Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 11 Juli 2017

Dalil Posisi Duduk Tasyahud



Bab: Sifat Shalat

Sub-Bab:
Tasyahud dan Bentuk Duduknya

...
Duduk untuk bertasyahud di akhir rakaat kedua, dan di akhir rakaat keempat dari shalat ruba'iyah, atau di akhir rakaat ketiga dalam shalat tsulatsiyah, di mana dua duduk ini telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dari jalur Ibnu Mas’ud ra.:

“…Beliau Saw. jika duduk di pertengahan shalat dan di akhirnya di atas pangkal pahanya yang sebelah kiri, mengucapkan: “Penghormatan hanya milik Allah...”

Tasyahud dalam pertengahan shalat ini adalah tasyahud awal, dan yang diakhirnya adalah tasyahud akhir. Dua tasyahud ini hukumnya wajib, sehingga keduanya atau salah satunya tidak boleh ditinggalkan. Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata:

“Kami mengucapkan dalam shalat sebelum tasyahud diwajibkan: “Keselamatan atas Allah, keselamatan atas Jibril dan Mikail. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah kalian mengucapkan seperti itu, karena Allah Swt. itulah sumber keselamatan, tetapi ucapkanlah: “Penghormatan hanya milik Allah, dan juga kebahagiaan dan kebaikan...” (HR. an-Nasai)

Hadits ini dishahihkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi. Di dalam hadits ini disebutkan: “sebelum tasyahud diwajibkan”, dan ini merupakan dilalah yang sangat jelas, di mana tasyahud tersebut mencakup tasyahud awal dan tasyahud akhir. Ini diperkuat oleh hadits an-Nasai yang menyebutkan: “maka ucapkanlah dalam setiap duduk.” Abdullah bin Buhainah al-Asadi sekutu Bani Abdul Muthalib meriwayatkan:

“Bahwa Rasulullah Saw. berdiri dalam shalat dhuhur, seharusnya beliau duduk. Ketika beliau menyelesaikan shalatnya beliau sujud dua kali, dan bertakbir pada setiap sujud tersebut. Beliau duduk sebelum bersalam, dan orang-orang melakukan sujud tersebut bersama beliau sebagai pengganti bagian duduk yang terlupakan.” (HR. Muslim dan Bukhari)

Kalimat: “Bahwa Rasulullah Saw. berdiri dalam shalat dhuhur, seharusnya beliau duduk”, ini adalah duduk untuk tasyahud awal, sehingga menunjukkan bahwa duduk ini wajib. Dari Abdullah bin Mas’ud ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. memegang tangan Abdullah, lalu beliau Saw. mengajarinya bertasyahud dalam shalat. Beliau berkata: Ucapkanlah: “Penghormatan untuk Allah ...dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Dia berkata: “Jika engkau menunaikan hal ini.” Atau dia berkata: “Jika engkau melakukan hal ini maka engkau telah menunaikan shalatmu, sehingga jika engkau ingin berdiri maka berdirilah, dan jika engkau ingin duduk maka duduklah.” (HR. Ahmad)

Abu Dawud dan ad-Darimi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang hampir sama. Walaupun begitu, para hafidz telah bersepakat bahwa kalimat yang terakhir ini adalah sisipan dari ucapan Abdullah bin Mas’ud sendiri. Yang saya maksudkan adalah ucapan: “Jika engkau menunaikan hal ini. Atau dia berkata: Jika engkau melakukan hal ini maka engkau telah menunaikan shalatmu...” Ini bukan ucapan Rasulullah saw. Ucapan ini adalah ucapan sahabat (qaul shahabiy), dan ucapan sahabat itu adalah (kesimpulan) hukum syara yang boleh untuk diambil dan diikuti. Diriwayatkan dari Abdullah, bahwa dia berkata:

“Adalah Nabi Saw. mengajari kami bertasyahud sebagaimana beliau Saw. mengajari kami satu surat dari al-Qur’an. Beliau Saw. berkata: “Pelajarilah oleh kalian, sesungguhnya tidak ada shalat kecuali dengan tasyahud.” (HR. al-Bazzar)

Al-Haitsami mentsiqahkan para rijal dari sanad hadits ini. Al-Baihaqi telah meriwayatkan dari Abdullah ra., ia berkata:

Tasyahud itu adalah kesempurnaan shalat.”

Abdurrazaq telah meriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra., ia berkata:

“Shalat itu tidak boleh kecuali dengan tasyahud.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi. Ucapan Umar yang disatukan dengan ucapan Ibnu Mas’ud menyatakan wajibnya tasyahud dalam shalat. Dari keempat riwayat ini bisa diambil hukum wajibnya bertasyahud dalam shalat.

Dalam tasyahud awal, si mushalli duduk dengan menegakkan telapak kaki kanannya, di mana bagian atas telapak kaki kanan tersebut dihadapkan ke arah kiblat dan membentangkan (iftirasy) telapak kakinya yang sebelah kiri untuk diduduki. Sedangkan untuk tasyahud akhir, si mushalli duduk di atas pangkal pahanya (tawarruk) sebelah kiri dengan memajukan telapak kakinya yang sebelah kiri dan melipatnya di antara paha dan betisnya, lalu dia duduk di atas pantatnya.
Dalam dua duduk ini dia meletakkan telapak tangannya yang sebelah kanan di atas paha sebelah kanan, dan telapak tangan sebelah kiri di atas paha sebelah kiri, dengan menguncupkan jari-jemarinya di atas dua lututnya, seraya menggabungkan jari-jari tangan sebelah kanan yakni kelingking, jari manis dan jari tengah, dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya, lalu mengacungkan telunjuknya dengan acungan yang ringan dan lemah, -yakni menjadikannya miring sedikit-, dan hal ini terus dilakukan hingga pertengahan doa. Inilah bentuk ideal untuk duduk tasyahud. Dari Wail bin Hujr ra., ia berkata:

“Aku tiba di Madinah, aku berkata: aku mesti melihat shalat Rasulullah Saw. Ketika beliau duduk –yakni untuk tasyahud-, beliau menghamparkan telapak kaki kirinya dan meletakkan tangannya yang sebelah kiri –yakni di atas pahanya sebelah kiri dan menegakkan telapak kaki kanannya.” (HR. Tirmidzi)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“…Dan jika beliau Saw. duduk dalam dua rakaat, beliau Saw. menidurkan telapak kakinya yang sebelah kiri dan menegakkan telapak kakinya yang sebelah kanan, lalu meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, dan menegakkan jari-jarinya ketika berdoa, seraya meletakkan tangannya yang sebelah kiri di atas pahanya yang sebelah kiri...”

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

”...Kemudian beliau Saw. duduk dan menghamparkan telapak kakinya yang sebelah kiri, lalu meletakkan telapak tangannya yang sebelah kiri di atas pahanya dan lututnya yang sebelah kiri, dan menjadikan batas sikunya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan. Kemudian beliau merapatkan jari-jarinya, membentuk lingkaran, lalu mengangkat jarinya. Aku melihatnya menggerakkan jarinya itu dan berdoa.”

Dalam riwayat Ahmad yang lain disebutkan :

”...Beliau membentuk lingkaran dengan jari tengah dan ibu jarinya, lalu memberi isyarat dengan telunjuknya.”

Ucapannya: “Aku melihatnya menggerakkan jarinya itu dan berdoa, yakni menggerakkannya dari tempatnya di antara jari-jarinya tersebut agar tegak terangkat. Ketika dia telah menegakkannya beliau meneguhkannya dalam bentuknya itu sepanjang berdoa tanpa mengembalikannya ke tempatnya semula, atau terus menggerakkannya sebagaimana dilakukan oleh banyak orang. Gerakan jari telunjuk yang terus-menerus ini sebenarnya tidak dituntut, dan ini bukan penerapan atau pelaksanaan yang benar dari hadits Ahmad, melihat dilalah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Zubair ra.:

“Bahwa dia menyebutkan Nabi Saw. memberi isyarat dengan jari telunjuknya jika beliau berdoa, dan beliau Saw. tidak menggerak-gerakkannya. Ibnu Juraij berkata: Amr bin Dinar berkata: Amir memberitahukanku dari ayahnya bahwa dia melihat Nabi Saw. berdoa seperti itu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai)

Abdurrazaq meriwayatkan pertengahan pertama hadits ini. Dari Abu Humaid al-Sa’idi ra., ia berkata:

“Aku adalah orang yang paling hafal tentang shalat Rasulullah Saw. di antara kalian. Aku melihat beliau Saw. jika bertakbir menjadikan dua tangannya setentang dengan dua bahunya… dan jika beliau duduk dalam dua rakaat beliau duduk di atas telapak kakinya yang sebelah kiri dan menegakkan yang sebelah kanan, dan jika duduk dalam rakaat terakhir beliau Saw. memajukan telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya, dan beliau duduk di atas pantatnya.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan:

“Adalah Rasulullah Saw. jika dalam rakaat (terakhir) yang di dalamnya shalat diselesaikan, beliau Saw. memundurkan telapak kaki kirinya, dan mendudukkan pantatnya sebelah di atas tanah secara tawarruk, kemudian bersalam.”

Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika duduk dalam shalat, beliau menjadikan telapak kakinya yang sebelah kiri di antara paha dan betisnya, dan menghamparkan telapak kaki sebelah kanannya, lalu meletakkan tangannya yang sebelah kiri di atas lututnya yang sebelah kiri, dan meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas paha sebelah kanan. Dan beliau memberi isyarat dengan jarinya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan:

“Adalah Rasulullah Saw. jika duduk berdoa, beliau meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, dan tangannya yang sebelah kiri di atas pahanya yang sebelah kiri, lalu memberi isyarat dengan jari telunjuknya, dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya, dan menutupkan telapak tangannya yang sebelah kiri pada lututnya.”

Dari Nam'ir al-Khuza’iy ra.:

“Bahwa ia melihat Rasulullah Saw. dalam shalat meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, dan mengangkat jari telunjuknya. Beliau Saw. sedikit memiringkannya ketika beliau berdoa.” (HR.Ibnu Hibban, lbnu Khuzaimah, an-Nasai dan Abu Dawud)

Dengan demikian, seorang Muslim bertawarruk dalam duduk tasyahud akhir. Tawarruk itu adalah duduk dengan meletakkan dua pantatnya di atas tanah, dan menjulurkan kedua telapak kakinya ke satu arah yakni arah kanan. Duduk seperti ini menyulitkan sebagian besar orang, sehingga siapa saja yang kesulitan dalam duduk seperti ini maka tidak mengapa ia kembali pada bentuk duduk seperti duduk tasyahud awal (iftirasy), yakni dengan menegakkan telapak kaki kanan dan membentangkan telapak kaki kiri, lalu duduk di atas perut telapak kaki kiri. Dan jika masih saja kesulitan dalam duduk ini maka tidak apa-apa baginya untuk duduk dengan kaki bersilang di bawah paha (mutarabbi'), karena agama itu memberikan kemudahan. Dari Abdullah bin Abdullah bin Umar, bahwa dia memberitahunya:

““Sesungguhnya dia melihat Abdullah bin Umar dalam keadaan menyilangkan kaki di bawah paha (mutarabbi') dalam shalat ketika duduk. Dia berkata: maka aku melakukannya, dan aku saat itu masih muda belia. Lalu Abdullah melarangku dan berkata: “Sesungguhnya sunat shalat itu adalah engkau menegakkan telapak kakimu yang sebelah kanan dan membengkokkan telapak kakimu yang sebelah kiri.” Aku bertanya kepadanya: ”Tetapi engkau melakukan seperti itu.” Maka dia berkata: “Sesungguhnya kedua kakiku tidak sanggup menahan beban tubuhku.” (HR. Malik dan Bukhari)

Dalam riwayat Malik yang lain dari jalur al-Mughirah bin Hakim dikatakan: “Sesungguhnya aku melakukan ini agar aku tidak merasa sakit.”

Dimakruhkan dalam duduk tasyahud itu si mushalli bertopang pada satu atau kedua tangannya, dengan meletakkan tangannya itu di atas tanah untuk menyangganya. Dimakruhkan pula duduk di atas pantatnya dan menegakkan kedua betisnya serta meletakkan kedua tangannya di atas tanah, berjongkok (duduk di atas pantat) seperti jongkoknya anjing, monyet dan hewan buas lainnya. Ini adalah duduk berjongkok yang dilarang, yang disebut sebagai tumit setan atau pengganti syetan. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang seseorang bertopang pada dua tangannya dalam shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Rasulullah Saw. melarang seseorang duduk dalam shalat dengan bertopang pada dua tangannya.”

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan:

“Rasulullah Saw. melarang seseorang duduk dalam shalat dengan bertopang pada tangannya.”

Ahmad meriwayatkan dari jalur Ibnu Umar ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. melihat seseorang meletakkan tangannya (di sisinya sambil bertopang padanya) dalam shalat, lalu beliau berkata: “Janganlah engkau duduk seperti itu, sesungguhnya ini adalah duduknya orang-orang yang sedang disiksa.”

Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Umar ra.:

“Bahwa dia melihat seseorang bertopang pada tangannya yang sebelah kiri, dan dia sedang duduk dalam shalat -Harun bin Zaid berkata: bersandar pada sisi tubuhnya yang sebelah kiri- maka dia berkata kepadanya: Janganlah engkau duduk seperti ini, karena duduk seperti ini adalah duduk orang-orang yang sedang disiksa.”

Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. membuka shalat dengan takbir dan membaca alhamdu lillahi rabbil ‘alamin, dan jika beliau ruku maka beliau tidak menundukkan kepalanya dan juga tidak menegakkannya, tetapi dalam posisi di antara keduanya, dan jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku' maka beliau Saw. tidak bersujud hingga tegak lurus dalam berdiri, dan jika beliau mengangkat kepalanya dari sujud maka beliau tidak akan bersujud hingga tegak lurus dalam duduk, dan mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat. Beliau menghamparkan telapak kakinya yang sebelah kiri dan menegakkan telapak kakinya yang sebelah kanan, dan beliau melarang dari tumit setan, dan melarang seseorang membentangkan dua tangannya seperti iftirasynya binatang buas, dan beliau menutup shalatnya dengan mengucap salam.” (HR. Muslim)

Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini juga. Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: “dan Nabi Saw. melarang dari tumit syetan.” Begitu pula disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dan riwayat Ahmad. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:

“Kekasihku mewasiatkan kepadaku tiga hal, dan melarangku dari tiga hal: Beliau mewasiatkan kepadaku witir sebelum tidur, berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, dan dua rakaat dhuha. Dia berkata: dan dia melarangku dari tiga hal: menoleh, jongkok seperti jongkoknya monyet, dan mematuk seperti patukan ayam (dalam shalat).” (HR. Ahmad)

Dalam riwayat Ahmad yang lain disebutkan:

”...Dan dia melarangku dari mematuk seperti patukan ayam, dan jongkok seperti jongkoknya monyet, dan menoleh seperti menolehnya rubah.”

Disunatkan bertasyahud -baik yang awal ataupun yang akhir- dengan mensirrkan bacaan dan tidak menjahrkannya, baik dalam shalat yang sirriyah ataupun dalam shalat yang jahriyah, baik imam, makmum ataupun orang yang shalat sendirian. Ibnu Khuzaimah telah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas'ud ra. berkata:

“Adalah termasuk sunnah, engkau menyembunyikan (merendahkan bacaan-pen) tasyahud.”

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Adalah termasuk sunnah, tasyahud itu disembunyikan (dibaca dengan pelan).”

Dan disunatkan pula dalam tasyahud, agar pandangan itu tidak melampaui dua paha dan telunjuk. Dari Abdullah bin Zubair ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika duduk dalam tasyahud meletakkan tangannya yang sebelah kanan di atas pahanya yang sebelah kanan, dan tangannya yang sebelah kiri di atas pahanya yang sebelah kiri, dan menunjuk dengan jari telunjuknya dan pandangannya tidak melampaui tunjukannya itu.” (HR. Ahmad)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sedikit berbeda, di dalamnya disebutkan:

“Dan berisyarat dengan jari telunjuk, dan pandangannya tidak melampaui isyaratnya.”

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini juga.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam