang Nabi Saw., dan beliau Saw. menyalatkan Ummu Ka’ab yang meninggal (dan dia meninggal) di masa nifasnya. Maka Rasulullah Saw. berdiri menyalatinya pada bagian pinggangnya.”

Dari Abu Ghalib -al-Hannath- dari Anas bin Malik ra.:

“Tatkala dibawa satu jenazah laki-laki, dia berdiri di dekat kepala si mayat, kemudian dibawa lagi jenazah perempuan maka dia berdiri lebih bawah dari itu, yakni setentang dengan ujung leher yang bertemu dengan kepala. Ketika dia selesai shalat, al-'Ala bin Ziyad bertanya kepadanya: “Wahai Abu Hamzah, apakah Rasulullah Saw. berdiri menyalati jenazah laki-laki dan perempuan ini seperti apa yang kulihat dari apa yang engkau lakukan itu?” Dia berkata: “Ya”. Dia berkata: lalu al-Ala bin Ziyad menghadap orang-orang seraya berkata: “Hafalkanlah.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan at-Thahawi)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Lalu dia berdiri di dekat bagian tengah perempuan itu.”

Al-Baihaqi meriwayatkan juga hadits ini dengan lafadz: “maka dia berdiri lebih bawah dari itu, setentang dengan pusar, yakni di bagian pinggang perempuan tersebut.”

Dari Atha bin Abi Rabbah dari Ammar -pelayan al-Harits bin Naufal- dia berkata:

“Kemudian dibawalah jenazah anak kecil dan perempuan, (jenazah) anak kecil itu diajukan dekat orang-orang. Kemudian mayat perempuan diletakkan di belakangnya, dan mereka menyalati keduanya, di antara orang-orang itu ada Abu Said al-Khudri, Ibnu Abbas, Abu Qatadah dan Abu Hurairah. Aku menanyai mereka tentang hal itu, maka mereka menjawab: “Inilah sunnah.” (HR. an-Nasai, Abu Dawud, dan al-Baihaqi)

Apabila mayat anak kecil dibaringkan pada bagian kanannya, maka pada saat itu mayat perempuan berada di depannya, yang berikutnya adalah (arah) kiblat. Hal ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan an-Nasai dari Nafi:

“Bahwa Ibnu Umar menyalati sembilan jenazah seluruhnya, dan dia menempatkan mayat laki-laki (ditaruh) setelah imam, mayat perempuan berposisi sebelum kiblat, dan dia (Ibnu Umar) meletakkan mayat-mayat itu pada satu barisan. Kemudian diletakkan pula jenazah Ummu Kultsum, puteri Ali dan isteri Umar bin Khaththab, juga mayat anak laki-lakinya yang bernama Zaid. Keduanya diletakkan seluruhnya, dan imam pada hari itu adalah Said bin Ash. Di antara orang-orang itu (yakni yang menjadi makmum) terdapat Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abu Said dan Abu Qatadah. Kemudian diletakkan (jenazah) anak kecil itu di dekat imam, maka seseorang bertanya: ketika aku membantah hal itu dan melihat pada Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Said dan Abu Qatadah, maka aku bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka berkata: “Inilah sunnah.”

Banyaknya Orang yang Shalat dan Barisan Shalat itu Lebih Disukai

Disunahkan agar yang menyalati mayit itu orang-orang dengan jumlah yang banyak, tidak kurang dari empat puluh orang. Seandainya jumlah mereka mencapai seratus, maka ini lebih utama dan lebih baik lagi. Disunahkan juga agar orang-orang yang shalat itu berbaris paling sedikit dalam tiga shaf. Jika orang-orang yang menyalatinya itu orang-orang yang dikenal shalih dan bertakwa, maka itu lebih diharapkan, karena diterimanya permohonan mereka bagi si mayit. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah seorang laki-laki Muslim meninggal, lalu berdiri empat puluh orang menyalatinya di mana mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, kecuali Allah akan mengabulkan permohonan syafaat mereka untuk si mayit.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Dari Aisyah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda:

“Tidaklah seorang mayit itu dishalati oleh sekelompok orang dari kalangan kaum Muslim yang jumlahnya mencapai seratus orang, dan mereka semua meminta syafaat untuk si mayit, kecuali permohonan syafaat itu akan diberikan untuk si mayit.” (HR. Muslim, Ahmad, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Dari Malik bin Hubairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah seorang mukmin itu mati, lalu ia dishalati oleh sekelompok orang dari kalangan kaum Muslim yang jumlahnya mencapai tiga baris, kecuali dia akan diampuni.” (HR. Ahmad dan Trirmidzi)

Ibnu Majah, al-Hakim dan Baihaqi meriwayatkan juga hadits ini. Abu Dawud meriwayatkan hadits ini juga dengan redaksi:

“Tidaklah seorang Muslim itu mati lalu dishalati oleh tiga baris dari kalangan kaum Muslim, kecuali akan diijabah. Dia berkata: adalah Malik, jika orang yang menyalati jenazah berjumlah sedikit, maka beliau membagi mereka menjadi tiga shaf, untuk mengamalkan hadits ini.”

Sifat Shalat Jenazah

Imam berdiri dan orang-orang berbaris di belakangnya, lalu dia bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya, dan membaca surat al-fatihah. Tidak menjadi masalah dia membaca satu surat setelahnya.
Kemudian bertakbir yang kedua, seraya mengangkat kedua tangannya, dan bershalawat kepada Nabi Saw., lebih utama mengucapkan shalawat ibrahimiyah.
Lalu bertakbir yang ketiga sambil mengangkat kedua tangannya, dan berdoa untuk si mayit dengan hati yang ikhlas, memintakan ampunan dan rahmat untuknya, dan jika dia berdoa dengan salah satu doa ma'tsurah maka itu lebih utama.
Kemudian bertakbir yang keempat, lalu bersalam ke sebelah kanannya, dan jika dia juga bersalam ke sebelah kirinya, hal itu lebih utama. Dalam shalat ini bacaan tidak dijahrkan. Inilah sifat yang paling ideal untuk shalat jenazah.
Boleh juga menghimpun shalawat atas Nabi Saw. dengan bacaan al-fatihah dan surat. Juga boleh menghimpunkan semuanya dengan doa, sehingga semua itu dilafalkan setelah takbir yang pertama, kemudian bertakbir tiga kali sisanya tanpa membaca, berdzikir atau berdoa apapun.
Yang disyariatkan dan yang diwajibkan adalah membaca al-fatihah setelah takbir pertama, kemudian tiga takbir lainnya. Urutan sisanya diluaskan, sehingga si mushalli bisa memilih apa yang dikehendakinya.
Dan shalawat pada Rasulullah sah dilakukan dengan redaksi manapun, tetapi shalawat ibrahimiyah yang disyariatkan dalam duduk tasyahud dalam shalat biasa itu lebih utama dan lebih baik.
Boleh juga shalat jenazah itu dilakukan dengan menjahrkan bacaan, tetapi mensirrkannya lebih utama.
Boleh pula takbirnya itu lima, enam atau tujuh takbir. Dan inilah dalil-dalil untuk sifat shalat jenazah:

a) Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata: Nabi Saw. bersabda:

“Sungguh pada hari ini telah wafat seorang laki-laki shalih dari al-Habasyi. (Mereka diminta untuk bersiap-siap) dan mereka pun menyalatinya. Dia (perawi) berkata: maka kami berbaris, lalu Nabi Saw. menyalatinya dan kami berdiri bershaf-shaf.” (HR. Bukhari dan Muslim)

b) Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menyalati satu Jenazah, lalu beliau bertakbir empat kali dan bersalam satu kali.” (HR. al-Baihaqi dan Daruquthni)

c) Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata:

“Ada beberapa perkara yang dilakukan Rasulullah Saw. tetapi ditinggalkan orang-orang, salah satunya adalah imam mengucap salam dalam shalat jenazah seperti mengucapkan salam dalam shalat.” (HR. Thabrani dan al-Baihaqi)

d) Dari Thalhah bin Abdilah bin Auf, ia berkata:

“Aku berada di belakang Ibnu Abbas menyalati satu jenazah, lalu beliau membaca fatihatul kitab. Dia berkata: agar mereka mengetahui bahwa itu termasuk sunnah.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Syafi'i, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Lalu dia membaca fatihatul kitab dan satu surat, dan mengeraskan bacaan sehingga dia bisa memperdengarkan bacaan tersebut kepada kami. Ketika selesai, aku memegang tangannya dan menanyainya. Lalu dia menjawab: “Inilah sunnah dan inilah yang benar.”

Dalam riwayat al-Hakim disebutkan dengan lafadz: “…kemudian setelah selesai dia berkata: Wahai manusia, sesungguhnya tidaklah aku membaca dengan keras melainkan agar kalian mengetahui bahwa ini adalah sunnah.” Ucapan sunnah di sini artinya metode yang ditetapkan Islam, bukan dalam arti nafilah atau tathawwu’.

e) Dari Abu Umamah bin Sahl, bahwa dia diberitahu seseorang dari kalangan sahabat Nabi Saw.:

“Bahwa termasuk sunnah dalam shalat jenazah, (yaitu) hendaknya seorang imam bertakbir, kemudian membaca fatihatul kitab dengan pelan dalam hati setelah takbir pertama, setelah itu bershalawat pada Nabi Saw., dilanjutkan dengan memanjatkan doa dengan tulus untuk jenazah pada takbir-takbir berikutnya, dan tidak membaca (ayat al-Qur'an) apapun di dalamnya. Setelah itu bersalam dengan pelan dalam hatinya.” (HR. al-Baihaqi, Syafi'i, Abdurrazaq, Abu Dawud at-Thayyalisi)

Al-Hakim mentakhrij hadits ini dari arah yang lain.

f) Dari Nafi dari Ibnu Umar ra.: Bahwa dia mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir dalam shalat jenazah, dan dia berdiri setelah dua rakaat yakni dalam shalat wajib. (HR. al-Baihaqi dan Syafi'i). Hadits ini diriwayatkan secara marfu' dari Anas dan juga dari Ibnu Abbas.

g) Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Nabi Saw. mengumumkan berita wafatnya an-Najasyi kepada para sahabatnya, kemudian beliau maju (untuk shalat) dan mereka berbaris di belakangnya, lalu beliau bertakbir empat kali.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

h) Dari Jabir ra.:

“Bahwa Nabi Saw. menyalati Ashamah an-Najasyi, dan beliau Saw. bertakbir empat kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)

i) Dari Abdul A’la ia berkata:

“Aku di belakang Zaid bin Arqam ra. menyalati seorang jenazah, dan dia bertakbir lima kali. Lalu Abu Isa Abdurrahman bin Abi Laila berdiri menghampirinya dan memegang tangannya seraya bertanya: “Apakah engkau lupa?” Dia berkata: “Tidak, tetapi aku shalat di belakang Abul Qasim kekasihku dan beliau Saw. bertakbir lima kali, sehingga aku tidak akan meninggalkannya.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)

j) Dari Abu Wail ia berkata:

“Mereka bertakbir di masa Rasulullah Saw. tujuh kali, lima kali, dan enam kali, atau dia berkata empat kali. Lalu Umar bin Khaththab mengumpulkan para sahabat Rasulullah Saw., dan setiap orang dari mereka mengatakan apa yang dilihatnya. Kemudian Umar mengumpulkan mereka untuk empat kali takbir saja sebagai shalat terpanjang.” (HR. al-Baihaqi)

k) Dari Syarahbil bin Saad ia berkata:

“Aku menyaksikan Abdullah bin Abbas mengimami kami shalat jenazah di Abwa, dan dia bertakbir, kemudian membaca Ummul Qur’an dengan mengeraskan suaranya. Setelah itu dia bershalawat atas Nabi, diikuti dengan berdoa: “Ya Allah, hamba-Mu, anak hamba-Mu dan anak dari umat-Mu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Engkau adalah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Mu, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu. Dia sangat membutuhkan rahmat-Mu, dan Engkau cukup kaya untuk tidak menyiksanya. Dia telah meninggalkan dunia dan segenap penghuninya, dan jika dia suci maka sucikanlah, dan jika dia bersalah maka ampunilah. Ya Allah, janganlah Engkau mengharamkan kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau menyesatkan kami setelahnya.” Kemudian dia bertakbir tiga kali, lalu selesai. Dia berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku tidak membaca dengan terang dan keras kecuali agar kalian mengetahui bahwa itu adalah sunnah.” (HR. al-Hakim)

Hadits Syurahbil ini didhaifkan oleh sejumlah orang, tetapi ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Main, sehingga hadits ini layak digunakan sebagai dalil.

Doa Untuk si Mayit

Memanjatkan doa dengan bentuk apapun adalah sah, apalagi di dalamnya ada permintaan rahmat dan ampunan untuk si mayit, serta permohonan agar dia diberi syafaat dengan hati yang ikhlas. Namun, memanjatkan doa yang ma'tsur tentunya lebih utama. Berikut ini adalah beberapa bentuk doa untuk si mayit yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw.:

1) Ya Allah ampunilah dia, curahkanlah rahmat untuknya, maafkanlah dia, dan jauhkan dari bala, muliakanlah tempat kembalinya, luaskanlah tempat masuknya, dan bersihkanlah dia dengan air, air es dan embun, bersihkanlah dia dari dosa-dosa sebagaimana baju yang putih dibersihkan dari kotoran, dan berilah ganti berupa rumah yang lebih baik dari rumahnya, dan keluarga yang lebih baik dari keluarganya, dan istri yang lebih baik dari istrinya, dan masukkanlah dia ke dalam Surga, dan lindungilah dia dari siksa kubur dan siksa api Neraka.

2) Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup dari kalangan kami dan yang sudah mati, orang yang ikut menyaksikan di antara kami maupun yang tidak ada, yang kecil ataupun yang besar, laki-laki ataupun perempuan. Ya Allah, barangsiapa yang Engkau hidupkan maka hidupkanlah dia di dalam Islam, dan barangsiapa yang Engkau matikan maka matikanlah dia dalam keadaan membawa iman. Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami setelahnya.

3) Ya Allah, hamba-Mu dan anak hamba-Mu ini, dia bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu, dan Engkau lebih mengetahui hal itu daripada aku. Jika dia seorang yang baik maka tambahkanlah kebaikannya, dan jika dia seorang yang buruk maka ampunilah dia, dan janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami setelahnya.

Dalil dari doa yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Auf bin Malik ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. menyalati satu jenazah, dan aku hafal doanya, di mana beliau Saw. mengucapkan: “Ya Allah ampunilah dia, curahkanlah rahmat untuknya, maafkanlah dia, dan jauhkan dari bala, muliakanlah tempat kembalinya, luaskanlah tempat masuknya, dan bersihkanlah dia dengan air, air es dan embun, bersihkanlah dia dari dosa-dosa sebagaimana baju yang putih dibersihkan dari kotoran, dan berilah ganti berupa rumah yang lebih baik dari rumahnya, dan keluarga yang lebih baik dari keluarganya, dan istri yang lebih baik dari istrinya, dan masukkanlah dia ke dalam Surga, dan lindungilah dia dari siksa kubur dan siksa api Neraka. ” (HR. Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dalil untuk doa yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. menyalati satu jenazah dan beliau berdoa: “Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup dari kalangan kami dan yang sudah mati, orang yang ikut menyaksikan di antara kami maupun yang tidak ada, yang kecil ataupun yang besar, laki-laki ataupun perempuan. Ya Allah, barangsiapa yang Engkau hidupkan maka hidupkanlah dia di dalam Islam, dan barangsiapa yang Engkau matikan maka matikanlah dia dalam keadaan membawa iman. Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami setelahnya.” (HR. Ibnu Majah)

Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan hadits ini hingga kalimat:

“Maka matikanlah dia dalam keadaan membawa iman,” saja.

Sedangkan Abu Dawud dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang sedikit berbeda.

Sedangkan dalil untuk doa yang ketiga adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw.:


“Bahwa beliau Saw. jika menyalati jenazah, maka beliau Saw. berdoa: “Ya Allah, hamba-Mu dan anak hamba-Mu ini, dia bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu, dan Engkau lebih mengetahui hal itu daripada aku. Dan jika dia seorang yang baik maka tambahkanlah kebaikannya, dan jika dia seorang yang buruk maka ampunilah dia, dan janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya dan jangan Engkau sesatkan kami setelahnya.” (HR. Ibnu Hibban)

Malik meriwayatkan hadits ini secara mauquf kepada Abu Hurairah.

Saya melihat bahwa doa yang pertama dan ketiga ini salah satunya dilafalkan jika mayit tersebut sudah baligh, laki-laki atau perempuan. Namun, jika mayit tersebut anak kecil yang belum baligh maka didoakan dengan doa yang kedua. Bisa juga dengan doa berikut ini: “Ya Allah jadikanlah dia bagi kami sebagai yang lebih dahulu, pendahulu, dan pahala.” Dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa dia jika menyalati bayi yang meninggal yang belum melakukan kesalahan sedikitpun, dia berdoa: “Ya Allah jadikanlah dia bagi kami sebagai yang lebih dahulu, pendahulu, dan simpanan (pahala).”

Dan dalam lafadz yang kedua: “dan pahala” sebagai pengganti kata “simpanan.” (HR. al-Baihaqi)

Pada prinsipnya, doa pada mayit itu harus dilakukan dengan tulus ikhlas, penuh harapan semoga Allah menerima doa ini dan memberikan syafaat pada si mayit, sehingga jika tidak disertai keikhlasan, maka doa itu tidak memiliki arti apa-apa. Telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa dia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Jika kalian menyalati mayit maka ikhlaskanlah doa kalian untuknya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Semua doa ini, seluruhnya disebutkan dalam bentuk mudzakkar, dan doa-doa ini layak untuk dilafalkan untuk mayat laki-laki dan perempuan dengan tanpa perubahan apapun, sehingga doa tersebut dilafalkan apa adanya sebagaimana disebutkan dalam haditsnya, baik mayatnya itu laki-laki ataupun perempuan, karena doa-doa tersebut mencakup dua jenis kelamin manusia.

Shalat Jenazah Dilakukan Dalam Kondisi Suci

Ada sejumlah ahli fikih yang membolehkan shalat jenazah tanpa berwudhu. Mereka memandang shalat jenazah tidak termasuk shalat. Shalat jenazah menurut mereka hanyalah doa, atau salah satu bentuk dan tata cara berdoa, dan dalam berdoa seseorang tidak diwajibkan untuk berwudhu atau bersuci. Maka kami katakan pada mereka: Anda telah sangat jauh dari kebenaran, karena shalat janazah itu sebenarnya adalah shalat sebagaimana shalat-shalat lainnya, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Di dalamnya dibaca fatihatul kitab, dan dilaksanakan sebagaimana shalat yang lain, baik dengan berjamaah atau sendirian. Apabila dilaksanakan secara berjamaah maka di sana ada imam dan para makmum, yang berbaris di belakangnya yang mengikuti gerak shalatnya.

Begitu banyak hadits-hadits yang menyebutnya sebagai shalat, dan cukuplah hadits yang diriwayatkan melalui lisan Rasulnya: “Shalatlah kalian atas sahabat kalian”, dan hadits tentang an-Najasyi: “Shalatlah kalian untuknya,” lalu kami berbaris, kemudian Nabi Saw. bershalat untuknya dan kami berdiri bershaf-shaf.” Kami tidak perlu menambah penjelasan lagi, karena masalahnya telah begitu jelas sehingga tidak memerlukan pemahaman yang lebih banyak dari ini.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam