2.
Shalat Jenazah
Hukum Shalat Jenazah
Shalat jenazah itu
hukumnya fardhu kifayah. Shalat ini termasuk salah satu hak-hak mayit yang
harus dipenuhi oleh orang-orang yang masih hidup. Karena itu, wajib bagi orang
yang hidup untuk menunaikan hak ini bagi si mayit, sama seperti hak-hak lainnya
dalam Islam.
Rasululah Saw. telah
melaksanakan shalat jenazah, dan terus melakukannya, kecuali terhadap tiga
kondisi (mayit):
a) Pengkhianat, orang
yang berkhianat atas harta kaum Muslim.
b) Orang yang
berhutang, yang tidak meninggalkan harta sebagai penggantinya, dan tidak ada
seorangpun yang bersedia menggantikannya membayar utang.
c) Orang yang bunuh
diri.
Terhadap ketiga jenis
inilah Rasulullah Saw. mengharamkan dirinya menyalati mereka, akan tetapi
beliau Saw. tetap mengizinkan kaum Muslim untuk menyalatkan mereka.
Mengenai dalil dari
kelompok pertama. Zaid bin Khalid al-Juhaniy telah meriwayatkan:
“Bahwa seorang
laki-laki dari kalangan kaum Muslim meninggal di Khaibar, lalu hal itu
diceritakan kepada Rasulullah Saw. Kemudian beliau Saw. berkata: “Shalatkanlah
teman kalian itu oleh kalian.” Maka berubahlah wajah orang-orang karenanya.
Tatkala beliau melihat apa yang terjadi dengan mereka, beliau bersabda:
“Sesungguhnya teman kalian itu telah berkhianat (dengan menggelapkan harta)
ketika berperang di jalan Allah.” Lalu kami memeriksa hartanya, ternyata kami
dapati di dalamnya ada tas kulit milik orang Yahudi yang bernilai dua dirham.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibnu Majah)
Dalil untuk jenis
kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah ra., ia berkata:
“Satu jenazah telah
dibawa ke hadapan Nabi Saw. agar dishalatkan, lalu beliau Saw. bertanya:
“Adakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab: “Ya, sebanyak dua dinar.” Beliau
bertanya lagi: “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayarnya?” Mereka
berkata: “Tidak.” Maka beliau berkata: “Shalatilah teman kalian ini.” Abu
Qatadah bertanya: “Wahai Rasulullah, dua dinar itu menjadi tanggunganku.” Dia
(perawi) berkata: maka Rasulullah Saw. menyalatinya.” (HR. Ibnu Hibban dan
an-Nasai)
Dari Abu Hurairah ra.
ia berkata:
“Seseorang yang hidup
di zaman Rasulullah Saw., bila dia mati dan ia memiliki hutang, maka beliau
Saw. bertanya: “Apakah dia memiliki harta untuk membayar hutangnya?” Jika
dijawab iya, maka beliau Saw. akan menyalatinya, jika tidak, maka beliau Saw.
berkata: “Shalatilah teman kalian ini.” Ketika Allah Swt. memberikan kemenangan
demi kemenangan kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda: ”Aku lebih berhak
(sebagai wali) atas orang-orang mukmin melebihi diri-diri mereka sendiri, maka
barangsiapa yang meninggalkan hutang maka (hutang) itu menjadi tanggung
jawabku, dan barangsiapa meninggalkan harta maka hartanya itu menjadi hak ahli
warisnya.” (HR. Ibnu Hibban dan an-Nasai)
Adapun tentang
kelompok ketiga, maka telah diriwayatkan bahwa Jabir bin Samurrah ra. berkata:
“Seseorang mati di
zaman Rasulullah Saw., lalu seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Saw.
dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, si fulan telah mati”. Beliau berkata: “Dia
belum mati”. Kemudian orang itu datang lagi untuk kedua kalinya, kemudian
ketiga kalinya, dan mengabarkan hal serupa, maka Nabi Saw. bertanya kepadanya:
“Bagaimana dia matinya?” Dia menjawab: “Dia bunuh diri dengan anak panah”. Maka
dia (perawi) berkata: Rasulullah Saw. tidak menyalatinya.”
Dalam satu riwayat,
beliau Saw. berkata:
“Kalau begitu aku
tidak akan menyalatinya.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan an-Nasai)
Inilah tiga kondisi di
mana Rasulullah Saw. tidak mau menyalati si mayit, meskipun demikian beliau
Saw. tetap mengizinkan kaum Muslim yang lain menyalatinya.
Nanti akan dibahas
hukum shalat atas orang yang mati syahid di dalam peperangan melawan (militer)
orang kafir. Walaupun hal itu tidak wajib dan juga bukan sunah, tetapi kondisi
ini bukanlah kondisi yang keempat yang ditambahkan pada tiga kondisi sebelumnya.
Kondisi yang terakhir ini begitu unik, karena pada kondisi ini orang yang
syahid tidak perlu dishalatkan, karena dia telah mendapatkan pahala dan
kedudukan di sisi Tuhannya. Orang yang syahid tidak memiliki hak dishalatkan
yang harus dipenuhi oleh orang yang masih hidup, sehingga orang yang masih
hidup tidak wajib dan tidak pula sunah untuk menyalatinya.
Kaum Muslim diperintah
untuk melaksanakan shalat atas mayit selama mayit tersebut seorang Muslim, yang
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra., ia berkata:
“Ada seorang pemuda
Yahudi yang melayani Nabi, dia kemudian sakit. Lalu Nabi Saw. datang
menjenguknya seraya berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan
selain Allah dan bahwa aku ini adalah utusan Allah?” Ia (perawi) berkata:
pemuda itu melirik pada ayahnya, maka ayahnya berkata: “Katakanlah apa yang
diucapkan Muhammad kepadamu.” Pemuda itu mengucapkannya dan kemudian mati. Lalu
Nabi Saw. bersabda: “Shalatilah teman kalian ini.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Shalat ini hukumnya
fardhu kifayah, dan ini pendapat jumhur. Seandainya mayit tersebut telah
dishalati oleh seorang saja, maka hal itu telah cukup, dan gugurlah dosa yang
lainnya.
Hukum Menyalati Orang yang
Syahid Dalam Perang Melawan Orang Kafir
Saya mengatakan:
“orang yang syahid dalam perang melawan orang kafir”, karena saya juga ingin
menegasikan (tidak memasukkan) orang yang terbunuh dalam perang melawan bughat, karena perang jenis ini (yaitu bughat) adalah perang di antara kaum Muslim,
sehingga yang terbunuh dalam perang jenis ini tidak tergolong syahid.
Begitu pula dengan
hukum ini saya ingin mengeliminir orang yang terbunuh pada kondisi selain
jihad, walaupun pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang kafir, seperti seorang
kafir yang membunuh seorang Muslim karena persengketaan dan pertengkaran yang
terjadi di antara mereka.
Hukum ini juga
mengeluarkan orang yang keluar untuk berjihad di jalan Allah, tetapi mati
karena wabah tha’un atau tenggelam atau
sakit perut atau karena berbagai peristiwa dan penyakit yang lainnya, meski
mereka tetap dipandang sebagai syahid di sisi Allah.
Jadi, yang tersisa
hanyalah orang yang terbunuh dalam peperangan melawan orang-orang kafir saja,
inilah syahid yang menjadi objek pembahasan hukum shalat di sini. Tentu saja
disertakan juga ke dalam jenis ini adalah orang yang terluka dalam peperangan
melawan orang kafir, kemudian meninggal karena lukanya, walaupun meninggalnya
belakangan, baik dalam beberapa hari, minggu atau bulan, karena faktanya dia
terbunuh dalam peperangan melawan orang kafir, tetapi nyawanya keluar
belakangan -baik dengan waktu yang panjang atau pendek-.
Orang syahid seperti
ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, tetapi cukup dikuburkan bersama
dengan pakaiannya, termasuk apa yang dilumuri oleh darahnya tanpa perlu
dishalatkan lagi. Shalat atas orang syahid seperti ini tidak wajib, bahkan
tidak sunnah, hukumnya boleh saja. Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata:
“Adalah Nabi Saw.
menyatukan dua orang laki-laki yang gugur dalam Perang Uhud dalam satu baju,
kemudian berkata: “Yang manakah yang lebih banyak hafalan al-Qur’annya?” Jika
ditunjukkan pada salah satunya, maka beliau mendahulukannya (dimasukkan) ke
dalam liang Iahat, seraya berkata: “Aku menjadi saksi atas mereka pada Hari
Kiamat.” Kemudian beliau memerintahkan untuk mengubur mereka bersamaan dengan
(Iumuran) darah mereka, di mana mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.”
Dalam riwayat lain
disebutkan:
“Dan mereka tidak
dishalatkan dan juga tidak dimandikan.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan
Ibnu Majah)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Sesungguhnya beliau
Saw. berkata terkait orang-orang yang gugur dalam Perang Uhud: “Janganlah
kalian memandikan mereka, sesungguhnya seluruh luka dan seluruh darah mereka
akan semerbak mewangi seperti kesturi pada Hari Kiamat.” Dan mereka tidak
dishalatkan.”
Mengenai hadits-hadits
yang meriwayatkan tentang memandikan para syuhada Uhud dan menshalatkannya,
maka semua hadits tersebut banyak mengandung perdebatan. Di dalamnya ada cacat
atau kelemahan, sehingga tidak layak dijadikan sandaran dibandingkan dengan hadits
shahih di atas. Yang tersisa tinggal hadits Uqbah bin ‘Amir ra., dia berkata:
“Bahwa Nabi Saw. pada
suatu hari keluar dan melakukan shalat atas korban Uhud dengan shalat yang
biasa beliau lakukan terhadap mayit. Kemudian beliau pergi ke atas mimbar dan
berkata: “Sesungguhnya aku akan mendahului kalian, dan aku menjadi saksi untuk kalian...”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ucapan beliau: inni farathun lakum, diambil dari kata al-farath yakni yang mendahului orang-orang ke
sumber air guna mempersiapkan tempat air, mengisi dan memenuhinya untuk mereka.
Kalimat tersebut di sini berarti: sesungguhnya aku akan mendahului kalian ke al-haudh atau al-kautsar
di surga, dan kalian akan datang menemuiku.
Hadits ini adalah
hadits shahih, dan di dalamnya dikatakan bahwa Rasulullah Saw. telah menyalati
para syuhada Uhud, tetapi shalat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. ini tidak
dimaksudkan untuk menyalatkan para jenazah tersebut. Shalat ini semata-mata merupakan
bentuk at-taudi’ (ucapan salam
perpisahan) dari beliau Saw. untuk para syuhada tersebut sebelum beliau Saw.
meninggal. Shalatnya serupa dengan penghormatan al-muwadi'
(orang yang mengucapkan salam perpisahan) kepada orang yang telah mati. Dari
Uqbah bin ‘Amir al-Juhani, ia berkata:
“Rasulullah Saw.
melakukan shalat atas orang-orang yang terbunuh pada Perang Uhud setelah
delapan tahun (berlalunya peristiwa Uhud) sebagai (bentuk) orang yang
mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang masih hidup dan yang telah mati,
kemudian beliau naik mimbar dan berkata: “Sesungguhnya aku berada di depan
kalian yang akan mendahului kalian, dan aku akan menjadi saksi untuk kalian...”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Riwayat ini
menjelaskan bahwa shalat yang beliau lakukan untuk para syuhada Uhud ini
semata-mata merupakan (bentuk) salam perpisahan beliau untuk para syuhada
tersebut. Dan orang yang syahid tetap tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
Shalat Untuk Orang-Orang yang
Mati dari Kalangan Kaum Muslim
Orang yang syahid
dalam peperangan melawan orang-orang kafir merupakan kondisi satu-satunya yang
menjadi pengecualian dari wajibnya menyalati orang-orang mati dari kalangan
kaum Muslim. Setiap Muslim yang mengucapkan: “tidak ada tuhan selain Allah dan
Muhammad utusan Allah” maka wajib (fardhu kifayah) atas kaum Muslim untuk
menyalatinya. Tidak ada perbedaan antara seorang yang bertakwa dengan yang
celaka, yang besar dengan yang kecil, antara orang adil dengan orang fasik,
(bahkan) hingga antara orang yang membunuh dan yang dibunuh serta melakukan
dosa besar. Wajib atas kaum Muslim yang masih hidup untuk menyalati mereka.
Begitu juga anak yang
gugur -yakni yang dilahirkan dalam keadaan meninggal atau meninggal setelah
dilahirkan secara langsung- maka kaum Muslim wajib menyalatinya selama dia ini
seorang manusia yang memiliki nyawa, yaitu anak yang dilahirkan dengan usia kandungan
empat bulan ke atas, karena ditiupkannya ruh terjadi ketika dia berusia empat
bulan dalam kandungan ibunya. Ketika ruh sudah ditiupkan, maka jadilah dia
seorang manusia, sehingga apabila mati maka wajib dishalati. Dari Abdullah bin
Mas'ud ra. ia berkata: Rasulullah Saw. menjelaskan kepada kami, dan beliau
adalah seorang yang benar dan dibenarkan:
“Sesungguhnya salah
seorang dari kalian mulai dihimpun penciptaannya dalam kandungan ibunya pada
usia empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu juga, lalu
menjadi segumpal daging seperti itu juga. Setelah itu Allah Swt. mengutus malaikat
dan diperintahkan (untuk) membawa empat perkara. Dikatakan kepadanya:
tuliskanlah amalnya, rizkinya, ajalnya, celaka dan bahagianya, kemudian
ditiupkanlah ruh ke dalamnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan
Ibnu Majah)
Dari al-Mughirah bin
Syu’bah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Anak yang gugur (dari
kandungan) itu dishalati, dan dia mendoakan kedua orang tuanya dengan ampunan
dan rahmat.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)
Mengenai hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa ia bersabda:
“Ibrahim bin
Rasulullah Saw. telah wafat dalam usia delapan belas bulan, dan dia tidak
dishalatkan” (HR. Ahmad, al-Bazzar, dan Abu Ya'la)
Hadits ini adalah
hadits munkar. Ini dikatakan sendiri oleh Ahmad. Sedangkan Ibnu Abdil Barr
berkata: “hadits ini tidak shahih, sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai
dalil.”
Shalat mayit
disyariatkan pula untuk orang yang dibunuh dalam salah satu had dari hudud
Allah ,seperti orang yang membunuh seseorang lalu dia harus dihukum
bunuh, atau pezina muhshan yang harus
dirajam. Dari Imran bin Hushain ra.:
“Bahwa seorang wanita
dari Juhainah mengaku telah berzina kepada Rasulullah Saw., dan ia berkata:
“Aku sedang hamil.” Lalu Nabi Saw. memanggil walinya dan berkata: “Berbuat
baiklah kepadanya, dan jika dia (telah) melahirkan maka kabarilah aku.”
Perintah tersebut dilakukan oleh walinya (hingga sempurna). Kemudian Nabi Saw.
memerintahkan agar wanita itu dibawa, lalu bajunya dikencangkan. Setelah itu
beliau memerintahkan untuk merajamnya, dan wanita itupun dirajam. Kemudian
beliau Saw. menyalatinya...” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan
an-Nasai)
Ucapan: fa syukkat artinya dikencangkan, agar pakaian
tersebut tidak tersingkap ketika dia dirajam dengan batu. Dari Jabir ra.:
“Bahwa seorang
laki-laki dari Bani Aslam datang kepada Nabi Saw. dan mengaku telah berzina.
Lalu Nabi Saw. berpaling darinya, hingga dia bersaksi untuk dirinya sebanyak
empat kali. Kemudian Nabi Saw. berkata kepadanya: “Apakah engkau ini gila?” Dia
berkata: “Tidak”. Apakah engkau seorang muhshan?”
Dia berkata: “Ya”. Maka Nabi Saw. memerintahkannya untuk dirajam di tempat
shalat (Id). Tatkala batu-batu itu menyusahkannya dia pun lari, kemudian
ditangkap dan dirajam hingga mati. Maka Nabi Saw. berkata: “Itu lebih baik.”
Dan beliau menyalatinya.” (HR. Bukhari)
Perkataannya: adzlaqat-hul hijarah, yakni batu-batu itu
mulai menyusahkan dan menyakitinya. Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:
“Ada seorang pemuda
Yahudi dan berkhidmat kepada Nabi Saw., lalu dia jatuh sakit. Nabi Saw.
kemudian datang menengoknya seraya bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwasanya
tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa aku ini adalah utusan Allah?” Ia
(perawi) berkata: pemuda itu melirik kepada ayahnya, maka ayahnya berkata:
“Katakanlah apa yang diucapkan Muhammad kepadamu.” Pemuda itu mengucapkannya,
kemudian mati. Lalu Nabi Saw. bersabda: ”Shalatilah teman kalian ini.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah)
Hadits ini pada
pembahasan sebelumnya telah disebutkan. Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari
Nu’man:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menyalati anak hasil zina, dan menyalati ibunya yang mati di masa nifasnya.”
Dengan demikian maka
shalat jenazah itu disyariatkan bagi seluruh orang mati dari kalangan kaum
Muslim, bagaimanapun kemaksiatan atau kondisi mereka, dengan pengecualian orang
yang syahid dalam peperangan melawan orang kafir, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.
Shalat Ghaib
Shalat untuk mayit
yang ghaib disyariatkan secara mutlak. Baik telah mati dengan masa yang dekat
atau telah jauh, baik mati di bumi dan di Negara Islam, atau mati di negara dan
tanah orang kafir, baik telah dishalatkan sebelumnya oleh orang-orang atau belum
dishalati sama sekali, dan baik telah dikuburkan atau belum dikuburkan. Shalat
untuk mayit ghaib ini telah disyariatkan secara mutlak tanpa ada batasan waktu,
tempat atau keadaan. Hudzaifah bin Asid ra. telah meriwayatkan:
“Pada suatu hari
Rasulullah Saw. datang, dan beliau bersabda: “Shalatilah saudara kalian yang
mati tidak di bumi kalian.” Mereka bertanya: “Siapakah dia wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Shahmah an-Najasyi.” Maka mereka pun berdiri dan
menyalatinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud at-Thayyalisi)
Dari as-Sya’biy, ia
berkata:
“Telah mengabarkan
kepadaku seseorang yang bersama dengan Rasulullah Saw. melewati kuburan seorang
anak zina. Beliau Saw. mengimami mereka, sementara orang-orang berbaris di
belakangnya. Lalu aku bertanya: “Siapakah dia (yang mengabarkan itu) wahai Abu
Amr?” Dia berkata: “Ibnu Abbas.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Bukhari meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Dari Ibnu Abbas ra.
ia berkata: Rasulullah Saw. mendatangi satu kuburan, lalu para sahabat berkata:
“Yang ini telah dikubur, atau yang ini telah dikubur kemarin.” Ibnu Abbas ra.
berkata: “maka kami berbaris di belakang beliau saw. Kemudian beliau Saw. menyalatinya.”
Abu Dawud telah
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melewati sebuah kuburan yang (masih) basah, lalu mereka berbaris di belakang
beliau Saw. dan bertakbir empat kali.”
Dari Ibnu Abbas ra. :
“Bahwa Nabi Saw.
menyalati sebuah kuburan setelah (mayit dikubur) satu bulan” (HR. al-Baihaqi
dan Daruquthni)
Dari Abu Hurairah ra.:
“Bahwa seseorang yang
berkulit hitam, laki-laki atau perempuan, suka menyapu masjid, lalu dia
meninggal. Nabi Saw. tidak mengetahui kematiannya. Pada suatu hari beliau Saw.
ingat kepadanya dan bertanya: “Apa yang dilakukan oleh orang itu?” Mereka
menjawab: “Dia sudah meninggal wahai Rasulullah.” Beliau Saw. bertanya:
“Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” Mereka berkata:
“Sesungguhnya dia itu begini dan begitu.” Diceritakanlah kisahnya, dan mereka
merendahkannya. Lalu Nabi Saw. berkata: “Tunjukkanlah makamnya kepadaku.”
Kemudian beliau Saw. mendatangi makamnya dan menyalatinya.” (HR. Bukhari,
Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Keutamaan Shalat Jenazah dan
Mengantarkan Jenazah
Barangsiapa yang
mengantarkan jenazah sejak dia keluar dari rumah keluarganya hingga
menyalatinya, maka dia akan memperoleh pahala yang sebanding dengan gunung yang
besar. Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim senantiasa berusaha untuk
berjalan mengantarkan jenazah dan menyalatinya. Dan jika dia terus berjalan
mengantarkan jenazah hingga ditutupi tanah, maka dia memperoleh pahala yang
sebanding dengan dua gunung yang besar. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
menyaksikan jenazah hingga menyalatinya, maka baginya satu qirath, dan
barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan maka baginya dua qirath.
Ditanyakan: Apakah dua qirath itu? Beliau Saw. menjawab: “Seperti dua gunung
yang besar.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Dalam riwayat Muslim
lainnya disebutkan dengan redaksi:
“Dari Abu Hurairah ra.
dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Barangsiapa yang menyalati jenazah lalu dia
tidak mengantarkannya, maka baginya satu qirath. Dan barangsiapa yang
mengantarkannya maka baginya dua qirath.” Lalu ditanyakan: Apakah dua qirath
itu? Beliau Saw. menjawab: “Yang paling kecilnya seperti Gunung Uhud.”
Pahala bisa diperoleh
dengan berjalan mengiringi jenazah, pahala juga bisa diperoleh dengan
mengendarai mobil atau menunggang hewan (dalam mengantarkan jenazah). Maka
orang yang berjalan, seperti orang yang berkendaraan dalam mengantarkan
jenazah.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar