Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 10 Juli 2017

Dalil Bacaan Dzikir Ketika Sujud Dalam Shalat



Bab: Sifat Shalat

Sub-bab:
Sujud: Bentuknya dan Dzikir Di dalamnya

Kita melangkah pada dzikir dan doa dalam sujud. Kami katakan: bahwa terdapat sejumlah bentuk dzikir yang bisa kita gunakan. Yang paling terkenal dan paling utama adalah “subhaana rabbiyal a'la” (Maha Suci Tuhanku yang maha luhur) tiga kali, dan disunahkan untuk mengambilnya dan mengutamakannya atas bentuk-bentuk doa yang lainnya. Tidak ada halangan untuk mengucapkan bentuk lainnya setelah ucapan “subhaana rabbiyal a'la” (Maha Suci Tuhanku yang maha luhur) tiga kali, karena menghimpun antara dua bentuk doa atau lebih –di sini- adalah boleh-boleh saja. Kami telah menyebutkan dalam pembahasan “ruku’: bentuk dan dzikir di dalamnya” tiga hadits tentang ucapan “subhaana rabbiyal a'la” (Maha Suci Tuhanku yang maha luhur) dalam sujud, sehingga kami tidak akan mengulangnya. Ada perintah untuk mengucapkan bentuk ini, tetapi tidak ada perintah untuk mengucapkan selainnya. Selain bentuk ini hanya berasal dari perbuatan Nabi Saw. saja, sehingga perintahnya lebih didahulukan daripada perbuatannya.

Sekarang kami akan menyebutkan sejumlah bentuk doa tersebut:

a. Maha Suci dan Maha Qudus Tuhan Sekalian malaikat dan ruh

b. Maha Suci Tuhan yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan.

c. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada ridha-Mu dari kemarahan-Mu, dan aku berlindung pada kemaafan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, di mana aku tidak bisa menyanjungkan pujian kepada-Mu dengan pujian sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.

d. Ya Allah, ampunilah aku atas segala dosaku, baik yang kecil ataupun yang besar, yang awal ataupun yang akhir, dan yang terang ataupun yang tersembunyi.

e. Ya Allah, jadikanlah cahaya ada di dalam hatiku, cahaya ada dalam lidahku, cahaya ada dalam pendengaranku, cahaya ada dalam penglihatanku, cahaya ada di belakangku, cahaya ada di depanku, cahaya ada di atasku, cahaya ada di bawahku, dan cahaya ada untukku, dan agungkan aku dengan cahaya.

f. Ya Allah, kepada-Mu aku bersujud, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri, wajahku bersujud kepada Dzat yang menciptakannya, memberikan dan membaguskan rupanya, lalu memberikan pendengarannya dan penglihatannya, dan Maha Suci Allah Dzat sebaik-baiknya Pencipta.

Selain itu, ada doa-doa sujud lainnya yang juga diucapkan oleh Rasulullah Saw. dalam sujudnya, maka bagi siapa saja yang ingin menelaahnya lebih jauh dipersilakan untuk mencarinya dalam kitab-kitab hadits.

Adapun dalil-dalil atas keenam bentuk doa ini, maka untuk dua bentuk pertama (a dan b) semuanya telah disebutkan dalam pembahasan “ruku’: bentuk dan dzikir di dalamnya”, sehingga kami tidak perlu mengulangnya khawatir terlalu bertele-tele menyebutkannya, sehingga kami persilahkan Anda untuk mengulangnya kembali di sana. Kami sebutkan dalil-dalil bentuk doa lainnya sesuai urutan yang kami sebutkan di atas:

1) Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Pada suatu malam aku tidak menemukan Rasulullah Saw. di atas tempat tidur, lalu aku mencarinya dengan tanganku. Kedua tanganku membentur bagian dalam telapak kakinya, dan keduanya dalam posisi tegak. Lalu aku mendengar beliau Saw. berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada ridha-Mu dari kemarahan-Mu, dan aku berlindung pada kemaafan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, di mana aku tidak bisa menyanjungkan pujian kepada-Mu dengan pujian sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan an-Nasai)

2) Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Saw. mengucapkan dalam sujudnya;

“Ya Allah, ampunilah aku atas segala dosaku, baik yang kecil ataupun yang besar, yang awal ataupun yang akhir, dan yang terang ataupun yang tersembunyi.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

3) Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
“Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah, lalu aku memperhatikan bagaimana beliau Saw. melakukan shalat -dan dia menyebutkan sejumlah perbuatan Rasulullah Saw.- kemudian keluar untuk shalat dan beliau Saw. pun bershalat. Beliau Saw. mengucapkan dalam shalatnya atau dalam sujudnya: ”Ya Allah, jadikanlah cahaya ada di dalam hatiku, cahaya ada dalam pendengaranku, cahaya ada dalam penglihatanku, cahaya ada di belakangku, cahaya ada di depanku, cahaya ada di atasku, cahaya ada di bawahku, dan jadikanlah cahaya untukku.” Atau ia berkata: “Dan jadikanlah aku cahaya.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat Muslim lainnya dari jalur Ibnu Abbas disebutkan juga
“Dan dia berkata: “Dan agungkanlah aku dengan cahaya.” Dan tidak menyebut: “Dan jadikanlah aku cahaya.”

Sehingga di dalamnya ada tambahan, yakni “dan agungkanlah aku dengan cahaya.” Tambahan seperti ini boleh-boleh saja dan diterima. Dalam riwayat Muslim lainnya dari jalur Ibnu Abbas ditemukan:
“Ya Allah, jadikanlah cahaya ada di dalam hatiku, ada dalam lisanku…”

Di mana di dalamnya ada tambahan: “ada dalam lisanku”.

Yang harus diperhatikan bahwa susunan redaksi doa ini bukanlah satu kemestian, di mana riwayat-riwayat Muslim ini tidak memiliki satu macam redaksi. An-Nasai juga meriwayatkan dengan redaksi seperti ini:
“Kemudian beliau berdiri dan melaksanakan shalat, seraya mengucapkan dalam sujudnya: “Ya Allah, jadikanlah cahaya ada di dalam hatiku, jadikanlah cahaya ada dalam pendengaranku, jadikanlah cahaya ada dalam penglihatanku, jadikanlah cahaya ada di belakangku, jadikanlah cahaya ada di depanku, jadikanlah cahaya ada di atasku, jadikanlah cahaya ada di bawahku, dan jadikanlah cahaya untukku, dan agungkanlah aku dengan cahaya.” Kemudian beliau tidur, lalu Bilal datang dan membangunkannya untuk shalat.”

4) Dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa Rasulullah Saw.:

“…Jika bersujud beliau mengucapkan: “Ya Allah, kepada-Mu aku bersujud, pada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri, wajahku bersujud pada Dzat yang menciptakannya, memberikan dan membaguskan rupanya, lalu memberikan pendengarannya dan penglihatannya, dan Maha Suci Allah sebagai sebaik-baiknya Pencipta…” (HR. Ahmad)

Redaksi doa ini tidak menjadi satu kemestian, sebab an-Nasai telah meriwayatkan redaksi doa yang berbeda dengan hadits Ahmad yakni:
“Ya Allah, kepada-Mu aku bersujud, kepada-Mu aku berserah diri, dan kepada-Mu aku beriman. Wajahku bersujud pada Dzat yang menciptakannya, memberikan dan membaguskan rupanya, lalu memberikan pendengarannya dan penglihatannya, dan Maha Suci Allah Dzat sebaik-baiknya Pencipta.”

Inilah sejumlah tasbih dan doa yang ma’tsur. Kadar pengulangannya dalam satu kali sujud, minimal diucapkan tiga kali. Walaupun begitu, jika diucapkan sekali atau dua kali saja maka itu sah-sah saja, tetapi dengan keutamaan yang berkurang pula. Tidak ada batasan maksimal dalam pengulangannya, terutama ketika shalat munfarid. Imam hendaknya bertasbih dengan ukuran yang tidak memberatkan dan tidak menyulitkan bagi para makmumnya. Jika dia bertasbih tujuh tasbih maka itu adalah baik, hal ini agar memungkinkan para makmum mengulang tasbih tiga kali dengan perlahan tanpa tergesa-gesa, terlebih lagi jika ada di antara mereka yang pelan dalam pengucapan dan ada juga yang sakit. Karena itu, sikap lemah lembut dan kasih sayang sangat dituntut. Tidak boleh lebih dari sepuluh kali tasbih, karena bisa mengakibatkan munculnya kesulitan bagi orang yang lemah di antara mereka. Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat mengimami orang-orang, maka hendaklah dia meringankan shalatnya, karena di antara mereka ada orang tua dan ada yang lemah. Dan jika berdiri shalat sendirian maka hendaklah dia memanjangkan shalatnya sekehendaknya.” (HR. Muslim)

Sebelumnya telah disebutkan hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam pembahasan “ruku’: bentuknya dan dzikir di dalamnya”, di mana disebutkan:

“Maka kami memperkirakan dalam ruku'nya dia membaca sekitar sepuluh tasbih, dan dalam sujudnya sepuluh tasbih.”

Al-Qur’an tidak boleh dibaca di dalam sujud, sama seperti di dalam ruku', karena adanya larangan. Hadits-hadits tentang perkara ini telah kami sebutkan: dua hadits yang diriwayatkan Malik dan Muslim dari jalur Ali bin Abi Thalib ra., dan yang ketiga adalah hadits yang diriwayatkan Ahmad dari jalur Ibnu Abbas ra. Oleh karena itu kami tidak akan mengulangnya. Silahkan Anda menelaahnya kembali dalam pembahasan “ruku’: bentuknya dan dzikir di dalamnya”.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam