Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 25 Juli 2017

Dalil Hukum Shalat Jenazah



2. Shalat Jenazah

Hukum Shalat Jenazah

Shalat jenazah itu hukumnya fardhu kifayah. Shalat ini termasuk salah satu hak-hak mayit yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang masih hidup. Karena itu, wajib bagi orang yang hidup untuk menunaikan hak ini bagi si mayit, sama seperti hak-hak lainnya dalam Islam.
Rasululah Saw. telah melaksanakan shalat jenazah, dan terus melakukannya, kecuali terhadap tiga kondisi (mayit):
a) Pengkhianat, orang yang berkhianat atas harta kaum Muslim.
b) Orang yang berhutang, yang tidak meninggalkan harta sebagai penggantinya, dan tidak ada seorangpun yang bersedia menggantikannya membayar utang.
c) Orang yang bunuh diri.
Terhadap ketiga jenis inilah Rasulullah Saw. mengharamkan dirinya menyalati mereka, akan tetapi beliau Saw. tetap mengizinkan kaum Muslim untuk menyalatkan mereka.

Mengenai dalil dari kelompok pertama. Zaid bin Khalid al-Juhaniy telah meriwayatkan:

“Bahwa seorang laki-laki dari kalangan kaum Muslim meninggal di Khaibar, lalu hal itu diceritakan kepada Rasulullah Saw. Kemudian beliau Saw. berkata: “Shalatkanlah teman kalian itu oleh kalian.” Maka berubahlah wajah orang-orang karenanya. Tatkala beliau melihat apa yang terjadi dengan mereka, beliau bersabda: “Sesungguhnya teman kalian itu telah berkhianat (dengan menggelapkan harta) ketika berperang di jalan Allah.” Lalu kami memeriksa hartanya, ternyata kami dapati di dalamnya ada tas kulit milik orang Yahudi yang bernilai dua dirham.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibnu Majah)

Dalil untuk jenis kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah ra., ia berkata:

“Satu jenazah telah dibawa ke hadapan Nabi Saw. agar dishalatkan, lalu beliau Saw. bertanya: “Adakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab: “Ya, sebanyak dua dinar.” Beliau bertanya lagi: “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayarnya?” Mereka berkata: “Tidak.” Maka beliau berkata: “Shalatilah teman kalian ini.” Abu Qatadah bertanya: “Wahai Rasulullah, dua dinar itu menjadi tanggunganku.” Dia (perawi) berkata: maka Rasulullah Saw. menyalatinya.” (HR. Ibnu Hibban dan an-Nasai)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:

“Seseorang yang hidup di zaman Rasulullah Saw., bila dia mati dan ia memiliki hutang, maka beliau Saw. bertanya: “Apakah dia memiliki harta untuk membayar hutangnya?” Jika dijawab iya, maka beliau Saw. akan menyalatinya, jika tidak, maka beliau Saw. berkata: “Shalatilah teman kalian ini.” Ketika Allah Swt. memberikan kemenangan demi kemenangan kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda: ”Aku lebih berhak (sebagai wali) atas orang-orang mukmin melebihi diri-diri mereka sendiri, maka barangsiapa yang meninggalkan hutang maka (hutang) itu menjadi tanggung jawabku, dan barangsiapa meninggalkan harta maka hartanya itu menjadi hak ahli warisnya.” (HR. Ibnu Hibban dan an-Nasai)

Adapun tentang kelompok ketiga, maka telah diriwayatkan bahwa Jabir bin Samurrah ra. berkata:

“Seseorang mati di zaman Rasulullah Saw., lalu seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Saw. dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, si fulan telah mati”. Beliau berkata: “Dia belum mati”. Kemudian orang itu datang lagi untuk kedua kalinya, kemudian ketiga kalinya, dan mengabarkan hal serupa, maka Nabi Saw. bertanya kepadanya: “Bagaimana dia matinya?” Dia menjawab: “Dia bunuh diri dengan anak panah”. Maka dia (perawi) berkata: Rasulullah Saw. tidak menyalatinya.”

Dalam satu riwayat, beliau Saw. berkata:

“Kalau begitu aku tidak akan menyalatinya.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)

Inilah tiga kondisi di mana Rasulullah Saw. tidak mau menyalati si mayit, meskipun demikian beliau Saw. tetap mengizinkan kaum Muslim yang lain menyalatinya.

Nanti akan dibahas hukum shalat atas orang yang mati syahid di dalam peperangan melawan (militer) orang kafir. Walaupun hal itu tidak wajib dan juga bukan sunah, tetapi kondisi ini bukanlah kondisi yang keempat yang ditambahkan pada tiga kondisi sebelumnya. Kondisi yang terakhir ini begitu unik, karena pada kondisi ini orang yang syahid tidak perlu dishalatkan, karena dia telah mendapatkan pahala dan kedudukan di sisi Tuhannya. Orang yang syahid tidak memiliki hak dishalatkan yang harus dipenuhi oleh orang yang masih hidup, sehingga orang yang masih hidup tidak wajib dan tidak pula sunah untuk menyalatinya.

Kaum Muslim diperintah untuk melaksanakan shalat atas mayit selama mayit tersebut seorang Muslim, yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Ada seorang pemuda Yahudi yang melayani Nabi, dia kemudian sakit. Lalu Nabi Saw. datang menjenguknya seraya berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa aku ini adalah utusan Allah?” Ia (perawi) berkata: pemuda itu melirik pada ayahnya, maka ayahnya berkata: “Katakanlah apa yang diucapkan Muhammad kepadamu.” Pemuda itu mengucapkannya dan kemudian mati. Lalu Nabi Saw. bersabda: “Shalatilah teman kalian ini.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Shalat ini hukumnya fardhu kifayah, dan ini pendapat jumhur. Seandainya mayit tersebut telah dishalati oleh seorang saja, maka hal itu telah cukup, dan gugurlah dosa yang lainnya.

Hukum Menyalati Orang yang Syahid Dalam Perang Melawan Orang Kafir

Saya mengatakan: “orang yang syahid dalam perang melawan orang kafir”, karena saya juga ingin menegasikan (tidak memasukkan) orang yang terbunuh dalam perang melawan bughat, karena perang jenis ini (yaitu bughat) adalah perang di antara kaum Muslim, sehingga yang terbunuh dalam perang jenis ini tidak tergolong syahid.
Begitu pula dengan hukum ini saya ingin mengeliminir orang yang terbunuh pada kondisi selain jihad, walaupun pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang kafir, seperti seorang kafir yang membunuh seorang Muslim karena persengketaan dan pertengkaran yang terjadi di antara mereka.
Hukum ini juga mengeluarkan orang yang keluar untuk berjihad di jalan Allah, tetapi mati karena wabah tha’un atau tenggelam atau sakit perut atau karena berbagai peristiwa dan penyakit yang lainnya, meski mereka tetap dipandang sebagai syahid di sisi Allah.

Jadi, yang tersisa hanyalah orang yang terbunuh dalam peperangan melawan orang-orang kafir saja, inilah syahid yang menjadi objek pembahasan hukum shalat di sini. Tentu saja disertakan juga ke dalam jenis ini adalah orang yang terluka dalam peperangan melawan orang kafir, kemudian meninggal karena lukanya, walaupun meninggalnya belakangan, baik dalam beberapa hari, minggu atau bulan, karena faktanya dia terbunuh dalam peperangan melawan orang kafir, tetapi nyawanya keluar belakangan -baik dengan waktu yang panjang atau pendek-.

Orang syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, tetapi cukup dikuburkan bersama dengan pakaiannya, termasuk apa yang dilumuri oleh darahnya tanpa perlu dishalatkan lagi. Shalat atas orang syahid seperti ini tidak wajib, bahkan tidak sunnah, hukumnya boleh saja. Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. menyatukan dua orang laki-laki yang gugur dalam Perang Uhud dalam satu baju, kemudian berkata: “Yang manakah yang lebih banyak hafalan al-Qur’annya?” Jika ditunjukkan pada salah satunya, maka beliau mendahulukannya (dimasukkan) ke dalam liang Iahat, seraya berkata: “Aku menjadi saksi atas mereka pada Hari Kiamat.” Kemudian beliau memerintahkan untuk mengubur mereka bersamaan dengan (Iumuran) darah mereka, di mana mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Dan mereka tidak dishalatkan dan juga tidak dimandikan.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Sesungguhnya beliau Saw. berkata terkait orang-orang yang gugur dalam Perang Uhud: “Janganlah kalian memandikan mereka, sesungguhnya seluruh luka dan seluruh darah mereka akan semerbak mewangi seperti kesturi pada Hari Kiamat.” Dan mereka tidak dishalatkan.”

Mengenai hadits-hadits yang meriwayatkan tentang memandikan para syuhada Uhud dan menshalatkannya, maka semua hadits tersebut banyak mengandung perdebatan. Di dalamnya ada cacat atau kelemahan, sehingga tidak layak dijadikan sandaran dibandingkan dengan hadits shahih di atas. Yang tersisa tinggal hadits Uqbah bin ‘Amir ra., dia berkata:

“Bahwa Nabi Saw. pada suatu hari keluar dan melakukan shalat atas korban Uhud dengan shalat yang biasa beliau lakukan terhadap mayit. Kemudian beliau pergi ke atas mimbar dan berkata: “Sesungguhnya aku akan mendahului kalian, dan aku menjadi saksi untuk kalian...” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ucapan beliau: inni farathun lakum, diambil dari kata al-farath yakni yang mendahului orang-orang ke sumber air guna mempersiapkan tempat air, mengisi dan memenuhinya untuk mereka. Kalimat tersebut di sini berarti: sesungguhnya aku akan mendahului kalian ke al-haudh atau al-kautsar di surga, dan kalian akan datang menemuiku.
Hadits ini adalah hadits shahih, dan di dalamnya dikatakan bahwa Rasulullah Saw. telah menyalati para syuhada Uhud, tetapi shalat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. ini tidak dimaksudkan untuk menyalatkan para jenazah tersebut. Shalat ini semata-mata merupakan bentuk at-taudi’ (ucapan salam perpisahan) dari beliau Saw. untuk para syuhada tersebut sebelum beliau Saw. meninggal. Shalatnya serupa dengan penghormatan al-muwadi' (orang yang mengucapkan salam perpisahan) kepada orang yang telah mati. Dari Uqbah bin ‘Amir al-Juhani, ia berkata:

“Rasulullah Saw. melakukan shalat atas orang-orang yang terbunuh pada Perang Uhud setelah delapan tahun (berlalunya peristiwa Uhud) sebagai (bentuk) orang yang mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang masih hidup dan yang telah mati, kemudian beliau naik mimbar dan berkata: “Sesungguhnya aku berada di depan kalian yang akan mendahului kalian, dan aku akan menjadi saksi untuk kalian...” (HR. Bukhari dan Muslim)

Riwayat ini menjelaskan bahwa shalat yang beliau lakukan untuk para syuhada Uhud ini semata-mata merupakan (bentuk) salam perpisahan beliau untuk para syuhada tersebut. Dan orang yang syahid tetap tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

Shalat Untuk Orang-Orang yang Mati dari Kalangan Kaum Muslim

Orang yang syahid dalam peperangan melawan orang-orang kafir merupakan kondisi satu-satunya yang menjadi pengecualian dari wajibnya menyalati orang-orang mati dari kalangan kaum Muslim. Setiap Muslim yang mengucapkan: “tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah” maka wajib (fardhu kifayah) atas kaum Muslim untuk menyalatinya. Tidak ada perbedaan antara seorang yang bertakwa dengan yang celaka, yang besar dengan yang kecil, antara orang adil dengan orang fasik, (bahkan) hingga antara orang yang membunuh dan yang dibunuh serta melakukan dosa besar. Wajib atas kaum Muslim yang masih hidup untuk menyalati mereka.
Begitu juga anak yang gugur -yakni yang dilahirkan dalam keadaan meninggal atau meninggal setelah dilahirkan secara langsung- maka kaum Muslim wajib menyalatinya selama dia ini seorang manusia yang memiliki nyawa, yaitu anak yang dilahirkan dengan usia kandungan empat bulan ke atas, karena ditiupkannya ruh terjadi ketika dia berusia empat bulan dalam kandungan ibunya. Ketika ruh sudah ditiupkan, maka jadilah dia seorang manusia, sehingga apabila mati maka wajib dishalati. Dari Abdullah bin Mas'ud ra. ia berkata: Rasulullah Saw. menjelaskan kepada kami, dan beliau adalah seorang yang benar dan dibenarkan:

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian mulai dihimpun penciptaannya dalam kandungan ibunya pada usia empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu juga, lalu menjadi segumpal daging seperti itu juga. Setelah itu Allah Swt. mengutus malaikat dan diperintahkan (untuk) membawa empat perkara. Dikatakan kepadanya: tuliskanlah amalnya, rizkinya, ajalnya, celaka dan bahagianya, kemudian ditiupkanlah ruh ke dalamnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dari al-Mughirah bin Syu’bah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Anak yang gugur (dari kandungan) itu dishalati, dan dia mendoakan kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)

Mengenai hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa ia bersabda:

“Ibrahim bin Rasulullah Saw. telah wafat dalam usia delapan belas bulan, dan dia tidak dishalatkan” (HR. Ahmad, al-Bazzar, dan Abu Ya'la)

Hadits ini adalah hadits munkar. Ini dikatakan sendiri oleh Ahmad. Sedangkan Ibnu Abdil Barr berkata: “hadits ini tidak shahih, sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai dalil.”

Shalat mayit disyariatkan pula untuk orang yang dibunuh dalam salah satu had dari hudud Allah ,seperti orang yang membunuh seseorang lalu dia harus dihukum bunuh, atau pezina muhshan yang harus dirajam. Dari Imran bin Hushain ra.:

“Bahwa seorang wanita dari Juhainah mengaku telah berzina kepada Rasulullah Saw., dan ia berkata: “Aku sedang hamil.” Lalu Nabi Saw. memanggil walinya dan berkata: “Berbuat baiklah kepadanya, dan jika dia (telah) melahirkan maka kabarilah aku.” Perintah tersebut dilakukan oleh walinya (hingga sempurna). Kemudian Nabi Saw. memerintahkan agar wanita itu dibawa, lalu bajunya dikencangkan. Setelah itu beliau memerintahkan untuk merajamnya, dan wanita itupun dirajam. Kemudian beliau Saw. menyalatinya...” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)

Ucapan: fa syukkat artinya dikencangkan, agar pakaian tersebut tidak tersingkap ketika dia dirajam dengan batu. Dari Jabir ra.:

“Bahwa seorang laki-laki dari Bani Aslam datang kepada Nabi Saw. dan mengaku telah berzina. Lalu Nabi Saw. berpaling darinya, hingga dia bersaksi untuk dirinya sebanyak empat kali. Kemudian Nabi Saw. berkata kepadanya: “Apakah engkau ini gila?” Dia berkata: “Tidak”. Apakah engkau seorang muhshan?” Dia berkata: “Ya”. Maka Nabi Saw. memerintahkannya untuk dirajam di tempat shalat (Id). Tatkala batu-batu itu menyusahkannya dia pun lari, kemudian ditangkap dan dirajam hingga mati. Maka Nabi Saw. berkata: “Itu lebih baik.” Dan beliau menyalatinya.” (HR. Bukhari)

Perkataannya: adzlaqat-hul hijarah, yakni batu-batu itu mulai menyusahkan dan menyakitinya. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Ada seorang pemuda Yahudi dan berkhidmat kepada Nabi Saw., lalu dia jatuh sakit. Nabi Saw. kemudian datang menengoknya seraya bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa aku ini adalah utusan Allah?” Ia (perawi) berkata: pemuda itu melirik kepada ayahnya, maka ayahnya berkata: “Katakanlah apa yang diucapkan Muhammad kepadamu.” Pemuda itu mengucapkannya, kemudian mati. Lalu Nabi Saw. bersabda: ”Shalatilah teman kalian ini.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Hadits ini pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan. Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Nu’man:

“Bahwa Rasulullah Saw. menyalati anak hasil zina, dan menyalati ibunya yang mati di masa nifasnya.”

Dengan demikian maka shalat jenazah itu disyariatkan bagi seluruh orang mati dari kalangan kaum Muslim, bagaimanapun kemaksiatan atau kondisi mereka, dengan pengecualian orang yang syahid dalam peperangan melawan orang kafir, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Shalat Ghaib

Shalat untuk mayit yang ghaib disyariatkan secara mutlak. Baik telah mati dengan masa yang dekat atau telah jauh, baik mati di bumi dan di Negara Islam, atau mati di negara dan tanah orang kafir, baik telah dishalatkan sebelumnya oleh orang-orang atau belum dishalati sama sekali, dan baik telah dikuburkan atau belum dikuburkan. Shalat untuk mayit ghaib ini telah disyariatkan secara mutlak tanpa ada batasan waktu, tempat atau keadaan. Hudzaifah bin Asid ra. telah meriwayatkan:

“Pada suatu hari Rasulullah Saw. datang, dan beliau bersabda: “Shalatilah saudara kalian yang mati tidak di bumi kalian.” Mereka bertanya: “Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Shahmah an-Najasyi.” Maka mereka pun berdiri dan menyalatinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud at-Thayyalisi)

Dari as-Sya’biy, ia berkata:

“Telah mengabarkan kepadaku seseorang yang bersama dengan Rasulullah Saw. melewati kuburan seorang anak zina. Beliau Saw. mengimami mereka, sementara orang-orang berbaris di belakangnya. Lalu aku bertanya: “Siapakah dia (yang mengabarkan itu) wahai Abu Amr?” Dia berkata: “Ibnu Abbas.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah Saw. mendatangi satu kuburan, lalu para sahabat berkata: “Yang ini telah dikubur, atau yang ini telah dikubur kemarin.” Ibnu Abbas ra. berkata: “maka kami berbaris di belakang beliau saw. Kemudian beliau Saw. menyalatinya.”

Abu Dawud telah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Bahwa Rasulullah Saw. melewati sebuah kuburan yang (masih) basah, lalu mereka berbaris di belakang beliau Saw. dan bertakbir empat kali.”

Dari Ibnu Abbas ra. :

“Bahwa Nabi Saw. menyalati sebuah kuburan setelah (mayit dikubur) satu bulan” (HR. al-Baihaqi dan Daruquthni)

Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa seseorang yang berkulit hitam, laki-laki atau perempuan, suka menyapu masjid, lalu dia meninggal. Nabi Saw. tidak mengetahui kematiannya. Pada suatu hari beliau Saw. ingat kepadanya dan bertanya: “Apa yang dilakukan oleh orang itu?” Mereka menjawab: “Dia sudah meninggal wahai Rasulullah.” Beliau Saw. bertanya: “Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” Mereka berkata: “Sesungguhnya dia itu begini dan begitu.” Diceritakanlah kisahnya, dan mereka merendahkannya. Lalu Nabi Saw. berkata: “Tunjukkanlah makamnya kepadaku.” Kemudian beliau Saw. mendatangi makamnya dan menyalatinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Keutamaan Shalat Jenazah dan Mengantarkan Jenazah

Barangsiapa yang mengantarkan jenazah sejak dia keluar dari rumah keluarganya hingga menyalatinya, maka dia akan memperoleh pahala yang sebanding dengan gunung yang besar. Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim senantiasa berusaha untuk berjalan mengantarkan jenazah dan menyalatinya. Dan jika dia terus berjalan mengantarkan jenazah hingga ditutupi tanah, maka dia memperoleh pahala yang sebanding dengan dua gunung yang besar. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga menyalatinya, maka baginya satu qirath, dan barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan maka baginya dua qirath. Ditanyakan: Apakah dua qirath itu? Beliau Saw. menjawab: “Seperti dua gunung yang besar.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan dengan redaksi:

“Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Barangsiapa yang menyalati jenazah lalu dia tidak mengantarkannya, maka baginya satu qirath. Dan barangsiapa yang mengantarkannya maka baginya dua qirath.” Lalu ditanyakan: Apakah dua qirath itu? Beliau Saw. menjawab: “Yang paling kecilnya seperti Gunung Uhud.”

Pahala bisa diperoleh dengan berjalan mengiringi jenazah, pahala juga bisa diperoleh dengan mengendarai mobil atau menunggang hewan (dalam mengantarkan jenazah). Maka orang yang berjalan, seperti orang yang berkendaraan dalam mengantarkan jenazah.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam