Bab: Sifat Shalat
Sub-bab:
Sujud:
Bentuknya dan Dzikir Di dalamnya
Kami telah menyebutkan
dalam bab pertama bahwa shalat itu adalah perbuatan yang paling disukai Allah
Swt. Makna shalat itu menurut bahasa adalah doa, sehingga keutamaan shalat
sebagian besar diambil dari doa. Bisa juga diartikan bahwa doa itu adalah sesuatu
yang paling menonjol dalam shalat. Ini bukan sesuatu yang aneh, mengingat doa
itu adalah ibadah, sehingga jika kita mendapati bahwa sujud itu adalah tempat
berdoa dalam bentuk yang paling utama, maka kita akan memahami keutamaan sujud
dalam shalat. Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
“Keadaan yang paling
dekat antara seorang hamba dari Tuhannya adalah ketika dia bersujud, maka
perbanyaklah doa.” (HR. Muslim, an-Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Ibnu Abbas ra.
meriwayatkan dari Nabi Saw.:
“…Ingatlah,
sesungguhnya aku dilarang membaca al-Qur’an ketika ruku’ atau sujud. Adapun
ruku’, maka agungkanlah Allah di dalamnya. Sedangkan sujud maka
bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka doa (ketika sujud) itu sangat dekat diijabahnya bagi kalian.” (HR. Muslim)
Ahmad, Ibnu Khuzaimah,
Abu Dawud dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang berbeda.
Jadi, seorang Muslim dalam sujudnya itu sangat dekat dengan Tuhannya, dan mudah
diijabah doanya.
Allah Swt. telah
mengungkapkan tentang ketaatan para makhluk dan penghambaan mereka kepada-Nya
dengan istilah sujud. Dia Swt. berfirman:
“Dan kepada Allah
sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata
di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan
diri.” (TQS. an-Nahl [16]: 49)
“Apakah kamu tiada
mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata
dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah
ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak
seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang dia
kehendaki.” (TQS. al-Hajj [22]: 18)
Dari sebagian
keutamaan sujud adalah bahwa Allah Swt. telah memuliakan bagian-bagian sujud
pada tubuh seorang Muslim, di mana Dia Swt. akan melindungi bagian-bagian itu
dari api Neraka. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“…Jika Allah
menghendaki untuk memberi rahmat pada orang yang diinginkan-Nya dari penghuni
Neraka, maka Allah Swt. memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan orang yang
pernah menyembah Allah. Para malaikat mengeluarkan mereka dan bisa mengetahui
mereka dari bekas sujudnya, dan Allah mengharamkan api Neraka memakan
bekas-bekas sujud itu, lalu mereka keluar dari Neraka. Seluruh anak adam
dimakan api Neraka kecuali bekas sujud...” (HR. Bukhari)
Hadits ini memiliki
redaksi yang panjang, dan dalam riwayat an-Nasai dari jalur Atha bin Yazid
didapati ungkapan:
.”..Sesungguhnya api
Neraka itu memakan segala sesuatu dari tubuh anak Adam, kecuali bagian-bagian
yang digunakan untuk sujud.”
Sebagian keutamaan
sujud itu adalah bahwa Allah ‘azza wa jalla
telah memilih anggota sujud dari tubuh kaum Muslim untuk menjadi tanda yang
membedakan mereka dari segenap makhluk pada Hari Kiamat kelak, dan menjadikan
warna putih dan cahaya memancar dari dahi-dahi mereka. Untuk itu Allah Swt.
mengisyaratkan dalam firman-Nya:
“Muhammad itu adalah
utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku'
dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada
muka mereka dari bekas sujud.” (TQS. al-Fath [48]: 29)
Sebagian dari
keutamaan sujud adalah apa yang disebutkan dalam hadits riwayat Muslim dari
jalur Ma’dan bin Abi Thalhah al-Ya’mari, ia berkata,
“Aku bertemu dengan
Tsauban pelayan Rasulullah Saw., lalu aku berkata: Beritahukanlah aku satu
perbuatan yang bisa aku lakukan, yang dengannya Allah akan memasukkan aku ke
dalam Surga.” Atau ia berkata: aku bertanya tentang perbuatan yang paling
disukai Allah, maka dia diam, kemudian aku bertanya lagi, lalu dia diam,
setelah itu aku bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya, maka dia berkata: Aku
bertanya tentang hal itu kepada Rasulullah Saw., lalu beliau berkata: ”Engkau
harus banyak bersujud kepada Allah, karena sesungguhnya engkau tidak bersujud
kepada Allah satu kali kecuali dengannya Allah akan mengangkat derajatmu dan
menghapus kesalahan darimu.” Ma’dan berkata: kemudian aku bertemu Abu Darda,
dan aku bertanya kepadanya. Maka dia berkata kepadaku seperti apa yang
dikatakan Tsauban.”
Dilalah hadits ini begitu jelas.
Adapun bentuk sujud
dilakukan dengan cara si mushalli
menjadikan dua kakinya, dua lututnya, dua telapak tangannya dan dahinya
menempel di atas tanah dengan sifat yang telah diketahui, sehingga disebut
bersujud ketika dia bersujud di atas tujuh anggota tubuh tersebut. Bersujud
tidak boleh dilakukan kecuali di atasnya, seluruhnya. Dari Ibnu Abbas ra. ia
berkata:
“Nabi Saw.
diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh anggota tubuh, dan tidak boleh
menahan rambut dan juga baju: dahi, dua tangan, dua lutut dan dua telapak
kaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim
yang lain dari jalur Abbas bin Abdul Muthalib ra. bahwa dia mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika seorang hamba
bersujud maka sujud bersamanya tujuh bagian: wajahnya, dua telapak tangannya,
dua lututnya dan dua kakinya.”
Dalam riwayat
Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah dari jalur
Abbas ra. disebutkan dengan redaksi:
“Jika seorang hamba
sujud maka bersamanya sujud tujuh anggota…”
Dalam riwayat Ahmad
dari jalur Abbas ra. disebutkan dengan redaksi:
“Jika seorang
laki-laki sujud maka sujud bersamanya tujuh anggota…”
Ketujuh anggota badan
ini merupakan anggota sujud, sehingga semuanya harus dilekatkan dalam proses
sujud.
Tata cara sujud
meletakkan dua telapak kaki dalam keadaan tegak, dengan menghadapkan ujung jari
kaki ke arah kiblat, sedikit menjauhkan dua lutut, meratakan dua telapak tangan
di atas tanah dengan merapatkan jari-jarinya, dan bersujud di atas hidung selain
dahi, meletakkan keduanya (hidung dan dahi) ini di antara dua telapak tangannya
sedikit ke depan, merenggangkan dua pahanya di mana tidak satupun dari keduanya
menopang perutnya, memiringkan dua tangannya dari dua sisinya, mengangkat kedua
sikunya dan dua hastanya dari tanah, dan mengangkat pantatnya, sehingga dia
dalam keadaan seperti ini bisa disebut seorang yang mukhawiyan (menjauhkan perutnya dari tanah, dan menjauhkan dua
lengan atasnya dari dua sisinya). Artinya, antara dua tangannya dan dua kakinya
ada ruang kosong, dan membiarkan pakaiannya jatuh ke atas tempat sujudnya,
sebagaimana dia membiarkan rambutnya jika terurai untuk jatuh ke atas tempat
sujudnya, dan tidak menahan keduanya dalam sujud.
Sebelumnya telah kami
sebutkan hadits Bukhari Muslim dari jalur Ibnu Abbas ra.: .”..dan tidak boleh
menahan kain dan juga baju…” Inilah tata cara yang bisa dilakukan dalam sujud.
Seseorang harus
berhati-hati agar tidak meratakan atau menempelkan dua hastanya di atas tanah,
karena hal ini dilarang menurut syariat. Begitu juga tidak membebankan perutnya
ke atas dua pahanya, agar kita bisa mengikuti Rasulullah Saw. dengan benar. Menjauhkan
kedua telapak tangannya dari sisi tubuhnya dan mengangkat perutnya dari tanah
dalam sujudnya tersebut. Tidak sujud di atas dahinya saja tanpa hidungnya, dan
jangan menyalahi tata cara sujud yang telah disebutkan sebelumnya. Kami
sebutkan sejumlah hadits terkait beberapa hal yang kami sebutkan diatas:
a. Dari al-Barra ra.
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika engkau bersujud
maka letakkanlah dua telapak tanganmu dan angkatlah dua sikumu.” (HR. Muslim
dan Ahmad)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Jika engkau bersujud
maka letakkanlah dua telapak tanganmu dan angkatlah dua sikumu dan
tegakkanlah.”
b. Dari Abdullah bin
Malik bin Buhainah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
jika shalat merenggangkan di antara dua tangannya hingga nampaklah dua
ketiaknya yang putih.” (HR. Muslim dan Bukhari)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Adalah Nabi Saw. jika
bersujud beliau merenggangkan dua tangannya hingga nampaklah putih dua
ketiaknya.”
c. Dari Alqamah bin
Wail dari ayahnya ra.:
“Bahwa Nabi Saw. jika
ruku’ merenggangkan jari-jarinya, dan jika bersujud beliau menghimpunkan
jari-jarinya.” (HR. Ibnu Hibban dan al-Thabrani)
Ibnu Khuzaimah dan
al-Hakim meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“(Bahwa Nabi Saw.)
jika bersujud beliau menghimpunkan jari-jarinya.”
Keduanya tidak
menyebutkan ruku'.
d. Dari Abu Humaid ra.
-dan menyebutkan sifat shalat Rasulullah Saw.- ia berkata:
“Dan jika bersujud
beliau merenggangkan dua pahanya tanpa membebankan perutnya pada bagian manapun
dari dua pahanya.” (HR. Abu Dawud)
e. Dari Abu Humaid ra.
ia berkata:
“Aku adalah orang yang
paling hafal tentang shalat-shalat Rasulullah Saw. di antara kalian. Aku
melihatnya jika bertakbir menjadikan dua tangannya setentang dengan dua
bahunya, dan jika ruku' menempatkan dua tangannya pada dua lututnya kemudian
menjuntaikan punggungnya. Dan jika mengangkat kepalanya, beliau tegak hingga
seluruh tulang punggung kembali ke tempatnya. Dan jika bersujud beliau Saw.
menempatkan kedua tangannya tanpa menghamparkannya (tidak membiarkannya rapat
dengan tanah), dan beliau menghadapkan ujung-ujung jari kedua kakinya ke
kiblat. Dan jika beliau duduk dalam dua rakaat, beliau duduk di atas telapak
kakinya yang sebelah kiri dan menegakkan yang sebelah kanan. Dan jika duduk
dalam rakaat terakhir, beliau Saw. memajukan telapak kaki kirinya dan
menegakkan telapak kaki kanannya, dan beliau duduk di atas pantatnya.” (HR.
Bukhari)
f. Dari Syu’bah ia
berkata: Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Sesungguhnya
pelayanmu jika bersujud meletakkan dahinya, dua tangannya, dan dadanya ke
tanah. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadanya: “Apa yang mendorongmu melakukan hal
seperti itu?” Dia berkata: “Merendahkan diri.” Ia berkata: “Begitulah duduk
berbaringnya anjing, aku melihat Nabi Saw. jika bersujud terlihat putih dua
ketiaknya.” (HR. Ahmad)
g. Dari Wail bin Hujr
ra. ia berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. bersujud, pada hidungnya bersama dengan dahinya.” (HR. Ahmad)
h. Dari Wail bin Hujr
ra.:
“Bahwa dia melihat
Nabi Saw. bersujud di antara dua telapak tangannya -dan dalam satu riwayat- dan
dua tangannya, keduanya dekat dengan dua telinganya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
i. Dari Abu Said
al-Khudri ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
terlihat pada dahinya dan pucuk hidungnya (terdapat) bekas tanah dari shalat
yang dilakukannya ketika mengimami orang-orang.” (HR. Abu Dawud)
j. Dari al-Barra ra.
bahwa dia mencontohkan cara sujud:
“Lalu dia
merenggangkan dua telapak tangannya dan mengangkat pantatnya dan menjauhkan
perutnya dari tanah, dan ia berkata: Beginilah Nabi Saw. bersujud.” (HR. Ahmad)
k. Dari al-Barra ra.
ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika beliau shalat membuka kedua lengan ketika bersujud, menjauhkan
keduanya dari sisi tubuhnya, dan menjauhkan perutnya dari tanah.” (HR. Ibnu
Khuzaimah)
l. Dari Ibnu Abbas ra.
ia berkata:
“Aku memperhatikan
shalat Rasulullah Saw., maka aku melihatnya dalam keadaan mukhawiyan, dan aku melihat putihnya dua
ketiak beliau Saw.” (HR. Ahmad)
Mukhawwiyan artinya menjauhkan perutnya dari
tanah, dan menjauhkan dua lengan atasnya dari dua sisinya.
m. Dari Amr bin
al-Harits ra.:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika bersujud beliau Saw. mengembangkan tangannya seperti sayap pada
sujudnya hingga terlihat putih dua ketiaknya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
n. Dari Maimunah ra.:
“Bahwa Nabi Saw. jika
bersujud menjauhkan dua tangannya, seandainya seekor kambing ingin lewat di
antara keduanya niscaya bisa melewatinya.” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sedikit berbeda. Dan dalam riwayat
Muslim dari jalur Maimunah istri Nabi Saw., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika bersujud beliau menjauhkan kedua tangannya, yakni dengan
merentangkannya seperti sayap hingga nampak putih dua ketiak beliau dari
belakangnya. Dan jika duduk, beliau duduk thuma'ninah
di atas pahanya yang sebelah kiri.”
o. Dari Ibnu Umar ra.
ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah kalian
menghamparkan dua hasta kalian jika kalian shalat, seperti hewan buas duduk
meratakan hastanya. Dan bertopanglah pada dua tangan kalian, jauhkan dari
bagian bawah dua ketiak kalian, sehingga jika engkau melakukan hal itu, seluruh
anggota tubuh kalian akan bersujud.” (HR. Ibnu Hibban)
p. Jabir ra.
meriwayatkan: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian bersujud maka tegaklah, janganlah dia meratakan dua hastanya
seperti binatang buas.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Tirmidzi dan Abu Dawud
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi “seperti anjing”
q. Dari Anas bin Malik
ra. dari Nabi Saw., ia berkata:
“Tegaklah dalam
bersujud, dan janganlah salah seorang dari kalian meratakan dua tangannya
seperti anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Dawud dan Ibnu
Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Tegaklah dalam
bersujud, janganlah salah seorang dari kalian menghamparkan dua tangannya
seperti anjing.”
Inilah bentuk sujud.
Di antaranya adalah: seorang Muslim harus menjauhkan dua tangannya dari
sampingnya, mengangkat dua siku dan dua hastanya dari tanah, tetapi jika dia
bersujud dengan sujud yang lama lalu hal itu berat baginya dan dia ditimpa
kesulitan, maka baginya ada keringanan meletakkan dua sikunya di atas dua
lututnya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia
berkata:
“Para sahabat Nabi
Saw. mengadu kepadanya tentang sulitnya sujud bagi mereka jika mereka merasa
lelah. Beliau berkata: Bertopanglah dengan lutut-lutut kalian.” (HR. Ahmad)
Ibnu Hibban, Tirmidzi,
dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang berbeda.
Thuma'ninah dalam sujud adalah satu kewajiban
yang harus dilakukan, minimal dengan diamnya gerakan orang yang sujud tersebut
ketika dia bersujud. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah
ra. -dan dia menyebutkan hadits tentang orang yang buruk shalatnya, dan di
dalamnya ada ungkapan- bahwa Rasulullah Saw. berkata pada orang yang buruk
shalatnya itu:
”...Kemudian
bersujudlah, hingga engkau thuma'ninah
dalam bersujud...” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Rifa'ah dalam satu hadits yang panjang, bahwa Nabi
Saw. berkata kepada seorang laki-laki yang sedang shalat, dan Nabi Saw.
memerintahkannya untuk mengulang shalatnya:
“Kemudian jika engkau
bersujud maka tetapkanlah wajahmu dan dua tanganmu hingga thuma'ninah seluruh tulangmu ke tempatnya.”
(HR. Ibnu Khuzaimah)
Mengenai ukuran
pertengahan thuma'ninah dalam sujud
adalah waktu yang cukup untuk mengucapkan dzikir ma'tsur
dalam sujud, dan kami akan menyebutkannya di depan. Ini mirip dengan kadar thuma'ninah dalam ruku', atau kadar thuma'ninah dalam berdiri setelah ruku', atau
kadar thuma'ninah dalam duduk di antara
dua sujud. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan, bahwa al-Barra ra.
berkata:
“Adalah ruku' dan
sujud Nabi Saw., jika beliau mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku' dan di
antara dua sujudnya dilakukan dengan lama waktu yang hampir sama.” (HR.
Bukhari)
Muslim dan Ahmad
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang tidak jauh berbeda. Sebelumnya
telah kami sebutkan dalam pembahasan “bangkit dari ruku'
dan dzikir di dalamnya", berdasarkan hadits yang diriwayatkan Tsabit dari
Anas ra., bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya aku
berusaha untuk shalat mengimami kalian sebagaimana aku melihat Nabi Saw. shalat
mengimami kami. Tsabit berkata: Anas melakukan sesuatu yang belum pernah aku
lihat kalian melakukannya sebelumnya. Jika mengangkat kepalanya dari ruku' maka
beliau berdiri sampai ada yang berkata dia telah lupa, dan di antara dua sujud
sampai ada yang berkata dia telah lupa.” (HR. Bukhari)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi yang hampir sama.
Sujud adalah wajib,
dan salah satu rukun di mana shalat tidak sah tanpa sujud. Barangsiapa shalat
tetapi tidak bersujud dengan sujud yang telah dikenal maka tidak ada shalat
baginya. Allah Swt. telah menyeru manusia untuk shalat. Allah Swt. berfirman:
“Hai orangorang yang
beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (TQS. al-Hajj [22]: 77)
Sebelumnya telah kami
sebutkan dalam pembahasan “ruku’: bentuknya dan dzikir di dalamnya”, dan kami
nyatakan di sana: “Allah Swt. tidak memilih ruku' dan sujud dari berbagai
perbuatan shalat tidak lain untuk menunjukkan bahwa keduanya adalah dua rukun
dari rukun-rukun shalat, di mana tidak ada shalat tanpa keduanya.” Zaid bin
Wahab berkata:
“Hudzaifah melihat
seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud. Ia berkata.
“Engkau tidak shalat, kalaupun engkau mati, maka engkau mati tidak dalam fitrah
yang ditetapkan Allah Swt. pada diri Muhammad Saw.” (Riwayat Bukhari)
Ahmad meriwayatkan
dengan redaksi kalimat yang berbeda. Dan sebelumnya telah kami sebutkan dalam
pembahasan “ruku’: bentuknya dan dzikir di dalamnya.”
Disunahkan untuk
meletakkan dua lutut di atas tanah sebelum dua tangan ketika meluruh untuk
bersujud, dan mengangkat kedua tangan sebelum dua lutut ketika bangkit untuk
berdiri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa Wail bin Hujr ra.
berkata:
“Aku melihat
Rasulullah Saw. jika bersujud beliau Saw. meletakkan dua lututnya sebelum dua
tangannya, dan jika bangkit beliau Saw. mengangkat kedua tangannya sebelum dua
lututnya.” (HR. Tirmidzi)
Ibnu Hibban dan Ibnu
Majah meriwayatkan hadits yang hampir sama. Abu Dawud meriwayatkan dari Wail
ra.:
“Bahwa Nabi Saw. -lalu
dia menyebutkan hadits tentang shalat- setelah itu ia berkata: Ketika beliau
bersujud, dua lututnya diletakkan ke tanah sebelum dua tangannya diletakkan.”
Abu Hurairah ra.
meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian bersujud maka mulailah dengan dua lututnya sebelum dua tangannya,
dan janganlah kalian menderum seperti unta menderum.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan
at-Thahawi)
Di dalam hadits ini
terdapat perintah untuk memulai dengan dua lutut sebelum dua tangan, dan di
dalamnya juga ada perintah untuk menyelisihi cara unta berderum.
Ada juga hadits yang
diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai dari jalur Abu Hurairah ra., yang
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian bersujud maka janganlah dia menderum seperti unta menderum, dan
hendaklah dia meletakkannya dua tangannya kemudian dua lututnya.”
Yaitu dengan
mendahulukan dua tangannya. Maka jawaban atas hal ini adalah bahwa hadits ini
dengan redaksi kalimat seperti itu menunjukkan bahwa bagian awalnya telah
menyalahi bagian akhirnya, di mana bagian awalnya memerintahkan kita untuk
menyelisihi cara unta menderum, tetapi pada bagian akhirnya malah memerintahkan
untuk meletakkan dua tangan sebelum dua lutut. Suatu hal yang bertentangan. Ini
karena unta itu ketika menderum akan memulai dengan dua tangan (kaki depan)nya,
kemudian menderum dengan dua kakinya. Perkara ini sangat jelas dan diketahui.
Lalu bagaimana bisa dalam hadits ini kita diperintah untuk memulai dengan dua
tangan, kemudian kita diperintah menyelisihi unta? Hadits Abu Hurairah yang
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan at-Thahawi juga memerintahkan untuk
menyelisihi cara unta menderum, tetapi hadits ini memerintahkan untuk memulai
dengan dua lutut. Jadi, dua hadits ini sama-sama memerintahkan menyelisihi cara
untuk menderum, tetapi keduanya berbeda dalam urutan mana yang didahulukan antara
dua tangan dan dua lutut. Fakta yang bisa diindera dan dipahami dari cara unta
menderum menunjukkan kebenaran apa yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abi
Syaibah dan at-Thahawi, dan kesalahan apa yang disebutkan dalam hadits Ahmad,
Abu Dawud dan an-Nasai. Ini yang pertama.
Yang kedua, bahwa
an-Nasai dan Abu Dawud meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Salah seorang dari
kalian jatuh bersujud dalam shalatnya, lalu dia menderum sebagaimana unta
menderum.”
Hadits ini tidak
menyebutkan dua tangan dan dua lutut. Karena itu, saya bertanya-tanya: apakah
hadits ini berbeda dengan hadits yang sebelumnya, ataukah keduanya itu hadits
yang sama? Mengapa dua tangan dan dua lutut tidak disebutkan dalam riwayat ini?
Yang pasti dari ketiga hadits ini adalah perintah untuk menyelisihi cara unta
menderum. Mengenai urutan dua tangan dan dua lutut, maka ketiga hadits ini
berbeda, dan yang diamalkan adalah yang baku, yaitu perintah untuk menyelisihi
cara unta menderum. Unta menderum dengan memulai dua tangan (kaki depan)nya,
maka berarti seorang Muslim diperintahkan untuk memulai dengan dua lututnya,
agar perbedaan itu bisa diwujudkan. Hal ini sesuai dengan hadits Wail bin Hujr
sebelumnya, dan inilah yang diamalkan, kemudian tinggalkanlah yang
menyalahinya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan dalam kitabnya Zaadul Ma'ad: sesungguhnya hadits Abu Hurairah
ini pada sebagian perawinya ada yang terbalik dalam matannya, dan yang orisinil adalah: hendaklah dia meletakkan dua
lututnya sebelum dua tangannya. Dan inilah pendapat yang benar dan layak.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar