Mereka
Bicara
Yang
Senang Jokowi Menang
Marwan
Batubara, Direktur Indonesian Resources Studies (Iress):
Konglomerat
Dan Asing Senang
Selama kampanye,
konglomerat cukup intensif mendukung dengan dana yang sangat besar maka potensi
adanya kebijakan yang berpihak kepada pengusaha yang telah melakukan investasi
juga cukup besar. Jadi pemerintahan Jokowi nantinya berpotensi untuk lebih memihak
kepada penyandang dana yang memang pengusaha besar itu.
Kemungkinan besar pula
Jokowi akan memperpanjang kontrak Freeport, karena Amerika sangat nyata
mendukung. Apalagi pada masa kampanye atau menjelang kampanye terbuka, kita
mengikuti kegiatan Jokowi yang bertemu dengan duta besar asing termasuk dengan
dubes Amerika dan dubes Cina di salah satu rumah pendukungnya di dekat Simprug
Jakarta Selatan. Belum lagi sewaktu pencoblosan maupun beberapa waktu usai
pencoblosan ada pejabat-pejabat Amerika, misalnya Bill Clinton datang, lalu ada
senator Jhon McCain. Sangat dimungkinkan kedatangan mereka untuk memastikan
agar tidak ada perubahan hasil pemilu hasil quick
count dan perhitungan KPU yang memenangkanJokowi.
Kalau sudah seperti
itu, kemungkinan Jokowi memberikan konsesi kepada Amerika atau
perusahaan-perusahaan Amerika itu sangat logis dari sisi kepentingan politik
tetapi bisa saja itu merugikan kita sebagai bangsa atau negara.
Tentu saja yang senang
ketika Jokowi menang, pertama adalah
konglomerat-konglomerat, kedua negara
asing yang memang punya kepentingan yang terus mendominasi sektor ekonomi
keuangan kita dan sektor-sektor lainnya secara keseluruhan baik di sisi
politik, ekonomi, sosial, budaya dsb. Atau minimal akan menguasai sumber daya
alam kita, sumber daya ekonomi kita agar tetap mereka kuasai. []
Mashadi,
Mantan Anggota DPR RI:
Jokowi menang yang
paling senang ya, satu, kafir musyrik tuh, Yahudi, Nasrani. Kedua, konglomerat hitam, konglomerat Cina anti Islam. Ketiga, ya kebathilan; Realitasnya yang
mendukung Jokowi kan itu.
Buntutnya juga, bangsa
Syiah, bangsa Ahmadiyah, bangsa aliran-aliran sesat itu kan numpang hidup. Mereka memanfaatkan Jokowi yang didukung
kafir musyrik, konglomerat Cina yang anti Islam itu akan dimanfaatkan
semaksimal mungkin untuk memperpanjang umur mereka, agar tetap eksis di
Indonesia.
Mereka akan menuntut
perubahan-perubahan yang mendasar. Di antaranya ada wacana dari orang-orang
penghubung Jokowi dengan aliran komunis untuk menghapus TAP MPR yang melarang
ajaran ideologi komunis, supaya komunis hidup lagi di Indonesia. Kalangan Kristen
sendiri menuntut agar SKB 2 Menteri terkait perizinan pendirian tempat ibadah
dihapus. Nanti ya... termasuk UU Perkawinan akan diubah agar ada pengakuan
terhadap perkawinan sesama jenis.
Karena tadi itu, yang
dibelakangnya itu kan Yahudi dan
Nasrani. Mereka pakai kedok liberal, sekuler, nasionalis, tetek bengek itu, ya intinya kan mereka adalah kafir musyrik itu, Yahudi
dan Nasrani bersama konglomerat Cina yang membenci Islam itu sebagai penyandang
dana.
JK itu meski Ketua
Dewan Masjid indonesia (DMI), pemikirannya kan sekuler! Dia tidak berpikir
ingin membela, ingin melindungi, ingin menegakkan ajaran Islam di Indonesia.
Tidak dia. Jadi jangan berpresepsi bahwa kalau JK jadi Ketua DMI akan
melindungi IsIam. []
Dwi
Condro Triono, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta:
Bakal
Lebih Buruk
Jokowi menang yang
senang tentu saja adalah orang-orang yang selama ini ada di belakangnya, yaitu
mereka yang banyak mendukung dan mendanai kemenangan Jokowi. Mengapa? Karena
sudah kita pahami bersama bahwa biaya untuk mengikuti Pilpres tidaklah murah.
Sebagaimana orang
Amerika katakan, yaitu no free lunch
(tidak ada makan siang gratis), maka dengan sejumlah dana trilyunan yang telah
mereka keluarkan, dengan kemenangan Jokowi ini mereka tentu sangat gembira
dalam menyambutnya. Mereka tentu sudah bersiap untuk menuai kembalinya ”modal”
yang telah dikeluarkan, tentu dengan perhitungan dalam jumlah yang lebih besar
lagi.
Pada hakikatnya,
antara pemerintahan SBY dan Jokowi tidaklah terlalu berbeda. Hal itu dapat
dianalisis dari paparan kampanye yang disampaikan Jokowi dalam debat capres.
Khususnya pandangan Jokowi terhadap penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) yang
sampai saat ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Di masa
pemerintahan SBY, kebijakan liberalisasi ekonomi dengan membebaskan masuknya
perusahaan asing untuk menguasai SDA di Indonesia, terus-menerus dilakukan.
Sementara itu, dalam materi debatnya Jokowi tidak muncul sama sekali tawaran
kebijakan untuk mengubah haluan ekonomi yang bercorak kapitalistis tersebut.
Namun, jika diminta
untuk memprediksikan, apakah pemerintahan Jokowi akan lebih buruk? Kemungkinan
itu sangatlah besar. Sebab, posisi Jokowi sesungguhnya lebih berat dibanding
SBY dalam kaitannya dengan banyaknya pihak mendukung bagi kemenangan Pilpresnya.
Jika pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendukung Jokowi lebih banyak
dibanding SBY, maka "utang" dana politik Jokowi akan lebih basar
dibanding SBY. Konsekuensinya, derita yang akan ditanggung oleh rakyat untuk
”membayar" kepentingan pihak-pihak yang telah mendukungnya itu akan lebih
besar. []
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 134, September 2014
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar